BAGIAN 4 - SATU HARI BERSAMA ALI
--Perpisahan sekolah dan ribuan jarak saat ini membuatku mengira bahwa kita tidak akan bertemu lagi. Ternyata skenario Allah lebih indah dari yang aku kira. Allah adalah penulis skenario terindah dalam hidupku.--
Reyhand turun dari kereta membawa barang-barangnya. Setelah itu disusul Nadya turun dari kereta yang dibantu oleh Reyhand dari bawah agar tidak jatuh karena tidak ada tangga bantuan untuk turun dari pintu kereta. Lalu disusul Ali yang turun dari kereta. Dan terakhir Amira.
"Ra, Awas...," ucap Reyhand.
Reyhand melihat Amira tatapananya kosong saat akan turun kereta. Nadya dan Ali yang menyadari teriakan dari Reyhand langsung menoleh ke Amira.
BRUUUUUKK....
Amira pingsan. Beruntung Ali menyangga tubuh Amira dari bawah. Nadya yang menyadari barang Amira masih di pintu kereta lantas membawa barang Amira dan meminta bantuan Reyhand. Mereka menyadari bahwa kereta akan berangkat sebentar lagi. Jadi mereka membawa Amira ke kursi tunggu untuk disadarkan dari pingsannya. Ali menggendong Amira layaknya bridal. Reyhand dan Nadya membawa barang-barang mereka.
"Mir....Bangun Mir!" Ali berusaha membangunkan Amira.
"Beb, ikut aku beli minyak angin sama air buat Amira. Ayo!" Nadya mengajak Reyhand. Mereka berdua bergegas membeli minyak angin dan air mineral ke toko terdekat. Sedangkan Ali masih berusaha membangunkan Amira.
"Dasar ceroboh, udah tau puasa udah tau anemia tetep aja ngeyel buat berdiri." gumam Ali pada Amira yang masih terbaring di kursi tunggu dengan paha Ali sebagai bantal kepala Amira.
"Mir....Bangun!" ucapnya lagi.
"Al, Al ini minyak anginnya..." ucap Nadya yang tiba-tiba sudah menghampiri Ali dengan nafas ngos-ngosan. Sedangkan Reyhand menyusul dari belakang.
"Makasih Nad," jawab Ali.
"Ra....Bangun Ra!" Nadya memegang tangan Amira.
Perlahan mata Amira terbuka. Mungkin karena pengaruh minyak angin yang diusapkan Ali pada pelipis Amira. Amira mengerjap-kerjapkan matanya. Ia memegang kepalanya yang sakit.
"Na-Nadya," panggilnya pelan saat melihat Nadya memegang tangannya.
"Astagfirullahaladzim," Amira langsung beranjak bangun dari tidurnya tanpa mempedulikan kepalanya yang sakit. Ia baru sadar bahwa ia tidur di paha Ali. Ia langsung duduk di pinggir Ali.
"Ra, kamu masih sakit jangan terlalu banyak bergerak. Ini minum!" Reyhand menyodorkan minuman pada Amira.
"Nggak usah, Rey. Terima kasih." Tolaknya secara halus.
"Amira puasa Rey." Ucap Ali.
"Udahlah Ra, kamu sakit. Nggak perlu puasa dulu. Ini minum besok baru lanjut puasanya kalo sehat." Bujuk Reyhand
"Iya, bener kata Rey, Mir." Tambah Nadya.
Ali mengambil botol air mineral yang dibawa Reyhand, "Mir, udah batalin aja puasa kamu." Amira mengangguk dengan bibir pucatnya. Amira mengambil air mineral yang dipegang Ali. Ia meneguk air sedikit demi sedikit.
"Udah, yuk kita pulang!" ucap Amira.
"Bentar lah Ra, kamu emang nggak pusing." Ucap Nadya.
Amira menggelengkan kepala. Ia yakin ia masih kuat untuk berjalan.
"Gini aja, Aku pulang sama Nadya pakai motorku. Soalnya nanti Nadya bakal nginep ke sodaranya. Jadi aku harus anterin dia. Nah, lu tong kan bawa motor tuh yang kamu titipin ke Pak Herman. Kamu anterin Amira pulang. Lagian kan rumah lu searah tong. Masak lu tega sama temen lu sendiri." Reyhand menepuk-nepuk bahu Ali.
"Ta-Tapi..." ucap Amira.
"Udahlah Ra, nggak papa. Kalo misalkan Si Ali macem-macem sama kamu, laporin ke polsek terdekat." Bantah Reyhand.
"Enak aja," elak Ali.
"Yaudah iya, Amira pulang sama aku." Ucap Ali.
"Nggak nggak, aku bisa naik ojek nanti." Amira masih mengelak untuk pulang sama Ali.
"Nurut aja Amira, lagian lumayan bareng Ali gratis. Kagak usah bayar ojek. Ya nggak beb?" Reyhand menyipitkan matanya pada Nadya.
"Iya Rey ganteng. Amira bareng aku." ucap Ali. Amira mengerutkan dahinya. Karena dia belum mengambil keputusan tapi Ali sudah menyahut terlebih dahulu.
"Jijik gue lu bilang ganteng." Reyhand menggidikkan bahunya.
"Sama." Ujar Ali sembari memutar bola matanya.
"Yaudah nih, aku sama ayang mbeb duluan yah? Maaf nih bukan apa-apa harus ninggalin. Cuma ya, aku harus antar Nadya dulu ke rumah sodaranya," ucap Reyhand sembari mengeratkan jari tangannya pada Nadya.
"Iya bawel, sono lu!" ucap Ali.
Nadya dan Reyhand mengemasi barangnya yang tercecer. Mereka berjalan ke pintu keluar dengan Reyhand merangkul bahu Nadya. Amira yang melihat Reyhand menggandeng Nadya langsung beristigfar dalam hatinya. Ia selalu berdoa agar teman-temannya selalu ada di jalan Allah.
Amira dan Ali masih tertinggal di kursi tunggu stasiun. Ali mengeluarkan ponselnya dalam saku sesekali ia tersenyum ketika melihat layar ponselnya dan memasukkan ponselnya ke saku lagi setelah mengecek ponselnya sebentar.
"Udah kuat belum?" tanya Ali.
"Kuat kok, nih nih." Amira berusaha tersenyum lebar. Karena ia tidak ingin disangka pucat lagi. Tapi bukan senyum manis yang tercetak di bibirnya. Malah senyum aneh yang tercetak di bibir pucat Amira. "
"Sok kuat," Ali tahu bahwa Amira membohonginya. Jelas terlihat bibir Amira masih pucat tetap saja mengelak.
"Yaudah ayo ikut aku!" ajak Ali.
"Kemana?" tanya Amira.
"Ke rumah Pak Herman lah, ambil motor. Masak mau jalan-jalan," ucap Ali.
Mereka mengambil ranselnya masing-masing. Ali berjalan diikuti Amira. Sesekali mereka berjalan beriringan.
"Rumah Pak Herman jauh yah Al?" tanya Amira.
"Nggak." Jawab Ali singkat.
KRING-KRING-KRING
Bunyi ponsel Ali berdering dari saku celananya. Ali lantas mengangkatnya.
"Hallo?" ucap Ali
"Iya, aku udah sampai ini. Kamu disana hati-hati juga yah!" ucapnya lagi.
"Iya, besok kalo udah sampai sini kita jalan deh!" ucapnya lagi.
"Yaudah aku tutup dulu, nanti disambung. Assalamualaikum," ucap Ali menutup sambungan telfon.
Itu pasti telfon dari pacarnya Ali. Ucap Amira dalam hati.
Nggak papa Amira. Kamu kan bukan siapa-siapanya Ali. Jadi bukan urusanmu. Ucap Amira menenangkan hatinya.
"Ayo, itu rumah Pak Herman udah di depan." Ucap Ali. Amira hanya mengangguk dan terus berjalan beriringan dengan Ali.
Sesampainya di depan rumah Pak Herman. Amira merasa kelelahan lagi. Ia memutuskan untuk duduk di kursi teras rumah Pak Herman. Sedangkan Ali yang melihat Amira duduk dan mengusap keringat di pelipisnya merasa kasihan. Jadi Ali membiarkan Amira untuk duduk di teras rumah Pak Herman dan dia memanggil Pak Herman.
"Assalamualaikum, Pak Herman." Panggil Ali di depan pintu.
"Waalaikumussalam, eh Nak Ali. Mau ambil motor ya? Silahkan Nak!" ucap Pak Herman yang berjalan ke depan.
Ali mengambil motornya yang terparkir di parkiran rumah Pak Herman. Sedangkan Amira terlihat melamun di kursi teras rumah Pak Herman. Wajahnya terlihat masih pucat. Pak Herman yang melihat langsung menghampiri Amira.
"Sampeyan sakit tho nduk?" ucap Pak Herman.
"Eh, Mboten Pak." Amira tersadar dari lamunannya saat Pak Herman menghampirinya.
"Tapi Sampeyan iku melamun terus dari tadi, wajahe yo pucat Nak." Ucap Pak Herman yang tidak tega melihat Amira.
Ali yang sudah mengambil motornya dari parkiran langsung menghampiri Pak Herman dan Amira.
"Nak Ali, apa ndak sebaiknya pacar Nak Ali disini dulu istirahat minum teh disini dulu. Soalnya takutnya Bapak, pacar Nak Ali pingsan di motor kalo wajahnya pucat begitu." Ucap Pak Herman.
Hah? Pacar? Amira mengerutkan dahinya saat mendengar Pak Herman menyebut pacar.
"Pak saya bukan pac-" ucap Amira
"Wes talah nduk, sampeyan iki loro," ucap Pak Herman.
"Gimana Nak Ali?" tanya Pak Herman untuk meminta persetujuan Ali.
"Emm..., iya Pak mungkin saya dan Amira disini sekitar satu jam-an ya, soalnya kasihan Amira juga." Ucap Ali yang mempersetujui.
Apa? Satu jam? Kesamber apaan ini bocah sampai kasihan segala. Ucap Amira dalam hati dengan mengerutkan dahinya.
"Yaudah, Bapak ke belakang dulu buatin kalian teh," ucap Pak Herman. Pak Herman meninggalkan mereka dan pergi ke dapur untuk menyiapkan teh.
"Al, kamu pulang saja. Takutnya kamu ada urusan. Nanti biar aku naik ojek aja. Aku nggak enak ngerepotin dari tadi." Ucap Amira Merendah dan tidak berani menatap Ali.
"Nggak," jawabnya singkat sambil memainkan ponselnya.
"Nggak apa?" tanya Amira.
"Yaudah nggak," jawabnya lagi.
"Apaan sih nih orang, gak jelas!" gumam Amira.
"Nah, ini kue sama tehnya. Dimakan yo? Oiyo Bapak ada kerjaan di kebon jadi Bapak tinggal dulu. Mengko yen pamit, pamit Buk e yo!" ucap Pak Herman yang sudah membawa kue dan teh di nampan.
"Iya Pak, maaf merepotkan!" ucap Amira.
"Gak repot kok! Wes, bapak tinggal dulu," ucap Pak Herman.
"Iya Pak." Ucap Ali.
Sebenarnya Amira sedikit tidak biasa jika bersama seseorang yang bukan mahromnya. Terlebih Ali bukan mahromnya dan Ali adalah seseorang yang dia kagumi sejak sekolah dasar. Dia tidak ingin lama-lama disini. Dia ingin pulang. Amira cepat-cepat menghabiskan tehnya meskipun lidahnya sedikit pahit.
"Ayo Al!" ajak Amira.
"Kemana?"
Bersambung....
NOTE :
Sampeyan sakit tho nduk = kamu sakit, Nak?
Nduk = panggilan anak perempuan dalam bahasa jawa.
Eh, Mboten Pak = Eh, tidak Pak
Wes talah nduk, sampeyan iki loro = sudahlah Nak, kamu itu sakit.
Mengko yen pamit, pamit Buk e yo = nanti jika mau pamit pulang, izin Ibu ya?
Wes = sudah
Assalamualaikum, hari senin aku bawa cerita Amira lagi.
JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR UNTUK CERITA SELANJUTNYA.
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri, komen juga dan tambahkan ke perpustakaan kalian.
terima kasih sudah membaca sampai part 4 ini.
semoga suka!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro