Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Biru

BAB 12

Dunia Rudi biru kelam, lima tahun usianya saat itu. Bapak, lelaki berkulit kuning langsat selalu tersenyum cerah secerah mentari pagi, saat itu Rudi hanya tau Ibunya sebagai Ibu biasa saja mengurus keperluan dirinya serta kepala keluarga, teriakan begitu asing terdengar oleh telinga Rudi, beberapa warga memberitahu jika suaminya meninggal dunia tentu hal itu seperti meruntuhkan dunia Aminah, Rudi sendiri terpaku memandangi sosok yang kini mendingin hanya tertutup selembar kain, Rudi tak menangis juga tak tertawa tak ada yang membuatnya harus berekspresi berlebihan alasanya adalah Ibunya, wanita itu sama sekali tak meneteskan air mata hanya senyum sendu terlukis menyapa para pelayat.

Berduyun duyun orang kini kompak ber-seragam mengenakan pakaian gelap ataupun netral, suara sahut menyahut diapal oleh Rudi, ucapan monoton oleh para wanita menyayangkan kepergian Anton –bapak Rudi—hal pasti tertananam dalam benaknya, kenapa harus sedih toh bapak lagi tidur, Ibu saja bisa setenang itu, kenapa orang lain yang berlarut. Setidaknya tubuhnya terpaku diantara para pelayat, begitu waktu berjalan Rudi mulai faham akan konsep kematian dan perpisahan. Ingatan akan hari terakhir melihat Bapaknya tengelam dalam perut bumi membuat Rudi ingin menjerit menangis mengapa begitu kejamnya orang dewasa mengubur Bapaknya, Bapaknya salah apa pada mereka, namun Ibunya setia berdiri ditempat dengan Rudi dalam pelukannya membungkam bibir serta mengusap cepat matanya mulai memburam.

"Bapak, udah tenang disana, mungkin dia capek."

"Apa karena Rudi, nakal?" tanya Rudi pelan, matanya tak berani bertabrakan dengan sang Ibu.

Aminah tersenyum dengan terpaksa, suaranya menengangkan si anak semata wayang. Langkah wanita itu kian berat kini dia hanya memikul beban seorang diri.

Rudi sesekali jengkel menghadapi takdir tak begitu menentu, Bapak yang kerap menebar senyum tak pernah pupus malah pergi begitu saja, ingatan samar akan Anton beberapa hal melekat dalam bayangan anak kecil itu, sesekali pujian bercampur akan rasa rindu Aminah lontarkan.

"Kamu mirip Bapakmu, anak pinter... ."

Nada terdengar sengau membuat Rudi menelisik rasa rindu tersorot dalam manik kelamnya, Ibunya sedang merindukan sang mentari.

Kian lamat Rudi tumbuh, tak terlalu petakilan ataupun suka bergaul seperti kebanyakan hal suka dilakukan Ibunya, dia memang duplikat dari Bapak.

Bertahun tahun tinggal serta menjadikan Ibunya tumpuhan serta sandaran tak akan membuat Rudi terkecoh akan perkataan Ibunya, tanpa menangis pun, Rudi tahu kesakitan terbesar seorang wanita ketika salah satunya pergi dari hidup mereka, Ibunya adalah orang yang paling sedih ketika kabar mengejutkan sampai ke pelataran rumah mereka, kabar mengejutkan itu pula membuat waktunya dengan Ibu selalu merengang akan keadaan bukan berarti Aminah tak mempedulikan dirinya, hanya sesekali Rudi mengamati muka sendi Ibunya namun tak begitu lama wanita dewasa tersebut akan menjelma menjadi sosok heorin dalam karakter film.

Bagi Rudi tak perlu jauh mencari manusia terkuat, Ibunya. Sudah menjadi bukti kongkrit dalam hal ini bisa membuat Rudi berhati hati mengijinkan orang asing mengantikan sosok Bapaknya.

Hari dimana bagi Rudi semua berubah ketika orang itu datang, Damar. Pria asing dengan tingkanh nyetrik bergonta ganti tema sesuai akan idol ataupun aktor kesukaan Ibunya, rada konyol dan gak nyambung bagi Rudi, ada pria yang mendekati Ibunya lewat jalur ter-aneh.

Sejenak Rudi berfikir Om Damar memang aneh dan ajaib, sayangnya sisi lain dalam diri lelaki itu membuat Rudi terhenyak, sadar akan sesuatu. Om Damar mungkin berbeda dengan Bapaknya tersenyum seperti mentari tapi Om Damar selalu membuat orang lain menjadi mentari, tersenyum dengan tulus.

Perkataan lelaki dewasa itu tempo hari mencubit satu kenyataan di sudut hatinya, apa boleh aku punya Bapak, sayangnya raut sendi Ibunya membuatnya makin berfikir, dunia orang dewasa kenapa begitu rumit dan tak bisa ditebak.

Tak semudah pemikiran Didin, ketika hidungnya beler makanan adalah solusinya atau ketika hidungnya beler kini mendatangi Rudi adalah jalan ninjanya.

Semua orang terlalu mempersulit hidupnya.

"Kak, mau makan." Didin mmenyodorkan ubi kukus sudah termakan banyak di sebagian tempat olehnya.

"Barang begituan kamu kasih ke aku, Din. Kenapa gak yang masih baru."

"Tapi ini harta karun Didin, kak. Enak rasanya, kalau mau Didin bolehin kakak minta."

Rudi tersenyum, pikirian Didin jauh lebih mudah dimengerti dari pada orang yang kian dewasa, apa nanti ketika dirinya dewasa akan serumit sekarang.

"Kak, kenapa ngelamun, nanti gosong loh masaknnya dimari Ibu."

"Ngak bakal, ini udah kelar ngukus telurnya, tinggal ditiriskan." Sangah Rudi ttak mau membetulkan perkataan Didin, bersukur memang selama acara melamun dirinya tak benar kehilangan kendali untuk tidak peduli atas tangungjawabnya

"Kenapa lama sekali, Ibu kira kalian main."

"Baru juga selesai, Bu. Ini mau aku tiriskan dulu."

Aminah menganguk, dirinya berlalu dari dapur. Sekilas manik indahnya menangkap wajah murung Rudi, apa perkataannya kemarin membuat dirinya galau, namun yang pasti Aminah harus sadar diri ini juga untuk kebaikan Damar, mana pantas janda bersanding dengan orang mapan.

Terlalu naif bagi Aminah jika semua tentang cinta bak film telenovela, dirinya juga harus memikirkan anak-anaknya, Anton. Bayang itu terasa menguliti dirinya membuat benteng sendiri agar tak ada sosok lain begitu mudahnya masuk, namun khusus untuk Damar, lelaki itu bisa mengoyahkan sedikit tembok tak kasat mata sudah lama terbangun apik.

"Apa aku coba aja ya, kenapa aku gak coba buat anak-anak dulu," gumamnya mulai gamang, begitu lambat dirinya menyadari sosok Damar memasuki warung Aminah, suara dalam lelaki itu harus berulang memangilnya dari kesadaran.

"Kesambet setan, baru tau rasa."

"Emang ada setan di sini, kalau ada kamu setannya, gak diundang muncul tiba-tiba."

"Kalau warungmu buka ya aku sebagai pelangan masa gak boleh mampir," gurau Damar

"Mau makan apa, sekalian minumnya juga mau apa?" tanya Aminah menawarkan hidangan sudah tertata dalam balik kaca trasparan.

"Kau nurut, kamu terserah mau ambilin aku makanan apa aja, minumnya juga terserah seiklasnya kamu aja mau ngasih aku apa."

Aminah mencebikan bibirnya, hidangan kini tersaji di atas meja, berbagai lauk serta minuman soda gembira membuat mata Damar pening.

"Banyak amat, aku manusia bukan sapi, kamu masih tau aku kan."

"Dari pada sama-sama bingung, lagian itu semua juga makanan, kalau kamu mau jadi sapi entar biar aku kandangin sekalian aku kasih rumput." Balas Aminah malas.

"Kalau begitu makasih, ayo kita makan." Seru Damar menyemangati dirinya, gunungan makanan hampir menutupi keseluruhan piring membuatnya harus siap bolak balik ke W.C

Aminah diam dibalik tempatnya, dirinya tak lepas dari tindak tanduk Damar, mengamati ekspresi lelaki itu begitu kepayahan menelan makanan begitu banyak, Aminah akui walau tingkahnya ajaib Damar begitu perhatian.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro