Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Honesty

26. Honesty

Sore ini mereka masih berkumpul di rumah Langit dan Alaia. Anak-anak berpisah tempat dengan para orang tua. GATZ berada di halaman belakang dekat kolam, sedang berbincang santai sembari menikmati angin sejuk dan ditemani minuman segar. Sebelumnya ada makanan di sini, tapi sudah ludes mereka makan.

Tadi Gallan pergi sebentar dan muncul lagi sambil lompat-lompat girang setelah menerima darah Alaia. Ia tidak perlu galau akan menjadi satu-satunya lelaki tua di keluarga besar. Saking bahagianya Gallan ingin terbang menembus awan dan berdansa dengan para malaikat.

Ada kekeliruan di chapter sebelumnya. Setiap yang menelan darah Alaia akan abadi paras mudanya, bukan usianya. Tapi, selama mereka ada di sekitar Alaia dan tidak membuat kesalahan fatal, kemungkinan besar mereka hidup lebih lama karena terhindar dari kematian. Untuk Lana sendiri, dia awet muda karena memiliki darah duyung dari salah satu orang tuanya.

"Akhirnya, ya, Bang," ucap Amberley.

Amberley tau sudah cukup lama Gallan penasaran seperti apa rasa dan efek dari darah Alaia, namun Gallan tidak berani bilang langsung ke Alaia. Orang yang bikin Gallan makin-makin penasaran adalah Ragas. Ayahnya itu sengaja pamer bahwa dulu dia pernah mencicip darah Alaia dan membuatnya awet muda.

"Iya, Ley! Enak, tau, kayak amer. Darah suci Geema bikin melayang." Gallan terkikik senang.

"Mabok darah." Zae menyeletuk dan dia tertular tawanya Gallan.

Gallan menepuk bahu Zae. "Lo enggak mau? Biar makin baby face tuh tampang lo."

"Gimana, ya," pikir Zae.

"Coba aja, Zae." Titania menimbrung.

Zae tidak merespons, dia mengalihkan pandangan dan memberi senyum kepada Amberley yang juga menatapnya. Senyuman penuh arti yang hanya dimengerti mereka berdua.

Melihat Zae dan Amberley saling melempar senyum seperti itu membuat Titania sedikit menunduk. Ia sadar ucapannya diabaikan Zae padahal lelaki itu mendengar.

"Rencananya besok aku sama Zae mau ke Pulau Levanna. Kayaknya aku harus ngubur diri di salju. Aku haus salju." Amberley berkata.

"Ikut atuh! Ratu Mama mau pulang juga, kan?" seru Gallan.

Amberley membalas, "Ayo, Abang! Iya, Mama pulangnya sore ini, mungkin sebentar lagi. Appa bakal nginep juga di sana."

"Kalo mau ikut, besok pagi sebelom jam enam kita berangkat, Gal." Zae menambahkan.

"Waduh, jam segitu gue udah bangun belom, ya?" Gallan menggaruk leher. "Kalo gue nginep di rumah kalian aja, boleh?"

"Boleh. Ada kamar kosong kok," ucap Zae.

"Ah, maunya bobo sama lo, Zae." Gallan cemberut. "Emangnya lo enggak mau ngerasain first night yang ketiga kali?"

Zae spontan memukul paha Gallan, takut istrinya tidak menyukai omongan Gallan karena bisa membuat Amberley teringat Jisa sebagai mantan istri Zae.

Nyatanya Amberley terbahak, ia sama sekali tidak terbawa perasaan. Lagipula Jisa telah tiada ... buat apa dipikirkan lagi. Benar begitu, bukan?

"Enggak apa-apa, kan, Ley? Abang jadi yang ketiga. Abis itu enggak ada yang keempat kok." Gallan cengengesan, lalu dia melirik Titania. "Apa Titut mau jadi yang keempat?"

"Ih, Abang!" Amberley mencubit lengan Gallan, bersamaan Zae melotot ke makhluk bawel satu itu.

Gallan memang hanya bercanda, dan Amberley mau pun Zae menanggapinya tidak serius juga. Sayangnya Titania merasakan hal berbeda. Wajahnya panas, apalagi saat dia melirik Zae yang terlihat tidak menginginkan kehadirannya di sini.

Kecanggungan itu menguasai raga Titania. Dia berusaha sebisa mungkin untuk rileks dan mengikuti alur candaan mereka.

"Aku jadi yang kedua aja enggak mau, apalagi keempat." Titania menyahut, menanggapi perkataan Gallan yang sebelumnya.

Tawa Zae lenyap, sedangkan Gallan masih cekikikan. Amberley yang sedang meneguk jus itu hanya mampu menahan senyum.

Ekspresi Zae membuat nyali Titania ciut. Dia takut omongannya salah dan membuat Zae memendam kesal. Entahlah, hari ini sikap Zae sangat dingin padanya dan Titania tidak berani menatap wajahnya terlalu lama.

"Aley, Zae, aku boleh nginep juga dan ikut ke Pulau Levanna?" Titania berujar pelan, dia tidak sengaja menyebut nama Zae padahal niatnya hanya menyebut Amberley.

Pertanyaan itu membuat kening Zae mengerut tipis, tapi lagi-lagi dia tidak memberi tanggapan untuk ucapan Titania. Cuma Amberley yang menyahut dan mempersilakan Titania ikut. Mana mungkin Amberley tak mengizinkan sepupu kesayangannya bergabung.

"Boleh banget, Tita ... aku bakal seneng banget kalo kamu ikut," ujar Amberley. "Nanti kita cerita-cerita bareng di rumah aku, ya!"

"Iya, Aley." Titania tersenyum hangat.

Meski sudah dijawab Amberley, rasanya masih ada yang mengganjal di hati Titania dan itu membuatnya tidak puas. Ia bertanya-tanya kenapa Zae seperti menganggapnya tidak ada. Dari tadi Zae hanya menanggapi Gallan dan Amberley, sedangkan Titania didiamkan.

Sesaat berselang, Amberley kembali bersuara. "Aku tinggal sebentar, ya."

"Mau ke mana, Sayang?" Zae bertanya saat Amberley beranjak dari kursi.

"Ada yang mau aku bilang ke Mama dan Geema sebelum Mama pulang," papar Amberley.

Zae masih menggenggam tangan Amberley dan baru ia lepas setelah sang istri menjauh. Tersisa mereka bertiga di sini. Titania memainkan jemarinya di atas paha sambil menggigit bibir bawah, sementara itu Gallan memandangi meja yang perlu diisi kembali oleh banyak camilan.

"Bentar, ya, Zae, Tut, mau ke dapur dulu cari harta karun." Gallan bertutur bersamaan ia bangkit dari tempat duduk.

Zae menatap Gallan yang melangkah cepat meninggalkan taman. Mulutnya mendadak kelu untuk sekadar memanggil Gallan dan memintanya menunggu dia. Zae tidak mau ditinggal berduaan Titania di sini.

Maka Zae bangun dari duduknya hendak menyusul Gallan, tapi Titania menghentikannya. "Zae," sebut Titania.

Zae memberi perempuan itu tatapan singkat cukup tajam. Dada Titania sesak melihatnya. Tanpa bicara Zae melipir pergi dan meninggalkan Titania sendiri di taman ini.

༻✽༺

Amberley berada di sebuah kamar bersama Atlanna dan Alaia. Ia duduk bersebelahan dengan Atlanna sambil memeluknya dari samping dan menidurkan kepala di bahu sang ibu.

Sebelum Amberley datang kemari, Alaia dan Atlanna sedang bincang-bincang santai. Mereka membahas beberapa hal sederhana seperti kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan di tempat berbeda, menanyakan kabar, membicarakan kondisi Amberley, dan lainnya.

"Mamiw, liat, rambut Aley udah mau nyaingin rambut aku." Atlanna bertutur ke Alaia, mengadu sembari membelai lembut rambut panjang Amberley.

Alaia selalu terpesona akan keindahan rambut Amberley yang pernah ia katakan pertumbuhannya sangat cepat. Sebulan lalu panjang rambutnya mencapai bokong, sekarang sudah tambah panjang sampai mendekati setengah paha.

Amberley tersenyum lucu dan mengeratkan pelukannya. "Biar aku makin kembaran sama Mama."

Mereka bertiga memiliki bentuk senyum dan nada ketawa yang mirip, sehingga sangat menggemaskan ketika mereka tertawa bersama. Ini merupakan salah satu momen kesukaan Amberley berada di dekat Atlanna dan Alaia dalam satu waktu.

Amberley semakin betah saat Alaia duduk di sampingnya. Sisi kiri dan kanan Amberley diisi dua wanita hebat yang sangat-sangat berarti di hidupnya. Amberley tidak tau bahwa dia juga sangat berarti buat mereka.

Kelahiran Amberley adalah hadiah terbaik yang Atlanna miliki. Begitu panjang dan penuh liku masa-masa ketika Amberley baru hadir dalam kandungan Atlanna. Masih teringat sulitnya Bintang mencari kesempatan hanya untuk mengelus perut Atlanna, untuk merasakan pertumbuhan bayi mereka.

Seiring berjalannya waktu, Amberley yang dulu disebut "Baby Moonstar" itu akhirnya bisa merasakan kasih sayang orang tuanya yang berlimpah tanpa batasan. Amberley tumbuh di tengah keluarga yang mencintainya dengan tulus.

(Baby Moonstar = bayi dari pasangan 'Moonstar'. Moonstar nama couple untuk Bulan Atlanna (Moon) dan Bintang (Star).)

"Enggak kerasa, mama mungil ini udah mau punya bayi," tutur Atlanna seraya menyentuh perut rata Amberley.

"Pasti dia murah senyum dan sebaik Aley," kata Alaia.

"Kalau cewek pasti cantik banget, ya, Geema." Atlanna berseru antusias. "Kalau cowok bisa-bisa mukanya semirip Zae, nih. Kembaran sama papa, kakek, dan kakek buyut."

Amberley dan Alaia tertawa tapi juga setuju pada perkataan Atlanna. Sejauh ini keturunan Lonan wajahnya sama semua. Mulai dari Llyr Lonan, Aegir Lonan, Dae Lonan, sampai Zae Lonan. Hanya Llyr yang matanya biru keabu-abuan sedangkan keturunannya bermata cokelat.

"Geema rasa antara Aley dan Tita kemungkinan ada yang mengandung bayi kembar." Alaia berucap.

"Aku juga mikir begitu, Miw." Atlanna menyahut. "Jangan-jangan dua-duanya hamil anak kembar."

Amberley mengusap perutnya pelan-pelan dengan seulas senyum terpampang cantik. Ia belum bisa membayangkan akan seperti apa wujud anaknya nanti. Ia hanya berharap kondisinya sehat dan sempurna.

"Zae gimana, Sayang?" tanya Atlanna kemudian.

"Semenjak aku hamil dia makin protektif ke aku, Ma. Dia siaga dan cekatan banget," jawab Amberley.

"Suami yang baik." Atlanna puas mendengarnya.

Amberley tidak pernah berhenti mensyukuri kehadiran Zae di hidupnya. Lelaki itu menjadikannya ratu yang memberinya cinta dan kasih sayang terlampau banyak. Selama ini Amberley belum pernah melihat Zae marah padanya karena Zae selalu mengontrol diri tiap terjadi cekcok di antara mereka.

Tak terbayang akan seterpuruk apa Amberley bila berpisah dengan Zae. Begitu juga Zae ... dia melemah saat Amberley jauh darinya.

"Mama, Geema," panggil Amberley, nadanya manja dan terdengar persis saat dia kecil.

"Iya, Sayang?" Atlanna menyahut sambil mengelus rambut Amberley lagi, dan Alaia hanya menatap cucunya dengan seulas senyum.

Amberley meyakinkan diri untuk mengatakan apa yang tersimpan di benaknya. Ia berucap, "Aku sayang banget sama Zae. Aku enggak bisa kalau suatu hari dia pergi."

Raut Alaia dan Atlanna sedikit berubah. Mereka sama-sama mempertanyakan apa maksud dan keinginan Amberley berbicara seperti itu. Kedengaran biasa aja, tapi pasti memiliki harapan besar yang tersembunyi.

"Besok aku mau ke Pulau Levanna." Amberley melanjutkan.

"Aku mau kasih setengah kekuatanku buat Zae biar dia bisa hidup lama di dunia ini. Biar Zae bisa jaga anak kami, temenin anak kami dari kecil sampai besar, sampai selamanya ...," tutur Amberley.

"Aku pernah bahas ini sama Zae. Dia enggak mau kalau aku harus kasih setengah kekuatanku ke dia, katanya aku dibutuhin banyak orang dan perlu punya kekuatan besar. Tapi, aku yakin buat kasih setengahnya untuk Zae. Aku masih sanggup hadapi serangan dari luar pakai sisa-sisa kekuatan aku," imbuh Amberley lagi.

"Nantinya Zae bakal tetep bisa hidup kayak biasa di tempat hangat, tapi juga bisa bertahan lebih lama di tempat dingin."

"Aku mau salju jadi pengingat dia tentang aku, jadi hal yang bikin aku dan Zae makin terkoneksi satu sama lain. Aku enggak mau dilupain Zae." Amberley berujar rendah dan suaranya memelan.

Sekarang Alaia dan Atlanna mengerti apa yang Amberley inginkan. Mereka memastikan Amberley sudah yakin sepenuh hati atau belum. Setelah tau jawabannya, barulah mereka mendukung keinginan tersebut.

"Kalau udah tiba saatnya nanti ... setengah jiwaku selamanya ada di dalam Zae," ungkap Amberley disusul senyum manis penuh ketulusan.

"Tiba saatnya apa?" Atlanna mengernyit.

"Kalau udah aku kasih setengah kekuatanku itu, Mama." Amberley terkekeh ringan, merasa lucu melihat ekspresi bingung bercampur panik ibunya.

"Aley ... kamu punya rencana apa di balik itu semua?" tanya Atlanna, perasaannya mulai gamang.

Amberley menjawab, "Aku cuma enggak mau hilang dari ingatan Zae, Ma. Enggak cuma Zae, tapi keluarga besar juga."

"Itu enggak mungkin, Sweetheart. Kamu enggak mungkin dilupain," tutur Atlanna.

Alaia bungkam. Ia terdiam berdetik-detik lamanya dengan pikiran berpencar tak terarah. Ia tatap Amberley yang masih berbicara sama Atlanna, lalu tanpa aba-aba Alaia peluk cucunya itu dengan rasa pedih di mata.

༻✽༺

Seperti yang mereka bicarakan tadi sore, malam ini GATZ menginap di rumah Zae dan Amberley. Suasana rumah yang biasanya begitu tenang seketika menjadi ramai. Biang kebisingan itu siapa lagi kalau bukan Gallan.

Ini sudah pukul setengah sebelas dan mereka berempat belum ada yang mengantuk. Semuanya asyik menyaksikan tontonan di layar besar sebuah ruangan. Mereka nyemil sambil tidur-tiduran di karpet bulu yang empuk dan ukurannya sangat besar.

Titania rebahan di sebelah kiri Amberley. Di sebelah kanan Amberley ada Zae yang tiduran dengan kepala menempel di ketiak istrinya. Entah mengapa Zae suka pada posisi itu. Gallan tiduran di dekat Zae, ia menjadikan paha Zae sebagai bantalan kepala.

Zae mendongak, ia tatap Amberley yang wajahnya tersorot cahaya dari layar besar itu. Lampu di ruangan ini mati. Iris silver Amberley terlihat semakin unik dan cantik karena terkena sinar warna-warni.

"Aley," panggil Zae setengah berbisik agar tak mengganggu Gallan dan Titania yang sedang fokus menonton.

"Hm?" Amberley menyahut dengan gumaman.

"Aku bikinin susu, ya? Biar nanti kamu tinggal langsung bobo."

Amberley tersenyum simpul bersamaan ia mengangguk samar. Zae segera menyingkirkan pelan-pelan kepala Gallan dari pahanya, lalu ia beranjak seraya mengambil kesempatan untuk mengecup sekilas pipi istrinya.

"Thank you, Baby." Amberley bertutur pelan.

Gallan dan Titania mengamati Zae yang berjalan menuju pintu. Gallan bertanya ke Amberley, "Mau ke mana itu?"

"Bikin susu, Abang." Amberley menjawab.

Di detik itu Amberley langsung beralih menoleh ke Titania. "Tita, kamu bawa susu?"

"Enggak bawa, Aley. Aku lupa." Titania terkejut akan kecerobohannya sendiri.

"Mau coba susu aku? Biar aku susul Zae buat sekalian bikin dua gelas. Aku selalu dilarang bikin susu sendiri sama Zae," ucap Amberley.

"Enggak apa-apa aku minta punya kamu?" ujar Titania, merasa tak enak hati.

Amberley merespons, "Enggak apa-apa, Tita. Punya aku kan punya kamu juga."

"Makasih, Aley, tapi kamu enggak usah susul Zae. Biar aku aja yang ke sana." Titania beringsut duduk, ia bergegas meninggalkan tempat.

Sekarang film yang sedang diputar itu hanya disaksikan Amberley dan Gallan. Titania pergi ke dapur dengan degup tak beratur yang mengusik dada. Dia meremas ujung piamanya karena begitu takut menemui Zae seorang diri.

Berulang kali Titania menarik dan membuang napas panjang. Dia berjalan lama yang otomatis mengulur waktu. Hanya tersisa tiga langkah memasuki dapur. Titania bisa mendengar suara-suara kecil yang berasal dari aktivitas Zae.

Ia menepis ketakutan yang membuatnya panik tak karuan. Titania baru masuk ke dapur dan kehadirannya membuat Zae terlonjak kaget. Melihat Zae kaget bikin Titania kaget juga.

Secepat itu Zae menghapus ekspresinya seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menjadi dingin lagi di depan Titania. Karena ia sudah selesai menyeduh susu untuk Amberley, maka Zae langsung menjauh dari dapur.

Sebelum Zae mendekat ke pintu, Titania berhasil mencegahnya pergi. Perempuan itu berhenti tepat di depan Zae dan sengaja menghalangi jalannya.

"Zae, tunggu sebentar." Titania memberi Zae tatapan sendu.

Zae tidak bersuara, tak juga membalas tatapan Titania. Ia mendengkus tanda tidak menyukai situasi ini. Sebetulnya Zae tidak mau menciptakan atmosfer kurang enak antara dirinya dan Titania, tapi tingkah Titania beberapa hari terakhir membuat kekesalan yang Zae simpan dulu kembali mencuat.

"Aku tau kamu keganggu soal kemarin aku telepon kamu," papar Titania.

"Kamu juga marah karena aku bersikap kekanakan cuma gara-gara mimpi." Titania melanjutkan.

"Aku takut ... aku enggak mau mimpi itu jadi kenyataan. Sikap aku yang kayak gitu karena aku mau lindungin diri dan anak aku," terang Titania. "Sekarang aku sadar kalau ternyata aku terlalu gampang kehasut hal yang belum tentu jadi nyata. Aku enggak mikirin orang lain. Aku bikin keadaan kacau dan Aley sakit hati karena omongan aku."

"Tumben sadar," cetus Zae.

"Zae ...." Titania gemetaran.

"Sifat jelek lo dulu muncul lagi sekarang. Lo mau semua orang maklumin apa yang lo lakuin, ngertiin perasaan lo yang bahkan enggak lo kasih tau, tapi lo enggak peduli sama perasaan orang lain. Korbannya selalu Aley dan Aley enggak pernah sadar lo sengeselin itu." Zae bertutur tajam.

Titania mematung dan makin tidak berani melontarkan kata. Dia mendengarkan Zae yang sedang mengeluarkan unek-unek. Sudah sangat lama Zae memendam kesal terhadap Titania. Rasa kesalnya sempat menghilang seiring sikap Titania membaik, tapi kini perasaan gusar itu datang lagi.

"Ta, gue paham lo lagi down banget gara-gara Cleon. Ini pasti berat buat lo. Enggak ada orang yang mau ngalamin kejadian kayak gitu." Zae bertutur. "Tapi, bukan berarti lo jadi lupa sama semua kebaikan yang udah banyak orang lakuin buat lo. Lo anggep semuanya salah, semua enggak ada artinya, dan yang paling bener cuma lo dan saat ini lo ngerasa paling menderita."

"Kita semua tau sesayang apa Geema dan Geepa ke cucu-cucunya. Gue yang bukan cucunya juga disayang, apalagi lo dan Aley. Lucu banget waktu lo bilang kasih sayang yang lo dapetin dari mereka enggak sebanyak kasih sayang mereka ke Aley." Zae menambahkan.

"Seandainya lo inget, dari kecil lo dapet posisi paling enak terus. Lo dimanja banget sama semua keluarga lo. Sayangnya di balik itu semua ada Aley yang harus ngalah," ujar Zae.

Ia mengimbuh lagi, "Lo rebut semua yang Aley punya. Makanan, pakaian, hadiah ulang tahun, kursi favorite, posisinya di foto sebagai cucu pertama Geema dan Geepa, sampe botol minumnya lo rebut dan lo bilang warna pink lebih cocok buat lo."

"Aley bisa apa? Ya cuma bisa pasrah semuanya lo ambil. Enggak marah, enggak kesel, tapi kita enggak tau isi hatinya gimana. Keadaan batinnya gimana. Dia bertahun-tahun harus ngadepin sepupunya yang serba mau punya dia." Zae masih terus melanjutkan.

"Satu kejadian yang paling bikin gue marah ... waktu lo ngadu ke nyokap bokap perihal gue ngasih minuman buat Aley, tapi lo enggak gue kasih. Lo nangis-nangis mau minuman itu. Lo maksa biar Aley mau kasih ke lo."

"Lo harus tau, waktu itu gue cuma mau ngasih ke Aley. Gue bikin minuman itu khusus buat Aley. Gue enggak mau bagi ke lo karna gue cuma suka sama Aley," papar Zae.

"Enggak semua yang Aley punya harus lo milikin juga, Ta. Itu kenapa dari dulu gue cuma merhatiin Aley. Dia terlalu sabar ngadepin lo yang kelakuannya begitu."

"Waktu lo SMP dan Aley SMA, lo minta Aley bantu kerjain tugas-tugas lo padahal Aley lagi sibuk persiapan ujian. Lo mau punya nilai tinggi, tapi enggak mikirin Aley yang juga harus konsentrasi belajar. Lo mikirin diri sendiri doang."

"Dia pernah nangis di depan gue karna takut enggak bisa jadi kakak yang baik buat lo. Dia sayang banget sama lo, Ta, tapi lo enggak tau terima kasih." Zae masih terus bercakap.

"Cukup lo ngerebut hak Aley pas dulu. Jangan lakuin itu lagi sekarang. Jangan sampe lo juga mau suaminya Aley mentang-mentang lo disayang dan enggak pernah dimarahin Aley," celetuk Zae, kalimat terakhirnya mengandung makna.

Titania menangis dan langsung mengusap air matanya. Ia tak mengira Zae peka terhadap segala hal yang terjadi dulu sampai sekarang. Kalau dipikir-pikir ... Titania memang menginginkan semua yang Amberley punya karena baginya selera Amberley bagus, dan cocok untuk dia miliki juga.

Namun saat itu Titania tidak bermaksud menjadi sosok menyebalkan yang terkesan jahat dan suka merebut. Dia hanya ingin merasakan seperti apa menjadi Amberley. Sayangnya rasa penasaran itu membawa Titania semakin kelewat batas tanpa dia sadari.

"Apa kamu tau kalau aku punya rasa ke kamu?" Titania bertanya, suaranya kecil tertelan isak tangis.

"Tau. Gue pikir itu cuma suka-sukaan biasa yang enggak bakal bertahan lama," sahut Zae. "Nyatanya gue ngerasain lo masih begitu sampe sekarang."

"Makanya kamu menghindar dari aku terus?" Titania memastikan.

"Gue enggak bisa terlalu deket sama lo. Gue cuma bisa biasa-biasa aja ke lo. Itu gue lakuin buat nutupin rasa enggak nyaman gue sama lo." Zae menjelaskan.

Karena memang benar bahwa Titania melihat Gallan seperti kakaknya, tapi melihat Zae seperti seseorang yang memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat atau saudara. Zae tidak nyaman tiap Titania mendekat kepadanya.

"Kalau gue minta lo hapus perasaan itu, gimana?" ucap Zae.

Titania menggeleng. "Aku bisa simpen rahasia ini tanpa orang lain tau selain kita."

"Gue enggak mau nyimpen rahasia dari istri gue," tegas Zae.

"Zae ... gimana kalau Aley marah sama aku?" Titania bertutur cemas.

"Serius, lo mikirin itu? Kirain masih bodo amat sama perasaan Aley. Tampang lo enggak sesuai sama isi hati." Zae tersenyum miring.

"Aku belajar dari kesalahan, Zae. Lagian juga itu kejadiannya waktu kita masih kecil. Aku belum paham banyak hal," tutur Titania.

"Lo udah paham banyak hal. Itu kejadiannya waktu lo SD sampe SMP, bukan batita atau TK." Zae menyeplos.

"Aku cuma manusia yang enggak sepintar dewi. Aku perlu banyak belajar, Zae. Jangan samain aku sama kepintaran Aley," cetus Titania.

"Gue juga manusia. Bukannya sombong, tapi nilai akademik gue kejar-kejaran terus sama Aley. Lo inget, kan, IQ kita berempat enggak jauh beda." Zae menyambar cepat. "Artinya ini bukan soal kepintaran seorang manusia atau dewi, Ta ... tapi tentang kepedulian lo terhadap orang-orang sekitar."

"Jangan dikit-dikit lo bilang dunia enggak adil padahal lo sendiri yang enggak buka mata dan hati sepenuhnya. Bilangnya sayang sama Aley, tapi nyakitin batin Aley secara halus," papar Zae.

Percakapan Zae dan Titania belum kunjung menemukan titik akhir. Zae yang dikenal pendiam bisa meledak-ledak seperti sekarang karena dia merasakan luka yang Amberley simpan sendirian. Ia memiliki koneksi besar antara dirinya dan Amberley, sehingga cukup mudah bagi Zae mengetahui perasaan istrinya.

Di ruang nonton, Amberley bertanya pada dirinya sendiri kenapa Zae dan Titania lama sekali menyeduh susu. Perasaannya tidak tenang. Ia akhirnya pamit ke Gallan untuk pergi ke dapur.

Amberley mulai mendengar samar-samar suara Zae saat ia memijak anak tangga terakhir. Ia mengernyit bingung karena hanya suara Zae yang kedengaran, sedangkan suara Titania tidak ada.

Ia mempercepat langkah ke dapur. Setibanya di sana, Amberley menemukan Zae sedang berceloteh panjang di hadapan Titania. Ketika menyadari kehadiran Amberley, Zae langsung menghentikan ocehannya.

Amberley mendekat seraya menyeletuk, "Aku kira kalian hilang. Kenapa ngobrolnya di dapur?"

Zae tak menjawab, tapi dia menghampiri Amberley dan berdiri di sampingnya. Zae berseru ke Titania, "Kalo lo bener sayang Aley, minta maaf dan jujur ke Aley sekarang."

Lantas Titania panik dan memucat. Bersamaan itu Amberley bingung melihat mereka berdua. Ia baru datang dan langsung disuguhi adegan yang tak dimengerti. Tangis Titania membuat Amberley tambah-tambah tidak paham.

"Hey, kenapa, Ta?" Amberley khawatir. "Jujur soal apa?"

Akhirnya Titania memberanikan diri mengatakan, "Aley, aku minta maaf atas keserakahan aku waktu kita kecil. Aku mau semua yang kamu punya. Aku enggak mikirin perasaan kamu."

"Loh? No, Tita, that's not a big problem," respons Amberley seraya memeluk Titania.

Dalam pelukan itu Amberley menengok ke Zae. Ia mengirim telepati, "Kamu bilang apa ke Tita?"

Zae menjawab, "Banyak, Sayang."

"Kamu marahin Tita, ya? Kamu galakin? Tita lagi enggak baik-baik aja, Zae ...." Amberley bertutur.

"Kamu gimana? Di sini yang sakit bukan cuma Tita, tapi kamu juga. Berat banget jadi kamu. Ditambah sikap Tita yang begini. Aku enggak mau kamu tertekan." Zae membalas.

"Aku enggak apa-apa, Sayang," ucap Amberley.

"Your eyes didn't say so," sahut Zae lagi.

Amberley mengembus napas berat. Dia berhenti menanggapi Zae dan memilih untuk mengeratkan pelukannya dengan Titania. Sepupunya menangis dan terus memohon maaf.

"Zae bener, aku ini enggak tau diri ... aku enggak tau terima kasih. Padahal kamu baik banget sama aku." Titania bertutur pilu.

"Kamu enggak kayak gitu, Tita." Amberley mengusap kepala dan punggung Titania.

"Dari kecil aku diem-diem iri sama kamu, Ley. Bahkan sekarang aku masih ngerasain itu sedikit. Kamu punya semua yang aku enggak punya. Maafin aku ...," lirih Titania.

Amberley baru mengetahui itu. Dia agak syok, tapi tidak menunjukkannya secara langsung. Ia melirik Zae yang memberinya tatapan seakan berkata, "Tuh, bener kan?"

"Tita, kamu enggak perlu iri atau ngerasa gimana-gimana sama aku. Aku enggak sesempurna yang mungkin kamu bayangin. Ranselku cantik, tapi isinya enggak secantik itu. Aku kesusahan tiap angkat ranselnya di punggung karena terlalu berat." Amberley memejamkan mata.

"Syukuri apa yang kamu punya saat ini. Kamu harus siap karena kesedihan dan masalah akan selalu ada di hidup kita, tapi kamu jangan takut karena kebahagiaan pun enggak ninggalin kita. Jalan hidup kita enggak ada yang bener-bener sama," lanjut Amberley.

"Kamu cantik, kamu baik, kamu disayang semuanya. Jangan pernah merasa kehadiran kamu enggak dianggap atau kamu enggak berarti untuk orang lain. You're so precious. You're awesome. I love you, Titania." Amberley menitik air mata, begitu juga Titania yang tangisnya makin mengalir deras.

"Aley." Titania mengencangkan pelukannya dan bahunya bergetar kuat.

"Sekali lagi aku minta maaf," tutur Titania. "Ada satu hal lain yang enggak bisa aku sembunyiin lebih lama lagi dari kamu."

"Sesuatu apa? Bilang ke aku," tanggap Amberley.

"Aley ... aku berharap ini enggak bikin kamu menjauh dari aku. Aku harap kamu enggak marah." Titania berdebar-debar.

"Aku enggak mungkin marah apalagi menjauh dari kamu," ucap Amberley.

Titania bertutur pelan dan menunduk. "Aku suka Zae. Aku sayang Zae lebih dari rasa sayang aku ke seorang kakak."

A M B E R L E Y

PLEASE KINDLY COMMENT & VOTE. THANK YOU BABYGENG 🤍 LOVE YOUUU

[ 5k comments untuk next ya! ]

spam AMBERLEY

spam GATZ

Spam "😺"

terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜

FOLLOW IG AKU BIAR KITA KENAL:
@radenchedid

FOLLOW IG KHUSUS KARYAKU:
@alaiaesthetic

SUBS CHANNEL TELE KHUSUS BABYGENG, ada banyak RP ALAÏA UNIVERSE di sana:
@BABYG3NG (pake 3)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro