4. Hidden Moon
"Ugh..."
Kelopak mata tersebut terbuka perlahan, memperlihatkan bola mata beririskan warna hijau bak permata giok. Sang empunya mengedipkan dengan cepat karena bertabrakan dengan cahaya yang berasal dari langit-langit.
Ia mulai tersadar kalau dirinya ada di kamarnya sendiri.
Wah, kepalanya tidak sakit. Tumben. Biasanya setelah mabuk, bangun-bangun pasti Akito akan pusing.
Sekarang, ia mencoba beranjak bangun dari tidur namun tak bisa karena sesuatu seperti menahannya.
Pemuda bermata hijau tersebut terdiam sejenak dan merasakan seperti suara orang bernapas pelan.
Penasaran, ia pun menoleh. Tapi itu adalah pilihan yang buruk.
Seketika jantungnya terasa hilang detakan dan kaget bukan kepalang.
Matanya terbelalak menyadari kalau ada seorang pemuda berambut perak yang sedang tidur di sampingnya.
Jangan lupakan tangannya memeluk bagian pinggang, makanya dirinya tak bisa bangun untuk duduk.
Gejolak batin pemuda bernama Akito tersebut makin rancu saja, dikarenakan banyak pertanyaan dalam otak pintarnya.
Yang hanya ia ingat tadi malam kalau mereka berempat pergi ke klub bersama-sama, lalu terlalu mabuk dan tak ingat apa-apa.
Tapi mengapa skenarionya bisa sampai Ieyasu yang berada disini—di kamarnya pula!
Satu ranjang dan tidur berdua!!!
Demi Dewa!
Akito mengecek dirinya sendiri dan Ieyasu. Ia merasa lega karena mereka berdua masih memakai pakaian dari kemarin.
Berarti tidak ada apa-apa tadi malam. Pantatnya masih selamat.
Akito menatap Ieyasu yang tengah tidur dengan pulas.
Raut mukanya jadi lebih muda dan terlihat polos, tak seperti dirinya yang baisa menyeringai dengan sadis dan mempermainkannya. Hanya tampak seorang pemuda biasa berusia hampir tiga puluh dalam waktu dekat yang tidur di sampingnya.
Akito benci untuk mengakui, tapi faktanya Ieyasu memang berwajah rupawan.
Lalu ia pun tersadar dan frustasi, menggelengkan kepala dan mencoba membuyarkan pemikiran aneh tadi.
Argh, apa yang dia pikirkan?! Harusnya Akito bisa melepaskan diri dari cengkeraman orang ini!
Hendak melepaskan pelukan dari tubuhnya, Akito perlahan mengangkat diam-diam tangannya.
Namun naas, usahanya tak berhasil dan malah sang pemilik marga Shigehiro tersebut mengeratkan pelukannya bagaikan memeluk guling kesayangan.
Kepalanya mendusel ke dada Akito, menghembuskan pelan nafas hangatnya. Hal ini membuat Akito menahan nafas sejenak dan memerah sekilas akibat geli.
Jantungnya sedikit berdebar akan kedekatan mereka berdua, ditambah lagi Ieyasu badannya hangat sekali.
Refleks, dirinya menepuk keras beberapa kali pipi Ieyasu—membuat sang pemuda mengerang pelan dan membuka mata rubinya, menatap sang pemuda yang ia peluk.
Akito mendorongnya jauh dari badannya tadi dan duduk ke pinggir, meniyaksikan Ieyasu juga bangkit dari tidur.
"Argh... Selamat pagi, kau sudah—hoam... bangun?" tanyanya sambil menguap.
Akito tersenyum kesal melihat Ieyasu malah merespon begitu santainya.
"Bangun, kau sialan. Aku bisa mati kehabisan nafas kalau kau menahanku seperti guling."
Hal tersebut membuat Ieyasu memutar bola mata dengan malas dan menjauh, membuat Akito mulai berdiri dari kasur sambil melihat sekeliling.
Aman-aman saja. Sudah jam 7 pagi dan hari cukup cerah—mengingat sinar mentari memasukki jendela kamarnya.
Akito menoleh ke arahnya, "Kenapa kau bisa ada di kamarku?"
Ieyasu yang menguap lagi dan merapikan rambutnya pun membalas, "Kau tidak ingat apapun kemarin?"
"Aku hanya ingat kalau aku minum sampai mabuk di klub. Itu saja." balasnya singkat.
Pemuda bermata rubi tersebut tersenyum tipis, melirik nakal padanya.
"Kau tidak ingat kemarin melakukan apa padaku, hm? Dasar curang."
...
Eh?
Perasaannya tidak enak. Keringat dingin sedikit turun di pelipis.
"M-Memangnya aku melakukan apa padamu? Aku tidak sudi juga menyentuhmu, dasar bodoh."
Tolong jangan katakan...
Ieyasu mendekatinya lagi di depannya. Wajah mereka sudah beberapa senti saja, sementara Akito terdiam waspada.
Kalau dia menciumnya lagi, akan ia bogem dan menambah luka di wajah sialan itu.
"Kau memanggilku wanita cantik, menyeretku sesuka hatimu ke rumah dan menggelayutiku."
HAAA???!!!
Akito termangu ria saat pria tersebut menjelaskannya dengan nada iseng dan datar.
"Kau mabuk dan menabrakku sambil mengira kalau aku ini perempuan, bisa dipastikan kau itu katarak karena tidak bisa membedakan mana wajah cantik dan tampan." Ieyasu menguap lagi sembari melanjutkan, "Temanmu menyerahkan dirimu padaku dan kuantar sampai di rumah. Karena orang tuamu sedang pergi, maka aku juga menginap sekalian.."
Akito menganga tak percaya.
Mereka tidur satu kasur semalaman.
Ingin dia menghilang saja sekalian. Persetan dengan hidupnya!
Teman-temannya juga bajingan semua, membiarkannya sendirian padahal butuh ditemani!
Nyawanya seperti akan hilang dari tubuh saat Ieyasu selesai menjelaskan, dan menghela nafas panjang.
"Tapi kau tidak melakukan apa-apa padaku, bukan?" tanyanya mencoba meyakinkan diri dnegan melirik tajam.
"Tidak ada. Mana sudi aku menyentuhmu lebih dari memeluk."
"Minta dibogem lagi, ya?"
"Kalau dibogem dengan bibirmu, aku tak mau."
Bedebah ini... Najis!
"Ya sudah, aku lapar. Buatkan aku sarapan, dong." Ieyasu berjalan dan mengelus perutnya sendiri saat membuka pintu kamar mandi.
Akito menyela cepat dengan ketus sambil membereskan kasur. "Buat saja sendiri, aku mau mandi."
"Tapi 'kan aku tamu di rumah ini. Ingat, tamu adalah raja, bukan?"
Akito benar-benar ingin menonjoknya sampai planet Mars.
Kadar kesabarannya benar-benar diukur dengan Ieyasu berada di rumahnya yang tercinta ini.
"Dasar cerewet! Mandi sana! Ketiakmu busuk!"
Akito melemparkan handuk besar warna putih pada Ieyasu—yang ditangkap dengan sempurna.
"Hoo~ Makin feisty saja. Dan ketiakku baunya macho, lho." godanya dengan wajah datar dan nada usil, membuat Akito makin berang saja.
"SANA MANDI, DASAR MANUSIA JAHANNAM!!!"
Ieyasu melepas tawa sadis dan masuk ke kamar mandi ketika Akito ingin mengejarnya, sebelum pintu tersebut ditutup dan dikunci.
Akito terengah pelan menakan kekesalan, sebelum menghela nafas lelah. Tangannya memegang kepala sendiri.
"Kenapa jadi begini, ya ampun..." keluhnya dan berbalik sebelum melihat sebuah bungkus familiar. Ia mendekati dan mengambilnya dari meja samping kasur.
Sebuah bungkus obat sakit kepala untuk menghilangkan efek mabuk berisi 4 kaplet yang biasa dikonsumsi oleh Akito, dan sudah terbuka satu buah.
"Perasaan aku belum minum obat ini dari kemarin..."
Lalu ia tersadar.
Kalau dirinya tidak sakit kepala saat bangun tidur.
Akito bergumam pelan, "Apakah dia membuatku minum obatnya sebelum aku tidur?"
Diam sejenak memandangi kantong obat, akhirnya ia menaruh obat kembali di meja samping kasur tersebut.
Bisa saja kalau Ieyasu menidurinya dan melakukan hal yang tidak terpuji, tapi ia diberi obat dan diberikan istirahat hingga pulih seperti sekarang.
Pemikiran kalau sang pria menjaganya dengan baik membuatnya terbengong, sebelum ia tersadar karena melamun seperti orang bodoh.
"Ah! Apa-apaan dengan pikiranku ini. Aku pasti sudah gila, menganggap dirinya orang baik." Akito menepuk kedua pipinya keras dan menghela nafas untuk kesekian kalinya, sebelum keluar dari kamar tidur dan ke lantai bawah untuk memasak di dapur.
Setidaknya karena Ieyasu berbaik hati untuk membawanya pulang.
"Baiklah. Masak yang sederhana saja."
***
Air dari menyemprot keluar dan membasahi badan berpostur tegak nan berotot dengan menyeluruh. Abdomennya terlihat berkilat dan tangannya sendiri tengah sibuk mengacak-acak rambut peraknya yang dibilas habis keramas. Dia juga sudah menyabuni badan sehingga tinggal mencuci kepala dengan air mengalir dari shower.
Entah mengapa, terbesit di ingatan peristiwa kemarin malam. Ieyasu takkan menceritakannya karena akan simpan untuk kenang-kenangan—serta aib tersembunyi untuk mempermainkan sang pemuda bernama Akito tersebut jikalau macam-macam dengannya dan tak tahu berterima kasih.
Matanya memejam perlahan.
Malam itu gelap dan dingin. Ieyasu memasukki rumah yang tak terkunci dari luar dan menyalakan penerangan di dalam. Tak tampak orang-orang yang biasa dijumpai. Tak ada orang tua dari murid sekaligus tunangannya tersebut.
"Tak mungkin ia ditinggal sendiri tanpa diberitahu." pikir Ieyasu sebelum melihat catatan yang tertempel di dekat kulkas ketika mengitari ruangan.
'Untuk Akito tersayang, Ayah dan Ibu pergi ke pemandian air panas di kota sebelah dengan kawan reuni kuliah sampai Minggu. Tolong jaga rumah, ya.
Tertanda, Ibu'
"Jadi anak ini hanya sendiri untuk dua hari. Hmm." Dia memutuskan akan pulang setelah mengantarkannya sampai kamar.
Ieyasu berjalan menaikki lantai dua dan mencoba mencari kamar yang tepat. Beruntung, ada papan nama sang penghuni dengan huruf tegas. Dia pun masuk sambil masih menggendong Akito yang mengigau.
"Anak ini berat sekali..." gumamnya sambil membaringkan Akito yang tertidur dengan senyuman mabuk.
"Keju... Pakai saus tomat... Nyamm~"
Ieyasu menatap penuh prasangka kesal seketika dan keadaan hening sesaat.
"Bukannya memimpikan wanita, malah makanan yang diigau... Bocah aneh."
Dia menyesuaikan posisi tidur sang pemuda dan menoleh karena ada tablet untuk sakit kepala. Inisiatif lelaki tersebut mengambil air di dapur dan kembali lagi ke kamar tidur, sebelum duduk dan mencoba menyadarkan sejenak Akito agar bisa minum obat.
"Hei, bangun. Sini minum biar tidak sakit."
Akito mengerang tidak mau dan masih berontak lemas ketika mencoba diberikan obat.
Karena susah membujuk dan tak ada cara lagi, ia memberanikan diri melakukan trik yang terbesit di kepalanya.
Ieyasu memasukkan pil obat tersebut dan menyesap air minum dari gelas, sebelum menyatukan bibirnya pada bibir Akito yang terdiam akibat ciuman secara tak langsung tersebut.
Lidahnya bergelut meminta akses agar mulut pemuda yang lebih muda darinya terbuka dan memasukkan obat serta air mineral untuk ditelan.
Karena tak ada kekuatan lagi, Akito yang mabuk tak sadarkan diri menurut dengan lemah dan menelan semuanya hingga tak tersisa.
Pria bermata rubi tersebut melepaskan ciumannya dan menghela pelan, menatap Akito yang memerah karena efek mabuk.
Tatapan giok tersebut menatap sayu, nafasnya rakus meraup oksigen dan seperti tak puas karena berhenti begitu saja.
Selama beberapa saat mereka bertatapan, kedua tangan Akito mengelus pelan kepala dan rambut halus milik pria tersebut lalu turun mengelus kedua pipinya.
Wajah memerah mabuk dengan efek delusi terhias dengan pancaran sayu.
Mata rubi tersebut sedikit tertegun merasakan sentuhan tersebut.
Entah apa yang merasukki, Ieyasu perlahan menutup mata untuk menciumnya.
Tapi baru hendak hampir bersentuhan di hidung, terdengar suara yang menghentikan pergerakannya.
"Zzz...."
"..."
Ieyasu kembali terdiam karena Akito yang langsung tertidur dengan dengkuran halusnya. Padahal tadi hendak dia kecup.
Pria tersebut tertegun heran. Kenapa ia ingin menciumnya?
Mereka memasang taruhan. Bahkan keduanya tidak saling menyukai. Mereka bertemu kembali pun juga karena ia mengajar di sana.
Ieyasu menghela nafas pelan dan menjauhkan wajahnya untuk duduk tegak kembali. Dia melepaskan jaket yang dipakai Akito, membuka sepatunya, menaruh di lantai dan menyelimutinya agar nyaman.
Ieyasu berdiri dari kasur dan melihat jendela kalau hujan deras tengah membasahi bumi sejak entah kapan, seakan Dewa tak memperbolehkannya meninggalkan Akito sendirian.
"Yah, setidaknya tunggu sampai reda saja." pikirnya santai sebelum membuka blazer miliknya dan membuka sepatu. Ia lepas benda-benda yang mengetati tubuh mereka berdua seperti ikat pinggang dan tidur di sebelahnya.
Ieyasu memunggunginya dan hendak tertidur, sebelum merasakan dirinya dipeluk dari belakang.
Dia menoleh dan mendapati kalau Akito mengigau sambil memeluknya layaknya guling.
"Mmmmhm... Mati kau, alien jahat.. Zzz..."
Astaga, tolong kuatkan diri hamba, mengesalkan sekali.
Ieyasu berbalik dan memeluknya, kebiasaan mengurus adiknya yang kadang tidur bersamanya dulu.
Entah mengapa, pria tersebut jadi sedikit frustasi karena kebiasaan tidur pemuda idiot satu ini.
"Sesekali mimpikan anak domba, kek." gumamnya sebelum akhirnya memejamkan mata dan tertidur pulas.
Mereka berdua terlelap ke alam mimpi, dengan pelukan dan menerima kehangatan antara satu sama lain.
Ieyasu membuka mata seraya selesai mengingat memori tadi malam.
Hingga dia sadar kalau tujuannya sudah melenceng jauh.
Tujuan awalnya hanyalah bertaruh agar dirinya bisa menundukkan diri pemuda yang menjadi muridnya tersebut dalam tiga bulan. Namun seiring waktu, ada gejolak lain ketika bersamanya seiring berjalannya waktu—padahal mereka baru dua kali bertemu, dan akan bertemu lebih sering lagi. Mereka terpaksa ditunangkan, dan membuat tantangan tersebut dibalik punggung keluarga mereka.
Alasan sebenarnya mengapa Ieyasu menerima pertunangan ini karena dia tak ingin adiknya menjalani pernikahan berencana. Sebagai, dia tahu kalau Izumi sudah punya kekasih yang dia kenal baik dan tak ingin menikah dengan Akito. Beruntungnya Dewi Fortuna berpihak padanya. Dengan tradisi keluarga Shigehiro, dan karena Akito mengaku belok—sama sepertinya, sebelum tahu kalau dirinya hanya berpura-pura, maka Ieyasu yang maju di perjodohan.
Memang jatuhnya jadi rumit sendiri, namun hanya inilah jalan yang Ieyasu bisa lakukan demi kebahagiaan sang adik.
Alasan lainnya adalah orientasi Shigehiro Ieyasu yang menjadi seorang biseksual. Mau lelaki atau pun perempuan, dirinya tak perduli ketika menjalin hubungan dan pertarungan ranjang. Maka dari sebab itulah dirinya tak segan walau juga terkesima akan dirinya sendiri yang mencuri ciuman pertama tunangannya yang galak tersebut.
Padahal Ieyasu sendiri bukanlah tipe orang yang meminta duluan sentuhan fisik.
Namun, entah mengapa Ieyasu suka melihat reaksinya yang beraneka ragam ketika berinteraksi dengannya. Bahkan ia sampai repot-repot menjaga Akito agar tidak sakit karena efek mabuk.
Mungkin seperti dua kakak beradik yang kakaknya kadang menggodai si adik pemarah.
Ataukah jangan-jangan dia juga benar-benar menjadi sepenuhnya belok?
"Aku harus berhenti mandi, kepalaku sepertinya sedikit pusing sampai memikirkan hal aneh seperti itu."
Tidak mungkin juga. Ieyasu tahu dirinya bukahlah orang yang gampang tenggelam dalam perasan.
Dimatikannya keran air dan menghandukki dirinya sendiri, sebelum keluar kamar mandi dan memakai pakaian yang ia kenakan sedari tadi malam. Dia paham kalau ukuran pakaian pemuda tersebut lebih kecil darinya, dilihat dari postur tubuh Akito yang sedikit lebih kecil darinya.
Setelah mengeringkan rambut dan berpakaian, Ieyasu turun ke bawah dan mencium bau makanan.
Dirinya melihat kalau Akito tengah memasak dengan celemek hitam polos. Pemuda tersebut terlihat ahli dalam menggulungkan telur yang ia goreng serta menyusun ke piring dengan beberapa bahan yang telah dimasak dan ditaruh.
Entah kenapa di pikirannya malah terbesit sosok Akito yang menyambutnya dengan celemek renda merah muda tanpa baju sama sekali, dan menggodanya untuk makan makanan dulu atau menyantap dirinya dulu.
Sepertinya konyol juga walau hanya bayangan saja, pikir Ieyasu asal.
Menyadari kalau ada hawa keberadaan manusia lain, Akito menoleh sambil membalikkan telur yang ada di panci penggorengan.
"Sudah mandi? Duduk saja dulu, sebentar lagi sarapannya siap."
Akito berbalik untuk menyajikan telur gulung yang sudah jadi dan beberapa makanan yang sudah ia atur sedemikian rupa.
Senyum puas tersinggung saat selesai membuat sarapan di hadapannya. Walau terlihat sederhana, tapi kemampuannya dalam memasak cukup membantu. Apalagi ketika ia ditinggal sendirian jika orang tuanya bekerja atas ajaran ibunya.
"Baunya enak. Biar aku bantu." Ieyasu yang melihatnya selesai memasak pun mengambil sarapan mereka untuk disajikan di meja makan.
"Eh? Tidak perlu!"Akito yang mencoba menghentikannya mendapatkan tatapan dari Ieyasu yang kalem.
"Sudah kau bilang tadi, kau itu tamu. Dan tamu adalah raja, bukan?"
Hoo, anak ini tahu etika juga ternyata.
"Sudah, sana duduk." Akito mengambil piring berisi nasi yang berada di tangan sang pria tersebut dan meletakkannya di meja makan.
"Lagipula ini yang pertama dan terakhir kali aku membalas budi orang yang menolongku saat mabuk." ujarnya sembari menyajikan, memunggungi Ieyasu yang masih di tempatnya berdiri.
Akito melirik ke arah lain, menahan muka supaya tidak memerah.
"T—Terima kasih... Entah apa yang terjadi kalau aku ditinggal sendiri," ucapnya sedikit kaku.
Aduh, malunya!!!
Akito menjerit dalam hati, kesal karena seperti anak perempuan memberikan coklat kepada kakak kelas.
Untung saja ia tidak memperlihatkan mukanya dengan memunggungi. Kalau tidak, harga dirinya bisa jatuh. Ia malah lebih mengharapkan ejekan yang biasa akan dilontarkan oleh Ieyasu.
"Mungkin aku sudah—!"
Perkataannya terhenti sejenak ketika tepukan mendarat ringan di atas kepala Akito.
Mendongak, Akito mendapati kalau Ieyasu menepuk pelan kepalanya. Tindakan pria tersebut membuat yang bersangkutan bingung.
"Ieyasu?"
Padahal Akito tidak butuh tepukan. Memangnya dirinya ini anak kecil?
Sang pria mendengus singkat dan menatapnya dari samping.
"Sudah cukup. Tidak usah dibicarakan lagi."
Ieyasu menatapnya datar dan menepuk pelan kepala sang pemuda lebih cepat. "Sekarang kita makan saja, aku lapar. Kalau tidak enak, aku muntahkan di piring."
Akito menahan kesal dan menyingkirkan tepukan dari kepalanya. "Lebih baik kau bersyukur aku memasak untukmu, dasar guru sadis!"
Ieyasu melengos dengan acuh dan duduk makan bersama Akito di kursi.
Meski mereka berbicara dengan kasar satu sama lain, ada pemikiran yang sedikit serupa untuk saat ini.
Mungkin ini saatnya mereka sedikit mulai saling memahami, perlahan tapi pasti akan sifat dan sikap satu sama lain.
Terlebih lagi kalau mereka akan mulai terbiasa makan dan bercengkeraman bersama—sebelum gunjingan baru datang cepat atau lambat pada Ieyasu dan Akito.
.
.
.
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro