Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAGIAN 6 - TASBIH BIRU

Aku berharap tasbih biru ini mengantarkanmu untuk selalu menyebut nama-Nya dalam setiap sholatmu.

----------------------------

Amira melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Belum sempat membuka pintu, Ali memanggilnya.

"Mir?"

"Apa?" Amira mengerutkan dahinya.

"Helm istrinya Pak Herman," Ali menunjuk helm yang dipakai Amira. Amira yang menyadarinya langsung melepas helm.

"Nih!" Amira nyengir saat tahu kalo ia masih memakai helm istrinya Pak Herman yang Ali pinjamkan. Benar benar memalukan!

"Aku pulang dulu,"

"Hati-hati dan terima kasih," Amira tersenyum simpul.

***

Ali membuka pintu garasi rumahnya dan memarkir motornya. Sesekali ia merintih kesakitan karena pelipisnya yang diperban. Ia berjalan dengan hati-hati saat memasuki rumahnya.

"Mas Ali...," panggil seorang perempuan yang mungkin berusia duabelas tahun yang menghampiri Ali ketika Ali akan menutup pintu rumahnya. Gadis itu adalah adiknya Ali.

"Mas Ali, pulang-pulang nggak bawa oleh-oleh malah muka boyok kayak gini. Kenapa sih?"

"Aku nggak papa, Yaudah aku ke kamar dulu." ucap Ali sembari menepuk-nepuk pundak adiknya. Meyakinkan Adiknya agar tidak mengkhawatirkan keadaannya.

"Heran deh sama Mas Ali, nggak pernah mau cerita masalahnya," gumam sang adik.

Ali meninggalkan adik perempuannya yang masih mematung di depan ruang tamu. Ia berjalan ke kamarnya dengan tertatih-tatih. Sesekali memegang sudut bibirnya yang memar.
Ali menaruh ranselnya di meja belajar. Ia melepas kancing baju yang ada di tangan kanan dan kirinya. Setelah itu ia melipat lengan kemejanya sampai ke siku. Ali terlihat sangat lelah. Lantas ia menghela nafas panjang dan merebahkan tubuhnya ke kasur sembari memejamkan matanya.

Tok-tok-tok

Suara pintu kamar Ali diketuk seseorang dari luar,

"Ali,"

"Ali, bunda masuk ini."

Ali yang masih tertidur tidak mendengar bahwa Bundanya memanggil sedari tadi. Ibunya Ali atau yang sering dipanggil Bunda Tia masuk ke kamar Ali membawa nampan berisi segelas susu dan juga semangkuk bubur. Bunda Tia yang melihat Ali tertidur pulas dengan selimut yang berantakan merasa kasihan dengan anaknya. Ia menaruh nampan di meja kamar Ali. Bunda Tia menghampiri Ali yang sedang tertidur. Ia juga tak lupa membenarkan posisi selimut yang digunakan Ali. Ali yang menyadari posisi selimutnya berubah, langsung membuka matanya. Ternyata Bundanya telah membenarkan selimut yang ia gunakan. Sungguh, pelipis dan sudut bibir lebam dan juga mata yang sangat lelah tercetak di wajah Ali. Bunda Tia tak tega melihat anaknya seperti itu.

"Bunda...,"

"Al, kata Nabila kamu habis berantem? Kamu berantem sama siapa? Cerita sama bunda." Ali beranjak membenarkan posisinya dari berbaring menjadi duduk bersender di sisi ranjang. Sedangkan Bunda Tia duduk di sampingnya. Ali menatap lekat manik-manik mata Bundanya. Ia menarik sudut bibirnya dan membentuk senyum meneduhkan. Bunda Tia dibuat bingung dengan ulah Ali. Ia mengerutkan keningnya.

"Ali tidak apa-apa, tadi cuma ada masalah sedikit. Jangan percaya bualan Nabila yah Bun," Ali memegang tangan Bundanya agar tidak khawatir dengan keadaannya.

"Bagaimana Bunda nggak khawatir, kamu lebam-lebam gini." Bunda Tia tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kekhawatiran pada anaknya. Naluri seorang bunda memang sangat kuat.

"Bun, kayaknya Ayah lagi nungguin Bunda di kamar deh?"

"Iiihh..., kamu tuh bisa aja mengalihkan pembicaraan." Ucap bundanya sembari menjewer telingga kiri Ali. Ali meringgis kesakitan saat Bunda Tia tiba-tiba menjewernya.

"Arrghhh..., Bun lepasin!" Ali meringis kesakitan.

"Ya habisnya kamu disuruh Bunda cerita serius malah bercanda, yaudah Bunda bawain bubur ayam dan susu itu dimakan," titah Bunda Tia.

"Iya bidadariku."

"Sama Bunda sendiri digombalin gimana sama cewek-cewek di luar sana Al?"

"Yaudah Bunda keluar dulu, kamu jangan lupa makan!" Bunda Tia beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar kamar Ali.

Ali merebahkan lagi tubuhnya karena masih terasa letih. Ia menghela nafas dan langsung memejamkan matanya lagi setelah beberapa saat.

Dretttt.....Dreeettt...Dreettt.....

Suara deringan ponsel membangunkannya. Ali yang menyadari ponselnya bergetar di atas nakas langsung beranjak untuk mengambilnya. Dengan memegang perutnya yang masih sakit ia berjalan tertatih-tatih untuk mengambil ponsel di atas nakas.

Tertera duabelas digit nomor sedang menghubunginya. Ali mengerutkan keningnya karena tidak tahu nomor siapa yang telah menghubunginya. Ia lantas mengangkat ponselnya.

"Assalamualaikum?" Ali memastikan siapa yang telah menelfonnya.

"Wa-Waalaikumussalam A-Ali?" seseorang disebrang sana tampak berbicara terbata-bata dan sangat pelan.

"Dengan siapa?"

"I-ini Amira. A-aku dapat nomor telfon kamu dari Rey. A-aku i-ingin memastikan kamu baik-baik saja kan?" ucap Amira terbata-bata. Ia memberanikan berbicara dengan Ali dan menanyakan kabar Ali. Sungguh ini yang sulit Amira lakukan. Ia tidak berhak menelfon dengan alasan menanyakan kabar tetapi hatinya berkata lain. Haruskah ia menuruti kata hati?

"Hmmm." Gumamnya singkat.

Bahkan Ali saja hanya menjawab pertanyaan Amira dengan gumaman singkat. Sungguh Amira tidak bisa menyalahkan perasaannya telah melabuhkan cinta dalam diamnya pada Ali selama ini.

"Em, Ali maafkan aku gara-gara aku kamu sep-"

"Kamu khawatir?"

"Bu-bukan masalah khawatir Al, aku cuma merasa bersalah aja," Amira meyakinkan Ali agar tidak mengetahui perasaan yang sebenarnya.

"Hmm...,"

"Yasudah aku tutup dulu." Amira menghela nafas saat kedua kalinya Ali hanya menjawab dengan gumaman saja.

"Kalo merasa bersalah anterin aku ke Dokter Tara sekarang." Titah Ali yang tidak bisa dibantah.

"Ta-tapi Nabila atau Bunda Tia kan bisa Al. Kenapa aku?"

"Gak mau? Yaudah aku berangkat sendiri,"

Amira menghela nafas panjang, "Oke, nanti aku bakal tanggung jawab anterin ke Dokter Tara tapi aku nggak bisa berangkat bareng kamu. Aku tunggu langsung disana. Kamu nggak papa kan?"

"Hmmm...," gumam Ali kesekian kalinya

"Yaudah aku tutup dulu. Aku mau siap-siap. Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam,"

Sambungan telepon tertutup. Ali mengambil nampan yang ada di meja. Ia mengambil gelas berisi susu dan meminumnya sampai habis. Setelah itu ia juga menyendok bubur yang ada di mangkuk coklat. Tersisa setengah mangkuk bubur. Ali tidak kuat untuk memakannya lagi. Tapi terkadang ia kasihan pada Bundanya yang telah membuatkan bubur untuknya.

Ali menggambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu. Dengan tertatih-tatih memegang perutnya Ali berjalan keluar kamar. Rumah terasa sepi. Ayahnya sedang bekerja sedangkan Nabila dan Bunda Tia sedang belanja keperluan rumah tangga. Ali berjalan menuju garasi motor. Ia menghidupkan motornya.

***

Amira duduk di ruang tunggu. ia memegang selembar kartu nomor antrian yang tertera dua digit angkat 41. Ia sengaja mendaftarkan nama Ali agar mendapat nomor antrian. Sambil menunggu Ali datang Amira terlihat sesekali menyenderkan kepalanya ke tembok. Mungkin ia terihat sangat lelah.

"Tukang tidur, bangun!" Ali tiba-tiba menarik ujung khimar Amira saat Amira hampir tertidur di kursi ruang tunggu. Amira yang melihat Ali sudah di depannya langsung membenarkan posisi duduknya. Ali mengambil duduk di samping Amira sembari menunggu namanya dipanggil. Mereka saling bungkam satu sama lain sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Ali memainkan ponselnya.

15 menit kemudian...

"Pasien Muhammad Ali Umar?" salah satu perawat keluar dari ruangan dan mendata urutan pasien yang tersisa.

"Ayo ikut?" titahnya pada Amira.

"Ta-tapi." Amira bingung mengapa ia harus ikut masuk sedangkan yang sakit adalah Ali.

Ali berjalan menuju ruang periksa sedangkan Amira membuntutinya dari belakang. Mereka memasuki ruangan Dokter Tara. Ali masih berjalan tertatih-tatih. Entah apa yang dirasakannya. Mungkinkah pukulan preman masih membekas ataukah ada penyakit dalam.

"Selamat sore Ali, ada keluhan apa?" Dokter Tara memastikan keadaan Ali.

"Ali terkena pukulan preman Dok, mungkin di sekitar perutnya. Apakah rasa nyeri itu karena kerasnya pukulan ataukah memang Ali mempunyai penyakit dalam Dok?" tutur Amira yang berusaha memaparkan keadaan Ali. Ali yang duduk di samping Amira hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.

"Baik, silahkan berbaring! Saya akan memeriksa." Ali mengikuti perintah Dokter Tara. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang pasien. Dokter Tara mengambil stetoskop dan juga alat tensi untuk memeriksa keadaan Ali. Setelah beberapa menit Dokter Tara memeriksa, Ali di persilahkan duduk di samping Amira. Sedangkan Dokter Tara duduk di depan mereka.

"Ali terkena pukulan hampir di ulu hatinya. Pukulan di ulu hati ini sangat berbahaya dan mematikan. Untunglah pukulan tersebut tidak mengenai titik ulu hatinya. Jadi dia hanya merasakan nyeri. Untuk mencegah agar tidak membengkak, saya sarankan untuk mengompresnya dengan air es, ini obat pereda nyeri diminum sesuai aturan ya," Penjelasan Dokter Tara membuat Amira mencemaskan keadaan Ali. Ia semakin terlarut dalam rasa bersalahnya. Amira menoleh ke arah Ali memastikan keadaan Ali. Tetapi kegiatan itu terhenti, saat Ali juga menoleh ke arahnya. Tanpa Aba-aba Amira langsung mengalihkan pandangannya ke arah Dokter Tara lagi.

"Baik Dok," sahut Ali.

"Mbak, tolong jaga Ali suruh dia minum obat teratur dan rutin mengompres lukanya." Ucap Dokter Tara.

"Iya Dok." Amira mengangguk dan tersenyum simpul.

"Kami permisi dulu dok, Assalamualaikum." Ucap Amira.

"Waalaikumussalam,"

Ali dan Amira berjalan beriringan keluar dari ruangan Dokter Tara. Amira bernafas lega. Untunglah luka Ali tidak terlalu parah.

"Al, ini buat kamu," Amira mengulurkan tangannya yang menggengam sebuah tasbih biru.

"Untuk?"

"Aku ada banyak di rumah. Barangkali itu berguna buat kamu. Sesudah sholat gunakan tasbih ini untuk selalu mengingat Allah. Selalu menyebut nama-Nya. In shaa Allah, hati kamu akan selalu tenang." tutur Amira meyakinkan Ali.

"Makasih," ucapnya singkat.
Amira hanya menjawab dengan senyum simpulnya. Berharap agar tasbih itu selalu ia jaga. Tasbih itu selalu menjadi perantara agar Ali dekat dengan Allah. Dan tasbih itu sebagai jembatan agar Ali selalu menyebutnya dalam doa. Harapan Amira selalu seperti ini. Selalu berharap bahwa doa dia dan doa Ali melangit dalam semesta yang sama.

"Ali....," panggil seseorang gadis seumuran dengan Ali dan Amira dari sebrang jalan sembari melambaikan tangannya pada Ali.

Bersambung....

Malang, 12 Juli 2018.

Hari ini nggak senin tapi aku update Amira Azzahra. Baca dan jangan lupa biasakan vote pencet bintang orange dan koment. Jangan lupa juga ya follow author untuk ikuti cerita selanjutnya.

Jangan lupa baca Al kahfi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro