Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Asa yang Mengangkasa

Asa sebal kuadrat! Sisa-sisa kekesalan yang terus menumpuk hanya karena mengingat tindakan Alfis yang selalu saja menyambar pertanyaan Kak Daniel di pembinaan astronomi tadi, kini meledak begitu Asa sampai ke rumah dan mengempaskan badan ke atas kasur lantai. Alfisetan! Badak Galak! Tadi itu penghinaan besar ... Alfis jelas-jelas sengaja!

Awas saja, Asa tidak akan tinggal diam. Asa akan membalasnya di pertemuan pembinaan selanjutnya! Setelah menendang-nendang udara kosong, Asa mengeluarkan alat tempurnya yang berupa kalkulator saintifik, sebatang pulpen dari kotak hadiah yang diterimanya karena berhasil memenangkan lomba menulis esai, juga tumpukan buku astronomi hasil meminjam dari perpustakaan.

Dengan kernyitan halus yang menghiasi dahi, Asa begitu menikmati setiap prosesnya dalam memahami berbagai hukum fisika yang banyak digunakan di astrofisika. Asa suka sekali sensasi menyenangkan ketika otaknya terus-terusan mencari jawaban dari betapa banyaknya tanda tanya atas misteri-misteri yang disimpan semesta.

Ada apa di balik kelamnya black hole yang memiliki kekuatan gaya tarik mahabesar dengan singularitasnya? Apa saja yang akan terjadi ketika matahari mencapai fase evolusi lanjut, tahap akhir bintang yang tidak akan mengalami evolusi lagi? Bagaimanakah perubahan yang terjadi pada tata surya kita jika orbit planet tak lagi beraturan?

Pertanyaan demi pertanyaan yang tiada habisnya itu akan selalu hidup di kepala Asa. Selagi belum terjawab, Asa tak akan pernah berniat untuk berhenti dari dunianya ini. Beberapa tanda tanya yang ia pikirkan sejak kecil memang telah menemui jawabannya seiring bertambahnya buku astronomi yang ia baca, tetapi masih ada beribu tanya lainnya yang hanya didengar senyap. Asa harus belajar lebih banyak lagi.

Ini adalah jalan yang Asa pilih. Sejak masih kelas tiga SD, di saat teman-teman sebayanya masih asyik menggandrungi buku cerita bergambar atau hiburan di gawai orang tuanya masing-masing yang tergolong berkemampuan, Asa malah tertarik dengan buku antariksa untuk anak kuliahan yang lebih tebal dari kasur lantai di rumahnya.

Kemampuan kognitif dan usianya yang belum matang memang membuat Asa tidak mengerti setiap rumus di buku tersebut. Saking penasarannya, Asa sampai memaksa Bu Yuli, penjaga perpustakaan di sekolah dasarnya, untuk menjawab rasa ingin tahunya. "Yang ini namanya apa, Bu? Kenapa kayak huruf E yang dikapital?"

Aduh. Itu mimpi buruk bagi Bu Yuli yang latar belakangnya memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Ia hanya mengenal dunia sastra dan linguistik. Apa itu rumus-rumus fisika? Sudah hilang dari kamus kehidupannya sejak lulus SMA!

Apa daya, karena Asa terus saja memaksa sampai menarik narik ujung baju batiknya, Bu Yuli pun menyerah dan memanggilkan Bu Deudeuh, guru MIPA yang mengajar di kelas enam. "Itu namanya tanda sigma, Asa."

Sesaat, Asa Kecil mengerjapkan mata. Bu Yuli senang sekali karena Asa akhirnya mau diam meski hanya untuk beberapa detik lamanya. Manik cokelat terang yang ditaburi binar-binar antusias itu menatap Bu Deudeuh dengan penuh harapan. "Sigma? Sigma itu apa, Bu?"

"Itu ... aduh, bahasan itu terlalu jauh, Asa." Gemas dengan pertanyaan Asa yang selalu saja beranak dan di luar batas seorang anak kelas tiga SD begitu, Bu Deudeuh pun mengelus puncak rambut Asa yang sudah sepinggang, belum dipotong lagi. "Ini buku anak kuliahan, Asa. Nanti kamu bisa belajar lagi kalau sudah besar, ya."

Gara-gara buku astronomi itu ... ya ampun. Kalau tahu akan begini ceritanya, Bu Deudeuh langsung mengusulkan masukan pada Bu Yuli untuk mengecek setiap buku yang akan dipajang di perpustakaan sekolah. Harus sesuai dengan usia anak SD. Jangan sampai ada Asa yang berikutnya. Merepotkan guru-guru saja.

Habisnya ... ini astronomi, lho! Bahkan guru-guru fisika di Persatas, bangku SMA sekalipun, semuanya menolak untuk jadi pembina OSN astronomi dari pihak sekolah. Susah! Astronomi itu rumit. Selain harus punya dasar hitung-hitungan matematika dan rumus fisika yang dikuasai dengan kuat, kita juga harus mampu mengimajinasikan hal-hal yang tak dapat kita lihat secara langsung, terutama dalam materi tata koordinat.

Tak heran kalau semua guru fisika di Persatas langsung kabur dan menumbalkan Bu Lutfia sebagai pembina OSN Astronomi. Nasib baik Persatas masih punya Kak Daniel sebagai tutor, alumni berprestasi yang memang sudah berkecimpung di dunia itu.

Berawal dari buku bacaannya yang salah usia itu, Asa jadi tahu tentang black hole, singularitas, bahkan spagetifikasi di usianya yang belum genap delapan tahun. Karena minatnya yang sudah ditarik sepenuhnya oleh dunia perbintangan, akhirnya Asa memutuskan berpartisipasi dan mengabdikan seluruh jiwanya untuk mengikuti OSN astronomi sejak tahun lalu.

Asa mengikuti olimpiade bersama Iris ketika kelas sepuluh. Akan tetapi, yang lolos hanyalah Iris. Asa bertekad untuk totalitas memaksimalkan segalanya tahun ini.

Sejenak, Asa mengedarkan pandangannya pada empat buku tulis berisi rangkuman dari dua buku tebal astronomi yang dipinjamnya dari perpustakaan kota. Selama berbulan-bulan, buku astronomi itu seakan sudah menjadi kepemilikan Asa. Penjaga perpustakaan saja sampai hafal. Asa akan datang setiap minggu hanya untuk memperpanjang masa pinjaman.

Hanya itulah usaha yang bisa Asa lakukan. Meminjam buku secara gratis, lantas merangkumnya sendiri agar bisa dibaca kembali kapan-kapan. Mana bisa ia membeli buku astronomi sendiri seperti orang lain, di tengah-tengah keadaannya yang serba-terbatas begini?

Jangankan membeli buku untuk persiapan olimpiade dan suplemen astronomi, kalkulator saintifik yang harus ia gunakan ketika pelaksanaan lomba saja Asa dapatkan dari tetangganya yang lulusan farmasi. Karena itulah kalkulator abu tersebut menjadi benda paling berharga bagi Asa.

Jika boleh Asa protes keberatan pada semesta, Asa ingin terlahir dengan keadaan yang bisa memungkinkannya untuk belajar sepuasnya. Asa ingin dunianya hanya belajar, belajar, dan belajar. Terkadang, Asa tak tahan ingin memarahi teman sekelasnya yang sudah difasilitasi selengkap mungkin untuk belajar, tetapi malah menyia-nyiakannya begitu saja.

"Kalau kamu terlahir dengan keadaan yang segala tercukupi, belum tentu kamu masih memiliki semangat belajar sebesar ini, Asa." Begitulah kalimat Ibu ketika Asa menangisi stok buku tulisnya yang habis. "Kadang, manusia itu lebih menghargai sesuatu setelah merasakan yang namanya ketiadaan."

Belakangan, setelah Asa masuk SMP dan beranjak dewasa, barulah ia memahami maksud dari kalimat tersebut. Jika pemikiran negatif semacam menyalahkan keadaan yang diguratkan semesta itu kembali hadir di benaknya, Asa selalu bergegas pergi ke dapur sempit mereka untuk mengamati figur wanita menjelang usia kepala empat diam-diam.

Iya, Ibu. Di sana, dengan daster kumal dan peluh yang meluncur deras di punggung juga pelipisnya, Ibu cekatan sekali mempersiapkan bahan-bahan untuk jualan esok hari. Selain lauk-pauk, Ibu juga berjualan kue basah seperti kue lapis, serta makanan kemasan yang dibelinya dari toko grosir untuk didistribusikan kembali.

Jika sebagian dagangannya sudah didistribusikan ke warung-warung dan sebagian lainnya sudah habis ia jual dengan berkeliling kampung sebelum petang menjemput, biasanya Ibu akan menambah pekerjaan dengan menjadi buruh harian, seperti mencuci dan menyetrika pakaian tetangga yang tergolong mampu untuk sekadar memberinya upah.

Di saat Asa masih asyik melamun, tibalah bapaknya yang baru saja kembali selepas bekerja. Setelah menyalami Bapak, Asa pun mengamati pria paruh baya yang langsung membuka baju dan bersiap ke kamar mandi. Ditilik dari wajah lesu Bapak, tampaknya penumpang angkot hari ini tidak begitu ramai.

Tanpa bahasa, Asa mengepalkan tangannya erat-erat. Iya. Jalanan yang Asa inginkan memang sudah diblokir tangan semesta. Satu-satunya cara untuk melangit hanyalah dengan beasiswa. Tanpa beasiswa dari medali dan prestasi yang ditorehkannya, Asa tidak akan bisa meski hanya untuk berdiri di titik ini sebagai seorang siswa kebanggaan Persatas.

Bagaimanalah ia sampai ke puncak sana, ke impian yang mengangkasa itu ... Astronomi ITB?

Detik berikutnya, Asa melintasi bilik kamar untuk mendapati adiknya yang sedang membereskan buku untuk hari Senin. Tidak ada waktu untuk sekadar berdiam diri. "Saka, ayo kerjakan tugasnya. Biar aku kasih tahu rumus-rumus matematika yang keren! Teman sekelasmu enggak akan ada yang tahu."

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro