2. New Lecturer and First Kiss
Kantin di suatu universitas kala itu memang terlihat ramai seperti biasanya. Banyak yang melakukan kegiatan melepas lapar dan dahaga, serta tak sedikit diantaranya para mahasiswa terebut yang bercengkerama dengan saling bercanda.
Namun untuk hari ini, Akito sama sekali tidak bernafsu makan walau telah membeli roti sandwich jumbo andalannya untuk mengisi perut.
Dirinya berpangku tangan sambil melamun, memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu.
Setelah pertemuan perjodohan tersebut, keluarga mereka resmi memutuskan kalau keduanya bertunangan. Bahkan Akito mencoba untuk tak memikirkan perkataan Ieyasu ketika membuat janji taruhan.
Tidak mungkin dia bisa menaklukanku. Aku takkan biarkan itu terjadi, pikir Akito dengan kesal.
Akito menyakinkan diri kalau ia takkan tertarik padanya semudah itu.
Namun, pemuda tersebut hanya khawatir akan siasat apa saja yang dipakai oleh Ieyasu dalam melaksanakan tantangan tersebut.
Tiga bulan itu waktu yang cukup untuk melihat hasilnya.
Pilihannya ada dua; jatuh cinta pada Ieyasu dan melanjutkan perjodohan-atau Ieyasu yang gagal mendapatkannya dan membatalkan pertunangan.
Mulai sekarang Akito harus waspada untuk ke depannya.
Di saat pikirannya tengah melayang, sebuah tangan lain yang duduk bersamanya mencoba mengambil roti di meja. Namun sebelum dapat mencurinya, tangan orang tersebut ditampar lebih dahulu oleh Akito yang mengetahui gerak-geriknya, menyebabkan keluarnya ringisan dari sang pemilik tangan.
Pelakunya adalah Fujita Nao; salah satu kawan sejurusannya. Sifat petakilan dan easy going membuatnya hampir dikenal oleh anak seangkatan mereka. Paras dan sifatnya manis kalau baru mengenalnya saja, namun saat sudah akrab dan saling tahu aib, maka mulutnya yang pedas layaknya jalapeno terpedas di Meksiko pun akan menghancurkan impresi awal orang-orang ketika mengenal karakter aslinya.
"Aduh, jahatnya! Kalau tidak mau, ya dimakan rotinya daripada aku ambil." Nao menyahut sambil gerah melihat Akito dengan tumbennya bermuka orang sekarat.
"Terserahku. Kenapa kau yang ribut, sih? Sana, pesan lagi kalau mau." balasnya ketus dengan malas, membuat Nao memajukan bibirnya beberapa mili.
"Habisnya kau seperti mayat hidup dari Residence Devil. Kau tidak akan begitu kalau tidak kepikiran sesuatu."
Seorang pemuda yang tak berhenti mengetik di laptop intel miliknya menyahut setelah Akito membalas begitu. Amamiya Hayate, satu jurusan. Pemuda yang tegas dan patuh pada peraturan layaknya anak baik-baik, namun aibnya sebagai otaku gamer membuatnya dijauhi para gadis yang ingin ia dekati. Parasnya bagus, hanya saja Hayate lebih mementingkan video games daripada mencari pacar.
Jari tengahnya menaikkan kacamata gaya frame modis tersebut dengan sempurna, membuatnya berkilat sekilas bak profesor yang menemukan inovasi terbaru. "Pasti kau berpikir soal walkthrough Natsume dari Camp Booty."
"Aku bukan sepertimu yang maniak dada 2D, tolol."
Akito menghela nafas kasar dan membuka bungkusan rotinya, "Aku tidak mau beritahu kalian dulu, nanti malah dimusuhi."
"Sejak kapan kami memusuhim? Yang ada 'kan kami hanya mengejekmu saja." Nao dengan tak bersalahnya menyeplos, membuat Akito diam-diam mengumpat dlaam hati.
"Kenapa juga aku berteman dengan orang seperti kalian, ya..."
"Karena kau juga sejenis seperti kita, sadarlah."
Perkataan menyakitkan itu diumpatkan lagi dalam hati saat Akito mendengarkan ujaran dari Hayate yang kembali mengetik di laptop.
Pedasnya hidup punya teman-teman model begini.
Lalu seorang pemuda lagi datang sambil membawa sekotak susu dan roti melon, menghampiri dengan santai pada Akito dan kawan-kawan.
"Maaf telat. Tadi habis bayar hutang ke ibu kantin. Aku minta diskon susu." ujarnya sambil duduk di sebelah Hayate.
Nao memandangnya eneg. "Susu kok pakai diskon, belanja barang yang dapat diskon, bodoh."
Moritaka Ryouma; salah satu dari kawanan mereka juga. Keempatnya sudah berteman sejak semester pertama. Meski mukanya tampan, tapi sifat playboy miliknya melebihi dosis. Dari gadis-gadis universitas sampai ibu kantin dan dosen, semua ia goda demi seonggok kesempatan dalam kesempitan. Contohnya seperti yang tadi.
"Hehehe... Oh, ya! Aku ketinggalan berita apa, nih?" tanya Ryouma sambil mulai mengunyah rotinya.
Nao menunjuk dengan dagu sekilas, tangannya membuka bungkusan makanan ringan yang dibelinya sendiri, sudah porsi ketiga. "Tuh, si Akito. Mukanya kusut bagai seprai belum diseterika. Tapi dia sombong tidak mau cerita ke kita semua."
"Lho? Ada apa, bro? Kau tidak sakit, 'kan??" tanya Ryouma agak panik.
Akito menggeleng, sedikit tersenyum. "Tidak, tenang aja. Hanya masalah keluarga saja."
"Ah, kalau begitu repot juga. Cerita saja, kami 'kan selalu mendengarkan curghatmu." Hayate menimpali.
Akito menghela nafas pasrah. "Ya sudah, tapi di taman saja, ya. Kita makan dulu."
Akhirnya, mereka pindah tempat setelah makan siang bersama.
***
Tawa Nao meledak setelah mendengar ceritanya.
Sudah Akito duga.
Untung mereka sudah pindah ke taman universitas yang dimana mereka berempat bersantai dan sedang sepi.
Ryouma tertawa garing dan bertanya, "Jadi singkatnya, kau tidak mau dijodohin oleh ibumu dan pura-pura mengaku gay, tapi justru akhirnya kau dijodohkan sama anak laki-laki dari pihak teman ibumu yang ternyata gay juga. Begitu?"
"Hahahaha... Bodoh sekali anak ini! Masa pakai pura-pura mengaku begitu. Mampus!" Nao tertawa puas dengan jahatnya sambil memegang perut, berguling di tanah.
Hayate menaikkan kacamatanya, menghela nafas. "Pantas saja kau seperti tidak ada nyawanya. Ternyata masalahnya seaneh itu."
Mendengar respon mereka semua, Akito sudah tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Rasanya campur aduk.
"Begitulah. Sebenarnya aku juga bingung bagaimana agar bisa membatalkan perjodohannya."
Nao yang selesai meredakan tawa pun menyeletuk, "Bilang saja ke ibumu dan akui kau masih normal. Gampang."
"Kau mau aku mati, ya!? Badanku akan direbus oleh ibu dan akan ada perang sipil dengan pihak laki-lakinya!" serunya kesal.
"Benar juga, sih. Coba aja pikir; kalau nanti kau mengaku normal mau pun belok juga pasti masih tetap dijodohin. Tebakanku benar, 'kan?"
Akito mengangguk akan ujaran Hayate yang memegang dagunya sendiri dalam pose berpikir.
"Makanya, aku tidak bisa berpikir jernih. Argh... Aku harus bagaimana ini?" gerutu Akito dengan frustasi sambil mengacak rambutnya.
"Dan sayangnya kau tidak bisa apa-apa. Coba saja jalani dulu, kali saja kalian cocok." Nao menyarankan sambil menyeringai.
"Tidak mungkin. Orang itu menyebalkan sekali, sudah pasti aku tidak akan tahan dengannya." Akito menyela sambil mendengus kesal.
"Hei, benci dan cinta itu beda tipis, lho~ Jangan termakan omongan sendiri, kawan. Tidak baik." goda sang pemuda berwajah manis tersebut sambil mengendikkan bahu santai.
Akito makin menghela nafas lelah. Ia tak tahu lagi harus bagaimana, apalagi tak mungkin menyerah kalah kalau dari si Ieyasu yang sombong itu.
Ryouma mengecek jamnya. "Mari kita kembali. Sudah mau jam masuk, nanti dihukum oleh si tua Tanaka."
Mereka menyetujui ujarannya dan pergi ke tempat tujuan sambil membawa tas masing-masing. Tak lama kemudian mereka berempat masuk ke dalam salah satu kelas yang tersedia.
Ketiga temannya berada di belakangnya seperti biasa. Akito duduk di tempatnya di pojokan sembari meletakkan tas di samping bawah, sebelum menghela nafas dan menggelengkan kepala sesaat.
Ia tidak boleh kalah dari taruhan!
Akito menepuk kedua pipi sebelum membuka buku catatannya. "Belajar, belajar, tidak usah dipikirkan." gumamnya tak terdengar.
Beberapa orang masuk lalu duduk di bangku yang sudah tersedia, sebelum seorang pria masuk ke dalam kelas dan sontak membuat para mahasisawi terkagum. Ruangan tersebut mendadak jadi berisik karena kasak kusuk bernada penasaran.
Akito yang mencuri dengar pun penasaran kenapa para gadis berlaku begitu.
"Dosen baru?"
"Umurnya berapa, ya? Ya ampun, tampan sekali..."
"Bukannya dosen sekarang si Tanaka?"
"Tampannya. Dia punya pacar, tidak, ya..."
Akito yang tengah menunduk membaca buku tadi akhirnya mendongak sebelum melototkan mata dengan sejadi-jadinya.
Bagaimana tidak, karena yang berada di depan kelasnya adalah seseorang yang paling tak ingin ditemuinya di dunia ini.
Pria bermata rubi tersebut menatap tegas sambil menyapa semuanya. "Halo, semuanya. Nama saya Shigehiro Ieyasu. Dikarenakan pak Tanaka sedang berhalangan hadir maka untuk sementara ini saya yang akan menggantikannya mengajar. Silakan buka buku materi untuk pelajaran kali ini di halaman 69."
Akito tak percaya akan apa yang ia dengar dan lihat.
Sejak kapan orang ini mengajar dan menjadi dosen di kampusnya?!
Oh Dewa, kenapa kau menyiksaku sepedih ini!
***
Akhirnya selesai juga.
"Sekian untuk pelajaran hari ini. Kerjakan latihan soal di akhir bab untuk dikumpulkan minggu depan."
"Baik, pak!" jawab mereka serempak meski ada yang malas menjawab.
Para mahasiswa membereskan tas dan diri sebelum keluar dari kelas.
Tak terkecuali Akito yang buru-buru membereskan peralatan belajarnya ke dalam tas. Ia sudah mencoba berusaha tenang tapi dalam hati semakin menahan emosi. Pemuda tersebut hendak mengambil ancang-ancang mengendap membaur untuk keluar sebelum suara pria tersebut menahannya.
"Ah, Hanamiya. Tunggu. Saya ada perlu sebentar denganmu karena pak Tanaka."
Mampus.
Mana Hayate dan anak kelas lainnya memandang heran pula.
Pemuda bermata giok itu mengisyaratkan teman-temannya untuk keluar dan akan segera menyusul, sebelum akhirnya hanya tinggal mereka berdua di kelas kosong berbentuk aula tersebut.
Akito menoleh sambil menatap tajam.
Ieyasu menelengkan kepala. "Tidak menyambutku?"
Orang ini memang makan hati!
"Hentikan omong kosongmu. Kenapa bisa Anda ada di kampus saya, Tuan Shigehiro?"
"Anda sudah melihatnya tadi, bukan? Saya mengajar di sini, Tuan Hanamiya." Ieyasu membalas sarkasnya dengan tepat sasaran.
Ia mendecih pelan, "Kau pasti pakai siasat sogokan untuk masuk ke sini, bukan? Aku takkan percaya akan bualanmu."
Pemuda berambut perak tersebut menyenderkan tubuhnya di tembok sambil memandang dingin sang pemuda yang berdiri tak jauh darinya.
"Mau kau percaya atau tidak, itu terserahmu. Aku sudah mengajar disini sejak 4 bulan yang lalu di jurusan lain. Aku menggantikan Pak Tanaka sebagai guru piket sementara untuk 3 bulan, karena beliau dinas di luar kota. Kau bisa bertanya di administrasi kalau mau."
Akito mengehela nafas kasar sebelum berkata, "Terserah, lebih baik kau pindah ke jurusanmu yang lain itu daripada mengajar di jurusanku."
"Kau tahu kalau ini sudah ketentuan pusat, jadi sebagai mahasiswa maka kau tak bisa apa-apa selain menerima pelajaranku."
"Ya, ya, ya. Cerewet sekali. Sudahlah, aku tidak akan perduli lagi akan siasatmu. Pokoknya jangan ganggu aku."
Merasa kalau perseteruan mereka takkan ada habisnya, Akito mengakhiri pembicaraan dan hendak keluar kelas sebelum lengannya ditarik untuk berbalik.
Dan seketika ia tak bisa apa-apa lagi selain terkejut bukan kepalang.
Akito membeku seketika di saat itu juga. Dirinya tak tahu harus apa lagi.
Mata gioknya membelalak lebar, tak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini.
Sepersekian detik kemudian ia merasakan bahwa panas menjalar ke seluruh wajah hingga ujung daun telinga.
Ieyasu perlahan melepaskan kecupan bibirnya dari bibir ranum Akito pun menatap dengan sorot mata yang cukup bisa menawan hati.
Tapi untuk sekarang ini, Akito tak bisa melakukan apapun selain diam membeku; berdiri tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun.
Pria bermata rubi yang menatap ekspresi sang pemuda pun menyeringai tipis. "Sekarang apakah kau masih tak perduli pada siasat yang aku luncurkan, Akito-chan?~"
Akito makin melototkan bola matanya saat mendengarnya. Ia langsung melepaskan kedua tangannya yang dipegang.
SMACK!
Dengan sekuat tenaga, tangan Akito menonjok pipi pucat sang pria berambut perak tersebut-menghasilkan Ieyasu yang sedikit tumbang manum masih bisa berdiri walau mundur beberapa langkah. Setetes darah menetes di sudut bibir sang pemuda tampan bermarga Shigehiro tersebut.
Nafas Akito tertahan sambil menderu dan mencoba mengontrol diri.
Ieyasu yang mendapatkan bogem mentah tersebut diam sesaat. Bahkan lelaki tersebut sedikit berpikir; bagaimana bisa berdarah dengan satu tonjokan orang lain yang lebih kecil darinya?
Dia memegang pipi serta bibirnya dan melirik Akito yang menatap penuh emosi.
"Keparat... Dasar kurang ajar." gumamnya sambil mengeraskan kepalan tangannya yang terasa berdenyut.
Ieyasu tetap diam, masih dengan tampang tatapan tenang.
Pemuda bermata giok tersebut menatap dengan tajam dan tak gentar.
"Maaf atas perlakuan tadi, tapi kau pantas mendapatkannya." katanya dengan dingin.
Nada bicaranya yang masih terasa sekali amarah tertahan di dalam dada.
Akito berbalik memunggungi dan mengambil tasnya yang jatuh.
"Saya permisi, sensei."
Lalu akhirnya dia keluar dari kelas tersebut sebelum hanya ada Ieyasu seorang di kelas kosong tersebut.
Tangannya masih merasakan denyutan kecil di pipinya yang ditonjok. Ia memikirkan sejenak tindakan pemuda yang telah menonjoknya sebelum seringai kecilnya kembali muncul, menghiasi bibir tipisnya.
"Manis juga." gumamnya sambil menjilat darah dengan jari telunjuk dan lidahnya sendiri.
Terbayang sesaat ekspresi memerah Akito yang terpatung layaknya orang bodoh, membuatnya makin tersenyum menahan tawa.
"Akan kubuat dirimu jatuh ke pelukanku, Hanamiya Akito."
***
Sementara itu di sisi lain, Akito berlari dengan sekencang-kencangnya. Deru nafas tersengal-sengal keluar dari mulut. Hanya bisa berlari sekuat tenaga dari kejadian yang menimpanya barusan.
Ketika kedua kakinya berhenti, ia langsung memegang lutut untuk menghirup nafas dengan rakus setelah agak jauh dari tempat kejadian. Perlahan, tangannya memegang tembok sebelum bersender di dinding lorong yang sepi.
Akito terduduk bersandar lemah.
"Haa... Haa... Haaa...."
Akito mencoba untuk melupakannya, tapi tak bisa.
Karena itu adalah ciuman pertamanya.
Wajahnya memerah dengan marah dan merona padam bak tomat matang dari pohonnya.
Sambil punggung tangan kanannya menutup mulut, ia terengah-engah dengan tak teratur.
"Sialan..."
Akito takkan bisa tidur tenang malam ini karena kepikiran.
.
.
.
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro