BAGIAN 22 - SEBUAH PERMINTAAN
Jikalau ujian yang bertubi-tubi itu menerpamu. Jangan bersedih! Yakinlah bahwa Allah tengah menyiapkan sebuah pelangi indah untuk kau pijak.
⭐⭐⭐
Pagi-pagi Amira sudah memesan ojek online untuk pergi ke rumah sakit. Usai menerima panggilan telfon dari Vina kemarin malam, Amira langsung mengkhawatirkan keadaan Vina. Ia ingin memastikan bahwa Vina baik-baik saja. Saat ini ia tengah menunggu ojek online di teras rumahnya sembari sesekali memainkan ponselnya.
"Mbak Amira ya?" ucap tukang ojek online yang tiba-tiba menghampiri Amira.
"Iya Pak," Amira memakai helm yang diberikan Tukang Ojek Online. Membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai ke rumah sakit.
💦💦💦
Amira berjalan tergesa-gesa menuju ruangan dimana Vina di rawat. Ia tidak mau jika Vina terlalu lama menunggunya, "Kamar nomor 12" gumamnya saat ia telah berada di depan kamar nomor 12.
Amira memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu. Meskipun terdapat keraguan saat ini. Dengan sedikit keraguan, Ia mengetuk pelan pintu kamar nomir 12. Takut jika ia salah masuk kamar pasien lain.
"Amira?" ucap Ali saat melihat Amira yang sudah berada di depan pintu sendirian.
"Silahkan masuk," titah Ali menyuruh Amira agar segera masuk.
Amira mengangguk. Ia berjalan mendekati Vina yang terbaring di ranjang. Vina tersenyum senang melihat Amira yang datang menjenguknya. Meskipun wajahnya terlihat pucat namun ia masih bisa mengulum senyum manisnya ke arah Amira.
"Vin, kamu kenapa?" Amira tampak khawatir saat melihat selang imfus yang menganggantung di samping ranjang Vina. Amira tak tega melihat sahabatnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit seperti ini.
"Aku nggak apa-apa kok Ra," Vina mengukir senyum simpul lagi ke arah Amira agar Amira tak merasa khawatir akan keadaannya.
Amira melirik semangkuk bubur yang masih penuh ada di atas meja. Ia menebak pasti Vina tidak menghabiskan makanannya, "Kamu sudah makan?" tanya Amira lagi.
Vina menggeleng lemah, " Makanannya nggak enak Ra," jawabnya pelan.
Amira melirik Ali sekilas yang berdiri di sebelah kiri ranjang, "Vin, aku suapin yah? Ayo makan! Kalau kamu makan banyak, kamu pasti cepat sembuh. Setelah itu kita bisa pergi kajian bareng lagi," ucapnya yang berusaha membujuk Vina agar mau menghabiskan makannya.
"Ta...tapi Ra, makanannya nggak enak," Vina mengerucutkan bibirnya enggan memakan makanan dari rumah sakit yang menurutnya tidak enak sama sekali.
"Nggak ada makanan yang nggak enak Vin, malah di luar sana masih banyak orang-orang yang membutuhkan makan. Mereka bahkan rela makan makanan yang sudah basi, makan rumput, minum air kotor karena banyaknya keterbatasan ekonomi. Nah, masa' kita sudah diberi kenikmatan lebih dari Allah, kita tidak bersyukur sama sekali."
"Makan ya? Sedikit aja nggak papa kok. Yang terpenting perut kamu terisi." Amira terus berusaha membujuk Vina agar mau makan.
Dengan sedikit berat hati, Vina akhirnya mengangguk meng-iya-kan permintaan Amira. Dan hal itu yang membuat Amira tersenyum senang. Ia berhasil membujuk Vina agar mau memakan makanannya.
Diambilnya semangkuk bubur di atas meja. Semangkuk bubur itu sudah hampir dingin. Amira mengambil sesendok bubur dan menyuapi Vina dengan pelan-pelan. Ali mencoba membantu Vina bersandar di sisi ranjang. Sesekali ia mengusap lembut pucuk kepala Vina yang tertutup hijab.
Amira tersenyum getir saat melihat perlakuan manis Ali terhadap Vina. Tidak, ini bukan saatnya Amira egois terhadap perasaannya.
"Cukup Ra," ucap Vina pelan saat Amira akan menyuapinya lagi. Entah mengapa perutnya terasa kram. Tiba-tiba ia ingin memuntahkan isi perutnya.
"Ini minum dulu pelan-pelan." Amira mengambil segelas air dan sedotan agar Vina tidak kesulitan untuk minum.
"Perutku kram lagi," Vina merintih saat tiba-tiba perutnya terasa kram. Ia menggenggam tangan Ali dan meminta Ali untuk memegang perutnya.
"Istirahat saja ya sayang?" ucap Ali dengan suara parau. Tak tega melihat istrinya yang merintih kesakitan seperti itu, Ali lantas mencium kening Vina sembari tangannya mengusap-usap lembut perut Vina.
"Mir, ada yang ingin aku katakan pada kamu," ucap Ali pada Amira. Tangannya masih mengusap-usap perut Vina agar Vina lebih nyaman untuk tidur.
"Kita bicara di luar," titah Ali pada Amira. Sebelum kakinya melangkah keluar ruangan, Ali menyempatkan untuk mencium kening Vina. Vina tak merespon, sepertinya ia sudah tertidur. Ia lebih cepat tertidur akhir-akhir ini saat Ali mengusap-usap perutnya dengan lembut.
Ali berjalan keluar dan diikuti Amira yang mengekor dibelakangnya.
Ia mengambil duduk di kursi panjang yang ada di depan kamar pasien, "Mir," ucap Ali menatap dalam Amira yang ada di hadapannya.
"Ke...kenapa?" Amira tak mengerti apa yang akan dikatakan Ali padanya. Raut wajah Ali tampak sedih. Matanya seakan-akan ingin mengeluarkan cairan bening.
Ali menghela napas panjang. Seperti ada beban berat yang menimpa punggungnya dan seakan-akan tidak bisa ia sangga sendiri.
"Ada apa? Kenapa?" Amira semakin dibuat bingung saat Ali tidak kunjung mengatakan apa masalahnya.
"Bantu aku," Ali menunduk dalam. Ia tak sanggup mengatakannya pada Amira.
"Bantu apa? Al, kalau memang tidak sanggup untuk diceritakan. Tidak usah tidak apa-apa."
Ali menggeleng lemah. Ia tetap ingin menceritakan masalahnya pada Amira, "Mir, saat ini Vina tengah hamil 4 bulan,"
"Ta...tapi ada masalah dalam kehamilannya. Vina mengalami Inkompetensi serviks. Kata dokter itu akan mempengaruhi perkembangan janinnya,"
"Maksudnya?"
Ali tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, tanpa disadari setetas air keluar dari matanya, "Dokter bilang untuk mencegah keguguran, Vina harus istirahat yang cukup. Vina juga tidak boleh tertekan. Kandungan Vina sangat lemah,"
"A...aku takut terjadi apa-apa dengan Vina Mir,"
"Mir, aku minta tolong...,"
"Tahun ini aku sudah menandatangani perjanjian kontrak kerja cabang perusahaan di Berlin. Aku...Aku akan sering bolak-balik Berlin-Jakarta untuk mengurus perkembangan perusahaan. Tolong aku, bantu aku menjaga Vina saat aku sedang mengurus pekerjaanku di Berlin. Aku sudah terlanjur untuk menyetujui kontrak kerja di Berlin sebelum Vina sakit. Aku....Aku bingung harus bagaimana? Tolong Mir, Aku yakin Vina tidak akan merasa sendirian jika kamu yang menjaganya saat aku tidak berada di sampingnya,"
Ya Allah, saat ini dada Amira sangat sesak untuk bernapas. Melihat Ali yang sangat rapuh di depannya. Tanpa ia sadari, buliran air matanya jatuh tak terarah. Orang yang ia cintai dalam diam sedang menangis dihadapannya.
"Iya Al...In shaa Allah aku akan bantu menjaga Vina saat kamu mengurus pekerjaanmu di Berlin."
"Kamu serius Mir?"
Amira mengangguk. Ia mengulum senyum tipisnya ke arah Ali. Bagaimanapun Vina adalah sahabatnya. Vina membutuhkannya. Ia ingin sahabatnya selalu bahagia dibalik ujian yang tengah menimpa. Dan Amira tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa dengan Vina.
"Terima kasih Mir,"
"Sama-sama...,"
"Masuk yuk Mir, kasihan Vina sendirian." titah Ali mengajak Amira masuk ke kamar Vina lagi.
Amira mengangguk pelan. Ia membiarkan Ali masuk terlebih dahulu. Bulir air matanya mengalir deras. Amira membungkam mulutnya seolah-olah takut jika tangisnya didengar seseorang.
Sungguh, Vina dan Ali sangat kuat menerima cobaan ini. Mereka baru akan memiliki buah hati yang pertama namun cobaan berat tengah menimpanya. Ia mungkin tidak akan pernah bisa sekuat Vina.
"Assalamualaikum," ucap pelan saat ia masuk ke ruangan Vina. Ia tak tega melihat Vina yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Vina masih memejamkan matanya sedari tadi.
"Ka..kamu pasti kuat Vin," ucapnya pelan sembari mengusap-lembut punggung tangan Vina.
"Aduhh...Allah perutku kram lagi...," Vina tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia mengaduh kesakitan saat nyeri di perutnya kabuh lagi dan lagi.
"Iya....Iya sabar yah Vin," dengan wajah khawatir, Amira berusaha untuk menenangkan Vina.
Tak kalah khawatirnya dengan Amira, Ali berusaha memencet call system bell yang berada di samping ranjang. Ia memencet berkali-kali agar dokter segera menanganinya.
Selang beberapa menit, dokter dan dua orang perawat masuk ke ruangan Vina. Sebelum memeriksa keadaan Vina, seorang perawat mengisyaratkan Ali dan Amira untuk menunggu di luar ruangan.
"Dok, ada bercak darah lagi," ucap salah satu perawat yang melihat ada bercak darah yang masih baru di kasur yang ditempati Vina.
Dokter itu menghela napas panjang, ia menggeleng lemah dan tampak berpikir akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pasien.
Usai memeriksa keadaan Vina, dokter segera menemui Ali di luar ruangan untuk meminta perizinan melakukan pemeriskaan lebih lanjut.
"Pak Ali,"
"I..iya dok?"
"Sepertinya kandungan Bu Vina sangat lemah saat ini. Saya takut jika janinnya tidak tertolong. Saya sarankan Bu Vina bisa mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut untuk membantu menguatkan kandungannya."
"Lakukan apa saja yang bisa membuat istri dan calon anak saya bisa selamat Dok,"
"Baik Pak, besok pagi saya akan melakukan pemeriksaan lanjut untuk Bu Vina. Saya permisi!"
Ali tak kuat menopang tubuhnya. Ia bersimpuh dan tatapan kosong. Rasanya ia tidak bisa menobang ujian yang tengah menimpanya. Baru pertama kali ia akan merasakan menjadi seorang ayah. Namun, cobaan berat datang menimpa rumah tangganya. Istri yang sangat ia cintai terbaring lemah di rumah sakit.
"Al...," dengan suara parau Amira memanggil Ali pelan. Namun, Ali tak menyahut sedikitpun panggilan dari Amira. Tatapannya masih terlihat kosong.
Bersambung....
Malang, 7 Maret 2019
💞💞💞
Yay, iim update lagi...
Barakallah... Kemarin sebenarnya mau update tapi belum selesai usah kepencet publikasi. Kayaknya hobiku mencet publikasi padahal tulisan belum selesai😂
Btw terima kasih atas respon positif kalian yang udah mau meluangkan waktu menyempatkan baca vote dan coment cerita ini...
Iim sangat berterima kasih banyak....
Maaf kala misalkan alurnya bikin kalian kecewa nantinya. Tapi jangan khawatir iim udah nyiapkan ending dari jauh jauh hari kok. Jadi iim mohon sama temen-temen semuaa nikmati alurnya dan ambil baiknya dalam cerita ini yah?
Author pamit... Sampai jumpa di part selanjutnya...
See you... 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro