Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Bebek Jelek Merengek

Teman, ya? Sebenarnya ... sepenting apa eksistensi suatu substansi bernama sahabat, dalam sistem kehidupan manusia?

Tidak. Tidak. Sejak awal, Asa percaya bahwa hubungan semacam itu tidaklah begitu krusial. Terkadang, terjalinnya hubungan spesial malah menambah banyaknya konflik yang bermunculan dan memiliki kemungkinan untuk menghadang perjalanan menggapai angan. Asa tidak mau memperumit dirinya sendiri. Cukuplah kepalanya hanya fokus memikirkan mata pelajaran dan olimpiade astronomi.

"Kamu selalu egois, Asa. Pantas aja enggak pernah punya teman."

Tidak pantas? Seorang Asa tidak memenuhi standar kepantasan? Yang benar saja. Dari dahulu kala, Asa selalu menyabet juara apa pun. Mendengar kalimat Prima itu terasa menggores sebagian kecil hatinya.

Enggak pernah punya teman? Jadi selama ini ... tidak pernah ada yang benar-benar menganggapnya sebagai teman? Asa punya salah apa, sih? Kenapa Prima sampai sejahat itu kepadanya?

Asa tak pernah peduli dengan seburuk apa pun orang memperlakukannya. Iya. Asa sudah cukup sadar diri, kok. Dirinya berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan. Jauh berbeda dengan teman lainnya yang ... yah, jangankan siswanya, Persatas ini, sekolah yang Asa dapatkan dengan beasiswa saja sudah terbilang begitu elit di daerah Tasikmalaya, bahkan nyaris menembus ke Jawa Barat, juga sebagian pulau Jawa, mengingat siswanya tak sedikit yang berasal dari Banjar, Subang, sampai Probolinggo.

Sebelum hari pertamanya masuk sekolah, Ayah juga sudah berkali-kali menyuntik Asa dengan begitu banyak kalimat motivasi dan penyemangat. "Di sekolah nanti, kamu mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih berbeda dari yang biasa kamu temui. Anak yang lebih pintar, lebih keren, lebih baik, lebih ahli, lebih memiliki segalanya ... begitulah sejatinya kehidupan, Asa."

Pada malam yang telah lalu itu, Asa menanggapi perkataan ayahnya dengan senyap singkat. Masih lekat dalam ingatan, saat itu, Asa terlalu bersemangat untuk hari pertamanya sekolah sampai-sampai tidak bisa tidur. Ayah-lah yang datang menghampirinya. Bukan untuk memarahi atau meneriaki seperti Ibu, melainkan untuk menemani putri sulungnya.

"Jadilah anak yang baik di sana, Asa. Jangan pernah lupa dari mana kamu berasal. Kita ini ... hanya orang biasa. Bapak tidak punya apa-apa." Sunyi beberapa detik. Di samping Ayah, anak perempuan yang tengah duduk di teras sempit sembari mengamati langit bertabur gemintang itu, diam-diam menahan air mata yang hendak meluncur bebas.

Ayah ... andaikata Asa punya kekuasaan untuk berbicara satu kali saja, Asa ingin menyatakan bahwa dirinya sungguh begitu bahagia memiliki Ayah yang katanya tidak memiliki apa-apa ... Asa tidak pernah meminta lebih. Kehadiran Ayah yang selalu menguatkan langkah kakinya saja sudah lebih dari cukup. Banyak sekali kata-kata yang hendak Asa tumpahkan. Akan tetapi, semua itu dilahap senyap. Asa tak mau mendengar suaranya sendiri yang parau.

Menyadari bahwa pembicaraan mereka mulai terasa menyedihkan, Ayah langsung merekahkan senyuman lebar, lekas-lekas membelokkan topik pembicaraan. "Asa ... orang-orang di luar sana itu jauh lebih tinggi dari kita. Tapi, kalaupun begitu, Ayah tahu anak Ayah juga hebat. Seriuslah dalam belajarmu, Nak ... kalaupun orang lain lebih pintar, jangan pernah kamu menyerah dalam berusaha semaksimal mungkin. Kalau kamu menguasai sesuatu, niscaya tidak akan pernah ada yang merendahkan kamu, Asa ...."

Hingga saat ini, nyaris dua tahun lamanya, kalimat itu membekas sekali dalam relung hati terdalam Asa. Suatu pegangan yang Asa genggam erat-erat setiap kali pijakannya mulai melemah. Asa tidak boleh berhenti. Tidak, hingga Asa sampai di puncak sana.

Hal itulah yang membuat Asa selalu meluruskan pandangannya, fokus menatap medan jalanan yang akan ia tempuh, tanpa merasa perlu untuk menoleh ke kanan-kiri. Teman? Sahabat? Bagi Asa, berinteraksi seperti biasa di dalam kelas pun sudah lebih dari cukup. Apa lagi yang kurang darinya? Asa selalu menyelesaikan setiap tugasnya. Bahkan ketika kerja kelompok untuk presentasi biologi sekalipun ... semuanya hasil kerja Asa!

Masih belum pantaskah ia memiliki seorang teman? Sebenarnya ... akar permasalahan ini dari mana? Hanya karena Asa melaporkan Prima yang menyontek, 'kan? Apakah Prima sedendam itu kepadanya, sampai bicara hal-hal tidak mengenakkan yang tidak-tidak?

Selain itu ... Prima hanya bicara omong kosong. Kenapa Asa terpengaruh sejauh ini? Sampai jauh lebih menarik perhatiannya, dibandingkan materi astronomi? Ya ampun ... apa yang salah dengan Asa? Kenapa belakangan ini, ia jadi merasa sentimentil untuk hal-hal yang tidak begitu diperlukan?

Bel pulang berdering nyaring, memenuhi setiap penjuru Persatas. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas dengan menggendong ransel di pundak masing-masing. Ramai sekali. Sebagian anak mengambil langkah seribu untuk lekas kembali ke rumah, sementara sebagiannya lagi berseru-seru riang bersama teman lainnya, tampak mendiskusikan jajanan baru di depan gerbang, atau berencana main ke tempat tertentu sebelum pulang. Satu-dua mengeluh panjang, tidak bisa berlama-lama, awan mendung sudah menggantung, tinggal menunggu waktu untuk menumpahkan air hujan.

Benar saja. Lima belas menit berselang, daratan Tasik diterpa hujan yang cukup deras. Siswa yang tersisa di sekolah mulai panik, seragam putih-abu ini masih digunakan untuk esok hari. Yah ... mereka memiliki seragam cadangan, sih, tetapi pulang dalam keadaan basah bukanlah suatu hal yang keren. Segera saja mereka mengganti pesanan ojek online menjadi kendaraan mobil, sedangkan yang jemputannya menggunakan mobil hanya menunggu dengan duduk santai di pos satpam.

Derai rintik hujan yang menciptakan bunyi damai sukses menyadarkan Asa yang masih saja duduk melamun di bangkunya. Kelas sudah sempurna sepi. Penjaga sekolah mulai sering berkeliling di lantai dua, hendak mengunci gerbang menuju anak tangga. Asa pun menggandeng ranselnya, lantas turun ke bawah. Akan tetapi, bukannya menuju gerbang, Asa malah berbelok ke bagian belakang sekolah.

Di koridor dekat UKS yang terdapat sebuah meja untuk satu-dua anak makan siang, Asa menyimpan tasnya. Kemudian, anak perempuan itu terus berjalan menerobos hujan tanpa mempercepat langkahnya. Tibalah Asa di bagian belakang sekolah, suatu lahan kosong tak beratap yang ditanami pohon kersen dan sebagainya. Asa berdiam diri di tengah-tengahnya. Kepala yang sudah sempurna basah kuyup itu mendongak ke langit. Lama sekali.

Kenapa Prima tampak sebenci itu padanya, ya?

"Ngapain? Bunuh waktu? Santai banget, hidup." Sebuah suara sarkas yang begitu sering menyapa telinga Asa belakangan ini berhasil mengambil alih seluruh atensi Asa. Asa berbalik badan untuk mendapati Alfis yang tengah berdiri tegak dengan sebelah tangan memegangi payung untuk dirinya sendiri, juga sebelah tangan lainnya yang dibenamkan ke dalam saku celana, seperti biasa. "Hujan-hujanan? Bocil banget."

Apa lagi ini? Halah. Si paling dewasa! Asa kembali memunggungi Alfis yang berjarak tak kurang dari tiga meter. Di tengah kebisingan suara hujan yang menghujam bumi, anak laki-laki itu sampai berteriak agar dapat terdengar. Asa mendengkus. Suasana hatinya sedang tidak ingin dikacaukan begitu saja. Tanpa aba-aba, di luar kendali Asa sendiri, bibir tipisnya malah menanyakan sesuatu hal yang lain. "Soal kecurangan Prima ... emangnya kamu enggak sakit hati, Fis? Enggak merasa usahamu dikhianati gitu aja?"

Mendapati pertanyaan yang juga tidak diduganya itu membuat Alfis terdiam sejenak, lantas angkat suara. "Enggak. Kenapa harus sakit hati? Fokus aja sama usahaku sendiri. Orang nyontek? Bukan urusanku." Alfis tidak memasang ekspresi apa pun di belakang sana. Hening menguasai hingga beberapa menit lamanya. Alfis mengembuskan napas berat. "Kenyataannya, dunia ini emang enggak bisa selurus itu. Jangan naif, deh, Bebek Jelek."

Dunia yang lurus ... eh, sebentar. Bebek Jelek? Apa maksudnya? Badak Galak itu mengatainya? Asa langsung berbalik badan dengan beringas. "Apa? Emang di sini ada bebek, Badak Galak?" Telanjur terbawa emosi membuat Asa tidak sadar telah balas berterus terang tentang julukan Alfis yang selama ini hanya Asa sebut dalam hati.

Jelas saja, lelaki itu pun melotot sebal. "Bebeknya ada di depanku. Karena dia jelek, makanya sengaja nunggu hujan buat simulasi renang, ngetes kemampuan selaput di kakinya." Tatapan Alfis tampak nyalang. "Terus barusan apa yang aku dengar, ya? Badak? Larutan cap badak?"

"Iya! Badak Galak, sensian, kayak cewek PMS, manusia sok, si paling bijak, si paling dewasa, si paling segalanya!" omel Asa, gemas dengan lelaki berhati batu di hadapannya. Anak perempuan itu malah berjongkok di posisinya, malas menanggapi Alfis lebih lama lagi.

Helaan napas kembali terdengar dari mulut Alfis. Suaranya melunak untuk sejenak. "Cepat pulang. Sekarang. Atau mau sakit, ngerepotin orang tua, enggak masuk sekolah, terus ketinggalan pelajaran, gitu? Bagus." Tanpa perasaan, Alfis langsung berbalik badan. Akan tetapi, karena masih ada sesuatu yang hendak dikatakan, langkah itu masih tertahan. "Satu lagi. Hujan-hujanan aja terus. Udah basah. Jangan harap mau aku pinjamkan payung ini, ya."

Kalau saja Asa punya kemampuan sebesar Hulk, akan ia cabut pohon kersen untuk ditimpakan pada manusia bernama Alfis yang bergerak menjauh dari halaman belakang, berjalan menuju gerbang sekolah dengan payung biru tua di tangannya.

Dipinjami payung oleh Badak Galak, katanya? Siapa juga yang mau!

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro