20. Destruksi Aksi Sangsi
"Sa? Asa! Kamu bisa dengar aku?"
Setelah mengerjap berulang kali untuk beradaptasi dengan intensitas cahaya di sekitar, kedua manik cokelat terang Asa terbuka perlahan-lahan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Akan tetapi, tidak ada waktu untuk sekadar memijit kening atau menunggu keadaanya hinga sedikit lebih baik. Asa langsung bangkit untuk duduk di ranjang UKS, lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari jam dinding. "Jam pelajaran pertama udah mulai?"
Mendapati respons pertama Asa yang malah mempertanyakan hal tersebut dengan raut begitu panik membuat Nabil hanya bisa menggeleng-geleng kecil. Anak laki-laki itu duduk di kursi yang tersedia di dekat tempat Asa berbaring, lantas disimpannya sekeresek hitam ke atas ranjang. Nabil tersenyum manis. "Istirahat dulu, Sa. Sarapan. Pelajaran mah bisa kamu kejar nanti-nanti. Nih, aku beliin roti, nasi kuning, sama kebab mini."
Tidak, tidak. Asa memegangi kepalanya yang teramat sakit. Ini hari Rabu, ya. Jam pelajaran pertama, biologi. Kelompok Asa cukup memalukan ketika tampil presentasi kemarin. Mana bisa Asa meninggalkan kelas begitu saja? Asa harus memperbaiki citra dan nilai Bu Rika untuk kelompoknya.
Sudah satu minggu sejak penugasan presentasi, seharusnya satu-dua kelompok siap tampil hari ini. Asa harus aktif bertanya! Oh, Asa juga belum membalaskan pertanyaan Alfis pada kelompoknya pekan lalu. Asa harus cepat masuk kelas!
"Mau makan apa dulu, Sa?" Nabil rempong sekali mengeluar-luarkan makanan yang dibelinya dari kantung keresek. Namun, baru teringat sesuatu, Nabil langsung menghentikan pergerakannya, lantas beralih ke meja UKS. "Eh, aku lupa, Sa! Kata anak UKS, kamu harus minum teh manis hangat ini. Belum sarapan, ya, kamu?"
Demi menjaga teh manisnya tetap hangat, Nabil menambahkan air panas dari dispenser, mengingat anak UKS tadi memang sengaja tidak mengisi gelas hingga penuh. Sejak bel masuk berbunyi, Nabil yang pulang dari toilet dan mengetahui kondisi Asa yang kurang baik pun lekas saja membeli makanan di Kantin Bi Ita. Anak itu bergegas menengok Asa di UKS, lantas mempersilakan anak UKS tadi untuk kembali ke kelas lebih dulu.
Nabil semangat sekali menunggui Asa hingga terbangun, barusan. Begitu Nabil menyodorkan cangkir di tangannya, Asa malah menggeleng lemah, lalu bergerak turun dari ranjang UKS. Dengan muka yang masih pucat, Asa berusaha mengusir pening. Anak perempuan itu duduk di lantai dekat bingkai pintu untuk memasang sepatu yang memang diletakkan Mat di sana saat membawa Asa ke UKS.
"Lho, Asa mau ke mana? Minum dulu ini." Teguran Nabil tidak mendapat tanggapan sama sekali. Nabil mengernyitkan kening. Terburu-buru, diletakkannya gelas teh manis ke atas meja, lantas mencekal pergelangan tangan Asa yang berdiri karena kedua sepatunya sudah terpasang. "Tunggu, Sa! Seenggaknya makan makanan yang aku beli, deh. Salah satuuu aja. Kamu belum makan, 'kan?"
Masih bergelut dengan rasa sakit yang mendera kepala, Asa jadi tambah kesal. Diempaskannya genggaman Nabil sekuat tenaga. Mata panda itu menyorot Nabil begitu tajam, sarat akan ketidaksukaan yang mendalam. "Bisa diam, enggak, sih? Aku enggak butuh ...."
"Tapi aku enggak mau kamu sakit, Asa. Aku cuma ...."
"Enggak! Aku enggak butuh perhatian orang. Aku enggak butuh siapa pun. Aku bukan cewek yang suka bergantung ke orang lain!"
Asa benar-benar meledak. Teriakannya itu disambut dengan keheningan yang panjang. Nabil tak mampu berkata-kata lagi. Di saat itulah, ketika Asa mengepalkan tangannya untuk menahan rasa lemas yang menggerogoti, muncul sosok lelaki berkacamata tebal dari kelokan koridor. Ruang UKS ini memang paling dekat dengan anak tangga menuju lantai dua, menuju kelas XI MIPA-1.
"Apaan yang barusan?" Itu Alfis. Dengan kedua tangan yang dibenamkan ke dalam saku celana abu, Alfis menatap Asa dengan mata sipitnya yang seolah memancarkan laser mematikan. "Bisa aku dengar sekali lagi? Songong banget jadi manusia."
Alfis menepikan langkahnya di depan bingkai pintu UKS, tepat di hadapan Asa dan Nabil. Tak menduga kedatangan seseorang yang tidak diundang begini, Nabil pun melepaskan cekalan tangannya pada Asa. Situasi makin rumit, atmosfer di sekitar langsung berubah gelap dengan cepat. Meski begitu, Asa masih berdiri di posisinya, tak segan sedikit pun untuk balas memelototi rival abadinya.
Sesaat, sakit kepala Asa seakan terkalahkan oleh amarah yang menggelegak. Anak itu lagi ... lagi-lagi dia! Alfis selalu datang hanya untuk memperburuk keadaan. Tidakkah ia memikirkan Asa sedikit saja? Asa baru bisa meloloskan diri dari cengkeraman rasa sakit, dan ia tengah terburu-buru saat ini. Ia harus masuk kelas Bu Rika! Kenapa Alfis malah menghambatnya begini? Asa mengerang berang. "Apa? Ini udah masuk, lho. Kamu mau bolos pelajaran biologi biar enggak presentasi?"
"Aku enggak akan presentasi kalau enggak ada kamu di kelas." Kalimat Alfis sempat membuat anak perempuan di hadapannya mengerjap tak mengerti. Buru-buru Alfis menambahkan, "Jangan dulu salah paham. Kamu harus lihat presentasi kelompok jaringan saraf. Biar aku tunjukkan gimana kerja kelompok sesungguhnya."
Asa mati-matian menahan diri untuk tidak menonjok tampang menyebalkan itu. Masih saja dibahas! Dendam Asa jadi makin menggelora untuk lekas-lekas dituntaskan.
Belum sempat Asa menimpali, Alfis sudah kembali angkat suara. "Dan lagi, biar aku kasih tahu. Bergantung dan memenuhi kodrat sebagai makhluk sosial adalah dua hal berbeda. Kamu manusia bukan, sih?"
"Apa? Makhluk sosial?" Asa tertawa hambar. Bayangan ketika Prima merobek buku astronominya tanpa merasa bersalah itu lekat sekali dalam ingatan Asa. Tanpa bisa dicegah, kedua netra cokelat terangnya mulai dilapisi manik-manik kaca yang siap tumpah. Di tengah ledakan emosionalnya yang tidak terkontrol, Asa menyunggingkan senyuman getir. "Saking sosial-nya, perjuangan aku disia-siakan gitu aja!"
Tidak ada yang menegur perseteruan antara kedua manusia itu. Koridor UKS begitu sepi. Tenaga pendidik sudah memasuki kelas masing-masing dan memulai kegiatan pembelajaran.
"Aku enggak bisa berharap lagi sama manusia, Alfis. Enggak ada yang bisa diandalkan. Aku enggak mau, dan emang enggak akan pernah! Cuma Ibu-Bapak yang bisa aku percaya. Selebihnya omong kosong doang!" Tangan Asa terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Napas Asa tersengal-sengal karena amarah yang memburu. "Menaruh kepercayaan pada manusia itu kesia-siaan yang nyata, Alfis. Aku enggak mau jadi manusia lemah yang cuma mengandalkan uluran tangan. Semua bantuan itu cuma bikin pertahanan aku melemah, dan memperbesar peluang hadirnya rasa kecewa. Lihat sendiri pas kemarin, 'kan? Perjuanganku enggak ada artinya di mata kalian."
Perjuangan? Tidak ada artinya? Di balik punggung Asa, laki-laki itu mengendurkan otot bahu. Kepalanya tertunduk dalam. Apalah artinya memberikan perhatian lebih pada Asa? Hanya untuk dicaci maki, dianggap suatu ketiadaan makna, lantas dipermalukan begitu saja? Sebagai anak tidak berguna jika dibandingkan dengan Asa yang si paling pelajar? Nabil mencakar jari kukunya sendiri dengan cukup kencang.
Tanpa bahasa, anak laki-laki itu memasukkan makanan di atas ranjang UKS ke dalam kantung keresek, lantas berlalu melewati Asa dan Alfis yang masih adu mulut.
"Kamu mau dimengerti, 'kan? Begitu juga orang lain."
Tak mau kalah, Asa balas menyerobot, "Aku bukan kalian yang enggak perlu pinjam buku sana-sini buat bikin catatan! Astronomi, perjalanan aku, hidup aku, semua di sana!"
"Hidup kamu, kamu, kamu, kamu, kamu terus! Hidup orang lain gimana?"
Senyap. Yang barusan itu jarang sekali Asa temukan dari diri seorang Alfis Gamyaga. Meskipun keduanya sudah berdebat berkali-kali hingga tak terhitung jumlah pastinya, tetapi Alfis biasa berkata sarkas dengan nada rendahnya yang menusuk tajam. Tidak seperti barusan yang sampai menaikkan oktaf suaranya.
Belum sepenuhnya tersadar dari kekagetannya, konsentrasi Asa kembali terpecah ketika tangan kanannya tiba-tiba ditarik Alfis. Lelaki itu membukakan telapak tangan Asa, lantas meletakkan buku bersampul roket yang dilapisi selotip di sana-sini.
Asa melotot sempurna. Itu buku catatan astronominya yang dirobek Prima satu hari lalu. Akan tetapi, meski keadaannya tak sebaik semula, buku itu tampak masih bisa digunakan. Asa bergeming di tempat, apalagi ketika mendengar Alfis berkata lirih dengan suara beratnya.
"Sama-sama."
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro