39. Cekcok Badak dan Bebek
Dua minggu berlalu lagi tanpa merasa perlu menunggu langkah kaki anak manusia yang tertatih-tatih mengguratkan kisah. Menjemput hari baru seraya meninggalkan hari yang lama, begitulah rotasi kehidupan yang tidak memberikan jeda untuk sekadar bertegur sapa dengan ketiadaan.
Dua minggu ini, anak kelas XI MIPA-1 tak lagi belajar bersama di Zoom meeting maupun di kelas secara offline. Usaha mereka sudah dimaksimalkan sebelum H-2. Setelah melalui ujian akhir semester dua, barulah mereka bisa menghela napas lega, rebahan hingga sepuasnya. Meski begitu, setiap siswa Persatas masih harus datang ke sekolah di hari Jumat ini.
Kegiatan belajar mengajar memang belum efektif lagi, sudah menjelang pekan liburan, malah. Yang diwajibkan ke sekolah hanyalah anak yang remedial untuk perbaikan nilai, maupun yang hendak mengikuti ulangan susulan. Oh, sebenarnya, sebagian besar siswa masuk sekolah karena ingin menikmati detik-detik jam kosong sebelum liburan. Asa sendiri sengaja hadir untuk menjaga presensinya dari noda catatan hitam. Demi menjaga kesucian daftar hadir!
Asa melangkah di koridor kelas dengan senyuman yang terkembang lebar. Langkahnya ringan sekali, seolah tengah menari-nari di atas awan. Asa tak punya beban hidup saat ini. Dan lagi, Jumat pagi ini memang terlalu cerah untuk ia habiskan dengan bermuram durja tanpa alasan.
"Asaaa!" Baru menginjakkan kaki di dalam kelas, Prima sudah berhambur ke arahnya, lantas meloncat-loncat kegirangan sambil menggenggam pergelangan tangan Asa agar ikut hiperaktif. "Tahu, enggak? Tahu, enggak? Aaaa, akhirnya!"
Bukannya bersikap kalem untuk sejenak, kini Prima malah berputar-putar tidak jelas, masih dengan tangan tertaut dengan Asa, membuat rok abu keduanya terkembang bagai rok-rok putri kerajaan di film Princess. "Enggak ... enggak, Prim! Tahu apa? Tapi sebelumnya, udahan dulu, dong, muternya! Pusing aku!"
Ketika Prima menghentikan aksinya, Asa langsung oleng dan nyaris terjatuh kalau saja tidak refleks berpegangan pada bingkai pintu. Asa menggelengkan kepala untuk mengusir pusing yang berdesing. Tanpa merasa berdosa, Prima hanya tertawa pelan. "Plot twist terbesar abad ini, aku cuma remed di matematika wajib, lho!"
Sejenak, Asa mengerjap untuk memproses segalanya. "Oh, ya? Pelajaran lainnya?"
"Aman! Bahkan fisika aku 82, Asa!" Dengan rengekan penuh haru yang didramatisir sedemikiran rupa, Prima merangkul bahu Asa erat-erat. "Ya ampun! Semalam, pas tahu nilainya, aku langsung nangis sambil guling-guling di depan Papa! Makasih, ya, Asa!"
Asa terbatuk keras. Pelukan Prima ini sangat tidak tahu diri. Asa sesak sekali! Ia sampai kesulitan untuk sekadar menarik napas. Sekali lagi, Asa terbatuk-batuk. "Kok aku, sih? Kita, kan, berjuangnya bareng-bareng. Enggak cuma aku sendiri."
"Tapi kamu yang memprakarsai terciptanya kelas ambis!" Prima menjerit-jerit untuk mengekspresikan perasaannya yang tak terdefinisi, hingga Asa harus menutup telinganya rapat-rapat jika masih ingin selamat. Ya ampun. Sejak kapan Prima jadi manusia berisik begini? Mana nada sinisnya? Asa tiba-tiba saja jadi merindukan Prima yang teramat kejam.
Meski batinnya disesaki begitu banyak rutukan sebal, sudut hati Asa tetap menyanyikan nada-nada menyenangkan. Primadani Putri Riani, manusia yang Asa kira tidak akan pernah sejalan dengannya, kini malah jadi anak yang lengket sekali pada Asa. Asa berdengkus. Kehidupan memang mudah sekali dijungkirbalikkan, ya? "Kamu selamat dari remedi itu karena usahamu sendiri. Selamat, ya! Tingkatkan! Kelas dua belas enggak boleh ada remedi sama sekali."
"Baik, Guru!"
"Hoi, Prim! Katanya mau dengar cerita soal kelas XI MIPA-5 yang angker, bekas kuburan? Sini! Asa juga!" Teriakan Kalea yang menggelegar di setiap penjuru kelas itu membuat Asa dan Prima langsung tertarik dan mengambil kursi untuk bergabung bersama anak perempuan lainnya yang sudah duduk melingkar.
Cerita horor itu mengudara. Meski hari masih pagi, matahari bersinar cerah, dan keadaan sekitar ramai sekali, semua itu tidak lantas membuat mereka terhindar dari jeritan-jeritan ketakutan. Prima bahkan sampai sembunyi di ketiak Asa. Sementara Asa ... anak perempuan itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Ceritanya klasik, kok, tentang Noni-Noni Belanda yang rumornya gantung diri di kelas XI MIPA-5.
Dibanding cerita horornya, Asa justru lebih tertarik untuk memandangi wajah teman sekelasnya satu demi satu. Alfis benar. Ada sesuatu yang hanya bisa Asa rasakan ketika melangkah perlahan-lahan. Kalau saja Asa masih mempertahankan egoismenya, mungkin Asa memang bisa mengarungi perjalanan angannya dengan kecepatan penuh. Akan tetapi, jika itu benar-benar menjadi keputusan yang dipilih Asa, maka ia tidak akan mendapati pemandangan ini.
Jika terus keras kepala dengan ambisinya, Asa tidak akan ada di titik ini, bersama dengan kawan sekelasnya. Dan lagi ... apakah nilai, peringkat, dan torehan prestasi itu merupakan segalanya? Entahlah. Yang pasti, Asa menemukan kebahagiaan di sini.
Pintu kelas diketuk konstan, membuat nyaris seluruh anak perempuan terlonjak kaget karena mereka sedang mendengarkan bagian klimaks dari cerita yang dibawakan Kalea. Ternyata, kepala Pak Prana yang menyembul di balik pintu kelas. Tak lupa senyuman ramahnya yang menghiasi. "Lagi pada ngapain?"
"Kalea, nih, Pak!"
"Kalea sesat, Kalea sesat!"
"Konspirasi!"
Kericuhan warga XI MIPA-1 akhirnya teredam ketika Pak Prana meletakkan telunjuk di depan bibir, lantas kembali angkat suara. "Mau dengar spoiler dari Bapak, enggak?"
Bisik-bisik kembali mengudara, berusaha menebak apa yang akan wali kelas mereka sampaikan kali ini.
"Anak XI MIPA-1 menguasai takhta sepuluh besar paralel, lho!" Pak Prana menahan kekehan geli ketika mendapati anak didiknya sama-sama berseru tak percaya. "Yah ... ada satu impostor, sih. Juno Kenandra, XI MIPA-4. Dia satu-satunya anak selain dari kelas kita yang masuk sepuluh besar."
[ π β ¢ ]
Keasyikan bercengkerama dengan teman sekelas membuat Asa melupakan segalanya. Waktu berlalu tanpa terasa. Tahu-tahu sudah jam pulang saja. Nyaris semua anak XI MIPA-1 langsung kembali ke rumah masing-masing. Akan tetapi, tidak dengan Asa. Ada sesuatu yang membuatnya bertahan di titik ini.
Asa menopang dagu di dinding koridor depan kelas, tenggelam dalam lamunan panjang bersama mentari yang siap tergelincir di ufuk barat. Asa memejamkan mata erat-erat. Akan tetapi, suasana khidmat itu terpaksa dihentikan begitu indra pendengarannya menangkap suara rendah yang mengudara. "Ngapain?"
Manik cokelat terang itu kembali terbuka, untuk mendapati figur lelaki berkacamata tebal yang berdiri tegak di sampingnya, dengan pandangan lurus-lurus ke arah garis cakrawala di ujung sana. Asa mengerjap. "Biasalah. Kamu ngapain? Kok belum pulang?"
"Aku habis beli kado buat Kak Nay. Sengaja belinya enggak sekalian pulang, soalnya mau beli kertas kado di depan, biar enggak putar-balik dulu, makin jauh." Alfis menurunkan ransel hitamnya, lantas mengeluarkan buntalan boneka lucu dari sana. Alfis menyodorkan boneka Daisy Duck ke hadapan Asa. "Mau, enggak? Aku enggak tahu mau kasih ke siapa. Tadinya mau buat Bintang, tapi adanya kamu."
Demi mendapati penampakan boneka yang terasa tak asing itu, Asa menahan senyuman. "Oh ... jadi Alfis emang suka bebek? Pantesan manggil aku bebek."
Bebek Jelek? Lho? Alfis mengerjap, berusaha menahan ledakan rasa malu di dalam sana. "Ini hadiah buat Kak Nay, ya. Kak Nay sukanya Donald Duck, tapi ada bonus ini, enggak terpakai."
"Kamu juga, deh! Enggak usah bohong, ya. Aku sempat lihat animasi bebek di wallpaper HP Alfis pas ditelepon Kak Nay di rumahku. Alfis juga suka bebek!"
"Enggak! I-iya ... iya! Aku emang suka Donald Duck, tapi bukan suka bebek!"
"Tapi Donald Duck itu spesies bebek, 'kan?" Asa tergelak puas begitu mendapati semburat merah muda yang menyembul di pipi Alfis hingga ke telinga. Keajaiban dunia, ini! Asa menabok dinding pembatas koridor dengan brutal. "Enggak apa-apa, dong, Fis! Kamu mau aku beliin Larutan Cap Kaki Badak, enggak?"
"Enggak usah!" Alfis berdecak sebal. "Iya, aku suka bebek. Tapi Bebek Jelek pengecualian!" Dengan anarki, Alfis meraih spidol hitam dari tasnya, lantas menuliskan dua penggal kata di baju pink boneka Daisy Duck. BEBEK JELEK! Tidak santai sekali, Alfis menjejalkan boneka itu ke tangan Asa. Sangat tidak berperike-boneka-an.
Asa kembali menyemburkan tawa. Dan itu langsung mendapatkan pelototan dari Alfis. Di ufuk barat sana, garis cakrawala hendak menelan matahari bulat-bulat. Asa dan Alfis tenggelam dalam senyap untuk sesaat. Teringat sesuatu, Asa kembali angkat suara. "Hari Senin pengumuman yang lolos OSN ke tingkat provinsi, ya?"
Lama, Alfis memandangi arakan pasukan jingga sebagai tanda perpisahan dari mentari. "Iya ... setahuku emang Senin."
Asa mengembuskan napas kuat-kuat. "Yah ... aku udah enggak terlalu berharap, sekarang. Yang penting usahaku udah maksimal."
"Bukan Asa banget, ya." Kekehan yang lolos dari bibir itu membuat Asa memilih untuk menatap lelaki berkacamata tebal dengan puncak rambut yang dimainkan melodi angin sore. "Apakah Asa yang dulu akan berpikiran begitu? Enggak akan. Tapi ya ... aku pribadi emang enggak expect seorang Asa Nabastala yang selangit kayak namanya, bisa berubah kayak gini, sih."
Asa mengurungkan niatnya untuk protes keberatan. Anak perempuan itu termenung lama, lantas menyepakati kalimat Alfis dalam hati.
Iya. Yang Alfis bilang itu ada benarnya.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro