29. Jarak Tak Terelak
Pernahkah kamu mendengar kepingan dialog yang telah berlalu, tetapi terus bergema dalam setiap penjuru kalbu? Iya. Itulah yang tengah Asa alami sekaligus menjadi alasannya kesulitan tidur tadi malam, sampai pagi menjemput dan memaksanya untuk lekas membuka mata.
"Sejujurnya, aku cukup sadar diri dengan kondisiku yang tidak memungkinkan masuk sekolah elit kayak Persatas, tahu. Tapi itu pilihanku sendiri. Aku yang mau, aku juga yang mesti bertanggung jawab penuh dalam menciptakan jalanku sendiri untuk sampai ke puncak sana. Itulah yang bikin aku begitu keras ngejar beasiswa selama ini ...."
Begitulah bunyi kalimatnya sendiri yang terasa muak setiap kali Asa mengingatnya. Kabar buruknya, suara itu malah terus terdengar bagai bising sumbang yang diputar dalam mode loop. Ya ampun! Apa yang ada di pikirannya saat itu, hingga mengatakan sesuatu yang sangat memalukan begitu? Bukan Asa sekali!
Asa overthinking. Saking kepikirannya, baru saja terbangun dari lelap, anak perempuan itu sudah kembali membenamkan wajah ke dalam selimut bermotif bunga karena suara di benaknya sendiri terdengar lagi. Apa-apaan, sih? Semua ini gara-gara Badak Galak itu! Bayangkan saja! Seorang Alfis yang sering kali tampil anarkis, tanpa tanda-tanda hujan badai angin ribut halilintar—seperti kata sound viral itu—tiba-tiba jadi terbuka kepadanya seperti semalam?
Anak laki-laki itu sampai menceritakan latar belakang keluarganya meski hanya selintas. Tentang Kak Nay, juga Papa yang begitu keras mendidiknya agar bisa melampaui kecerlangan gemintang yang dipancarkan kakak perempuannya ... Asa jadi tahu! Badak Galak itu mendadak bercerita tanpa Asa minta, lho! Jangan salahkan Asa kalau dirinya seketika jadi merasa perlu turut bercerita agar terdengar lebih adil satu sama lain. Asa jadi terpancing!
Aduh! Asa menendang-nendang udara kosong. Semoga saja kepala Alfis terbentur dinding atau apalah. Minimal amnesia, deh. Biar anak itu melupakan segala hal memalukan yang keluar dari bibir Asa secara tak terkendali tadi malam. Semoga!
Seberkas sinar mentari menelusup lewat rimbun dedaunan pohon rambutan di belakang rumah, lantas menerobos celah ventilasi kamar Asa. Kalau saja tak ingat bahwa ini hari Kamis, rasanya Asa mau berlama-lama menyesali keputusan hidup karena telah bercerita pada Alfis.
Akan tetapi, mau tidak mau, Asa harus lekas bangkit dari kasur lantainya. Bukan karena hari ini masih hari efektif kegiatan belajar mengajar di sekolah, melainkan karena Kamis ini hari pertama pelaksanaan Persatas Day 2022! Asa itu anak OSIS yang otomatis masuk ke struktur kepanitiaan. Posisinya yang berada di sekbid empat membuat Asa memegang peranan seksi acara. Dan lagi, panitia harus briefing juga persiapan sebelum pelaksanaan, sehingga mesti tiba ke sekolah lebih awal dari siswa lainnya.
Satu hal krusial lainnya, yang sudah menjadi ritual rutin setiap kali Persatas Day diselenggarakan, siapa pun mengetahui akan adanya razia besar-besaran dari Departemen Kedisiplinan. Berita mengenai informasi ini sudah menyebar cepat sejak pekan lalu di antara siswa Persatas. Akan tetapi, kenyataan itu tidak lantas membuat mereka ketakutan dan memilih untuk tidak membawa barang terlarang. Anak-anak Persatas justru akan menantang dan menjadikan acara ini sebagai suatu parade menuju kebebasan.
Apa katanya? Peraturan ada untuk dilanggar! Alasan pembenaran yang sungguh sudah sangat muak dihadapi anak-anak OSIS Persatas, termasuk Asa. Razia di Persatas Day ini tak lagi ampuh untuk mendisiplinkan siswa. Mat menyadari itu sepenuhnya. Akan tetapi, jika razia ditiadakan, itu malah menciptakan celah yang besar. Siswa akan jauh lebih meremehkan peraturan yang berlaku. Satu-satunya tindakan yang bisa diambil OSIS adalah menegaskan peraturan dan konsekuensinya.
Jika razia dianalogikan sebagai dinding penegakkan peraturan yang mulai berlubang karena siswa lolos melanggar di sana-sini, maka alih-alih menghancurkan dinding, Mat lebih memilih untuk menambalnya dengan pertahanan anak OSIS. Merekalah yang perlu berperan aktif dalam pendisiplinan siswa.
Asa mengangguk-angguk sepakat ketika mendengar penjelasan Mat soal dinding peraturan itu pada rapat jauh-jauh hari. Disiplin, ya. Sebelum menciptakan siswa yang disiplin, maka organisatornya harus bisa disiplin terlebih dahulu. Ini sesuai dengan kalimat Mat pada awal pemerintahannya sebagai Ketua OSIS. "Kita ini public figure. Jangan heran melihat siswa banyak melanggar, kalau kita—anak OSIS-nya sendiri—masih sulit sekali untuk diatur."
Lagi, untuk ke sekian kali, Asa menganggukkan kepala. Kalau itu keluar dari mulut Mat, entah kalimat apa yang bisa membuat Asa menolak sepakat. Anak laki-laki itu sepertinya memang sudah terlahir sebagai pemimpin. Status Ketua OSIS dan jabatan yang digenggamnya itu sudah menjadi habitat asli lelaki bernama lengkap Dematra Maherendra. Sungguh. Asa jarang sekali mengakui kemampuan seseorang. Dan Mat adalah salah satu dari sedikitnya orang yang masuk ke dalam kategori tersebut.
"Selamat pagi. Untuk pelaksanaan razia, kami izin memeriksa tasnya, ya." Belum pukul tujuh tepat, Asa bersama rekan OSIS lainnya sudah bersiap di depan gerbang untuk menyaring setiap siswa yang memasuki kawasan sekolah. Satu persatu, anak-anak itu diberhentikan barang sejenak. Satu-dua ransel terdeteksi ada barang terlarangnya. Make-up, rokok, dan vape. Tak perlu waktu lama, benda dengan ketiga kategori tersebut sudah memenuhi keresek yang disediakan OSIS untuk menampung barang sitaan.
Sebenarnya, Asa bukanlah anak yang termasuk ke dalam bagian keamanan di Persatas Day ini. Mat bahkan sudah memperbolehkan Asa untuk fokus pada kerjanya sebagai seksi acara saja, mengingat bagian keamanan ini cukup banyak sekali berjaga di gerbang. Akan tetapi, Kamis adalah hari Asa piket gerbang. Anak perempuan itu ingin ikut serta dalam razia begini. Bukankah terdengar keren? Asa merasa seperti pasukan elit yang menginspeksi ransel-ransel anak Persatas.
Semuanya berjalan begitu menyenangkan hingga manik cokelat terang Asa mendapati tatapan dalam dari seorang lelaki yang baru memasuki kawasan sekolah. Itu Nabil. Dan Asa tidak terpikirkan solusi yang lebih baik selain menghindar. Asa tak mau berhadapan lagi dengan Nabil. Mata Asa beredar untuk memastikan adanya rekan OSIS lain yang menganggur dan bisa memeriksa tas Nabil.
Sayangnya, yang kosong hanyalah Mat. Setelah tas Alfis dianggap aman, Mat malah memeriksa anak lain yang baru datang. Tidak ada lagi yang bisa menggantikan Asa untuk merazia Nabil. Tidak ... bagaimana lagi? Asa tidak mungkin membiarkannya masuk kawasan sekolah tanpa diperiksa sama sekali isi tasnya, 'kan?
"Pagi. Tasnya kami periksa, ya." Dengan kalimat tercekat, Asa meraih ransel Nabil dengan gerakan patah-patah. Mati-matian Asa menghindar agar tatapannya tidak bertemu dengan netra Nabil.
Di tengah proses pemeriksaan yang terasa bagai seabad bagi Asa, di belakangnya, Alfis yang memang berdiam diri sejenak dan menyadari situasi Asa, kini angkat suara. "Katanya mau ikut dekorasi stan kelas? Kedai Universe ... mau bikin quotes astronomi di gelas plastiknya, 'kan?"
Iya. Selama pulang bareng kemarin, selain diramaikan oleh kericuhan keduanya yang tak henti bertengkar, Asa juga sempat bercerita mengenai lemparan bola basket Nabil dan keinginannya untuk mendekorasi stan bazar sebagai si paling astronomi. Tema bazar luar angkasa itu ide dari Asa! Teman sekelasnya yang kehabisan ide karena tema horor maupun tema kerajaan sudah terpakai kelas sebelas lain, akhirnya menerima usulan Asa. Mereka juga merasa tidak enak mengingat buku astronomi Asa yang disobek Prima.
Mendengar tawaran Alfis yang berniat menyelamatkan Asa dari situasi menegangkan dengan Nabil, anak perempuan itu malah menggelengkan kepala dengan mantap. Walau bergetar nan tremor parah, tangannya masih sibuk memeriksa setiap bagian tas. "Nanti aja. Aku harus profesional."
Embusan napas lega keluar dari bibir tipis Asa. Iya. Profesionalitas. Asa akan bekerja tanpa dipengaruhi apa atau siapa pun. Bukankah memang seharusnya begitu tindakan seorang anak OSIS dalam menjalankan tugasnya?
"Aman. Silakan masuk."
Sekilas, Asa melirik Nabil yang kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Laki-laki itu mengangguk singkat, lantas melengos pergi dari hadapan Asa. Detak jantung Asa masih begitu kencang, frekuensinya tak kunjung kembali normal. Aduh.
Asa berjongkok, berusaha menenangkan diri. Apa-apaan yang barusan itu? Kenapa Asa malah terbayang-bayang senyuman miring Nabil ketika melihat hidungnya berdarah karena dihantam bola basket? Sekejap, rasa pusing itu kembali menyeruak.
"Enggak apa-apa?"
Oh, masih ada Alfis di belakangnya. Buru-buru Asa bangkit berdiri, lantas menatap anak laki-laki yang tengah membenamkan tangannya ke dalam saku celana tanpa ekspresi. Asa menggeleng. "Makasih. Aku mau lanjut jaga. Kenapa kamu enggak cepat masuk? Anak Hexatas Voice udah cek sound, tahu."
Kedua bahu Alfis terangkat. Anak laki-laki itu berjalan meninggalkan Asa. "Enggak usah memaksakan diri."
Lagi, Asa mengembuskan napas berat. Ya sudahlah. Nabil sudah berlalu. Asa berhasil melewatinya. Asa menegakkan posisi berdirinya, kemudian menerima tas dari anak lain yang baru tiba.
Persoalan Nabil itu ... entah sampai kapan Asa akan terus menghindar.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro