Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kertas isi


BAB 21

Beberapa hari Damar sama sekali tak mengunjungi kediaman atau sekedar mengusili atapun mengajak Rudi serta Didin keluar, dua hari pertama Aminah masih merasa biasa menimang kemungkinan jika Damar tengah sibuk mengurus pekerjaannya hingga dirinya bahkan tak sempat sekedar istirahat, hingga sampai minggu berikutnya Aminah merasa Damar tak berkunjung bukan sekedar pekerjaannya, secuil perasaan negatif berseliweran dalam bayangannya.

"Mungkin dia memang hanya coba-coba gimana rasanya deketin janda, untung aku sadar apa yang aku lakukan untuk nyenegin anak-anak, bodoh kalau sampe jatuh cinta." Katanya menampik egonya merasakan perasaan asing dimana Damar tak muncul diatara dirinya dengan anaknya.

Kembali sadar dari lamunanya Aminah mengelap meja kursi selesai tutup warung, hari sudah menguning di langit semburat orange mempercantik suasana.

Didin berlari kecil memberitahu Ibu angkatnya itu segera kembali ke rumah makan malam akan segera di mulai sudah di siapkan oleh Rudi, Aminah melangkah masuk ke kediamannya memang menjadi satu dengan rumah berukuran sedang dijadikan menjadi warung.

Aminah menepuk tangan, "Wah, udah di siapkan nih," Aminah berkata riang, Rudi tengah meletakan beberapa lauk serta mengoper magiccom ke wadah lebih lega.

"Makasih loh, udah di siapin segala,"

"Didin juga ikut bantu, bantuin manasih." Seloroh Didin tak mau kalah, Aminah mencubit pipi Didin nampak meluber, "Wah, hebatnya anak Ibu mau bantuin kakaknya," puji Aminah pada si bungsu, Didin tertawa riang, mengayunkan sendok ke udara, afeksi jarang terlihat sejenak membuat hangan dada tiap orang dalam meja makan tersebut, tanpa mereka sadari.

"Bu, kok aku ngerasa bersalah ya sama Om Damar."

Aminah menghentikan pergerakan tangannya menciduk lauk beserta kawannya, Didin bersuara mengungkapkan begitu kangen dan penasarannya.

"Apa kemarin Didin kebanyakan makannya ya, makanya Om Damar bangkrut,"jawabnya memasang wajah bersalah, kalau di pikir-pikir ia dan kakaknya masing-masing nambah dua porsi serta membawa beberapa bungkus makanan untuk dibawa ke rumah, Didin berandai jika Om Damar harus bekerja keras kalau memang dia bangkrut.

"Bisa jadi, tapi masa bangkrut, dia kan bisa jual tanah kalau emang miskin lebih dari kita," asal Aminah menimpali.

"Oh, tadi kamu mau ngomong apa Rud, kenapa ngerasa bersalah?"

Rudi menghembuskan nafas sedikit kasar, Aminah berharap tak ada upilnya yang melayang menjadi lauk tambahan.

"Rudi bilang kalau Ibu belum bisa move on dari Bapak, tapi aku bilang kalau Om Damar punya kesempatan luas kali ini," terangnya menundukan wajah, terasa lebih menarik jari jemari kakinya dari pada menatap langsung mimik marah Ibunya.

Aminah hanya tersenyum kecil menanggapinya.

"Ibu udah lama lupa sama Bapakmu, banyak hal membuat Ibu harus fokus ngurusin kalian, tapi kalau melupakan Bapakmu mengantikan posisinya Ibu gak mau, cuman Ibu jauh lebih iklas sekarang, kalau Om Damar masuk ke dalam hidup kita, Om Damar punya posisi khusus dan juga, kita jangan maksa Om Damar untuk lebih dekat sama kita, siapa tau dia sayang anak kecil seperti kalian untuk di emong kalau suatu saat Om Damar punya keluarga sendiri dia juga bakal punya anak kecil lebih imut dari kalian, tapi anak Ibu mah ganteng, badanya bagus mukannya ganteng." Ungkapnya menasehati keduannya.

"Eumh," itu suara sengauan Didin, anak kecil seusia-nya tak bisa menutupi kadar kecewa, Rudi sendri hanya diam tak mau terlibat obrolah lagi, suasana hening hanya berdenting garpu melawan piring menajdi bunyi selain kunyahan makanan mereka.

Didin mengekor usai semua acara –ayo makan malam—selesai, menuju kamar, nuansa biru serta kini kamar Rudi memiliki dua ranjang di sudut berlawanan, mengingat kasurnya juga tak begitu besar akhirnya Aminah membelikan satu ranjang baru untuk Didin tempati, Didin memeluk dino hijaunya memainkannya seolah benda itu bergerak.

Rudi juga memiliki boneka yang sama menatap dino kecil penuh kenangan, dari bermain, makan, ngobrol, terasa dekat serta menjadi keluarga sebenarnya.

Suara berasal dari serbrang tempatnya menarik Rudi muncul dari balik selimut melogoh ke arah Didin, "Kenapa?"

"Didin pengen Om Damar jadi Ayahnya kita," kata Didin menaiki kasur Rudi ikut bergabung pada sang kakak.

"Sanaan dikit napa, orang udah punya kasur baru, nempel mulu." Omelnya mengeser badannya ke tepian agar lebih lega Didin membaringkan tubuhnya

Keduanya menatap langit-langit kamar, di sana terdapat gambar planet antaraiksa serta bimasakti gambaran belum rapi atau bisa dikatakan memang gambaran belum jadi, pelukis langit kamar adalah Bapaknya Rudi, ketika dia kecil ingin melihat langit makan digambarkannya begitu berulang kali harus dalam perbaikan agar bisa lebih rapih kamar disediakan memang kusus untuk hadiah kepadanya ketika menginjakan kaki di bangku 5 SD, waktu belum berjalan sesuai harapan nyatanya sosok kepala rumah tangga itu harus lenyam karena waktu.

"Menurutmu gambarannya bagus gak," Rudi tiba-tiba bertannya tanpa mempedulikan pertanyaan awal Didin.

"Bagus, soalnya Didin gak bisa ngambar," jawabnya begitu polos, "Itu gambaran Bapak aku."

"Suaminya Ibu?"

Rudi menganguk, "Punya Bapak itu enak tapi juga engak, kalau salah pilih bisa sengsara seumur idup." Rudi mengingat ada teman sekelasnya harus merasakan pahitnya perceraian orang tua, bahkan sosok anak itu kini nampak brandalan tak begitu di urus keluarganya hanya sebutan 'anak nakal' di sematkan kepadanya, lupa bahwa anak itu dibentuk dari kedua orang tuanya.

"Om Damar tapi baikkan, kakak setuju kan."

"Iya baik, tapi sebaik apapun kadang gak bersama itu lebih baik." Ungkapan dewasa dari sosok anak SD di tingkat akhir itu.

"Jadi Didin gak bisa punya ayah kayak Om Damar, Didin ngerti."

Rudi mencubit pucuk hidung kecil Didin gemas, "Bagus kalau kamu ngerti."

"Kak, emang kakak gak mau punya Ayah?" katanya mendesak Rudi kembali, anak itu benar-benar penasaran dengan banyak hal, kenapa, bagaimana, dua kata mengelilingi kepala kekecilnya.

"Pengen." Katanya menjawab dengan lirih.

"Nah, Didin cuman mau nanya itu aja, Didin pengen kalau punya Ayah kayak Om Damar, biar bisa baik ke Ibu sama kita, ngajak kita main ngajak Ibu jalan-jalan."

Rudi menganguk mensetujui perkataan Didin, sederhana.

"Tapai kenapa ya, Om Damar gak ke sini, apa bener kita mannya kebanyakan?"

"Aku punya ide, ayok sini ikut." Rudi merangkak keluar dari ranjang membuka loker meja belajarnya, di sana terdapat banyak kerta origami sisa tugas sekolahnya.

"Mau ngapain?"

"Udah kamu keluar sana, ambilin aku toples." Usir Rudi mengarahkan Didin ikut bergerak.

Didin menghilang dari balik pintu tak begitu lama sampai di tangannya terdapat toples warna pink kubus memanjang.

Didin ikut duduk sebelahan dengan Rudi, Rudi sudah menyelesaikan acara mengunting potongan kertas warna warni menjadi memanjang, terdapat tulisan harapan di sana.

"Nah, kamu kan rada begok ... kamu gulungin kertas ini masukin ke toples biar aku yang nulis permohonan."

"Itu buat apa sih kak?" heran Didin memperhatikan Rudi secara sesakma.

"Kata Bu guru, kalau di jepang itu bikin burung bangau 1000 biji biar permohonanmu terkabul, tapi kalau cuman burung bangau aku gak bisa bikin yang bagus, jadi yaudah nulis aja dulu yang kita mau, toh kayaknya sama." Pikir Rudi mencetuskan ide dadakannya.

Didin menganguk bak ayam tengah memakan biji-bijiannya mengulung kertas demi kertas berwana sudah berisikan tulisan.

"Didin boleh minta permintaannya Didin, boleh kak?"

"Boleh, tapi aku yang tulis aja, kamu kan belum bisa," tawarnya menyangupi.

"Iya, kakak tulisin ya permitaannya Didin." Jawabnya segera, "Jadi Didin berharap... ."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro