8. Peringatan
8. Peringatan
Amberley membuka mata dan tak melanjutkan permainan lidahnya, tapi Zae belum mau menyudahinya. Segeralah Amberley menahan dada Zae dengan maksud memintanya berhenti. Sayang, Zae salah pengertian dan malah melepas kancing kemejanya mulai dari atas.
"Zae ...," gumam Amberley, panik.
Jantung Amberley berdentum tak karuan saat kancing kemeja Zae sudah lepas tiga. Amberley cepat-cepat mengalihkan pandangan ke lain arah, ia tidak mau melirik dada yang berjarak begitu dekat dengannya. Keadaan semakin parah karena Zae beralih mencium leher Amberley. Hidung mancungnya menggesek permukaan halus itu sampai Amberley dibuat merinding.
Zae membuat Amberley mendadak mulas akibat gugup yang datang tanpa permisi. Lidah Amberley kelu, kerongkongannya pun tercekat. Berada di situasi ini mengacaukan pikirannya sehingga ia tak mampu berbuat banyak. Amberley remas kuat-kuat kemeja Zae sambil tetap buang muka dan kali ini ia memejamkan mata.
"Zae, jangan ...." Amberley bergumam, tanpa ia sadari suaranya bergetar.
Ketika Zae baru menyentuh kancing terakhir, ia langsung tersadar dan berhenti menjamah leher Amberley dengan bibirnya. Zae tatap wajah gadisnya yang pucat, bahkan jemari Amberley juga gemetaran. Di situlah rasa bersalah seketika merasuki Zae.
Zae menjauh seraya mengancing kembali kemejanya. Ia duduk di tepi sofa bed dan meraih tangan Amberley untuk digenggam. Amberley baru berani buka mata setelah Zae meminta maaf.
"Sayang." Zae cemas, dia khawatir melihat Amberley berkaca-kaca.
"Maaf, Aley. Aku kelewatan," ujar Zae. "Kamu takut, ya? Maaf ...."
Amberley melirik pakaian Zae, maka ia mengembus napas lega mengetahui Zae tidak jadi telanjang dada. Itu cukup menghilangkan rasa takut yang tadi menyergap Amberley. Tak tau apa jadinya bila Zae benar-benar kelepasan melakukan hal yang tak sewajarnya mereka lakukan.
"Kamu serem." Amberley setengah menunduk.
Zae mengusap wajahnya lalu mengangguk, ia mengakui kesalahannya. Ucap Zae, "Iya, aku kurang ajar sama kamu. Aku hampir lepas kontrol. Aku seenaknya perlakuin kamu, padahal hubungan kita belum sampai ke tahap yang legal buat lakuin ini. I'm sorry, Aley. I'm so sorry."
Untuk beberapa detik lamanya Amberley bungkam. Ia belum menanggapi Zae karena rasa panik itu masih menyelimuti raga. Kini Zae melepas genggamannya dari jemari Amberley, ia tertunduk sambil menutup matanya dengan satu tangan. Zae nampak frustrasi akan kecerobohannya dalam bertindak.
"Zae," panggil Amberley.
Zae menengadah seraya menarik napas panjang. Ia dan Amberley saling lempar pandang cukup lama. Tatapan Zae memancarkan penyesalan mendalam, bahkan ia memandangi Amberley seperti takut kehilangan.
"Maafin aku." Zae memohon.
Amberley tersenyum disusul mengangguk. Ia bawa Zae ke pelukannya dan mengusap punggung lelaki itu sembari menenggelamkan wajah di bahu Zae. Ia hirup harum badannya yang dibalut kemeja putih. Wangi Zae sangat manis serta menenangkan, Amberley selalu menyukainya.
"Aku maafin. Jangan diulang, ya? Kita enggak boleh lewat batas." Amberley berkata.
"Iya, Sayang." Zae merengkuh erat tubuh Amberley, kemudian mengelus rambutnya.
Mereka saling meminta maaf dan juga memaafkan. Amberley tidak takut lagi setelah ia lihat ketulusan dari cara Zae minta maaf dan mengakui kesalahannya. Zae juga berjanji untuk lebih berhati-hati serta menjaga sikap karena tak mau membuat Amberley setakut itu lagi.
Zae tatap bola mata Amberley, ia bersyukur tak ada ketakutan di sana seperti tadi. Ia usap sudut mata Amberley yang basah sehabis menahan tangis akibat kejadian beberapa menit lalu. Amberley mengukir senyum manis, ia bangga memiliki lelaki seperti Zae, yang berani memperbaiki dan mengungkapkan kesalahan langsung pada poinnya, tanpa menunda-nunda.
"Kenapa? Mukanya berondong aku sedih banget." Amberley terkikik seraya menangkup kedua pipi Zae.
"Aku hampir kehilangan Noona gara-gara tadi," ujar Zae bersedih.
Cengiran Amberley kian lebar, ditambah lagi Zae menyebut dirinya 'Noona' yang berarti kakak perempuan dalam bahasa Korea. Amberley gemas karena terkadang Zae bertingkah seperti anak kecil bila sedang berduaan dengannya.
Mentang-mentang Zae lebih muda ... padahal mereka cuma beda delapan bulan.
"Kan udah dimaafin. Zae jangan sedih," tutur Amberley sambil membelai kepala Zae.
"Jangan takut sama Zae lagi, ya, Aley." Lelaki itu berucap dengan nada lugu dan manja.
Pipi Amberley merona lucu. Ia mengangguk-angguk mengiakan ucapan Zae. Lantas mereka bersalaman sebagai bentuk formal bahwa mereka betul-betul sudah baikan.
"Mana cipika-cipikinya?" Amberley memajukan wajah.
Maka Zae mendekat dan mereka melakukan cium pipi kanan, cium pipi kiri, lalu mereka beradu jidat, dan diakhiri dengan mempertemukan ujung hidung mereka yang mancungnya bagai perosotan semut.
Keadaan berangsur baik tanpa kecanggungan yang membuat tidak nyaman. Amberley tak bosan memandangi wajah tampan Zae—yang bukan hanya tampan, tapi juga sangat manis. Zae memiliki senyuman indah yang mampu menular ke orang lain.
"Aku keluar, ya? Biar kamu istirahatnya lebih leluasa. Bisa buka tank top juga," ujar Zae.
Amberley mengangguk lagi. "Iya, Zae."
"Nanti kalau makanan dan minumannya udah dateng, aku langsung anter ke sini." Zae berkata.
"Terima kasiiih, Imut." Amberley mencubit dan menarik kedua pipi Zae. "Calon suami aku baik banget. Kamu itu lelaki paling pengertian setelah Appa dan Geepa."
Zae tersipu. "I love you, Amberley."
"Eh?" Kekehan Amberley terhenti, berganti tampang syok karena saking jarangnya mendengar Zae mengatakan tiga kata tersebut. Selama enam tahun mereka menjalin hubungan dekat, bisa dihitung jari Zae mengatakan 'I love you' kepadanya.
Lelaki itu beranjak dari sofa bed lalu merogoh saku celananya untuk mengambil benda kecil yang ia simpan rapi di sana. Sejak semalam Zae gugup memikirkan cara memberikan benda tersebut ke Amberley. Dia ingin meminta saran kepada Gallan, tapi takut malah diejek karena Gallan sendiri belum pernah memberi hadiah buat pasangannya alias Gallan jomblo—nyaris—abadi.
Setelah benda kecil itu berpindah ke kepalan tangan Zae, ia kembali duduk dan berusaha menetralkan deru napasnya yang mendadak sangat memburu. Zae menelan saliva, kemudian menahan napas sampai mukanya merah. Ini disebabkan oleh grogi bercampur malu dan takut. Padahal Amberley tidak akan menggigitnya, tapi Zae tetap ketakutan.
"Tarik napas, Zae." Amberley tersenyum.
"Aku gugup diliatin kamu," celetuk Zae.
Perkataan Zae mengundang tawa Amberley. "Mau aku tutup mata?"
"Boleh," sahut Zae.
Amberley memenuhinya kemudian menutup mata. Di kesempatan itu Zae meraih tangan kiri Amberley dan mengusap lembut jari manisnya. Bisa Amberley rasakan bahwa tangan Zae sedikit tremor.
"Kamu gemeteran. Rileks, Vajé." Senyum Amberley merekah tanpa membuka mata.
Vajé. Itu merupakan panggilan sayang dari Amberley untuk Zae, diambil dari nama tengah Zae; Varzae.
Dalam hati Zae menyemangati dan memarahi dirinya. Ia memberi semangat agar rencana memberi Amberley hadiah tidak gagal, tapi ia juga mengomel karena kecanggungannya bisa memakan banyak waktu dan otomatis mengganggu Amberley beristirahat. Jadi, saat ini Zae sedang ribut dengan pikirannya sendiri.
Setelah yakin bisa menghadapinya, Zae mulai memasukkan benda mungil itu ke jari manis tangan kiri Amberley. Ukuran cincinnya pas, tidak kekecilan, tak juga kebesaran. Bentuk dan warnanya begitu cocok di kulit Amberley yang putih pucat.
"Zae ...," panggil Amberley, sekarang dia yang merasakan kegugupan Zae.
Zae mengizinkan Amberley buka mata, dan di detik itu Amberley terperangah melihat betapa cantik cincin pemberian Zae yang melingkar sempurna di jari manisnya. Cincin emas putih ini dilengkapi moonstone biru natural dengan mata berlian di sisinya.
"Kamu suka?" Zae bertanya malu-malu.
Mata Amberley berbinar, tatapannya sudah cukup menjawab pertanyaan tersebut. Untuk memperjelasnya, Amberley langsung peluk Zae dan memekik riang. Apa yang membuat Amberley terlalu bahagia bukanlah soal nominal, tapi tentang siapa yang memberinya.
"Thank you so much." Amberley mengecup sudut bibir Zae.
Zae turut senang mengetahui Amberley sebahagia ini. Mereka berpelukan lama lantaran Amberley tidak rela melepas Zae. Reaksinya membuat dada Zae menghangat dan ia merasa tiap detiknya semakin mencintai gadisnya itu.
"Aku enggak main-main waktu aku bilang I love you, Brinnie." Zae mengusap rambut panjang Amberley.
Amberley memejamkan mata menikmati sentuhan Zae. "Love you even more, Vajé."
Momen manis mereka harus terjeda dikarenakan Zae pamit keluar dan meminta Amberley istirahat tidur sebelum mereka lanjut ke sesi pemotretan berikutnya. Mereka berpisah. Zae pergi, sedangkan Amberley tetap di ruangan ini seorang diri.
Di luar, Zae tertunduk di sepanjang jalan menelusuri lorong pendek. Alasan Zae menunduk adalah dia sedang menyembunyikan semburat merah di pipi hasil dari kebersamaannya dengan Amberley. Zae masih terus berusaha menghentikan senyumannya. Bisa-bisa orang lain bingung mengapa Zae senyum terus padahal sedang jalan sendirian tanpa melakukan apa-apa.
"Zae!" Titania memanggil, ia kebetulan baru meninggalkan ruangan Jisa dan kini bertemu Zae.
Zae menoleh. "Ta," balasnya.
"Aley mana?" tanya Titania.
"Lagi tidur sebentar." Zae melirik sebuah pintu ruangan yang berjarak jauh dari mereka.
Titania mengangguk paham. "Geema dan Geepa sebentar lagi sampe ... mau liat kamu dan Aley lanjut foto-foto nanti."
Zae senang mendengar kabar itu. Maka, mereka beranjak ke depan gedung untuk menyambut Alaia dan Langit. Saat mereka melewati ruang tengah, Gallan seketika berseru memanggil keduanya dan tentu ikut bergabung. Mereka bertiga berantusias menunggu tamu spesial tiba.
Kurang dari lima menit, Langit dan Alaia muncul. Mobil mewahnya sengaja Langit parkirkan di samping mobil Zae. Warna kedua mobil itu sangat kontras, milik Langit putih mutiara dan Zae hitam legam.
"Geema! Geepa!"
Zae, Titania, serta Gallan menghampiri tamu spesial tersebut. Titania bergantian dipeluk Alaia dan Langit, Gallan juga merasakan pelukan itu. Berbeda dengan Zae yang hanya menyaksikan keseruan mereka setelah ia membungkuk sebagai bentuk rasa hormat.
"Zae." Alaia menyamperinya. "Sini, peluk juga."
Akhirnya Zae dipeluk Alaia dan Langit. Ia bisa merasakan sehangat apa berada di tengah-tengah kakek dan nenek yang memberi kasih sayang teramat besar untuk para cucu.
Zae belum pernah merasakan dibelai, ditimang-timang, dan dipeluk oleh kakek dan neneknya. Bahkan ayah kandungnya juga tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap Zae. Dari bayi sampai sebesar sekarang, Zae memang paling dekat dengan Amora, ibunya.
"Zae, di mana Aley?"
"Aley mana, Zae?"
Alaia dan Langit bertanya serempak.
"Ada, lagi istirahat, Geema, Geepa. Aley kegerahan karena tadi terlalu lama di luar ruangan." Zae menjawab.
"Geema, Geepa! Di sini ada yang nakal ke Aley dan Zae. Dia selalu teriak-teriak! Terus tadi dia ngerusakin alat-alat pemotretan," adu Gallan.
"Ah, iya ... sekarang dia dikunciin di suatu ruangan." Titania menyambar.
Tiba-tiba saja lengkingan Jisa terdengar lagi. Dia memanggil-manggil Zae dengan lirih, tapi suaranya menggema ke mana-mana. Jisa memohon agar dirinya dikeluarkan dari ruangan itu.
Zae mengembus napas berat. Dia teramat lelah menghadapi makhluk semeresahkan Jisa. Bukannya introspeksi mengapa dirinya dikurung, Jisa malahan semakin berisik dan itu membuat orang-orang di gedung menjadi tidak nyaman.
"Sorry." Zae berkata ke mereka sambil menunduk. "Jisa susah dikasih tau yang bener. Kayaknya harus dipaksa pulang aja, daripada bikin gaduh di sini."
Titania menyahut, "Kita tanganin bareng-bareng, ya, Zae. Kamu jangan merasa bersalah."
"Ho'oh, kita semua juga tau itu si Merah emang rada-rada, ya, kan?" Langit menyambar.
"Wah, Geepa nyebutnya 'Si Merah' juga." Gallan terbahak keras.
"Dari kepala sampe bawah kebanyakan merah, sih, jadi cocok dipanggil 'Si Merah'." Langit ikut terkekeh.
"Dia keturunan Kunti Merah, Geepa," kata Gallan, memberi informasi yang sebetulnya tidak benar.
Langit merespons, "Walah, pantesan kalakuanna téh jiga belis!"
Gallan dan Langit asyik membicarakan Jisa yang kelakuannya memang tidak patut dicontoh. Sementara itu, Zae dan Titania mengajak Alaia menemui Jisa.
Kehadiran Alaia di sini mencuri perhatian semua orang yang berada di ruang tengah. Parasnya terlalu cantik sampai sulit dideskripsikan. Apalagi ketika Alaia menebar senyuman kepada mereka, itu menambah kadar kecantikannya sampai tak terukur.
"Cantik banget," celetuk seseorang, ia mewakili teman-temannya yang terkagum-kagum akan sosok semenawan Alaia.
Alaia mendengarnya, maka ia menyahut lembut dan sopan, "Terima kasih."
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruangan yang jauh dari keramaian, Jisa masih berteriak menyerukan nama Zae. Ia menggedor pintu berkali-kali sampai tangannya mulai merah karena sakit. Jisa tak peduli pada rasa sakitnya karena ia hanya ingin segera keluar dari sini.
Jisa baru berhenti menciptakan kegaduhan saat ia merasa ada yang mendekat ke ruangan ini. Ia memperjelas kemampuan mendengarnya, menempelkan telinga di dekat celah pintu, lalu tahan napas agar suara embus napasnya tidak mengganggu.
Matanya membulat kala ia menangkap bunyi derap kaki lebih dari satu orang. Cepat-cepat Jisa mengintip keadaan di luar sana dari balik gorden tebal yang sulit digeser bila bukan memakai remote. Jisa berusaha sampai berhasil melihat situasi di luar ruangan.
"Hah—" Jisa tercekat melihat Alaia.
Kepanikan tak bisa dicegah. Jisa ketar-ketir, dia memikirkan cara bagaimana agar Alaia tak menemuinya. Andai di ruang ini ada toilet, ia pasti bersembunyi di situ dengan alasan sakit perut.
"Gimana ini?" gumam Jisa sambil menekan pelipis.
Dia mondar-mandir tak tentu arah sampai napasnya tersengal-sengal seperti seseorang baru selesai berolahraga berat. Langkah mereka makin dekat, dan Jisa buru-buru berbalik badan. Ia menatap jemari tangannya yang berkuku panjang, merasa tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal.
Pintu terbuka, di detik yang sama Jisa meraung keras merasakan perih di sekitar mata. Ia berputar badan lantas mengejutkan tiga orang yang baru masuk. Alaia, Zae, dan Titania terkejut melihat banyak darah mengucur dari pelipis dan kelopak mata Jisa.
"Tolong aku! Perih!" Jisa berteriak dengan mata tertutup.
Kedua telapak tangan Jisa menutup wajahnya yang berdarah-darah. Bila diperhatikan lebih teliti, kuku panjangnya itu dinodai darah setelah dia nekat melukai wajah sendiri. Jisa melakukan tindakan itu agar ada alasan untuk menghindari tatapan Alaia pada matanya.
"Zae! Zae mana?!" Jisa meraba udara dengan satu tangan. "Aku enggak bisa buka mata. Sakit!"
Mereka semua bingung. Ini terasa janggal karena beberapa menit lalu Titania mengobrol bersama Jisa dan keadaan fisik perempuan itu baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba sekarang mata Jisa terluka parah.
Jisa merasa dirinya pintar bersandiwara, tapi ia tidak sadar lawannya juga pintar membedakan antara kejujuran dan kebohongan. Mereka bertiga tak semudah itu percaya ... terlebih Alaia.
"Astaga, lukanya parah banget." Titania membekap mulut. "Kamu kenapa, Jisa? Ini kayak kebentur pinggiran tembok yang tajam."
"Iya, Tita, tadi aku berusaha keluar dari sini, tapi aku kepeleset dan muka aku ngehantam pinggiran tembok di deket jendela. Sakit banget ...," lirih Jisa.
"Zae, jangan tinggalin aku sendirian lagi. Jangan ngebiarin aku dikunciin lagi. Aku jadi luka-luka kayak gini." Jisa mengimbuh pilu.
Yang Jisa dengar, Titania itu khawatir. Nyatanya Titania menahan tawa bersama Zae yang mendukung aktingnya. Alaia juga bereaksi mirip dengan Titania agar Jisa merasa ia berhasil membohongi mereka.
"Mau diobatin Geema?" celetuk Zae.
"Geema bisa langsung bikin kamu sembuh, Jis." Titania menambahkan.
Jisa menggeleng. "Enggak usah. Ke dokter aja, Zae. Please ... aku maunya ditanganin dokter. Lagian, aku enggak mau ngerepotin Geema."
"Geema enggak keberatan." Alaia menyahut santai.
"Enggak, Geema. Enggak usah," tolak Jisa seraya mundur sejengkal.
"Oke, Geema enggak maksa kalau kamu maunya sama dokter." Alaia bertutur seraya mengulurkan tangan hendak menggapai wajah Jisa tanpa Jisa tau.
Jisa kembali berceloteh menceritakan betapa pedih matanya. Darah terus mengalir hingga tetesannya mengotori lantai. Selama Alaia masih di sini, Jisa tidak akan mau buka mata.
Alaia berhasil menyolek sedikit darah dari wajah Jisa dengan telunjuknya. Ia hirup aroma darah itu, dan tak menemukan adanya aura kebaikan. Darah Jisa dipenuhi hal bersifat negatif, bahkan baunya membuat Alaia hampir kehilangan keseimbangan tubuh.
"Zae, kamu temenin aku ke dokter, ya? Kamu enggak boleh jauh dari aku. Kamu liat, kan, aku jadi celaka karena enggak dijagain kamu." Jisa berkata.
"Aku ini istri kamu, Zae, udah sewajarnya kamu lindungin aku. Aku enggak mau dikunciin lagi," tambah Jisa.
Jisa tidak lelah bicara. Ia tak mengetahui Zae telah meninggalkan tempat bersama Titania. Tadi itu mereka berdua mundur pelan-pelan memenuhi perintah Alaia yang memberi isyarat lewat tatapan dan gerak tangan.
Alaia memicingkan matanya yang mulai mengeluarkan sinar merah. Ia menatap Jisa seperti akan menerkamnya dan mencabik-cabik sampai tewas. Namun, kali ini Alaia tak ingin memakai cara tersebut, ia mau mengorek lebih dalam siapa Jisa sebenarnya.
Jisa itu cerdik. Untuk mengalahkannya harus lebih cerdik dan memahami kelemahan Jisa.
"Μην ενοχλείτε τα εγγόνια μου, συμπεριλαμβανομένου του Ζάε." Alaia bertutur rendah. (Jangan ganggu cucu-cucuku, termasuk Zae.)
"Μην αγνοήσετε την προειδοποίησή μου. Σε παρακολουθώ," lanjut Alaia. (Jangan abaikan peringatanku. Aku mengawasimu.)
Jisa terkesiap, ia membeku di tempat sampai mulutnya hanya terbuka tanpa mampu bersuara.
༻✽༺
Pemotretan pre-wedding Amberley dan Zae memakan waktu cukup banyak sehingga baru selesai pukul sembilan malam. Semua orang sudah kembali ke kediaman masing-masing, tak terkecuali Zae yang kini berada di perjalanan menuju rumahnya. Jalanan sangat lengang, bahkan saat tiba di perempatan dan lampu merah menyala, hanya mobil Zae yang berhenti.
Zae mengamati sekelilingnya dengan saksama. Matanya melirik tiap tikungan jalan yang biasanya dilalui banyak kendaraan. Malam ini terasa berbeda karena Zae benar-benar sendirian.
"Sepi banget," gumam Zae.
Ia kembali melajukan mobil setelah lampu lalu lintas berganti biru. Zae berkonsentrasi, ia menepis segala pikiran negatif yang menyerbu benaknya. Ini memang aneh, di jam yang belum terlalu malam keadaan jalan raya sudah seperti dini hari.
Mumpung sepi, Zae meningkatkan kecepatan laju mobil agar segera keluar dari zona menegangkan ini. Zae tidak pernah tau akan terjadi apa di lingkungan semencekam itu. Daripada hal buruk menimpanya, lebih baik ia buru-buru menjauh dari sana.
Setelah Zae menempuh jarak sejauh 5 kilometer, ia terheran lantaran tetap dikelilingi kesunyian. Mobilnya seperti masuk ke jalan yang salah—entah ini perasaannya saja atau benar begitu. Zae tidak mengerti.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Zae akhirnya tiba di rumah dengan selamat. Zae mendatangi rumah yang ia singgahi bersama Jisa. Ada dokumen penting yang perlu Zae cari karena tak ia temukan di rumah Amora.
Ketika Zae masuk ke rumah, jalan raya yang ia lewati tadi seketika kembali ramai seperti hari-hari biasa.
Ini bukan kebetulan. Nyx melindungi Zae, dia sengaja membuat anak itu menempuh jalan sendirian tanpa kendaraan lain. Nyx melakukannya untuk melindungi Zae dari kecelakaan maut yang sangat mungkin terjadi karena saat ini Zae kelelahan dan matanya berkunang-kunang.
Zae mencari minuman segar di lemari pendingin, langsung meneguknya sampai habis sekaleng. Tak lupa ia cuci muka agar matanya segar kembali. Ia lanjut ke kamar sambil melepas dua kancing teratas kemeja hitam yang ia pakai. Zae juga menggulung lengan panjang kemeja sebatas siku.
Setibanya di depan kamar, dia membuka pintu dan langsung disuguhi pemandangan Jisa sedang memoles makeup di depan cermin rias. Perempuan itu seketika mengubah posisi duduknya yang semula menyamping, jadi membelakangi Zae. Jisa juga berusaha menutupi wajahnya dari pantulan cermin.
"Zae, kamu pulang enggak ngabarin aku dulu. Aku kaget," ujar Jisa.
"Ah! Luka aku berdarah lagi. Aku ke kamar mandi dulu." Jisa bersicepat meninggalkan kursi dan ngacir ke kamar mandi.
Zae mengernyit. Dia enggan menaruh rasa peduli, sehingga Zae sama sekali tak curiga mengapa Jisa panik saat dirinya muncul dadakan di kamar. Zae dengan santainya menghampiri box kabinet untuk mengambil cip berisi data-data lengkap rumah ini.
Di kamar mandi, Jisa merias wajahnya sangat tergesa. Seperti biasa ia menutup sesuatu di pipi menggunakan cairan kental berwarna persis kulitnya. Di hadapan cermin, Jisa mendongak dan membuka mata selebar mungkin karena perban di dekat mata menghalangi setengah pandangannya.
Setelah urusannya beres, Jisa keluar dan menemui Zae yang baru saja meninggalkan kamar. Jisa mengejar, dia memanggil-manggil Zae sambil teriak. Zae tidak tuli, tapi dia juga tak mau menanggapi Jisa, maka dia tetap berjalan ke pintu utama rumah tanpa memberi respons.
"Sayang, kamu mau ke mana?" Jisa menggapai lengan Zae, ia berhasil menghentikan langkahnya.
"Aku udah ngalah ngebiarin kamu main dari siang sampai malam sama GATZ, terus sekarang kamu mau ninggalin aku lagi? Kamu enggak puas liat mataku separah ini gara-gara ditinggalin kamu sendirian?" cetus Jisa.
"Aku, tuh, cemburu banget, tau! Aku nahan-nahan sakit di dada aku setiap aku mikirin kamu ngapain aja sama Aley seharian ini. Hati aku remuk!" Jisa meremas piamanya di bagian dada.
Zae menyetus tajam, "Enggak ada yang minta kamu mikirin saya dan Aley."
"Tetep aja aku kepikiran, Zae!"
"Kalau kamu tau itu bikin sakit, ya berenti. Jangan protes ke saya," papar Zae.
"Kamu enggak ngertiin aku. Kamu lukain perasaan aku." Jisa cemberut sambil mengusap hidung.
"Kamu bikin Aley lebih sakit." Intonasi Zae sedikit meninggi.
Jisa menggeleng. Hatinya mendadak panas dan menjadi naik pitam, "Aku yang paling sakit! Di dunia ini cuma aku yang masih bisa bertahan padahal diselingkuhin terang-terangan sama suamiku! Di mana lagi kamu temuin perempuan setegar aku? Enggak ada! Cuma aku!"
Zae kehabisan kata untuk membalas ucapan Jisa yang semakin berlebihan. Ia baru akan beranjak, tapi lagi-lagi Jisa menahannya. Langkah Zae dihalangi perempuan keras kepala ini.
"Kamu liat, mataku udah bengkak karena luka, sekarang makin bengkak gara-gara nangisin kamu!" seru Jisa, memaksa Zae menatapnya. "Aku enggak mau diduain. Aku enggak mau dimadu!"
"Kamu enggak boleh nikah lagi! Kamu diciptain cuma buat aku, Sayang. Jangan melawan takdir!" amuk Jisa.
Jisa menambahkan, "Cintaku lebih besar dari cinta Aley buat kamu! Kamu bakal nyesel kalau lebih pilih dia daripada aku. Aley enggak cocok sama kamu. Dia bukan dari keluarga baik-baik."
Zae meredam kekesalan yang memuncak. Bertemu Jisa membuat Zae belajar arti kesabaran dan pengontrolan diri. Energinya akan terbuang percuma bila menanggapi omongan Jisa, maka Zae memilih untuk menjadi air di tengah kobaran api.
Lelaki itu melangkah besar-besar menjauh dari Jisa yang memaksanya untuk tetap tinggal. Zae menepis tangan Jisa seraya mendorongnya pelan agar tak menghalangi jalannya lagi. Jisa menangis sejadinya, walau air mata tidak ada, ia tetap nangis histeris.
"Jangan tinggalin aku!" Jisa menjatuhkan diri saat Zae masuk ke mobil. Ia berharap Zae menoleh dan iba, tapi kenyataannya Zae tak peduli. Meliriknya sesingkat satu detik pun tidak.
Jisa memukul-mukul aspal ketika Zae pergi bersama mobil hitamnya. Jisa kalap, ia tidak terima bahwa Zae lebih pilih Amberley. Ini sangat menyayat hati Jisa yany selembut kapas.
"Kamu bikin aku serapuh ini, Zae. Kamu tega sama aku. Kamu enggak boleh jadiin aku sebagai pilihan kedua," lirih Jisa.
Ia menunduk lama tanpa mengubah posisinya yang saat ini duduk di atas aspal. Jisa menetralkan napasnya sampai kembali berderu normal, setelah itu ia menengadah sambil membuang napas panjang. Tangannya terkepal erat seraya ia menatap lurus pagar rumah yang tertutup otomatis.
Seketika saja Jisa bangkit berdiri dan berlari kencang ke dalam rumah. Dia masuk ke kamar, lalu mendekat ke jendela. Jisa menyibak gorden tebal agar pemandangan langit malam bisa ia lihat jelas dari posisi ini.
Siapa yang sangka bahwa Jisa tiba-tiba berkomunikasi dengan seseorang melalui kekuatan pikiran.
"Mom, Dad, I need your help." Jisa memanggil dalam hati.
Selang tiga detik, Jisa menerima balasan. "What can we do for you, our lovely Princess?"
"Aku punya permintaan. Kalau ini enggak dikabulin, aku bisa sakit. Mom dan Dad enggak mau aku sakit, kan?"
"Jangan sakit. Kamu mau apa, Manis?" sahut orang itu.
"Aku mau Zae nurut sama aku, dan Aley tunduk sama aku."
• ༻ A M B E R L E Y ༺ •
gimana chapter 8, babygeng?! kasih komentar ya 🖤🤍
Jisa siapa yaa sebenernya? 😜
Kamu siap Zaley nikah? Atau mau batalin aja?
SPAM SEBANYAKNYA JAGOAN KAMU:
ZALEY
JIZAE
GATZ
━━━━━━━━━━━
spam "AMBERLEY"
spam sebanyaknya emot ☁️
spam nama tokoh fav kamu di cerita ini
SEE YOUUU~
I love you Babygeng 🤟🏻😘😋
terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜
FOLLOW IG AKU BIAR KITA KENAL:
@radenchedid
FOLLOW IG KHUSUS KARYAKU:
@alaiaesthetic
SUBS CHANNEL TELE KHUSUS BABYGENG:
@BABYG3NG (pake 3)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro