Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Percakapan di koridor sekolah

Erina mengulurkan tangan kanannya pada lelaki yang tengah bersandar di lorong sekolah, tepat di samping papan pengumuman. "Selamat, kamu dapat peringkat pertama pararel lagi."

"Terima kasih. Selamat juga karena mendapatkan peringkat kedua pararel." Adrian membalas uluran tangan, sudut bibirnya sedikit terangkat.

Pengambilan rapor tahunan dilakukan hari ini. Waktu berlalu bagai desingan peluru; hanya dengan sekelip mata, siswa kelas 11 IPA A kini telah berganti nama menjadi 12 IPA A. Hampir semua murid datang ke kelas, kecuali Oline, Naira, dan beberapa langganan bus.

Dua tahun sudah Erina menduduki tingkatan SMA, dan ambisi gadis itu belum tercapai.

Gadis itu mungkin pernah melupakan impian sederhananya, entah itu ketika ia menjadi peringkat ketiga dalam perlombaan pidato bahasa Indonesia tempo hari, atau saat ia memenangkan lomba cerdas cermat bersama Adrian.

Namun impian itu tetap ada, terpendam jauh di dalam, dan akan kembali muncul saat melihat bahwa dia tidak ada apa-apanya dibandingkan Adrian Hermandra.

Meski gadis itu sampai sekarang tidak tahu apapun mengenai sayatan di tangannya. Apapun itu, Erina yakin 100% kalau ini sama sekali tidak berkaitan dengan sekolah dan peringkatnya.

Kali ini Erina berusaha menahan rasa iri yang hendak membuncah. Setiap matanya bersitatap dengan si Juara Satu, batinnya nelangsa, teringat dengan seberapa keras pun ia berusaha, ia tetap akan kalah dalam pemeringkatan kelas.

Meski sudah mengganti berbagai strategi belajar, mempelajari materi dengan berbagai jenis media, gadis itu tetap punya kekurangan yang tak bisa ia pungkiri, dan kekurangan tersebut mungkin tidak dimiliki oleh Adrian Hermandra.

Baiklah, mungkin memang bukan milikku.

"Kenapa?" Raut wajah Erina dibaca jelas oleh Adrian. Ingin sekali rasanya gadis itu menghantam wajahnya ke dinding sekaligus.

"Ga ada apa-apa."

"Gara-gara peringkat?"

Erina menghindari kontak mata. "Ga, aku bukan anak kecil yang ngambek gara-gara hal sepele."

"I see." Adrian membalas dengan santai. "Jadi kamu adalah Erina yang kecewa dengan hasil raport-mu."

"Are you an esper?" Ada lolotan mata dari Erina yang hanya dibalas dengan tawa kecil dari Adrian.

Aku tidak menyangka selama tiga bulan ini, kita banyak berinteraksi.

"Not really." Adrian memandang buku rapornya. "Hanya saja aku sudah tahu apa reaksi orang-orang saat melihat benda ini. Mudah dibaca."

"Sorry." Erina menundukkan kepalanya, ada sekelebat rasa bersalah yang melintas.

Adrian mengulurkan sebungkus cokelat tanpa melempar kontak mata karena kepala Erina masih setia menatap lantai ubin sekolah. "Ini. Untuk memperbaiki suasana hati."

Cokelat itu membuat Erina teringat dengan kejadian 3 bulan lalu, rekaman kaset memori mengenai Adrian berputar dalam benaknya. Disimpannya cokelat itu dalam saku seragamnya.

Erina mengalihkan topik pembicaraan. Ia mendongakkan kepalanya; tubuhnya ia sandarkan pada dinding. "Aku ga pernah nyangka bisa ngomong sama kamu kayak gini. Soalnya kamu kelewat pendiam dulu."

"Eh, sekarang juga sih, tapi udah agak mendingan," tambah gadis itu.

"Memangnya apa yang bisa dibicarakan?"

"Kaku banget jadi orang." Gadis itu melempar kekehan pelan. Kini ia memeluk rapor hitamnya; memandang sepatu hitamnya; seakan-akan berkontak mata dengan Adrian akan membuatnya gugup.

"Dan itu salah satu kelebihanmu, kamu tidak kaku sepertiku." Erina sadar bahwa lelaki itu tengah mengambil ahli pembicaraan, membawanya ke haluan yang lebih condong membahas mengenai Erina itu sendiri.

"Tapi, kan-"

"Itu kata favoritmu, ya?"

"Apa?" Erina mengerutkan alis, mendadak kebingungan.

"Tapi, kan." Lelaki berkacamata itu menyitir ucapan Erina dengan nada yang nyaris tepat. "Kamu selalu mengulang kata itu saat berbicara dengan Ollie dan Naira."

"Kamu menguping ternyata."

"Suaramu yang kelewat besar, aku rasa seisi kelas bisa mendengarmu." Adrian menyipitkan matanya, setengah menyeringai.

"Heh?! Kamu dengar?!"

"Namaku disebut-sebut." Telunjuk Adrian mengarah pada dirinya sendiri. "Pastinya aku penasaran, makanya kudengar sampai habis."

"Kayaknya aku jadi kayak orang aneh, kayak terobsesi banget sama kamu." Erina memelankan nada bicaranya. "Soalnya aku bingung, kenapa kamu bisa sepintar itu. Kamu makan nasi 'kan?"

"Sama denganku, aku bertanya-tanya mengapa kamu bisa sepeduli itu terhadapku," balas Adrian sembari menghela napas dalam.

"Aku kira kamu tidak pernah mau membahas itu lagi." Ada kebingungan yang Erina simpan dalam benaknya.

Adrian mengekus tengkuknya. "Entahlah, aku hanya teringat dengan kejadian waktu itu. Mungkin kamu menganggapku berlebihan."

"Ha? Kok mikirnya gitu?" Erina spontan mengerutkan alis, nada bicaranya naik satu oktaf. Satu-dua siswa sempat menoleh sekilas, membuat gadis itu membekap mulutnya sendiri.

Entah mengapa percakapan itu mengarah menuju masalah itu, sesuatu yang memang sempat dinantikan oleh Erina, tetapi ada firasat tak mengenakkan yang melintas.

Apa Adrian akan bercerita mengenai alasannya?

"Mungkin saja." Adrian berdeham sekali. "Lupakan, itu memang hal tak menyenangkan yang seharusnya tidak dibahas lagi."

"Okay." Erina tidak bisa membantah, tidak mungkin gadis itu memaksakan lelaki itu berbicara lebih dalam dengan dalih bahwa Erina dapat membantunya.

Membantu dirinya sendiri saja tidak sanggup, apalagi orang lain.

Suara kecil itu berdengung di indra pendengaran Erina, membuatnya ingin membekukan suara sekitar. Erina benci dirinya yang selalu memikirkan hal-hal aneh di saat yang tidak tepat.

Atmosfer keheningan melingkupi keduanya, hanya diisi oleh dengungan suara percakapan mengenai peringkat pararel dan langkah kaki yang terdengar bersahutan.

"Kamu belum dijemput, ya?" Suara Adrian yang tiba-tiba sempat membuat gadis berambut gelombang itu kembali fokus pada dunia nyata; mengalihkan konsentrasinya dari bunyi-bunyi aneh dalam benaknya untuk sementara.

Meski itu adalah pertanyaan retoris, tapi Erina memilih untuk menjawabnya secara lengkap. "Belum, lagi ada urusan sedikit di rumah, belum bisa jemput aku. Kamu?"

"Aku jalan kaki."

Erina ber-oh ria pelan, lantas melempar sederet pertanyaan yang pada dasarnya tidak perlu diutarakan. "Rumahmu dekat?"

Duh, Erina, kamu memang mau berbasa-basi tapi ga gini juga caranya.

"15 menit dari sini," jawab Adrian sambil menunjukkan angka satu lalu lima dengan jemarinya.

"Sekarang sudah mau jam 12, lho. Nanti mataharinya makin terik." Erina menatap sang Surya yang tengah menyiram lapangan sekolah dengan sinar luar biasa panasnya. "Kamu pulang duluan aja."

"Kamu sedang mengusirku ya?" Adrian memalingkan kepala, netra hitamnya menatap lamat-lamat Erina.

Erina membalas tatapannya, ia bisa melihat pantulan dirinya dari kacamata lelaki itu. "Engga, engga. Aku itu khawatir, nanti kamu kalau pingsan di jalan gimana, memangnya ada yang bisa gendong? Gimana-"

Semburan tawa keluar dari bibir lelaki itu, lalu ditutup dengan seuntai senyuman kecil yang tergantung di atas bibirnya. "Makasih." Jarak mereka yang hanya dua jengkal membuat Erina bisa melihat ekspresi dari Adrian dengan jelas.

"Ha?"

Mata Adrian sedikit menyipit, tertutupi oleh sedikit bagian pipinya yang terangkat karena senyumannya. "Makasih karena sudah peduli. Dan lagipula aku hanya bercanda."

"Aura kamu itu serius banget, siapa pun juga akan mengira kalau kamu lagi tersinggung." Erina berdecak ringan, diiringi tawa kecil yang mungkin hanya ia dengar sendiri.

"Aku lagi coba untuk menjadi seperti murid SMA yang lainnya."

"Jadi Adrian yang biasa juga gapapa, ga ada yang komplain." Erina menjelaskan. "Cuma, ya, bergaul lah sama orang lain, jangan diam duduk sendiri aja. Daripada main catur di handphone, mendingan ajak teman sekelas main langsung, pakai papan catur di gudang olahraga."

"Itu seperti bukan aku saja."

Erina membalas kalimat pendek Adrian. "Itu tetap Adrian yang suka main catur, tapi Adrian yang itu tidak hanya menatap layar sepanjang hari. Minus matamu bisa bertambah kalau kena sinar uv biru terus."

"Tapi-"

"Kamu jadi mirip aku." Erina tertawa kecil. "Ayolah, nanti aku kenalin sama Naira dan Ollie, mereka pasti mau ajak kamu main."

"Dua temanmu itu?"

Anggukan kecil Erina perlihatkan. "Meskipun mereka ada gila-gilanya, tapi mereka teman yang baik."

"Gila? Tumben menjelekkan sahabat sendiri."

Tawa Erina semakin meledak. "Bukan gitu, Adrian. Sepertinya kamu orang yang jarang berteman, jadinya ga tahu kebiasaan-kebiasaan semacam itu."

"Jadi aku memanggilmu gila, lantas kita menjadi teman?" Adrian menaikkan alisnya.

"GA GITU!" Erina menggelengkan kepalanya sembari menaikkan nada bicaranya satu oktaf. "Kamu aslinya pura-pura bego 'kan?"

Adrian menutup mulutnya dengan punggung tangan, lantas menyemburkan tawa.

"Candaanmu aneh." Erina berdecak sembari menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Seperti bapak-bapak."

Dengan rapor tahunan di pelukan mereka, keduanya saling melempar tawa, skenario tak terencana ini menjadi alasan Erina tidak begitu lagi bersedih mengenai peringkatnya.

Jadi, kami berdua sudah berteman baik 'kan?

Selang beberapa menit kemudian, telepon Erina berbunyi. Dikeluarkannya ponsel itu dari sakunya, nama 'Mama' terpampang jelas di atas layar; membuat Erina melambaikan tangan dan mengucapkan sampai jumpa, lantas berlari meninggalkan lelaki yang tengah tersenyum sendirian.

To be continued ....

1310 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro