Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Bunyi Sunyi Menyanyi

Tawaran yang meluncur dengan santai dari bibir Kiano hanya memperburuk suasana hati Asa. Detik berikutnya, Kiano berdeham. Anak laki-laki itu berniat meralat kalimatnya, yang malah membuat Asa tambah kebakaran jenggot, dongkol setengah mati.

"Oh, enggak jadi. Enggak usah join, ya. Kita enggak open member. Kita, kan, MaFiKiBi, Ma untuk Mat dan Matematika, Fi untuk Alfis dan Fisika walau dia malah berkhianat ke astronomi di tahun ini, Ki untuk Si Ganteng Keren Kiano Aldebaran dan Kimia, Bi untuk Bintang dan Biologi. Kalau kamu ikutan, nanti jadi MaFiKiBas, ketambahan As untuk Asa dan Astronomi, enggak estetik."

Lambaian tangan Kiano yang tampak menatap Asa dengan prihatin itu membuat Asa nyaris meledak seketika. Asa mendengkus galak. "Lagian, siapa yang mau!" Setelah berseru sinis dengan tampang paling garang, Asa memalingkan muka. Tahu begini, sebaiknya Asa langsung ke Perpustakaan Manonjaya saja. Lumayan, bisa hemat waktu, uang, dan hemat tenaga agar tidak disia-siakan dengan menumpuk rasa jengkel dalam jiwa.

Akan tetapi, yang paling membuatnya dongkol adalah penjelasan Kiano sebelumnya. Apa katanya? MAS JONTOR? MaFiKiBi Society Joging untuk Setor Reparasi? Deskripsi programnya sama persis dengan yang sedang Asa jalankan saat ini! Asa mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari tempat kosong yang jauh dari posisi keempat agen MS. Sayangnya, satu-satunya tempat tersisa hanyalah di samping Alfis, tepat di antara tempat duduk Alfis dan Kiano.

Iya. Lantai lesehan ini memang hanya menyediakan tiga meja bulat. Selain yang dipakai MaFiKiBi Society, dua lainnya sudah terisi. Asa mengetuk-ngetuk ujung sepatunya ke tanah. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Duh ... ayolah! Semoga ada salah satu pengunjung yang selesai dan lekas bangkit dari duduknya.

Akan tetapi, semua rutukan sebal Asa di dalam hatinya itu terdistraksi oleh mengudaranya suara berat yang seolah menghunuskan padang tajam. "Kalau butuh, ya, bilang aja. Kamu itu makhluk sosial. Apa susahnya bilang 'mau ikut duduk'? Enggak usah mempersulit hidup, deh."

Alfis ... Badak Galak itu! Asa mengerutkan alisnya tidak suka. Lagi-lagi begitu. Kapan semua kalimat sok dari bibirnya itu bisa tersumpal, sih? Heran. Hobinya selalu saja mengibarkan bendera perang pada Asa. Lebih sebalnya lagi, semua yang dikatakannya itu selalu tepat sasaran. Atmosfer suasana sekitar seketika berubah kelam.

Demi menyelamatkan situasi yang ada, lekas-lekas Bintang angkat suara. "Idih, segala banget, Alfeses. Udah, udah. Sini aja, Sa! Kamu, geser duduknya, sana! Ih! Malah nempelin upil di pinggir meja!" Dengan tubuh mininya, Bintang mendorong-dorong punggung Kiano agar lekas menyingkir, sehingga spasi kosong itu terdapat di antara Bintang dan Kiano. Bintang menepuk-nepuk lantai di sebelah tempat duduknya. "Sini!"

Merasa diusir, Kiano berdecak malas. Pinggir meja untuk koleksi upilnya sudah ketahuan. Tidak aman. Meski begitu, dirinya santai saja melanjutkan rutinitas mengupilnya, lantas menyentilkan harta karun itu ke sembarang arah. "Bintang, kok, rempong banget, sih?"

Tak mengindahkan nyinyiran Kiano yang bagaikan emak-emak tengah menggosipkan kenaikan harga minyak atau rumor tentang tetangga janda beranak tiga yang hendak menikah lagi, Bintang hanya mengangkat bahu, sudah terbiasa. Tangannya melambai, meminta Asa untuk bergabung dan duduk di sebelahnya.

Meski masih gengsi tingkat tinggi, Asa pun menuruti Bintang. Oh, posisinya lebih salah lagi, ternyata. Setengah mati, susah payah Asa mempertahankan diri untuk tidak kembali emosi hanya untuk mendapati tampang songong yang terpampang jelas di hadapannya. Iya. Karena Kiano bergeser, posisinya jadi saling berhadapan dengan Alfis! Entah mimpi apa Asa semalam, sampai bisa mendapatkan hari Minggu yang menguras mental seperti ini.

Tak mau berlarut-larut dalam suasana canggung dan dengungan genderang perang dalam bisu yang menguasai sekitar, segera saja Bintang kembali angkat suara. "Oke, sip. Ayo lanjutkan lagi! Aku sudah setor, ya. Sekarang Alfis!"

Di saat yang sama, Alfis juga mendecih pelan. Sekarang? Ia akan menjelaskan kembali materi biologi, titik terlemah dalam sistem kehidupan rapornya, tepat di hadapan Asa, saingan Alfis yang memiliki lima poin lebih tinggi di nilai biologi UAS kemarin? Cih, tahu akan begini, sebaiknya Alfis setor lebih dulu sebelum Bintang.

Apa boleh buat. Ia pasti bisa melaluinya dengan lancar! Setelah menghela napas panjang, Alfis langsung menjelaskan kepingan memori yang ia ingat selama mendengarkan materi sistem koordinasi manusia lewat earphone selagi lari pagi tadi. "Infeksi atau peradangan pada selaput otak alias meninges, disebut meningitis. Bakteri penyebabnya adalah Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, serta Hemo ... hemofilia. Eh?"

Di saat Alfis masih memproses kalimatnya sendiri, mencari di mana letak kesalahan dan yang seharusnya, Asa lekas-lekas menyambar lebih dulu, "Haemophilus influenzae! Hemofilia, sih, penyakit! Gangguan ketika darah tidak membeku secara normal, yang bisa mengakibatkan perdarahan berlebih, entah itu eksternal atau internal, setelah adanya cedera atau kerusakan. Kalau Haemophilus influenzae ini bakteri yang bisa bikin infeksi di berbagai bagian organ tubuh."

Alfis melotot, membuat mata sipitnya jadi tampak lebih lucu. Santai sekali anak itu menyerobot tanpa permisi. Di saat yang sama, Mang Iyam menyerahkan semangkuk bubur ayam yang masih menguarkan kepul hangat. Lekas saja Asa menyerbunya setelah mengaduk bubur tersebut.

Berusaha tak menganggap eksistensi Asa di hadapannya, Alfis meralat sedikit ucapannya, lantas melanjutkan sesi setor review materi di program MAS JONTOR ini. "Serta bakteri Haemophilus influenzae. Untuk menentukan masih hidup atau tidaknya seorang pasien, dokter menggunakan alat elektronik perekam aktivitas otak. Namanya EEG, Elektroaerometer ... eh, itu perekam aliran udara, ya. EEG, Elektro-ensipasi ... Elektro ...."

"Elektro-ensefalogram! EEG!" sambar Asa, lagi. Saking gemasnya, anak itu sampai menghentikan kegiatan makannya, lantas mendenting-dentingkan sendok pada pinggiran mangkuk, sudah persis seperti Pak Daud, guru Matematika Wajib mereka yang seringkali membawa tongkat panjang untuk memukul-mukul papan tulis kalau ada murid yang salah mengerjakan soal. "Hafalanmu ternyata separah itu, ya, Fis."

Gila. Anak itu benar-benar sudah kehilangan seluruh kewarasannya. Alfis tak melepaskan pelototannya dari figur Asa yang santai sekali menyuapkan bubur ayam ke mulutnya. Menyadari tatapan maut itu, Asa malah balas mengangkat alis tanpa dosa.

"Apa? Pengin bubur aku?"

Alfis mengeraskan rahang. "Enggak! Aku bukan tim bubur diaduk kayak kamu."

Gelak tawa meledak dengan nikmat kala itu. Mat terkekeh kecil, sementara Bintang terkikik geli sampai memukul-mukul meja dengan anarkis. Kiano-lah yang paling brutal. Kaki yang tengah diselonjorkannya kini menendang-nendang udara untuk melampiaskan tawa. Oh. Jangan lupakan suara brat-bret-brot Kiano yang kepayahan sampai terkentut-kentut.

Bukan apa-apa ... tetapi ini seorang Alfis, lho! Seorang Alfis Gamyaga, dengan gengsi selangit, kini harga dirinya dibantai habis-habisan oleh seorang Asa. Suatu hal langka! Kapan lagi mereka mendapat tontonan gratis di mana Alfis yang selalu sok paling benar dan punya mulut sepedas sambal mi ayam Mang Dod itu jadi dipermalukan segininya?

"Berisik!"

Merasa telah sukses mempermalukan saingannya, Asa menyeringai menang. Anak perempuan itu memakan bubur di sendoknya dengan gaya yang sok keren. Yah ... meski Asa tampak begitu merendahkan Alfis, sejujurnya, ada setitik rasa kagum di sudut hati Asa.

Alfis Gamyaga, maniak hitungan fisika dan astronomi itu, punya kelemahan di bidang hafalan seperti biologi. Dengan kemampuan menghafalnya yang seperti itu, rasanya Asa sampai tak percaya bahwa biologi Alfis bisa mencapai angka 80. Sepertinya, lelaki itu memang berusaha sekeras mungkin untuk menaklukkan sumber kelemahan terbesarnya.

Itulah poin pentingnya. Alfis tidak menyerah begitu saja atas berbagai kelemahan yang menjadi penghalangnya menuju puncak. Alfis tidak berhenti. Mungkin kekesalan itu tidak bisa terelakkan eksistensinya di dalam pikiran, kesal kenapa dirinya begitu sulit menghafal materi. Namun, Alfis tahu bahwa satu-satunya solusi adalah dengan mencoba berbagai jalan, bukan dengan menyerah dan berdiam diri begitu saja.

Di MaFiKiBi Society ini ....

Walau senang sekali mereka menertawakan lelaki itu, Asa tahu dengan pasti, bahwa Alfis tidak merasa marah sedikit pun. Alfis senang bisa berada di sekeliling sahabatnya. Alfis ... tampak begitu menikmati rasa peningnya dalam menghadapi biologi, selama itu bersisian dengan ketiga sahabatnya.

Apakah pengaruh satu sama lain dari mereka memang sekuat itu? Lama, Asa tercenung hanya untuk mengamati interaksi anak-anak MaFiKiBi Society yang bising sekali. Iya. Tanpa sengaja, Kiano yang tengah mengeduk harta karun di lobang hidungnya itu malah membuat sebutir upil melayang persis ke arah windbreaker hitam Alfis. Jelas saja Alfis memburu anak jorok itu hingga keluar kawasan tenda Bubur Ayam Mang Iyam.

Kini, tatapan mata Asa beralih pada bubur ayam yang masih tersisa setengah mangkuk di hadapannya. Asa tenggelam dalam lamunan. Apakah dirinya memang merasa kesepian?

[ π β ¢ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro