Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3

.
.
.

Aku menegak ludah, sedikit kebingungan. Prediksiku sedikit kacau, mungkin aku harus segera memikirkan cara lain agar bisa mengeluarkan Maroon bersaudara dari Amittere dan mengembalikannya ke dunia semula. Tapi, tak lupa pula dengan tujuan awalku datang ke sini.

"Bagaimana bisa? Kau pasti salah dengar, bukan?"

Alfred mengerjapkan mata, mencoba memastikan, ekspresi terkejut terpasang dengan jelas di wajah putihnya. Sedangkan, pemuda berhelai rambut crimson menggeleng kecil, melemparkan tatapan tak suka seraya menengadahkan kepalanya. Seolah-olah, ia tengah mengintimidasi teman satu kubunya tersebut, "Normand sendiri yang mengatakan, 'gadis berambut biru muda yang paling kecil itu dibebaskan saja, no role' dari pemancar ini."

Arvy memperlihatkan benda kecil berwarna cokelat. Di atasnya terdapat ornamen emas berbentuk bundar. Di bawahnya terdapat tali dan ia kaitkan sendiri di sakunya. Apa itu alat sihir? Kemungkinan, iya, karena aku tidak pernah melihat barang seperti itu di duniaku.

Mendengar perkataan Arvy, Alfred hanya bisa menghela napas lalu menarik tanganku. Kenapa tiba-tiba ia mencengkramnya dengan kuat seperti ini? Untung saja, aku sudah merasa terbiasa akan rasa sakit. Akibat tindakannya, aku melirik ke arah pemuda blonde tersebut. Dan ia hanya mengulas senyum manis.

"Hm ..." Alfred bergumam.

Dasar aneh!

"Baiklah, pertama-tama ... mari kita pisahkan yang mempunyai role dan yang tidak," ujar Alfred, bersikap tenang seolah ekspresi kagetnya tadi tak pernah terjadi. Ia menarikku, benar-benar berniat memisahkan aku dan Maroon bersaudara. Atau mungkin saja mempunyai maksud lain yang tak akan kuketahui dengan mudah.

Dari belakang, aku merasakan aura kemarahan yang menguar-nguar. Aku menoleh, mendapati Kelvin yang mengerutkan dahinya serta Millie dengan ekspresi tak rela, "Kenapa dipisah?! Kalian tidak boleh melakukan hal secara sembarangan mengenai kami bertiga tanpa persetujuan. Lagipula, Emi tidak bisa apa-apa tanpa kami!"

Tadinya, aku ingin berterima kasih karena ia sepertinya berniat untuk menolongku. Tapi, karena kata-katanya yang terdengar kasar, rasa amarah dalam dadaku mulai memuncak. Tak bisa kubendung lagi.

"Siapa yang kau bilang tidak bisa apa-apa tanpamu, hah?" protesku kesal. Sungguh, aku selalu saja dibakar jika ia telah mengeluarkan kalimat-kalimat penusuk hati. Tanganku yang dicengkram oleh Alfred, segera terlepas karena emosi, lalu jariku menunjuk ke arah Kelvin.

Alfred dan Arvy mengerjap kaget, meskipun Alfred dengan cepat mengganti ekspresinya dengan senyuman kecil. Sudah cukup jaga image-nya. Saat ini, aku hanya ingin membalas perkataan yang Kelvin lontarkan.

Pemuda berambut biru muda yang diturunkan ke bawah itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia mengeryit, melayangkan tatapan sinis padaku.

"Memangnya siapa lagi kalau bukan kau, huh?"

"Ugh, Kelvin, kau menyebalkan! Kenapa bisa aku punya sepupu sepertimu?"

"Dasar, itu harusnya kalimatku!"

Kami memalingkan wajah satu sama lain, tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan lebih jauh lagi. Tak lama setelah pertengkaran kami, sinar mentari perlahan mulai sirna, digantikan dengan awan berwarna abu-abu, langit gelap, dan suara hewan-hewan hutan.

Cuaca yang tiba-tiba mendung membuatku dan Maroon bersaudara menengadah untuk menatap langit. Ah, sepertinya akan hujan deras. Bisa-bisanya cuaca mendukung pertengkatan kami seperti ini.

Arvy menghela napas, ia menjentikkan jarinya, membuat sebuah portal berwarna ungu untuk kedua kalinya di hadapan kami bertiga. Beberapa detik kemudian, tetesan demi tetesan jatuh, membasahi bumi dan pemijaknya. Pemuda berambut crimson tersebut mengulas seringai, iris merah nan gelap itu menatap ke arah Alfred lalu Maroon bersaudara.

"Kau tidak bisa begitu, Alfred. Memisahkan gadis kecil ini dengan Millie dan Kelvin sama saja cari mati. Apa kau tidak lihat mereka berdua melotot padamu ketika kau dengan seenak jidat mencengkram tangannya?"

Tawa kecil ke luar dari mulut Alfred. Ia memiringkan kepalanya, menutup mata dengan pelan, "Haha, benar juga, pantas saja aku merasakan hawa membunuh dari belakang punggungku."

Hawa membunuh? Bukankah lebih ke amarah daripada hawa seperti itu? Maroon bersaudara tak mungkin sepeduli yang mereka bilang padaku. Yah, tak penting. Hal pertama, kita harus pergi mencari tempat berteduh.

"Mengenai role, akan kujelaskan lebih lanjut saat berada di Altair. Kalian berdua harus segera memutuskan untuk menerimanya. Ayo cepat, Aquila dekat dengan Gregory, bisa-bisa makhluk buas menerkam kita jika hujan mulai deras," ujar Arvy.

Maroon bersaudara menatap satu sama lainーseperti biasa sinkronisasi kakak adik memang hebatーsebelum melangkah masuk ke dalam portal (ternyata selain menyebrang dunia, hal ini bisa teleportasi juga?), Alfred mengikuti, lalu pemuda dengan helaian rambut crimson tersebut menghentak-hentakkan kecil kakinya. Entah kenapa, ia melakukan hal itu. Tak sempat aku berjalan masuk, iris merahnya mendelik padaku.

Arvy mendengkus, seringai kecil ia sunggingkan, "Heh, aku tak tahu kenapa Millie tertarik padamu. Tapi, sepertinya aku bisa mengerti."

Setelah melontarkan kalimat itu, ia berjalan masuk. Begitu pula dengan diriku. Aku tak mengerti akan perkataannya tersebut. Apa maksudnya? Tindakan orang-orang di dunia ini memang meninggalkan pertanyaan yang besar di kepalaku.

Saat melangkah masuk, angin bertiup dengan kencang, membuat helaian rambutku ikut bergerak bebas dan mengedipkan mata untuk sesaat. Iris sapphire milikku kemudian menangkap hamparan bunga tulip berwarna putih serta pohon tua nan besar. Tapi, pohon tersebut bukan pohon biasa, ada pintu di bagian batangnya. Lalu, Maroon bersaudara membukanya dengan ringan. Begitu pula bagian atas tanaman tersebut, terdapat Alfred yang sepertinya telah memanjatーatau mungkin terbang? Tempat ini mirip base rahasia.

Rasanya aku ingin menikmati momen ini untuk lebih lama lagi, namun aku tahu aku harus segera menemukan kakak angkatku. Maroon bersaudara semoga akan baik-baik saja selama masih belum menerima role tersebut.

Tak lama, seorang gadis berambut ginger yang diikat twintail berada di sampingku. Entah ia datang dari mana dan sejak kapan. Pakaiannya berwarna putih namun didominasi dengan warna merah, terutama pada bagian rok. Ia memakai floppy hat dengan ornamen kerang di pitanya. Mungkin saja, sebagai simbol. Iris ungunya terlihat jernih dan cantik.

"Hoho, Yang mulia Arvy sudah pulang," ujar gadis itu, dengan nada jahil yang terselip di perkataannya.

Arvy mendecih, memberikan tatapan maut pada sang gadis, "Jangan memanggilku dengan sebutan 'Yang mulia'. Menjijikan." Lalu ia berjalan meninggalkan kami berdua, nampaknya emosi setelah digoda seperti itu.

"Haha, dia selalu saja lucu untuk dijahili!"

Aku hanya memperhatikannya dari sudut mataku. Belum lama ia tertawa, ia sadar akan tatapanku. Senyuman cerah gadis itu sunggingkan. Sontak saja, ia memberikan pelukan dengan erat, membuatku terkejut akan tindakannya.

"Sepertinya aku akan mendapatkan banyak teman baru yang lucu," ujarnya.

"A-anu, kau siapa?"

Sial, sepertinya rasa gugup datang menghampiriku.

Ia dengan refleks melepaskan pelukannya, lantas mengacak helaian rambut biruku. Entah kenapa, tindakannya ini nampak mirip dengan Alfred, walau mereka berdua berbeda sifat.

"Panggil saja, Lavender! Namamu siapa, gadis kecil?" tanya Lavender, mengulas senyum ramah.

Kenapa orang-orang di dunia ini selalu memanggilku dengan sebutan gadis kecil? Apa karena tinggiku yang tak seperti remaja pada umumnya? Gerutuan kecil hanya bisa kukeluarkan dalam hati, merasa iri pada pertumbuhan lelaki.

"Emily! Kalian bisa memanggilku Emily."

Lavender mengangguk cepat. Belum sempat ia kembali mengangkat suara, Alfred memanggilnya dari atas, membuat gadis itu dengan cepat meninggalkanku sendiri di bawah. Aku menoleh, menatap tempat portal tadi, namun benda berwarna ungu tersebut telah hilang. Helaan napas kukeluarkan, rasanya cahaya irisku sedikit menggelap.

Perasaan rindu tiba-tiba saja memenuhi diriku. Sebuah perasaan penuh hal negatif. Tak ada yang bisa kuingat. Aku tak punya apa-apa. Semisal aku berhasil menemukannya, lalu bagaimana? Apa ia masih mengingatku? Apa masuk ke Amittere adalah hal yang benar?

Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan penuh cemas. Memang, aku sendiri yang memohon akan hal ini, menemukan kakak angkatku yang keberadaannya hilang. Tapi, saat aku berada satu langkah saja, semuanya terlihat kacau seperti sekarang. Kepalaku mulai pusing, namun dengan cepat aku menggelengkannya.

Tak boleh merasa seperti ini! Aku pasti bisa melaluinya. Aku ... pasti bisa menemukannya dan membuat kenangan bersamanya sekali lagi.

"... ly."

"... mily."

"... Emily!"

Aku tersentak kaget. Suara khas yang familiar masuk ke indra pendengaranku. Aku menengadah, menangkap iris merah gelap milik Arvy. Dahinya mengerut, nampak kesal karena tak kurespon sama sekali. Tanganku memijat pelan pelipisku, lalu aku memalingkan wajah dengan cepat, "Dari mana Arvy tahu namaku?"

Benar, sedari tadi ia selalu memanggilku dengan sebutan 'gadis kecil'. Yah, sebenarnya bukan ia saja, tapi tiga orang Rubber itu sendiri. Ingin rasanya mengeluh, namun kutahan. Aku tidak boleh menggali kuburanku sendiri di awal perjalanan.

Arvy menyeringai, mengangkat bahunya dengan ringan. Kemudian, menunjuk Lavender yang tengah tertawa riang bersama Alfred.

"Lavender yang memberitahuku. Oh, dan karena Lavender tak ingin kau dipisahkan dengan yang mempunyai role, Alfred jadi tidak bisa memaksakannya lagi. Semua penjelasan mengenai role sudah kuberikan Pada Millie dan Kelvin."

Pemuda berambut crimson itu duduk menyila dalam keadaan terbang, "Kami memutuskan agar kau, no role, bisa tinggal di Altair. Kau bebas melakukan apapun yang kau sukai."

Aku hanya mendengarkan perkataannya dalam diam. Selama itu aku terlarut dalam pemikiranku sendiri? Berkhayal memang menakutkan. Baik, lupakan hal tersebut terlebih dahulu, Alfred benar-benar ingin aku berjalan sendiri di tempat antah berantah yang tak kutahu rupanya. Mungkin kapan-kapan, aku akan berterima kasih pada gadis kerang tersebut.

Senyuman kecil aku ulas, dengan cepat tanganku menggenggam tangan Arvy, mencoba berterima kasih. Sekilas, ia tersentak kaget dan rona merah samar memenuhi pipinya. Apa ia tiba-tiba sakit? Atau pengaruh matahari?

Yah, manapun dari kedua hal itu, aku tidak peduli. Bisa selamat yang sebagai prioritas utama saja sudah cukup menguntungkan.

Ia pun melepaskan genggamanku. Lalu menutupi wajahnya seraya menunduk, "Tapi, dengan satu syarat."

Hah, masih ada rupanya.

"Apa itu?" tanyaku berusaha polos senatural mungkin. Nampaknya hal ini telah menjadi keahlianku secara murni. Hawa di sekitarku mulai berubah, terasa dingin, seperti mencoba mengancam. Dan benar saja, lagi-lagi, aku melihat iris semerah darah itu menyala dengan terang.

Ada yang pernah bilang bahwa yang pertama adalah kebetulan, yang kedua adalah kepastian, dan yang ketiga adalah takdir. Kejadian ini membuatku sangat yakin kalau ada sesuatu yang salah dengan Arvy, juga Rubber lainnya. Tapi, aku memilih untuk tutup mulut sekali lagi.

"Kau harus berada di sisi Rubber sampai kapan pun. Tak boleh mengkhianati kami bahkan bergabung dengan Alvis."

Tatapan itu, tatapan dengan maksud membunuh jika aku tidak mengiyakan perkataannya. Meski tahan dengan rasa sakit, tapi aku tetap saja kematian adalah hal yang menakutkan bagiku. Butuh dua detik untuk menenangkan diri, sepertinya rekor tercepat selama aku hidup saat ini, senyuman kusunggingkan dengan ringan sembari mengangguk pelan. Seolah tak menyadari arti perkataannya.

"Tentu saja. Aku ingin menikmati Amittere bersama Rubber untuk lebih lama, lagi!"

Sebuah kebohongan besar kuucapkan dengan mudahnya, yang entah kenapa malah membentuk senyuman lembut di wajah putih milik Arvy. Kali ini, bukan seringaian seperti biasa, namun lengkungan bibir dan terasa hangat yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Ah, mungkin seperti ini rasanya ketika aku bersama dengan kakak angkatku. Begitu ya, ini adalah salah satu tanda kalau aku harus segera menemukan dirinya dan juga kebenaran yang terjadi.

.
.
.

[Note]

Malam semua! Eh, mungkin berbeda ya bagi yang membaca chapter kali ini? Hehe, kalau di sini aku nyelesainnya jam setengah tiga malam, sih.

Sedikit senang juga kesal dengan penulisanku. Mungkin merasa bangga karena mampu tulis lumayan banyak, tapi marah juga karena skill menulis tidak improve-improve :')

Pokoknya, terima kasih bagi yang sudah mampir! ーwalau, Kumi tidak yakin apa ada yang baca kah atau engga ;;

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro