Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Komplikasi Manipulasi

Berdasarkan survei yang teruji keakuratannya, ada suatu surprise yang tidak pernah menyenangkan apalagi dinanti-nantikan oleh anak-anak Persatas. Walau sama-sama dadakan, tetapi surprise yang satu ini tidak seenak tahu bulat apalagi mi ayam pangsit Mang Dod yang masih panas. Iya. Namanya ulangan dadakan.

"Untuk penilaian tengah semester genap ini, Bapak akan ambil dari ulangan harian sekarang, ya. Semuanya, persiapkan selembar kertas dan alat tulis di atas meja. Kalian tidak perlu mengumpulkan buku maupun alat komunikasi ke depan. Bapak percaya pada kalian. Hanya satu yang perlu ditekankan, bahwa Bapak tidak menoleransi kecurangan dalam bentuk apa pun."

Begitulah kalimat pembuka Pak Prana setelah memasuki ruang kelas. Terdengar sangat manis dan mengasyikkan, hingga anak-anak di kelas XI MIPA-1 langsung menggelengkan kepala menahan haru, tak tahan dengan wali kelas mereka sendiri yang sungguh berbakti dan mengabdi pada negeri.

Tanpa berniat mengelak, seorang Asa dengan ambisinya yang tak mengenal kata habis sekalipun masih merasakan jantungnya berdetak kencang setiap kali mendengar hal-hal sejenis tes, kuis, ulangan, juga latihan soal! Hanya saja, yang membedakan Asa dengan teman-teman lainnya adalah alasan di balik ketegangan itu.

Jika yang lain merasa tidak tenang karena belum belajar, maka Asa tidak bisa menenangkan desiran darah yang beredar cepat di sistem tubuhnya karena antusias yang meledak-ledak! Asa sangat menyukai ujian. Dengan adanya ujian, guru bisa mengecek perkembangan masing-masing siswa. Dengan berefleksi pada hasil ujian, Asa bisa mengukur dan mengetahui sudah seberapa jauh langkahnya selama ini.

Tidak ada yang mengerikan dalam proses belajar-mengajar. Bagi Asa, rasa takut terhadap ulangan dadakan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memang menyadari bahwa dirinya tidak maksimal dalam belajar. Gumaman kecewa yang mengudara di sana-sini membuat Asa bertanya-tanya. Untuk apa protes keberatan pada guru? Untuk menghindari nilai merah di rapor pembelajaran? Lantas, kenapa tidak belajar saja untuk mempersiapkannya sejak awal?

Menurut Asa, ujian ini tidak semata-mata tentang menjawab dengan benar, lantas mendapatkan nilai tinggi untuk perbekalan memasuki universitas nanti. Selain melatih kejujuran, adanya ujian ini bisa mengajarkan suatu hal pada Asa. Mungkin tidak disadari siswa lainnya, tetapi Asa merasa bahwa ujian ini salah satu faktor pembentuk karakter kita agar tidak pernah melarikan diri dari masalah.

Sebagai seorang pelajar, tentu mereka semua akan selalu dihadapkan dengan yang namanya ulangan. Untuk naik ke level berikutnya, tentu Asa harus diuji, bukan? Jika dianalogikan sebagai masalah, maka ujian ini mengajarkan Asa untuk tetap menguatkan langkah dalam menghadapi sesulit apa pun soal-soal kehidupan.

Jika ingin melaluinya dengan gemilang, maka maksimalkan segalanya. Jika tidak sesuai dengan harapan, maka jangan salahkan soal ujiannya. Kalau tak mau dunia yang keras pada Asa, maka Asa yang seharusnya keras pada diri sendiri. Dunia tidak selamanya sesuai dengan apa yang Asa mau. Terlahir dalam keluarga yang serba-terbatas membuat Asa memahami pepatah itu lebih baik dari siapa pun.

Bagi Asa, ujian ini adalah fase untuk mempertaruhkan harga dirinya sebagai pejuang nilai. Asa juga takut. Skor rendahnya bisa mengancam keselamatan beasiswa yang ia jadikan pijakan di perjalanan ini. Akan tetapi, rasa takut itu tidak diciptakan untuk membuat manusia berlari pontang-panting menjauhi. Rasa takut ada untuk dihadapi dan ditaklukkan. Itu prinsip ke-sekian yang Asa dekap dengan erat.

Lagi pula, hari-hari ini memang pekannya ujian tengah semester. Pesta UTS! Beberapa guru pengampu memilih pengumpulan tugas sebagai nilai tengah semester, tetapi bukan hal aneh jika beberapa mata pelajaran diadakan ulangan dadakan. Asa cukup percaya diri untuk mengerjakan soal di hadapan. Toh, dirinya memang terbiasa belajar setiap hari, nyaris setiap saat malah. Ulangan dadakan sudah tak lebih dari kerikil kecil yang tinggal ia sentil agar tidak menghalangi perjalanan.

"Silakan, bisa langsung dikerjakan."

Asa menganalisis dua lembar soal yang bermuatkan begitu banyak angka-angka dengan cermat. Waktu pengerjaan maksimal dua jam pelajaran. Ulangan ini terdiri atas dua puluh lima soal, hanya diambil dari materi polinomial. Bukan suatu hal besar. Kalau ada kesempatan, Asa bahkan berencana mengajarkan materi tersebut pada adiknya yang masih kelas enam SD. Konsepnya cukup sederhana, soalnya. Mudah dipahami.

Belum sampai satu jam, dua puluh lima soal itu telah tuntas dikerjakan Asa. Seulas senyuman puas tersampir di kedua sudut bibir. Asa memutar-mutar pulpen di atara jemarinya, sembari mengecek kembali jawaban yang telah ia torehkan. Sesudah yakin seratus persen, Asa menyelipkan pulpen ke saku, lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Didapatinya benteng raksasa tiga buku yang diberdirikan di bangku Alfis, Bintang, dan Kiano. Jarak mata dengan kertas yang digoreskan jawaban itu dekat sekali, seolah angka-angka itu akan melarikan diri jika tidak dipelototi oleh ketiganya. Asa mendengkus malas. Biasalah. Ulangan-ulangan begini memang sudah menjadi ajang kompetisi bergengsi bagi agen MaFiKiBi Society.

Sedari tadi, hanya Mat yang mengerjakan dengan santai. Oh, jangan salah. Asa juga tahu kalau anak laki-laki itu sudah menyelesaikan ulangannya. Bagi seorang maniak matematika, soal-soal tadi bukanlah apa-apa. Jika bagi Asa saja mudah, apalagi bagi seorang Mat.

Di tengah keasyikan Asa mengamati teman-teman sekelasnya yang tengah bergelut dengan ulangan, sudut mata cokelat terang itu menangkap sesuatu yang ganjil di bangku baris kedua, sebaris dengan Asa, hanya selisih satu meja di sebelah kirinya. Di sana ada Prima, dengan kepala tertunduk dalam. Tidak. Bukan posisi khusyuknya itu yang menarik perhatian Asa, melainkan adanya blue light dari layar ponsel yang dinyalakan di kolong bangku Prima.

Iya, Prima. Jemari anak perempuan itu tampak begitu lincah mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa detik, gerakannya terhenti, kemudian semangat sekali meraih kembali pulpennya dan menuliskan angka-angka di lembar jawaban. Prima menyontek. Tak perlu dipertanyakan lagi.

Cukup sudah. Asa menyeret kursi sedikit ke belakang untuk memberinya ruang, lantas bangkit dari duduknya. Ia tidak berniat mengumpulkan lebih awal, sebenarnya. Akan tetapi, apa boleh buat? Keadaan memaksanya. Asa melangkah mantap ke meja guru dengan lembar soal dan lembar jawaban di tangan. Setelah menyerahkannya pada Pak Prana, Asa berdeham singkat.

"Sudah selesai, Asa? Sudah dicek ulang?"

Hanya anggukan singkat yang Asa tujukan untuk menanggapi pertanyaan Pak Prana. Sebelum wali kelasnya itu kembali berbicara, Asa sudah angkat suara lebih dulu. "Primadani Putri Riani, baris kedua dari depan, bangku paling kiri, belakangnya Kiano, sedang berbuat kecurangan dengan menggunakan alat komunikasi, Pak."

Demi mendengar pengaduan tersebut, Pak Prana membulatkan bibir, ber-oh kecil. Pria berusia menjelang kepala empat itu mengangguk singkat. "Terima kasih untuk laporannya, Asa. Silakan. Kamu bisa keluar kelas lebih dulu."

Entah tindakan apa yang akan Pak Prana ambil sehabis ini. Itu sudah keluar dari tanggung jawab Asa. Bukan lagi urusannya. Hal paling pentingnya, Asa sudah melaporkan kecurangan yang ada. Itu sudah lebih dari cukup. Memang hanya sampai di sana.

Asa keluar kelas seraya meraih earphone dari saku untuk disumpalkan ke daun telinga. Jam istirahat belum tiba. Pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan latihan soal di tengah jam pelajaran begini menciptakan kesan seolah Asa tengah membolos.

Ya sudahlah. Pilihan terbaik memang dengan melanjutkan unduhan penjelasan materi dan pembahasan soal astronomi menggunakan Wi-Fi sekolah. Karena tak sabar, Asa akhirnya streaming sekaligus mengunduh videonya.

Tak lama, tidak sampai setengah menit berlalu, pintu kelas sudah berderit terbuka kembali. Alfis muncul dari balik bingkai pintu. Seperti biasa, sebelah tangannya dibenamkan ke dalam saku celana abu. Mendapati Asa yang duduk di lantai koridor, Alfis memutuskan hanya berdiri di dekat bingkai pintu seraya menyandarkan punggungnya ke dinding.

Tanpa berniat menghampiri walau sesenti, Alfis sudah bersuara tanpa menatap lawan bicaranya sama sekali, menciptakan komunikasi mode social distancing. "Kamu yang laporin Prima ke Pak Prana? Biar apa?"

Di posisinya, dengan sebelah earphone yang masih tergantung di telinga, Asa menengadahkan kepala untuk menatap Alfis yang dalam posisi berdiri. "Iya. Kenapa? Dihukum?"

Tak berminat menjawab, Alfis hanya mengangkat bahu tidak acuh. Jelas sekali bahwa ia tidak mau terlibat dalam urusan ini.

Tidak mendapatkan jawaban berarti dari lelaki berkacamata tebal itu, Asa pun turut mengangkat bahu, lantas kembali menekan tombol play pada video pembahasan soal mengenai Efek Doppler yang sempat dijeda. Sayangnya, kala itu, Asa memang tidak mengira bahwa tindakan sepelenya akan merambat menjadi sesuatu yang lebih rumit.

Ya. Semua itu tidak berhenti sampai di sana.

[ π β ¢ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro