03. Garis Bersinggungan
Pernahkah kau merasa, bahwa eksistensimu di muka bumi ini tak sekadar menjalankan peran sebagai suatu substansi yang hanya datang, pergi, tergantikan, lalu dijemput ketiadaan makna semata?
Asa merasakannya. Panggilan semesta yang bergema di setiap peredaran tubuhnya. Panggilan untuk memenuhi makna namanya dengan benar: Asa Nabastala, harapan yang melangit di angkasa raya.
Sayangnya, Asa tak terlahir untuk mengangkasa begitu saja. Jejak kehidupan Asa sudah diguratkan untuk melalui berbagai halang rintang selama menuju puncak sana. Suatu perjalanan yang tak akan pernah usai sebelum buku kehidupannya sendiri yang berkata bahwa ini halaman terakhirnya.
Asa sudah tahu sejak awal, bahwa dirinya tidaklah memiliki jalan itu sepenuhnya. Asa tidak memiliki kendaraan yang bisa mengantarnya ke puncak sana, selain kedua kakinya sendiri. Karena itulah, Asa tidak akan pernah menyerah walau hanya jeda sesaat. Sekali saja kakinya berhenti melangkah, maka segalanya hanya berakhir sampai di sana. Itu pulalah yang selalu menjadi alasannya untuk tak pernah menyia-nyiakan segala kesempatan yang ada.
Jika bukan ia yang keras terhadap diri sendiri, maka jangan harap semesta akan bersikap lunak untuk mengasihaninya.
"Ada yang mau mengerjakan pembagian bilangan polinomial di depan ini?"
Jam pelajaran matematika minat telah berlalu setengah jalan. Begitu Pak Prana mengajukan tawaran favoritnya, jelas saja Asa langsung mengacungkan tangan. Namun, ada lima tangan lain yang juga terangkat kala itu. Tangan Iris, Mat, Alfis, Kiano, dan Bintang. Di depan sana, Pak Prana tertawa kecil seraya mengetuk-ngetukkan spidol pada papan tulis.
"Seperti biasa, anak-anak MIPA-1 semangat selalu, ya, meski hari mulai siang. Duh. Panas banget, padahal." Pak Prana malah santai mengibas-ngibaskan tangan ke depan muka. Entah panas apa yang ia maksud, entah itu merujuk pada cuaca di siang ini, atau malah persaingan antara golongan ambis di kelas XI MIPA-1 yang begitu sengit. Pantang kendor.
Lihat? Kalau Asa berhenti sesaat saja, ia akan tertinggal jauh sekali, beribu-ribu langkahnya. Di saat Asa terus mengangkat tangan seraya menegakkan badan supaya dapat terlihat lebih tinggi, panik, khawatir ia tak kebagian kuota soal, mengingat soal pembagian polinomial yang Pak Prana maksud hanya terdiri atas tiga anak pertanyaan, pria berusia tiga puluhan itu pun kembali angkat suara.
"Karena kelebihan sumber daya manusia, biar Bapak tambah soalnya jadi sepuluh, ya. Ayo, yang lainnya juga acungkan tangan!" Apa boleh buat? Mengajar di kelas unggulan ini memang selalu saja menambah-nambah pekerjaan baru, apalagi jika jumlah soal lebih sedikit dari jumlah peserta didik yang aktif dan ingin menjawab.
Keenam orang yang tadi mengangkat tangan, satu demi satu maju ke depan dan menyelesaikan soal dengan cepat. Papan tulis sampai dihapus berkali-kali karena tidak cukup untuk menampung semua pengerjaannya. Enam soal tuntas.
"Ayo, empat soal lagi? Acungkan tangan!"
Segala sesuatu harus ia jadikan kesempatan, begitulah prinsip selanjutnya yang selalu Asa pegang teguh. Tidak ada yang mengacungkan tangan lagi selain dirinya. Asa memasang tampang yang begitu bangga. Ya! Ini adalah salah satu langkah kakinya untuk menuju ke puncak sana ... dengan selalu aktif dalam setiap pembelajaran. "Asa, Pak!"
Tidak ada anak lain yang mengangkat tangan. Akan tetapi, kenapa Pak Prana tak kunjung menunjuknya dan menyerahkan spidol untuk mulai mengerjakan soal di papan tulis? Pak Prana berdeham singkat. "Tahan dulu, ya, Asa. Bapak tahu Asa sudah paham. Kita kasih kesempatan buat temanmu yang lain, biar bisa belajar sama-sama aktif di kelas."
Meski tak terima karena kesempatannya dihapuskan begitu saja, Asa pun hanya bisa mengangguk-angguk pasrah. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Belum juga ada yang mengacung. Asa mendengkus, gemas sendiri. Apa susahnya, sih, maju ke depan? Polinomial bukan materi yang sulit, kok. Lebih simpel dari trigonometri, malah.
Oke, jangan berlarut-larut begitu, Asa. Dengan segenap antusias membara dalam jiwa, Asa kembali duduk tegak. Karena tidak ada yang mau berinisiatif lagi, akhirnya Pak Prana menunjuk Prima untuk maju. Satu menit pun habis untuk Prima mencerna soal dan mulai menggoreskan tinta spidol ke papan tulis yang mulus.
Belum tuntas otak Prima berpikir di depan sana, lagi-lagi Asa menyambar begitu saja, "Kalau pembaginya masih mudah difaktorkan, mending pakai metode Skema Horner dulu aja, Prim!"
Prima jadi berhenti menulis. Dengan kedua alis mengerut tak mengerti, Prima berbalik badan menghadap Asa untuk meminta penjelasan. Meski begitu, Pak Prana lekas-lekas menghentikannya. "Eh, enggak apa-apa! Coba aja dulu. Bapak enggak mengajarkan cara mana yang lebih baik, kok. Bapak mengajarkan kalian supaya mau mencoba, bukan asal pakai cara yang enteng."
"Iya. Kenapa, deh? Sewot banget, si paling bisa."
Bisik-bisik tidak mengenakkan mulai mengudara. Meski begitu, Asa menulikan telinga. Setelah mengembuskan napas sebal, tangan kanannya mencoretkan prinsip poin ketiga yang ia pegang teguh di halaman belakang buku. Selama tidak membantu proses perjalananmu, jangan pedulikan apa pun omongan orang!
Asa mendengkus singkat seraya menopang dagu. Sedari awal, ia memang hanya memberi masukan pada Prima, 'kan? Apa salahnya? Asa justru sudah berbaik hati. Kenapa malah jadi disalahkan begini?
Sepuluh soal pun tuntas sempurna, meski empat soal terakhirnya berjalan dengan merangkak. Perlu berkali-kali Pak Prana membenarkan cara pengerjaan Prima dan tiga orang lainnya. "Baik. Masih ada sisa waktu lima belas menit lagi, lumayan. Biar kita review materi di semester kemarin, ya. Mulai dari materi kedudukan lingkaran terhadap lingkaran. Bagaimana cara mencari tahu kedudukannya, jika diketahuinya koordinat titik pusat dan salah satu titik yang dilalui?"
"Asa, Pak!" Sejenak, Asa melirik Mat yang juga mengacungkan tangan di bangku pojokan paling depan. Akan tetapi, karena Asa menyebutkan namanya, ia merasa lebih berhak untuk menjawab. "Pertama, tentukan dulu jari-jari lingkaran kecil dan jari-jari lingkaran besarnya dengan menggunakan rumus akar dari x1 kurang x2 dikuadratkan dan ditambah dengan kuadrat dari y1 kurang y2. Lalu, tentukan kedudukannya dari hubungan yang sesuai antara diameter, r besar, dan r kecil."
"Bagaimana cara mencari diameternya?"
Bagi seorang Asa, pertanyaan beranak yang diajukan dadakan bagai tahu bulat ini bukanlah suatu masalah besar. Asa menyahut, "Menggunakan rumus yang sama seperti hendak mencari r besar dan r kecil tadi, Pak. Akar dari x1 kurang x2 kuadrat ditambah y1 kurang y2 kuadrat."
Tak sampai di sana, Pak Prana kembali mengejar, "Bagaimana jika r besar kurang dari diameter, kurang dari r besar tambah r kecil?"
"Maka kedudukan lingkaran terhadap lingkaran lainnya itu berpotongan."
"Bagus, Asa. Kamu sudah menguasai materi itu. Jangan lupa untuk terus dilatih, ya." Akhirnya, Pak Prana mengulas senyuman lebar. "Bagaimana jika diameter lebih dari r besar tambah r kecil, Viola?"
Bukan Viola, malah Asa yang langsung menjawab, "Saling lepas, Pak!"
"Asa, Bapak tanya yang lain, ya. Asa, kan, sudah menjawab, tadi." Tanpa menghapus senyumnya walau hanya satu mili, Pak Prana berkata lembut. "Jadi, Viola, Bapak ganti pertanyaannya, ya. Bagaimana jika diameter sama dengan r besar dikurang r kecil?"
Asa tak lagi diperbolehkan menjawab. Mood-nya berangsur-angsur tambah memburuk. Asa meniup poninya sendiri, berusaha meminimalisir kekesalan yang menumpuk. Aduh. Kalau jarang menjawab begini, jam pelajaran jadi terasa membosankan! Lagi-lagi berjalan dengan merangkak. Lama sekali hanya untuk menjawab pertanyaan simpel begitu.
Bel istirahat kedua berbunyi. Pak Prana mengakhiri pembelajarannya, lantas keluar kelas. Di saat Asa sudah bersiap mendekap bertumpuk-tumpuk buku dan alat tulis untuk latihan soal di perpustakaan, gerakannya terhenti oleh sosok laki-laki berbadan tinggi yang menghalangi jalannya. Alfis Gamyaga. Anak maniak fisika dengan kacamata minus berlensa tebal yang bertengger di hidungnya itu menatap Asa dengan tajam.
"Enggak usah sok, deh. Hargai proses temanmu. Hidup ini enggak selalu tentang diri kamu sendiri, tahu."
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro