18. Kerlap Harap dalam Senyap
Jika ada suatu benda yang nilainya melebihi apa pun di dunia ini, maka dalam semesta Asa, benda itu adalah dua belas buku bersampul roket yang berisi rangkuman materi juga latihan soal astronomi selama lebih dari tiga tahun ini. Dua belas buku itu semacam monumen, jembatan bersejarah yang mengantarkan Asa hingga melangkah sampai ke titik ini. Perjalanan Asa tidak ada apa-apanya tanpa belasan buku astronomi yang berperan sebagai pijakan sejauh ini.
Kini, pada Selasa pagi yang cerah ini, Asa harus kehilangan salah satu bukunya begitu saja? Membiarkannya dihancurkan di depan mata, seakan lupa begitu saja atas berbagai pengorbanan siang-malam, dari minggu ke minggu, hingga menyulam tahun tak sebentar, yang ia dedikasikan untuk semua itu? Jangan bercanda. Drama macam apa lagi yang sedang Asa saksikan kali ini?
Sungguh, Asa tak pernah berhenti untuk lari di jalannya, lari menyongsong segalanya. Di saat ia masih berupaya untuk mengatur pergerakannya supaya tetap stabil dan tidak berhenti di tengah jalan, apakah semesta merasa semua itu masih saja kurang, hingga mengguratkan kembali begitu banyak rintang yang tak sekali? Apakah jalan mendaki yang Asa tempuh dengan berjalan kaki itu masih saja kurang, hingga kehidupan menghadirkan kerikil-kerikil penghalang, yang membuat juangnya terasa hilang?
Apakah segala pengorbanannya selama ini ... terdengar tak lebih dari omong kosong bagi semesta yang berpaling tidak peduli?
Sejak kertas-kertas dari buku astronominya itu tercerai-berai berserakan di atas lantai, tak ada suara Asa yang sampai. Manik cokelat terang Asa hanya mengamati setiap pergerakan Alfis yang sigap mengumpulkan sobekan kertas. Kosong. Hampa. Ketiadaan makna. Tidak ada energi yang terpancar dari netra kelam Asa.
Seisi kelas hanya diisi sunyi. Akan tetapi, kali ini, sejumlah pasang mata di XI MIPA-1 hanya menyoroti sosok Prima yang kini ikut mematung begitu mendengar kalimat Alfis yang menegur bahwa dirinya sudah kelewatan. Apa maksud dari tatapan itu? Apakah lagi dan lagi ... Prima harus menyandang gelar antagonis itu untuk kedua kalinya?
Oh, tidak. Lebih tepatnya tiga kali. Antagonis di kisah Bintang tahun lalu, antagonis Asa di lembaran ini, dan antagonis di kehidupan ayahnya sendiri. Selalu saja begitu. Prima yang selalu salah, tidak berperasaan, seorang anak yang durhaka, tidak bisa membalas jasa orang tuanya, hanya bisa merepotkan dan membuat masalah ....
Sampai kapan Prima harus mendapatkan peran seperti itu?
Prima sungguh tak tahan dengan kehidupannya sendiri. Bel masuk berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru Persatas. Detik itu pulalah Prima memilih untuk meraih kembali ransel yang sempat dijatuhkannya di lantai ketika duel tadi, lantas melarikan diri keluar kelas. Entah ke mana kakinya akan membawa Prima pergi kali ini. Halaman belakang? Pojokan Kantin Mang Dod? Ruang sempit di bawah tangga dekat Ruang Inspirasi?
Apa pun jawabannya, Prima hanya mau melarikan diri.
Di saat yang sama, Asa masih bergeming di posisinya. Kepalan tangan itu melemah. Manik cokelat terangnya tidak semangat seperti biasa begitu mendengar suara bel masuk, juga decitan halus pintu dan ketukan konstan sepatu guru yang menyapa lantai. Asa terdiam. Dirinya tak lagi peduli pada buku astronomi ataupun kenyataan bahwa jalannya baru dihadang begitu saja.
Tak ada emosi apa pun yang tersisa. Asa hanya bisa membisu. Seluruh siswa kecuali Prima sudah kembali ke kelas dan mengisi bangku masing-masing. Lekas-lekas lengan kokoh Alfis mengarahkan Asa untuk duduk di kursinya sendiri.
Sebelum Alfis benar-benar balik badan dan kembali ke habitatnya di pojok kanan paling depan kelas, anak laki-laki itu berbisik tepat di telinga Asa. "Segala sesuatu yang tidak membunuhmu adalah kesempatan. Jangan sia-siakan."
Demi mendengarnya, Asa tertegun untuk sejenak. Itu salah satu prinsip kehidupan yang selalu ia tulis di halaman belakang buku ... apakah Alfis sempat membacanya?
Belum habis spekulasi Asa, Alfis sudah kembali melanjutkan, "Manusia tidak mati rasa. Masih bisa merasakan sedih, marah, kecewa, dan emosi negatif lainnya. Tapi apakah itu semua hanya menjadi kerikil penghalang jalanmu, atau malah jadi pijakan baru untuk lebih melangkah maju? Kalau mau menangis, menangis saja. Tapi skor di pelajaran fisika kali ini akan aku monopoli seorang diri. Kesempatanmu aku ambil. Enggak keberatan?" Alfis menghela napas. Semua ini tidak semudah menghibur anak kecil dengan iming-iming mainan baru. "Jangan terlalu dipikirkan. Masalah Prima akan tuntas."
Layaknya berbicara pada robot yang kehabisan baterai, Alfis tidak mendapat tanggapan apa pun. Anak laki-laki itu pun menyadari bahwa kalimatnya mungkin tidak masuk sama sekali ke telinga Asa. Setelah kembali duduk di bangkunya sendiri, Alfis mendesah resah. Apalagi begitu menyadari bahwa Asa tak seaktif biasanya. Anak perempuan itu hanya sibuk menyimak penjelasan guru seraya menuliskan catatan penting sesekali.
Alfis mengusap wajahnya yang terasa kebas. Semua ini jadi terasa rumit sekali. Semoga saja lekas membaik. Walau egois dan menyebalkan setiap kali berlagak maju ke depan untuk mengerjakan soal dan mendapat skor dari Bu Yanti, perubahan drastis ini tidak akan berakhir baik. Bukan ini alasan yang Asa perlukan untuk berubah.
Di sisi lain, anak perempuan itu mengepalkan tangannya yang menggenggam pulpen dengan kencang. Tahan, Asa ... tahan. Segala sesuatu yang tidak membunuhmu adalah kesempatan. Jangan sia-siakan. Netra cokelat terang Asa sudah dihiasi manik-manik kaca yang siap tumpah dan menjejaki pipi ketika ia mengedipkan mata. Asa menggigit bibir kuat-kuat.
Keping hatinya mungkin hacur lebur tak bersisa, tetapi perjuangan Asa tak bisa hanya sampai di sini. Merangkak atau tertatih-tatih, Asa harus terus menempuh perjalanannya.
Olimpiade hampir dekat ... Asa tidak bisa berlarut-larut pada sesuatu yang jelas-jelas telah berlalu. Asa hanya perlu melangkah maju. Sebagaimana yang Alfis katakan, barusan. Di luar kendalinya, tatapan Asa malah tertarik untuk mengamati lelaki yang tengah membuka-buka buku paket fisika tebal di atas meja. Buku, ya ....
Kalau saja Asa punya uang yang cukup, Asa akan beli buku astronomi dari toko buku! Ia tinggal menggarisbawahi bagian penting di sana. Tidak perlu meminjam sana-sini, lantas merepotkan diri sendiri dengan merangkum segalanya dalam buku tulis. Kalau saja Asa punya kehidupan ekonomi yang lebih baik, mungkin Asa tidak perlu buku catatan astronomi sendiri yang pada akhirnya malah dirobek Prima begitu saja.
Seandainya, seandainya ....
Iya, manusia memang tak pernah mampu menyelamatkan diri dari lautan kata 'andai' yang menenggelamkan kehidupan.
[ π β ¢ ]
"Kak Asa!"
Tidak ada sahutan. Dari dalam kamar mandi, terdengar suara Asa yang tengah bergelut dengan cucian. Saka mengangkat bahu. Masih dengan kaus lecek dan kulit kusam karena baru pulang bermain bersama teman, Saka menghampiri kakak perempuannya dengan semangat.
"Kak Asa! Ceritakan lagi soal asal mula terbentuknya alam semesta, dong!"
"Apa!" Demi mendengar bentakan itu, seketika Saka terenyak untuk sejenak. Barusan itu kakaknya? Asa bangkit dari posisi jongkok, lantas memandangi Saka dengan tatapan kesal yang jarang sekali ia tunjukkan pada adik laki-lakinya itu. "Kakak ini capek, Saka! Bisa menghitung situasi, enggak, sih? Jangan bikin mood Kakak tambah buruk."
Sore itu berlalu tanpa suara riang Asa yang mengudara. Sepi sekali. Ibu-Bapak sampai saling pandang penuh tanya ketika mendapati Asa yang tak seperti biasanya. Selesai makan malam seadanya, anak perempuan itu langsung ke bilik kamar tanpa bicara sepatah kata pun. Hingga malam menjemput, tidak ada perubahan yang berarti.
Saka sudah terlelap di atas kasur lantainya. Ibu kembali sibuk di dapur. Sementara itu, Bapak masih berdiri di dekat bilik kamar putri sulungnya, lantas berkata lembut, "Asa ... mau mengamati bintang di langit malam ini?"
Dengan kepala yang terbenam sempurna di dalam bantal, Asa mematung. Bukan karena ajakan Bapak yang begitu menggiurkan, melainkan karena kalimatnya itu adalah suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang ingin Bapak bicarakan dengan Asa. Dialog tengah malam. Bukan sekali dua kali keduanya melakukan hal semacam itu. Akan tetapi, sampai kapan pun, Asa tak akan pernah kuasa menolaknya.
Karena itulah, dinaungi taburan gemintang yang berkerlip di antara gelap semesta, Asa dah ayahnya terdiam di teras rumah yang sempit. Hanya suara nyanyian binatang malam yang terdengar. Syahdu, sendu, membahasakan sedu yang merindu. Asa asyik bercakap-cakap dengan senyap. Akan tetapi, suara lirih ayahnya sukses menyedot seluruh perhatian Asa.
"Nak ... lama sekali Ayah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini padamu ...."
Asa menoleh, berusaha mengalahkan gengsi, lantas mendapati senyuman ayahnya terkembang begitu tulus, tak lupa kedua netra yang menyorotkan suatu kehangatan tak terdefinisikan. Ayah tampak begitu damai mengamati gemintang, seolah ikut tenggelam di dalam kedipnya.
"Maaf karena belum bisa mengantarmu untuk melangit ke nabastala, Nak, meraih bintang-bintang impianmu ... sejujurnya Bapak takut tak sanggup menghadirkan jalanmu untuk bisa ke puncak sana."
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro