Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Transenden itu Dependen

Jam istirahat kedua sudah nyaris habis! Lengan-lengan teracung ke atas, berusaha merenggangkan sekujur badan yang terasa pegal. Penyiksaan otak di hari Rabu ini telah resmi berakhir! Saatnya mengatakan selamat tinggal pada biologi dan materi alat optik fisika. Pasalnya, sekarang sudah memasuki jam terakhir, jam olahraga!

Matahari bersinar terik, nyaris berada di titik kulminasi. Sebagian besar siswa, lagi dan lagi, sama-sama melangkah gontai ke toilet utuk mengganti seragam dengan pakaian olahraga biru Persatas. Embusan napas malas terdengar di sana-sini, sudah seperti melodi rutin di kelas XI MIPA-1 pada setiap Rabu siang saja.

Biasanya, jika sudah lewat pukul dua belas, waktu jadi tidak terasa bergulirnya, tahu-tahu sudah menjelang bel pulang. Hanya saja, dengan adanya jam olahraga di siang bolong ini, mereka tidak hanya bertarung dengan pegal dan lelah hingga mandi keringat, tetapi juga dengan serangan si raja siang yang menyilaukan hingga tak ada satu rakyat bumi pun yang berani memandanginya.

Meski begitu, ada suatu keuntungan yang mereka dapatkan dari jadwal olahraga yang diletakkan di jam pelajaran terakhir. Sehabis ini, mereka bisa langsung pulang ke rumah masing-masing, tanpa perlu memaksakan otak untuk kembali bekerja keras. Tidak ada kelas yang dipenuhi bau masam dan keringat. Peluh mereka akan langsung diterbangkan oleh angin di perjalanan pulang!

Belum sempat mengganti dengan baju olahraga, ponsel Asa sudah berdering panjang terlebih dahulu. Oh, ada chat terbaru di grup WhatsApp OSIS Persatas 2021-2022. Lekas saja Asa membukanya. Ternyata, Mat sendiri yang memberikan pengumuman di sana.

Mat Paketos: Karena pelaksanaan Persatas Day besok, dan sudah diinformasikan dari dulu, sekarang kita ke kelas-kelas buat mendata partisipan lomba, perwakilan pentas seni, sama tema bazar setiap kelas sebelas, ya. Sesuai divisi aja. Sepuluh departemen mendata tiga puluh kelas. Jadi satu sekbid-nya ke tiga kelas. Aku kirim pembagiannya, ya.

Tak berselang lama, notifikasi Mat sudah kembali menghiasi chat room itu. Asa menenggak botol air putihnya seraya mengecek seksi bidangnya sendiri. Sekbid empat ... oh, iya. Kelas X IPS-3, XI MIPA-1, dan XI MIPA-2. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, jemari Asa bergerak mencari grup sekbid empat.

Yuk, kumpul. Mau di pokja?

Beberapa detik kemudian, pertanyaan Asa diiakan oleh Kepala Departemennya sendiri, Juno Kenandra, anak laki-laki dari kelas sebelah, XI MIPA-4. Ia sahabat kecil Iris. Dulunya, sewaktu kelas sepuluh, Juno anggota Sekbid 3, Seksi Bidang Kepribadian Unggul, Wawasan Kebangsaan, dan Bela Negara. Hanya saja, setelah mengikuti latihan dasar kepemimpinan siswa di akhir tahun kemarin, ia berpindah haluan ke Sekbid 4 bersama Asa.

Baru menyimpan kembali seragam olahraga ke atas bangku dan bangkit berdiri untuk keluar kelas, atensi Asa telanjur teralihkan karena dipanggil seseorang dari bangku depannya. "Asa?"

Tampaklah Mat yang masih menggenggam ponsel dan menoleh ke arahnya. Asa memiringkan kepala. "Kenapa, Mat?"

"Kamu masih sakit, 'kan? Enggak usah ikut ke kelas-kelas aja. Biar aku kasih izin terus kasih tahu Juno-nya."

Mendengar kalimat penuh perhatian itu membuat Asa menggeleng mantap. "Enggak ah, Mat. Enggak apa. Aku udah enggak apa-apa, kok, dari tadi." Meski Mat ini salah satu rival ambisnya di kelas XI MIPA-1, Asa sangat menghormati lelaki itu sebagai Ketua OSIS Persatas. "Aku kumpul dulu sama sekbid empat yang lain, ya."

Ya sudahlah. Seperti biasa, anak perempuan itu memang tidak akan pernah mempan diberi saran. Hanya materi dan tugas dari guru yang ia simak dengan baik. Selebihnya, kalimat-kalimat semacam pepatah maupun nasehat untuknya tidak pernah Asa dengar sama sekali.

Di bangkunya, Mat hanya mengangkat bahu. Ia sudah begitu paham dengan watak Asa, kok. Karakter abstrak nan absurd Bintang saja sudah Mat kenali luar-dalam. Memberi saran pada Asa itu seperti mengajak bicara pada orang yang tunarungu. Tidak akan pernah didengar. Apa boleh buat. Yang penting Mat sudah mengingatkan sejak awal.

Setelah sedikit berdiskusi dan pembagian tugas dengan tiga anggota Sekbid 4 lainnya, Asa mengangguk-angguk. Bersama-sama, mereka menjelajah ke kelas-kelas yang telah dibagikan Mat untuk divisi mereka. Ini yang selalu Asa suka dengan mengikuti OSIS! Meskipun dulu sempat ragu karena takut mengganggu waktu belajarnya, Asa menyadari bahwa dirinya sangat suka menyambangi kelas lain, berkenalan dengan orang baru.

Narsistik. Sejujurnya, Asa merasa senang setiap kali ia berada di salah satu penjuru Persatas, lantas seorang siswa tak dikenal yang berpapasan di jalan langsung mengetahuinya dan menyapa Asa dengan embel-embel ... 'Wah, kamu si paling ambis itu, ya?'

Iya! Asa bangga sekali dengan branding dirinya tersebut. Guru-guru yang tak sempat mengajar di kelasnya saja jadi mengenal seorang Asa Nabastala, anak OSIS XI MIPA-1 yang ambis kronis. Tak heran, Asa jadi merasa bahwa OSIS memanglah sudah menjadi jalan takdirnya.

Partisipan kelas demi kelas yang dikunjungi Sekbid 4 telah ada datanya di tangan Juno. Keempatnya pun berpisah kembali ke kelas masing-masing, melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Pas sekali dengan bel tanda habisnya jam istirahat kedua yang berbunyi nyaring memenuhi setiap penjuru Persatas.

Tergesa, agar tak tertinggal oleh teman sekelas lainnya, Asa pun mengganti seragamnya ke pakaian olahraga. Begitu turun ke lapangan, Alfis menatap Asa dengan tajam. Tak lupa dengan tangan yang terbenam di saku celananya seperti biasa. "Mau sok ikut olahraga? Biar pingsan lagi, ya, bagus."

Aih ... apa, sih? Kedua sudut bibir Asa tertekuk ke bawah. Baru saja turun ke lapangan, mood Asa sudah kacau maksimal. Gara-gara Badak Galak itu, sih! Asa mendengkus kesal. "Apa? Kamu merasa terintimidasi sama rivalmu, ya? Takut berhadapan langsung di lapangan, huh?"

"Lah." Salah satu sudut bibir Alfis terangkat, menciptakan senyum miring yang tampak begitu iblis. "Jangan kepedean. Aku cuma masih kasihan sama kamu yang bakalan kesusahan ngejar langkahku."

Peluit Pak Zul sukses menghentikan konversasi antara kedua anak manusia yang sama-sama tak mau kalah itu. Seluruh siswa berbaris untuk pemanasan dan lari tiga keliling di lapangan. Kemudian, dengan napas yang jadi terengah-engah, kini semua anak XI MIPA-1 berkumpul di hadapan Pak Zul untuk menerima materi kali ini.

"Baik, anak-anakku semua. Pada pertemuan kali ini, kita akan kembali mendalami materi bola besar di kelas sepuluh. Sepak bola." Di pinggir lapangan, Pak Zul memainkan bola di kakinya. "Ada yang ingat, ada apa saja teknik-teknik dalam bermain bola?"

Tidak perlu dipertanyakan lagi, kompetisi antara Asa, Alfis, dan kawanan ambis lainnya langsung mendominasi sekitar. Puncaknya, setelah semua materi terkupas habis, Pak Zul bertepuk tangan tiga kali untuk kembali mengambil alih atensi seluruh siswa.

"Baik! Karena kalian Bapak anggap sudah cukup menguasai materi ini, biar langsung kita praktikkan. Bagi dua kelompok, laki-laki dua, perempuan dua juga. Dengan begitu, akan ada dua latih tanding siang ini, yang laki-laki dan yang perempuan. Yuk, cepat! Bapak akan menilai teknik kalian masing-masing. Meski begitu, tim yang menang mendapat nilai tambahan, ya."

Nilai tambahan! Dua kata yang sukses menghadirkan binar-binar antusias di kedua manik cokelat terang Asa. Tak lama kemudian, kelompok demi kelompok sudah terbagi rata. Tim perempuan maju lebih dulu untuk melaksanakan latih tanding. Kini, Asa sudah asyik meregangkan ototnya di gawang. Ia sendiri yang menawarkan diri untuk mengambil posisi kiper.

Latih tanding perempuan terasa berlalu dengan lambat. Sebagaimana biasa, sepak bolanya perempuan seperti perburuan pakaian diskon, berkerumun di sekitar bola, ricuh sekali. Tak kunjung ada skor yang tercetak. Bola itu tampaknya sudah mual-mual karena sedari tadi, bola hanya berputar di sekitar area dalam lapangan. Hanya satu-dua kali yang bergerak mendekat ke gawang.

Sejak awal, Asa semangat sekali meneriaki teman satu timnya untuk segera mengambil bola dan memasukkannya ke gawang lawan. Sudah lebih dari setengah jalan pertandingan berlalu. Setelah istirahat sejenak, permainan musuh benar-benar berkembang. Mereka mengincar gawang Asa, sementara teman satu tim Asa kebanyakan terpencar di daerah lawan, sehingga kesulitan menghadang bola menuju sekitar Asa.

Berkali-kali, Prima, tim lawan, menendang bolanya ke arah gawang yang dijaga Asa. Sayangnya, berkali-kali pula Asa menolak bola itu mentah-mentah. Di luar dugaan, ternyata Prima jago sekali memotong umpan bola yang Asa berikan pada timnya sendiri. Asa bekerja keras di babak kedua ini. Tak terhitung berapa kali ia melesat ke kiri-kanan, berjongkok dan meloncat untuk menghalau bola membobol gawang.

Di saat tubuhnya mulai kelelahan, tendangan kembali melambung ke sekitar atas kepalanya. Dengan sepenuh tenaga, lekas saja Asa melompat. Gawang terselamatkan. Hanya saja, begitu Asa mendarat, jeritan kesakitan terdengar di salah satu sisi lapangan itu.

Lekas-lekas Pak Zul menghampiri Asa yang mendarat dengan posisi kaki yang salah. Kakinya keseleo. Beberapa teman ikut mengerumuni Asa yang tulang kakinya tengah diperbaiki oleh Pak Zul. Guru olahraga tersebut langsung memapah Asa untuk duduk menonton di pinggir lapangan bersamanya, lantas meminta teman lainnya untuk menggantikan posisi kiper.

Tidak! Asa mengepalkan tangannya kuat-kuat seraya meremas celana olahraganya sendiri. Asa mau kemenangan!

Beru tertangkap sudut matanya, tampaklah figur lelaki berkacamata tebal yang menghampiri Asa hanya untuk mengatakan sebuah kalimat. Kalimat Badak Galak yang tumben sekali tidak membuat Asa meledak untuk mencecar dan melanjutkannya dengan peperangan season sekian. Kalimat yang hanya Asa balas dengan senyap.

"Bebek Jelek ... jangan terlalu menuntut kesempurnaan, deh. Itu mengerikan, tahu."

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro