30. The Real You
30. The Real You
Setelah bertahun-tahun Alaia memikirkan perbedaan antara Titania dan Amberley yang begitu jauh, dan setelah sekian lama Alaia mendambakan keturunan berupa mermaid, di sinilah ia menemukan fakta bahwa Titania sejatinya adalah makhluk laut.
Namun, ini melenceng dari perkiraan Alaia.
"Siren ...," gumam Alaia, menatap Titania bersamaan kilauan berlian keluar dari matanya dan menyatu dengan air laut.
Bukan air mata bahagia, melainkan sebaliknya. Alaia tau persis seburuk apa siren dengan insting kuat berupa mencelakai bahkan membunuh makhluk lain. Bangsa Siren tidak pernah pandang bulu siapa yang menjadi targetnya, terkecuali Dewi Laut—pemegang kekuasaan tertinggi di lautan yang sangat mereka segani.
Alaia terkejut ini terjadi kepada cucunya. Dia sama sekali tidak pernah berharap ada keturunannya yang mewarisi darah siren.
Kelebihan Titania yang mampu melihat adanya kebohongan hanyalah sesuatu yang menutupi jati dirinya. Kejanggalan yang Alaia pendam sendirian akhirnya terungkap oleh waktu. Selama ini Alaia tidak pernah merasa begitu yakin setiap berkata bahwa Titania hanya manusia biasa. Namun, Alaia juga tak bisa menyebutkan apa dan siapa Titania sebenarnya.
Fakta yang ada ialah Titania terlahir sebagai siren, tapi tidak sempurna. Ia mendapatkan gen ini dari neneknya yaitu Alaia. Alaia lahir dari hubungan terlarang Raja Siren dan Ratu Mermaid yang membuatnya sebengis iblis di lautan, tapi juga bisa menjadi amat baik bagai malaikat.
Jati diri Titania terungkap di usia sekarang ini setelah ia menelan darah Alaia. Cairan itu menyempurnakan darah siren dalam tubuh Titania. Ketika tubuh Titania masuk sepenuhnya ke laut, maka fisiknya berubah seperti yang seharusnya.
Tanpa Titania sadari, sejak kemarin setelah ia menelan darah Alaia, tubuhnya mencari-cari air untuk masuk dan berenang selama mungkin. Malam itu ia melihat kolam di halaman belakang rumah Amberley dan Zae. Raganya ingin melompat ke air untuk berendam, tapi hatinya berpikir ingin bunuh diri.
Kini Titania memiliki ekor besar berwarna gelap dengan ujung mata tombak sebagai senjata, taring tajam, mata hitam mengerikan, serta cakaran yang mampu mencabik-cabik mangsa dalam kecepatan detik.
Bila Titania menghabiskan lebih banyak waktu di kedalaman laut, maka warna kulit serta rambutnya akan menggelap seperti siren lainnya.
"Geema." Titania bingung dan panik.
Ia sedikit menunduk sambil memeluk dirinya sendiri. Pikirannya keruh, ia terus memikirkan banyak hal negatif alhasil membuat nyalinya semakin tidak kelihatan. Titania tak mengerti mengapa keanehan ini bisa terjadi padanya.
"Kenapa aku kayak gini?" tanya Titania, suaranya terdengar pilu.
Alaia menjawab seraya maju lebih dekat ke Titania. "Karena Tita cucu Geema."
Titania menunduk, ia memandangi tubuhnya yang jauh berbeda dengan Alaia. Ekor Alaia sebegitu indah dengan warna terang berkilauan di bawah laut. Sedangkan ekor Titania gelap dan tak mampu memantulkan cahaya.
"Aku buruk," gumam Titania, ia hendak menangis.
Di situlah Alaia meraih kedua lengan Titania dan membawanya ke dalam pelukan erat. Alaia tak banyak bicara, ia memilih diam sembari berpikir mengenai segelintir peristiwa yang kemungkinan terjadi di masa depan Titania.
Siren tidak akan mengalah. Siren tak mempunyai perasaan. Siren ingin selalu menjadi yang terbaik meski ia tau posisinya akan tetap berada di belakang.
Dengan kondisi Titania yang seperti ini, dan Amberley yang semakin jauh di depannya, Alaia takut suatu hari nanti dua cucunya ini terlibat masalah di luar nalar.
"Kamu enggak buruk. Jangan bilang itu ke diri kamu. Mulai sekarang kamu harus pelan-pelan belajar terima siapa kamu sebenarnya. Terima jati diri kamu dengan setulus hati, Tita." Alaia berkata.
"Aku takut liat diri aku sendiri. Aku enggak mau kayak gini, Geema," lirih Titania.
"Geema ngerti serumit apa pikiran kamu sekarang. Geema enggak paksa kamu buat terima itu semua di detik ini. Pakai waktu kamu buat lakuinnya perlahan," ungkap Alaia.
Titania menggeleng dalam pelukan mereka. "Enggak mau ...."
"Ini takdir kamu yang sebenar-benarnya. Kamu bukan sekadar manusia biasa yang hidup di daratan, tapi juga penghuni laut." Alaia bertutur. "Bertahun-tahun Geema merasa janggal tentang kamu, dan sekarang semuanya kejawab."
Titania tidak puas. Bukan ekor ini yang ia inginkan. Dia semakin merasa rendah bila membandingkan dirinya dengan Amberley yang berada di posisi terlalu tinggi untuk ia kejar.
Rengkuhan mereka bersudah. Titania perhatikan ekspresi Alaia yang tak menunjukkan keantusiasan atas perubahannya. Dia tambah insecure dan rasa yang paling mendominasi hatinya adalah kesedihan bercampur kecewa. Titania berpikir ia gagal menjadi cucu terbaik Alaia dan Langit.
Di benak Titania berputar-putar kalimat "Kenapa aku enggak bisa ada di posisi Aley? Kenapa selalu aku yang dapet ampas dari kesempurnaannya? Kenapa aku lahir sebagai cucu kedua Geema dan Geepa, kenapa bukan yang pertama?"
Titania menatap jemari tangannya yang dihiasi kuku-kuku tajam. Ia terbayang kejadian beberapa menit lalu ketika Amberley hampir terluka oleh cakarannya.
Dia memang tidak berniat melakukannya karena itu merupakan keinginan alaminya sebagai siren yang berjiwa pemburu. Tapi ... tiba-tiba Titania ingin mengulang kejadian tersebut.
"Geema enggak marah karena tadi aku hampir lukain Aley?" Titania berujar parau.
Alaia membalas, "Untuk saat ini Geema bisa maklum karena kamu belum terbiasa. Kamu masih kaget ada di lingkungan baru."
"Kalau nanti keulang lagi, gimana? Geema tetep enggak marah?" ucap Titania sambil menunduk.
"Geema harus liat dulu apa penyebabnya," ungkap Alaia.
Titania menutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan makin menunduk dalam. Dia meraung frustrasi. Alaia langsung menenangkannya lagi sampai Titania berhenti mengeluarkan suara-suara yang menakutkan bagi kawanan ikan di sekeliling mereka.
"Aku takut enggak bisa kendaliin diri. Aku takut nantinya lukain Aley. Aku enggak mau jadi kayak gini, Geema." Titania bersedih.
Alaia mengelus kepala Titania dan bertutur lembut, "Kamu enggak akan lukai Aley selama kamu ada di daratan. Selama kamu jauh dari laut. Mulai sekarang kalau kamu lagi berenang entah di kolam atau di laut, dan ada Aley di sana, kamu harus kontrol diri. Enggak cuma Aley, tapi semua orang yang kamu kenal mau pun enggak kenal."
"Begitu, ya, Geema ...." Ibu muda itu melemaskan bahu.
Sekali lagi Alaia merengkuh Titania. Ia berkata, "Kamu jangan naik ke kapal dulu. Jangan ikut mereka ke Pulau Levanna karena di sana terlalu dingin buat kamu yang keadaannya basah dalam wujud manusia. Ketahanan kulit kamu berbeda saat di darat dan laut. Jadi, Tita tetep sama Geema di sini sampai mereka balik ke kapal menuju pesisir Irvetta. Paham, Sayang?"
"Paham, Geema." Titania mengangguk.
Jadilah mereka berdua berenang mengikuti Le Ozean Lonan ke Pulau Levanna. Titania malu dilihat orang-orang itu, maka dia menyelam agar wujudnya tak menjadi tontonan mereka. Alaia tetap menyembulkan kepala ke permukaan air, bahkan sesekali ia melompat ke udara seperti lumba-lumba dan memperlihatkan betapa cantik ekornya.
"Geema!" Gallan berteriak. "Tita gimana, Geema?"
"Tita aman!" seru Alaia. "Aley aman di sana?"
"Aman, Geema! Lagi ciuman sama Zae!" balas Gallan.
"Heh! Itu lagi darurat, bukan ciuman." Lazar berucap bersamaan ia menepuk lengan Gallan.
"Biar Geema enggak panik," bisik Gallan.
"Duyung itu beneran duyung, Gal? Bukan ekor bohongan?" Lazar ikut berbisik sambil melirik Alaia yang kini berenang lebih cepat ke mendahului kapal.
Gallan mengerling jahil lalu bertutur, "Lo harus percaya, Zar. Kalo ko enggak percaya nanti tsunami dateng."
"Kalo raksasa itu? Gue panik dari tadi diliatin terus." Lazar cemas dengan mata tertuju ke Kholivar yang sedang menatapnya.
"Itu sebenernya burung, Zar. Burung bokapnya Aley. Dia bisa berubah jadi naga di situasi genting. Namanya Kholivar," jawab Gallan.
"Kholoibah?" ulang Lazar.
"Klorovar." Gallan mengoreksi, tapi kemudian dia mengerutkan kening. "Khovilar."
"Perasaan tadi gue udah bener nyebutnya!" heran Gallan.
Percakapan Gallan dan Lazar tertangkap telinga tajam Kholivar. Dia dengan santai mengeluarkan api biru dari mulutnya hanya untuk membuat Lazar jantungan. Benar saja karena sekarang Lazar terkaget-kaget sampai mundur beberapa kali dan menabrak pagar pembatas.
"Lo kagetan banget, ya?" Gallan terkekeh.
Kemudian Gallan meminta Lazar meluruskan pandangannya ke depan. Pulau Levanna sudah kelihatan, otomatis penampakan seekor makhluk super besar di sana juga kelihatan.
"Lo liat, kan?" ceplos Gallan.
Lazar membatu. Dia ternganga melihat Fenrir yang dari kejauhan ini sudah tampak jelas ukuran dan tingginya. Kalau Kholivar ia sebut raksasa, berarti Fenrir adalah raksasa terbesar dalam dunia raksasa.
"Itu apaan lagi ...," gumam Lazar.
Tanpa menunggu jawaban Gallan, Lazar berpindah tempat ke pojokan. Ia meringkuk di sana sambil menunduk. Lazar cemas, ia kepikiran apa mungkin saat ini dirinya berada di alam lain?
༻✽༺
Keinginan Amberley tak bisa dibantah dan dicegah siapa pun. Ia sudah yakin untuk memberikan setengah kekuatannya sebagai Dewi Musim Dingin kepada Zae.
Poin utama dari rencana besar Amberley yaitu ia ingin Zae aman dari segala ancaman dan bahaya di luar sana.
Amberley tidak bisa memastikan dirinya akan selalu ada bersama Zae, dan tak akan pernah tau bila nanti ia mendapat panggilan yang mengharuskannya pergi atas dasar tanggung jawab. Otomatis Amberley tak bisa melindungi suaminya di rumah atau di mana saja Zae berada.
"Zae, kamu udah siap?" Amberley bertanya.
Zae terlampau gugup hingga dia tak sanggup bicara. Mereka berdiri di depan kastel, memijak lautan salju tebal, dan pemandangan ini disaksikan Atlanna, Bintang, Gallan, Lazar, Kholivar, dan Fenrir. Alaia dan Titania ikut menyaksikan dari jarak jauh.
Amberley memejamkan mata bersamaan ia menggenggam kedua tangan Zae. Genggamannya erat seiring pejaman mata Amberley kian rekat. Ia tertunduk dan keningnya mengerut tipis.
"Χιόνι ...," panggil Amberley. (Salju ....)
"Είμαι η Brittany Amberley Raja-Lonan, χρειάζομαι τη βοήθειά σας." Amberley bercakap lantang. (Aku Brittany Amberley Raja-Lonan, aku butuh bantuanmu.)
Tumpukan salju di sekeliling Amberley dan Zae mendadak naik ke udara, perlahan-lahan melayang bebas, tapi kemudian berputar mengitari pasangan itu.
Salju-salju tersebut berputar kencang mengelilingi mereka selama Amberley melontarkan kalimat-kalimatnya. Semakin Amberley berseru, lantas semakin banyak salju yang memutari mereka.
"Θέλω να δώσω τη μισή μου δύναμη στον άντρα μου, τον Amadé Varzae Lonan. Θέλω να είναι ασφαλής. Θέλω να την προστατέψω όταν δεν μπορώ πλέον να την προστατεύσω. Αυτός ο άνθρωπος είναι τα πάντα για μένα," tegas Amberley. (Aku ingin memberikan setengah kekuatanku kepada suamiku, Amadé Varzae Lonan. Aku ingin dia aman. Aku ingin melindunginya ketika aku tidak bisa lagi melakukan itu. Lelaki ini adalah segalanya bagiku.)
Rambut putih, lambang keping salju, dan bola mata silver Amberley menyala serempak. Cahayanya kian benderang tiap Amberley memuntahkan kata demi kata dari mulutnya. Rambut panjangnya itu berkibaran elok dengan paduan dua warna yang amat mengagumkan.
"Από τώρα μέχρι για πάντα η μισή μου ψυχή ως Θεά του Χειμώνα είναι αποθηκευμένη στο σώμα του Ζάε." (Mulai sekarang sampai selamanya separuh jiwaku sebagai Dewi Musim Dingin tersimpan di raga Zae.)
Seketika itu satu cahaya terang muncul di dada Amberley dan berpindah ke dada Zae yang kemudian meresap masuk hingga jejaknya menghilang.
Zae refleks mengejam dan tahan napas ketika ia rasakan sesuatu yang dingin menyentuh sekilas dadanya. Sedetik dari itu Amberley mengangkat kepala untuk menatap Zae. Ia langsung peluk suaminya yang tentu dibalas lebih-lebih erat. Salju yang beterbangan seketika luruh dan kembali ke tanah.
"Finally," ucap Amberley bahagia.
Satu keinginan terbesar Amberley akhirnya telah menjadi nyata. Ia berhasil menyerahkan setengah kekuatannya demi keselamatan Zae. Bukan hanya Zae yang akan merasakan perlindungan itu, tapi juga Baby Zaley.
"Thank you. Thank you so much, Brinnie." Zae mengecup pipi Amberley.
Amberley mengangguk. Ia hirup dalam-dalam harum tubuh Zae dari lapisan mantel yang dikenakan. Sudah sekian lama Amberley ingin melindungi sepenuhnya tubuh yang selalu menjadi incaran makhluk jahat ini. Ia bahagia karena mulai sekarang—semestinya—tak ada lagi iblis yang berani mendekati Zae.
Meski begitu, Amberley akan tetap mengawasi suaminya. Zae masih belum paham apa yang harus dilakukan dengan setengah kekuatan itu, dan Amberley berperan untuk mengajarkannya.
"Kamu enggak perlu takut kalau ada makhluk jahat yang ganggu. Mereka pasti sadar di tubuh kamu ada kekuatan aku," tutur Amberley.
Zae menanggapi, "Iya, Sayang."
"Zae jangan takut lagi, ya?" Amberley menangkup satu pipi Zae dan ia usap.
Lelaki itu menangkap tangan Amberley yang menempel di pipinya. Zae bawa tangan berjari lentik tersebut ke hadapan wajahnya lalu ia kecup. Senyum Amberley melebar begitu pula Zae yang matanya ikut berbinar-binar.
"Aku mau bilang sesuatu ... mungkin ini kedengeran berlebihan." Zae menatap lekat bola mata istrinya.
"Apa?" Senyuman cantik makin sempurna menghiasi wajah Amberley.
"Tanpa kamu aku enggak mampu bertahan sejauh ini. Kamu yang selalu ada di setiap aku butuh pertolongan. Kehadiran kamu di hidup aku buat aku semakin bersyukur atas semua yang aku punya saat ini. Kamu cahaya yang nerangin kegelapan aku, Aley." Zae berujar rendah, matanya mengilatkan ketulusan dan rasa terima kasih yang besar kepada sang istri.
"Kamu duniaku," lanjut Zae. "Kalau enggak ada kamu, aku hancur."
Sebulir air meluncur dari mata Amberley. Zae mengusapnya, kemudian ia dekap Amberley seraya mengecup puncak kepalanya. Ia kecup pipi dan kening Amberley, terakhir berhenti di bibir.
"Aku seneng karena aku disayang kamu." Amberley berucap penuh arti. "Aku bahagia banget bisa rasain ini."
Zae kembali memandangi Amberley yang belum berhenti mengeluarkan air mata. Ia mencari kebenaran dari tatapannya. Wanitanya itu memasang topeng lagi ... karena Amberley berusaha memamerkan tampang ceria seolah ia menangis bahagia, tapi Zae justru melihat adanya kesedihan yang tersembunyi.
"Kamu baik-baik aja?" Zae bertanya sambil mengelus kepala Amberley.
Amberley mengiakan. "I wish I could freeze this moment and live in it forever with you."
"Aren't we forever?" Suara Zae memelan, ia berpikir dua arah akan apa yang Amberley ucap.
Amberley tidak menjawab dengan kata, melainkan hanya cengiran innocent yang mampu menghangatkan hati Zae. Walau pertanyaannya tak terjawab, tapi Zae memilih untuk berhenti berpikir macam-macam. Ia percaya pada kekuatan cinta mereka yang akan bertahan hingga selamanya.
Ada hal lain yang mencuri perhatian dari momen manis mereka berdua, yakni roh Dae tiba-tiba meninggalkan raga Zae. Setengah kekuatan Amberley di dalam Zae lebih kuat dan besar daripada perlindungan Dae, makanya dia keluar.
"Dadda!" Amberley menyapa.
Zae menoleh ke belakang mengikuti arah mata Amberley. Sedetik setelah itu Zae terpaku melihat sosok cerah yang berdiri di sana. Ini pertama kali Zae bisa melihat roh ayahnya secara jelas dan nyata.
"Dadda?" Zae bergumam.
Dae memberi putranya seulas senyuman. Sekarang Zae semakin paham bahwa dia dan Dae sangat-sangat mirip. Di foto memang Dae begitu mirip Zae, tapi aslinya jauh lebih mirip.
Wajah Dae tidak akan berubah, masih sama seperti saat dia meninggal di usia 26.
"Thank you, Dadda." Zae terharu.
Dae mengangguk samar. Kemudian Dae berucap serius, "Nak, buat Amberley bahagia, ya? Dia tulus sama kamu. Dia enggak pernah main-main."
"Pasti, Dadda." Zae menyahut yakin.
"Jaga anak-anak kalian yang sekarang ada di perutnya," imbuh Dae.
"Anak-anak?" Zae mau pun Amberley sama-sama membulatkan mata mendengar penuturan Dae.
Lagi-lagi Zae dan Amberley bersatu dalam eratnya pagutan penuh cinta. Zae berkali-kali mendaratkan kecupan di wajah Amberley. Ia teramat gembira mengetahui Baby Zaley berjumlah lebih dari satu.
Tak ada yang bisa Dae lakukan selain tersenyum. Ia terbayang masa-masa saat dirinya baru mengetahui Amora tengah mengandung. Janin itu mereka sebut Baby Lonan. Kini Baby Lonan telah beranjak dewasa dan merasakan apa yang ayahnya rasakan dulu.
Zae dan Dae punya satu harapan untuk Baby Zaley. Zae berharap Baby Zaley selalu dikelilingi orang yang mengasihinya, dan Dae berharap Baby Zaley hidup didampingi orang tua lengkap—tidak seperti Zae.
༻✽༺
Amberley, Zae, Gallan, dan Lazar sudah kembali ke kapal untuk pulang ke Irvetta. Sore telah berganti malam yang artinya langit semakin gelap. Mereka masih harus menempuh jarak jauh untuk tiba di pesisir.
"Begini, ya, rasanya ada di tengah laut tanpa cahaya matahari. Gelap." Amberley berkata.
"Tetep keren, kan, Ley? Kapal Zae rame banget banyak lampunya!" seru Gallan. Ia lagi duduk di pinggiran dek sambil melihat-lihat deretan lampu kapal yang menyorot ke laut.
"Ini bukan kapal gue," koreksi Zae.
"Iya, tapi perusahaannya punya lo." Gallan menyahut.
"Tetep aja. Gue cuma nyewa kapal buat kita-kita." Zae menyambar. Dia itu tipe orang yang tidak enakan bila terlalu dianggap kaya raya.
"Zae, udahlah! Terima aja kalo lo itu tajir melintir. Protes mulu." Gallan mencibir.
Amberley terkikik geli. Suaminya lucu bila wajahnya mengerut marah sehabis dibilang seperti tadi oleh Gallan. Segeralah ia raih pergelangan tangan Zae, kemudian bergelayut di lengannya. Zae tidak bisa ngomel-ngomel ke Gallan kalau Amberley bermanja begini.
"Aley setuju sama Abang, enggak?" Gallan mencari pembelaan dari Amberley.
Sebelum Amberley menjawab, Zae cepat-cepat menyeletuk, "Enggak boleh gitu—"
"Ssst. Cukup." Gallan menaruh telunjuk di depan bibir, memotong ucapan Zae. "Gue mau konsentrasi ngeliatin lampu-lampu kapal. Lo enggak mau ikutan? Asik banget loh, Zae!"
Lazar yang sebelumnya sedang membersihkan layar kamera pun berpindah dan menghampiri Gallan. Kalau Zae tidak mau ikut Gallan menonton lampu-lampu, maka Lazar yang akan melakukan itu. Dua lelaki tersebut asyik berbincang sambil diselingi memuji betapa keren lampu kapal.
"Zae, mau duduk di sana?" Amberley melirik sofa di seberang posisi Gallan dan Lazar berada.
Zae mengangguk, lalu tanpa lama-lama langsung membawa Amberley ke sofa. Mereka duduk di situ dengan ditemani pemandangan cantik bulan dan gemerlap bintang. Zae menikmati keindahan langit sembari mengelus perut Amberley yang terlindungi dress longgar sederhana.
"Laut dan langit sama kayak bulan dan bintang. Barengan terus," kata Amberley.
Zae pandangi Amberley begitu intens. "Kalau disuruh milih, kamu mau jadi yang mana?"
"Aku mau jadi bintang." Amberley menjawab kurang dari dua detik.
"Kenapa?" Zae penasaran sekaligus gemas melihat wajah imut Amberley saat sedang membicarakan sesuatu yang disukainya.
"Karena bintang selalu ada di langit. Dia setia. Dia kadang enggak keliatan, tapi sebenernya ada terus di langit. Malahan enggak cuma di malam hari," jelas Amberley.
Zae mengernyit, ceritanya ia bingung. "Kenapa kamu mau jadi bintang padahal enggak setiap waktu bisa diliat orang lain? Kehadiran kamu jadi kayak enggak dianggap ada."
"Bukannya hidup memang begitu?" sahut Amberley. "Enggak apa-apa aku enggak diliat, seenggaknya aku selalu ada buat mereka. Itu udah cukup bikin aku seneng."
Perkataan Amberley membuat Zae teringat akan pengalaman kurang baik yang istrinya terima. Zae tau betul bahwa Amberley sayang Titania, tapi akhir-akhir ini sikap Titania berbeda. Sedihnya itu Titania seakan lupa Amberley adalah orang yang berani maju paling depan untuk melindunginya dari mara bahaya. Kebaikan Amberley dianggap angin lalu yang tak berarti.
Zae merasakan sesakit apa hati Amberley saat Titania menjauh darinya di hari-hari lalu. Makanya ketika Titania kembali menganggapnya ada, Amberley tak ragu memperlakukan Titania selembut dan sebaik mungkin supaya Titania nyaman berada di dekatnya.
"Kalo kamu mau jadi bintang, berarti aku jadi langit." Zae bertutur setelah bungkam berdetik-detik lamanya.
"Kenapa jadi langit?" tanya Amberley.
"Biar cuma aku yang jadi rumah kamu. Mau ke mana lagi? Kamu enggak bisa ke mana-mana," celetuk Zae.
Tawa Amberley merebak bersamaan ia menepuk lengan Zae. "Bisa banget kamu, ya!"
"Udah ketetapannya," kekeh Zae.
Empat penumpang kapal punya kesibukan yang terbagi. Dua orang sibuk membicarakan lampu, dua orang lagi seru-seruan berbicara soal benda langit. Berbeda halnya dengan keadaan di bawah laut ....
Alaia dan Titania mengikuti kapal dari jarak delapan meter di bawah permukaan laut. Mereka mengandalkan lampu kapal yang bersinar terang menembus gelapnya air. Namun, hanya Alaia yang berantusias mengejar kapal, sedangkan Titania tampak lesu.
Titania kehilangan semangat usai menyaksikan penyerahan kekuatan Amberley untuk Zae. Semuanya terasa menyebalkan dan membuat Titania ingin marah-marah. Dia tak mau menerima kenyataan bahwa Amberley hanya membagi kekuatannya buat Zae, tidak buat dia.
"Tita ... kenapa?" Alaia mempertanyakan gelagat Titania yang tidak tenang.
Banyak yang ingin Titania katakan, tapi yang terucap hanya, "Aku kecewa. Aku enggak bisa terima ini, Geema."
"Kecewa kenapa? Terima apa, Sayang?" Alaia mulai khawatir lagi.
"Aku kecewa karena Aley enggak peduli lagi sama aku. Dia enggak pernah ada niatan kasih setengah kekuatannya buat aku padahal aku sepupunya. Dia malah kasih ke Zae," ujar Titania teramat sedih.
"Aku enggak terima diperlakuin enggak adil, Geema. Aku capek kalau harus ngerasain ini terus. Batin aku kesiksa." Titania menekan dadanya.
"Kenapa aku dilahirin kalau cuma jadi anggota paling gagal dan jelek di keluarga besar Raja? Harusnya gugurin aja aku sewaktu masih di perut Mama!" isak Titania.
Alaia terkejut dan spontan berucap, "Μην το λες αυτό." (Jangan katakan itu.)
"Aku jelek, Geema! Aku buruk! Aku anggota keluarga Raja paling buruk, dan aku beban semua orang." Titania setengah berteriak.
"Berhenti, Tita. Jangan sebut semua itu lagi," tegur Alaia.
Titania tidak mendengarkan teguran tersebut. Dia lanjut berseru, "Aku jelek! Kenapa aku lahir sebagai siren? Aku enggak suka! Aku buruk banget!"
"Jelek! Jelek! Jelek! Aku jelek!" laung Titania.
Titania terus-terusan mengulang ejekan untuk diri sendiri. Alaia tidak suka dan sudah menegur, tapi tidak didengar. Alhasil jiwa siren Alaia terpancing keluar lantaran Titania tak berhenti merendahkan diri.
Taring Alaia keluar, telinganya memanjang, tatapannya tajam, bola matanya memutih secara menyeluruh yang sesekali berganti merah, kukunya juga berubah runcing dan mudah sekali bila ingin ia tusuk ke kulit mangsa.
Paling penting simbol bulan di satu lengan Alaia menyala merah yang berarti dia marah terhadap lawan bicaranya. Warna merah bisa juga mengartikan ia membenci bahkan dendam pada lawannya.
Tak ada orang yang bisa bantu Alaia mengontrol jiwa siren karena itu hanya mampu dilakukan oleh Langit. Alaia mengamuk, dia membeberkan semua rasa yang menggantung tanpa alasan jelas di hatinya. Ia amat kesal ketika bertatapan wajah dengan Titania.
"Kau sebut siren buruk, itu berarti kau bilang aku buruk!" gertak Alaia yang seketika membuat Titania gentar.
Titania melirih, "Ampuni aku, Geema! Jangan bersikap kayak gini aku. Geema enggak pernah kasar ke Aley, tapi kenapa Geema kasar ke aku?"
"Sudah cukup kau menyudutkan cucu pertamaku. Jangan berani-beraninya kau mengganggu ketenangannya lagi!" desis Alaia.
"Aku juga cucu Geema. Seharusnya Geema jangan pilih kasih." Titania tertunduk takut.
Alaia bertutur, "Bukan aku yang pilih kasih, tapi tingkahmu yang membuatku lebih memerhatikan Aley! Kau kurang ajar dan suka menentang. Kau terlalu dimanja sampai lupa artinya bersyukur."
"Kau berusaha memiliki apa yang Aley punya. Kau tidak pernah memikirkan perasaan Aley setiap kali kau berniat rebut sesuatu darinya. Kau egois, kau memakai kesempatan karena tau Aley tidak bisa marah padamu!" Alaia menyembur kalimat pedasnya seraya ia mendekati Titania, dan Titania perlahan-pahan mengambil jarak.
Tibalah pada waktu yang paling bikin Titania terkejut. Dia tercenung setelah Alaia membongkar rahasia Amberley yang disimpan sejak kecil. Tentang kebaikan Amberley memberikan satu ginjal serta setengah hatinya untuk Titania yang sekarat semasa itu.
"Demi keselamatanmu, Aley yang masih kecil berani ambil keputusan seberat itu agar kau tetap hidup. Kau sehat sampai detik ini salah satunya karena kasih sayang Aley yang terlampau besar." Alaia berujar.
"Mulai sekarang kau harus lebih tau diri dan jaga sikap! Jangan buat aku malu menyebutmu sebagai cucuku," cetus Alaia bersamaan matanya menyala merah.
Titania membekap mulut sambil menggeleng. Dia tidak semudah itu terima kebenaran mengenai masa lalu Amberley. Titania muak mendengar berita tentang betapa baik Amberley, dan otomatis dirinya terlihat jahat.
Alaia melanjutkan dengan wajah garangnya, "Beri kesempatan Aley merasakan bahagianya tanpa berbagi denganmu."
"Aku enggak bisa, Geema!" Titania menangis keras.
Kekesalan Alaia menuju titik tertinggi. Kuku-kukunya bertambah panjang dan tajam, ia siap menghancurkan Titania bila perempuan itu tak berhenti mengundang amarahnya yang mudah sekali menyala.
Belum sempat Alaia memberi pelajaran kepada Titania, cucunya tersebut sudah lebih dulu diserang tiga siren yang mendadak muncul dari arah bawah. Siren-siren itu mencium kehadiran sosok yang membuat dewi mereka marah besar, lantas mereka datang untuk melenyapkan sosok yang dimaksud.
Titania terluka dan kesakitan. Pertikaian itu tidak berlangsung lama karena Alaia bersicepat mengamankannya dari serangan tiga siren. Alaia bertutur tegas, "Berhenti! Ini urusanku!"
Tiga siren buru-buru pergi. Melihat Titania pingsan membuat sisi mermaid Alaia kembali mendominasi. Ia dengan lembut membawa Titania ke belakang kapal dan meminta pertolongan agar Titania diamankan.
Para lelaki bantu mengangkat Titania ke kapal, dan membaringkannya di lantai kering. Amberley berlarian dengan sebuah handuk besar di pelukannya. Ia menutupi tubuh Titania sebelum ekor itu berganti menjadi sepasang kaki.
Alaia menggunakan kekuasaannya sebagai Dewi Laut untuk mengembalikan kaki Titania di keadaan darurat seperti sekarang. Titania telanjang. Ia membutuhkan pakaian hangat dan ruangan yang nyaman agar kesadarannya cepat pulih.
Tiga lelaki ini bekerja sama menggendong Titania tanpa bersentuhan langsung dengan kulitnya. Amberley berdiam di tempat, ia menatap Alaia yang juga menatapnya.
"Geema tetap berenang di laut. Aley boleh ikut mereka buat liat kondisi Tita," ucap Alaia.
Amberley mengangguk. "Aley ke sana, ya, Geema. Dadah ...."
Maka Amberley menyusul Zae, Gallan, dan Lazar dengan wajah cemas. Mereka semua khawatir. Mereka juga syok mengetahui Titania merupakan siren yang dikenal akan kejahatannya di lautan.
༻✽༺
Titania aman di sofa yang bisa diubah menjadi kasur. Badannya terlindungi pakaian tebal berupa dua mantel. Persediaan pakaian di private room Amberley dan Zae ternyata ada gunanya buat Titania. Luka-luka di tubuh Titania sudah dibersihkan dan diberi obat merah. Sesegera mungkin lukanya akan sembuh.
Ini sudah dua puluh menit Titania terlelap. Awalnya dia pingsan, sempat bangun tiga puluh detik, lalu memejamkan mata lagi sampai sekarang.
Amberley setia di sampingnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut Titania saat terbangun nanti. Sesekali Amberley mengusap jemari Titania dan mengelus kepalanya. Ia pastikan selimut ini menghangatkan tubuh Titania.
"Sayang." Zae masuk ke ruangan ini, ia datang membawa segelas cokelat hangat untuk Amberley.
Zae berdiri di hadapan Amberley yang posisinya duduk di tepi sofa bed. Ia memberikan minuman tersebut. "Tadi aku sengaja diemin cokelatnya sampe anget biar kamu enak minumnya," ungkap Zae.
Perhatian Zae tak pernah lepas dari Amberley. Kepekaan dan kepeduliannya terhadap hal sesederhana itu membuat Amberley makin jatuh hati. "Thanks, Daza," balas Amberley setelah menerima minumannya.
Amberley menyesap cokelat lalu kembali menatap Zae dengan cara mendongak. "Enak banget. Ada buat Tita, enggak?"
"Ada. Nanti aku ambil kalau dia udah bangun," tutur Zae.
"Kamu udah minum?" Amberley bertanya lagi.
"Udah, Sayang." Zae menyentuh rambut Amberley dan tersenyum lucu seraya memainkan helaian rambut itu.
Amberley lanjut meneguk cokelat sambil membiarkan Zae menjadikan rambutnya mainan. Selama itu bikin Zae senang, Amberley tidak akan merasa keberatan.
Ketenangan di ruangan ini seketika berubah saat Titania terbangun dalam keterkejutan. Ia mengalami mimpi mengerikan yang membuatnya mendadak buka mata. Titania linglung melihat sekitar, maka Amberley menenangkannya hingga Titania tidak panik lagi.
"Aley ...," sebut Titania dengan mata berkaca-kaca.
Zae meraih gelas minuman Amberley untuk memudahkan istrinya bergerak bebas menangani Titania. Zae mundur dua langkah menjauh dari sofa bed, ia berbalik badan menghadap kaca jendela. Di luar ruangan ini ada Gallan dan Lazar yang belum mengetahui Titania sudah bangun.
"Aku tau apa yang kamu lakuin ke aku sewaktu kita kecil. Aku udah tau rahasia kamu." Titania menatap Amberley disertai derai air mata.
Amberley terkesiap, ia tidak tau bagaimana Titania bisa mengetahui rahasia itu. "Dari mana kamu tau?"
"Geema yang bilang ke aku. Geema marahin aku." Sekarang Titania mengusap air matanya.
"Kamu donorin satu ginjal dan setengah hati buat aku karena aku sekarat," imbuh Titania, ucapannya membuat Zae terperangah karena baru mengetahuinya juga.
"Aku dimarahin Geema karena kamu terlalu baik ke aku. Aku kan enggak berharap ditolong kamu! Kenapa kamu malah lakuin itu yang akhirnya semua orang jadi cuma peduli ke kamu, tapi enggak peduli sama aku." Tangis Titania merebak hebat, dia sampai sesenggukan.
"Kenapa kamu selalu rebut perhatian semua orang? Aku dianggap enggak berguna karena kamu selalu ada di nomor satu. Semuanya utamain kamu," isak Titania.
Amberley terlalu terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Zae mengerutkan kening, dia tak menyetujui semua ucapan Titania. Titania berkata seperti itu seolah-olah semua yang Amberley lakukan merupakan perbuatan salah.
"Lah, kenapa lo jadi nyalahin Aley seakan-akan dia jahat? Udah bagus lo ditolong!" sambar Zae.
"Kasih aku waktu buat ngomong lebih banyak, Zae." Titania histeris.
"Lo udah didonorin dua organ penting biar lo tetep hidup. Bisa-bisanya lo bilang kayak gitu ke Aley. Kalo lo enggak terima, ya udah lo balikin itu semua ke Aley sekarang!" Zae membuka lebar matanya, urat-urat di leher sampai timbul jelas.
"Tega ...," sedu Titania seraya menunduk. "Kalian harus jadi aku dulu biar bisa rasain sakit dan capeknya jadi aku."
"Hati aku hancur karena tadi Geema marah besar ke aku, dan malah belain Aley. Sakit banget rasanya," papar Titania.
"Tita ...." Amberley mencoba bersuara, namun Titania memintanya mendengarkan dia tanpa menuturkan sepatah kata.
"Aley, kamu tau apa yang baru aja aku alamin selain dimarahin Geema? Ini bikin trauma aku makin parah. Aku enggak bisa diem aja karena aku butuh tanggung jawab," ceplos Titania.
"Kamu kenapa, Ta?" Getar suara Amberley menandakan dia takut dan sedih.
"Zae dan Lazar perkosa aku," jawab Titania yang seketika Zae menoleh lagi dengan tatapan tanya. Amberley kaget bukan main.
Titania menjerit frustrasi, "Ini terlalu sakit! Mereka lakuinnya keras-keras. Aku sampai enggak sanggup buat inget kejadiannya. Suami kamu perlakuin aku kasar dan sentuh tubuh aku tanpa berenti, Ley."
"Kapan gue begitu ke lo, Tita?!" Zae naik pitam.
"Barusan di dalem mimpi aku!" pekik Titania.
• ༻ A M B E R L E Y ༺ •
PLEASE KINDLY COMMENT & VOTE. THANK YOU BABYGENG 🤍 LOVE YOUUU
[ 5k comments untuk next ya! ]
⚠️ Kalau mau tau mimpi Tita, kamu bisa baca di KaryaKarsa aku @radexn ya! Judulnya "AMBERLEY [Additional Part] - 30" AKU GA MEWAJIBKAN KALIAN BUAT BACA karena banyak adegan berbahaya dan vulgar. 3some. khusus buat yang kuat aja.. ⚠️
harga Rp3.000 atau 30coin
༻✽༺
terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜
FOLLOW IG KHUSUS KARYAKU:
@alaiaesthetic
SUBS CHANNEL TELE KHUSUS BABYGENG, ada banyak RP ALAÏA UNIVERSE di sana:
@BABYG3NG (pake 3)
sinii join grupnya di telegram. link ada di channel tele BABYG3NG
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro