26. Ruang untuk Pulang
"Kak Nay, Kak Nay! Bumi kan bulat, ya. Mengalami gerak rotasi dan revolusi dalam suatu periode." Anak laki-laki berusia sembilan tahun yang sudah berkacamata itu antusias sekali menarik-narik lengan kakak perempuannya.
Naya yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya pun balas menatap adiknya, lantas mengangguk-angguk kecil, mengisyaratkan Alfis untuk meneruskan kalimatnya.
"Nah! Pertanyaannya ... kenapa lautan di bumi enggak tumpah ke luar angkasa, Kak Nay? Oh, oh! Orbit planet juga ... kok planet-planet pada patuh, sih? Enggak melanggar garis edar?"
Demi mendapati binar penasaran dari kedua manik hitam legam adiknya yang memang selalu ingin tahu itu, Naya pun mengulas senyuman lebar. Sejenak, ditutupnya buku yang sedang ditulisi. Perhatian Naya sepenuhnya tertuju pada Alfis. "Pertanyaannya bagus! Ini materi fisika dasar, lho, Fis."
Detik berikutnya, Alfis tenggelam dalam penjelasan Naya yang disampaikan dengan lembut dan menggunakan analogi-analogi dari hal-hal kesukaan Alfis yang membuat anak laki-laki itu tambah penasaran. Matanya serasa tak mau berkedip sama sekali. Cara penyampaian Kak Nay memang yang terbaik, Alfis seakan tengah menonton film dalam imajinasi yang dibangun oleh penjelasan Kak Naya.
Inilah salah satu momen terbaik yang membuat Alfis jatuh hati pada Fisika. Kalau sudah mendengar Kak Naya menceritakan alam semesta dan seisinya, kata demi kata dari kamus kehidupan Alfis jadi raib seketika. Hilang. Semuanya hanya menyisakan gumaman kagum dengan bibir tipis yang lupa caranya dikatupkan. Tampang anak laki-laki itu masih begitu polos dan dipenuhi binar antusias untuk mempelajari banyak hal.
Hanya saja, penjelajahan Alfis di semesta imajinasinya terpaksa berhenti ketika mendengar suara pagar rumah yang dibuka dari luar. Alfis langsung mengintip ke jendela, lantas menatap kakak perempuannya dengan sorot panik. Iya. Manik hitam legam itu terlihat meminta pertolongan. "Kak Nay, aku maunya belajar sama Kak Naya. Enggak mau sama Papa ... pukulan Papa kemarin aja masih sakit."
Lagi-lagi begitu. Semangat Naya untuk berbagi lebih banyak pada adik laki-lakinya itu seketika pudar dan digantikan kekosongan. Situasi semacam ini ... Naya benci setengah mati. Benci ketika mendapati tatapan lugu yang mengharapkan bantuannya, tetapi Naya malah dihantam kesadaran bahwa dirinya tak bisa melakukan apa-apa. Naya juga terperangkap dalam suatu ketidakberdayaan tak berkesudahan. Bedanya, Naya tak tahu harus menggantungkan keresahannya pada siapa.
Naya tidak pernah menginginkan semua ini. Naya marah dengan segala hal yang terjadi pada keluarganya, tetapi Naya lebih marah lagi ketika menyadari bahwa dirinya tidak bisa memasang badan untuk melindungi adik kecilnya yang dipukuli sana-sini. Naya tak berdaya. Begitulah yang dikatakan semesta. Hingga perlahan, garis pembatas itu benar-benar menjadi dinding tinggi yang merenggut satu-satunya kehidupan Naya dari dekapan.
Alfis tak lagi tergapai. Tak ada lagi ruang yang bisa ia anggap sebagai rumah untuk pulang.
"Kakak ini baru pulang, Saka. Jangan dulu tanya ini-itu." Alfis tersadar dari lamunan begitu mendengar teguran Ibu yang masih berdiri di depan bingkai pintu dengan berkacak pinggang. Matanya memelototi laki-laki kecil dengan kaus kumal dan kaki yang tampak kotor oleh tanah juga cipratan lumpur yang tidak sempat dibersihkan. "Kamu juga, dari tadi main terus. Kotor sekali ... cepat mandi!"
Setelah bergumam kecewa, Saka berlalu melewati kakak perempuannya, berniat masuk ke rumah untuk mengambil handuk dan bersiap mandi. Akan tetapi, pergerakannya kembali terhenti oleh suara Ibu.
"Eh, cuci kakinya dulu di luar, Saka! Ibu habis mengepel. Jangan masuk rumah kalau belum bersih," omel Ibu. Setelah anak bungsunya itu datang menghadap untuk membiarkan Ibu memeriksa kelayakan kaki Saka yang sudah dibasuh menggunakan air keran di halaman, Ibu pun mengangguk singkat. Lolos. Saka dibiarkan masuk. Ibu berhenti berkacak pinggang, lantas kembali menatap Alfis yang malah melamun panjang. "Eh, Nak ... ayo, masuk dulu. Makan dulu, ya, walau di sini mah enggak ada apa-apa."
Patah-patah, Alfis membuka-tutup mulutnya, seperti sedang dalam mode glitch. Jelas sekali anak itu kebingungan dan sedang bergelut dengan dilema dalam dirinya untuk menjawab Ibu atau tidak. Demi melihat tampang langka tersebut, Asa langsung menyemburkan tawa.
"Aku enggak suka, ya, sainganku seenaknya datang terus jadi impostor di rumahku." Seperti biasa, Asa mendengkus, sok galak. Padahal sudut bibirnya menahan geli setengah mati. "Tapi karena Ibu yang minta, aku kasih waktu maksimal lima belas menit."
Meh. Apa-apaan peraturan ngawur begitu? Alfis merotasikan bola matanya dengan sebal. Meski begitu, jiwa sarkas nan kalimat pedas Alfis mendadak tertahan di kerongkongan. Sejak memasuki kawasan tempat tinggal Asa, ada beberapa hal yang membuat Alfis kehilangan hasrat untuk mengeluarkan sisi biasanya yang selalu mengkritisi dan menjabarkan kesalahan Asa sekecil apa pun.
Alfis tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bising sekali. Tentang latar belakang keluarga Asa yang ternyata memang tidak lebih baik dari dugaannya. Di antara anak Persatas lainnya, rumah megah bertingkat dan seluas lapangan sepak bola itu sudah sering sekali Alfis temui. Mulai dari garasi dipenuhi mobil, kamar mandi yang lebih dari lima, furnitur bagai istana ... Alfis tak lagi kaget dengan gaya hidup teman sekolahnya yang memiliki gengsi tinggi.
Sebagian besar anak Persatas memang sederhana saja, seperti Mat dan Kiano. Akan tetapi, kesenjangan itu membentang begitu jelas, membuat siswa Persatas dapat digolongkan menjadi dua kategori: anak pintar yang bertahan dengan beasiswa, atau anak dengan latar belakang ekonomi keluarga yang di atas rata-rata.
Sejauh ini, hanya kondisi Bintang yang Alfis ketahui tidak sampai ke taraf itu. Kondisi ekonomi Bintang tidak begitu baik, karena itulah anak perempuan itu sering kali terlalu keras pada dirinya sendiri. Dan kini, Alfis bisa melihat Bintang yang lain dalam diri Asa. Iya. Mungkin keadaan keduanya tidak begitu jauh berbeda.
"Asyik, telur dadar!" Pekikan riang Saka yang baru saja selesai mandi kilat membuat Alfis mengerjap, menyadarkan diri dari lamunan panjang. Dari arah dapur yang hanya dibatasi oleh bilik bambu itu, datanglah Ibu yang cekatan sekali menata piring dan alat makan di atas tikar ruang tengah. Saka langsung menyambar piring dan mengambil nasi, sementara Asa ke kamarnya dulu untuk menyimpan tas dan berganti pakaian.
Tak sampai lima menit, ketiga anggota keluarga itu—ditambah Alfis yang bukan siapa-siapa di sini—sudah duduk rapi di atas tikar. Nasi, telur dadar dan tumis kangkung tampak masih menguarkan kepulan asap hangat, menggoda selera setelah berlelah-lelah seharian. Piring-piring terisi penuh, bahkan piring Alfis sekalipun—diambilkan langsung oleh Ibu. Tak tanggung-tanggung, banyak sekali malah.
"Ayo, Nak. Dimakan. Mumpung masih panas."
Ucapan lembut Ibu membuat Alfis patah-patah mengangguk, lantas menyendokkan nasi ke mulutnya. Sebentar. Alfis mengunyah makanan dengan pikiran mengembara. Lidahnya merasa kaget sekali dengan nasi yang masih hangat ini. Biasanya, yang ia makan hanyalah makanan dari layanan pesan antar online. Kak Naya yang mulai sibuk dengan kuliahnya itu tak sempat lagi memasakkan Alfis makanan di rumah.
Lagi pula, Kak Naya itu telanjur jadi spesialis fisika. Tak heran kalau hasil masakannya agak menguji lidah. Meski begitu, di antara anggota keluarganya—Papa, Naya, dan dirinya—tidak ada yang skill memasaknya lebih baik dari Kak Naya. Untuk ukuran anak yang tidak dibesarkan dengan seorang ibu, masakan Kak Naya masih bolehlah, menurut Alfis.
Disuguhi masakan rumahan begini membuat nafsu makan Alfis meningkat drastis. Oh, tidak. Sepertinya Alfis masih ingin tambah. Padahal ketika Ibu meletakkan porsi besar di piringnya tadi, Alfis sempat takut kalau ia tidak bisa menghabiskan semuanya. Di tengah makannya yang lahap, Alfis teringat sesuatu. Begitu makanan di mulutnya habis, Alfis angkat suara. "Kenapa Ibu tidak makan?"
Demi mendengar pertanyaan itu, Asa dan Saka turut menghentikan kegiatan makannya. Ibu mengulas senyuman yang jarang sekali Alfis temukan dalam hidupnya.
Oh, ini ... senyuman seorang ibu.
Damai sekali kelihatannya. Selama ini, dunia Alfis selalu disesaki digit angka dan rumus fisika. Yang memenuhi kepalanya hanyalah nilai, nilai, nilai, nilai ... bagaimana caranya mendapatkan nilai terbaik agar Papa tak marah lagi, agar Papa tak memukulnya, agar Papa mempercayainya dan membiarkan Alfis belajar dengan caranya sendiri ....
Kali ini, sensasi macam apa yang tengah menjalari sekujur tubuhnya ini? Asing, bising, seolah ada sesuatu yang hendak penjuru jiwanya suarakan. Tanpa bisa terkendali, Alfis merinding. Kepalanya tertunduk dalam, berusaha mengusir sesuatu yang tidak familiar dalam semesta kehidupannya. Ketika Alfis memandangi tangannya sendiri, barulah ia sadari, bahwa dirinya bergetar tanpa alasan.
Jika saja Alfis tak berusaha beradaptasi dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa Alfis sedang berhadapan dengan orang lain, mungkin ia tidak akan mendengar jawaban Ibu. Suara itu mengudara dengan lembut sekali. Walau Alfis sempat mendengar Ibu meneriaki Saka beberapa menit lalu, Alfis bisa menangkap kehangatan yang tak pernah Alfis rasakan sebelumnya.
"Ibu makannya nunggu dulu Bapak, Nak. Bapak masih narik penumpang, belum pulang."
Pulang, ya ....
Tak terhitung berapa kali Alfis pulang ke rumahnya sendiri. Belasan tahun kisah hidupnya ia habiskan dengan menetap di sana. Akan tetapi, kenapa Alfis merasa bahwa dirinya tak pernah benar-benar pulang?
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro