Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Rahasia yang Terungkap

25. Rahasia yang Terungkap

5 hari kemudian.

Bunyi denting sendok yang menyentuh bibir gelas terdengar dari arah dapur. Zae baru selesai menyeduh susu nutrisi ibu hamil untuk Amberley.

Sejak Amberley mengandung dia menjadi lebih protektif dan sangat-sangat menjaga apa pun yang sang istri konsumsi. Susunya itu merupakan susu paling bagus dari segala susu ibu hamil yang ada, tentu harganya juga bagus.

Zae membawa segelas susu itu ke kamar. Ia senang melihat Amberley tidur nyenyak setelah semalaman 'mengisi daya' di ruang penuh es.

Susunya Zae taruh di atas nakas dekat kasur. Ia duduk di kasur, kemudian membungkuk untuk mengecup kening Amberley. Diusap-usapnya rambut panjang nan halus itu sampai tiba-tiba Amberley melenguh pertanda nyaman.

"Good morning," ucap Zae, suaranya rendah dan sedikit serak.

Amberley mengukir senyum mendengar suara suaminya. Ia membuka mata hanya setengah, lalu terpejam lagi saat Zae kembali mendaratkan kecupan di kening dan pipinya.

"Aku udah buatin susu. Minum sekarang, yuk?" Zae bertutur lembut seraya mengelus kepala Amberley.

Perempuan cantik itu masih anteng menikmati sentuhan Zae. Ia baru mau beranjak duduk beberapa menit berselang. Itu pun Amberley tidak langsung meminum susunya, justru dia dengan manja melemaskan badan agar dipeluk Zae.

Zae terkekeh kecil, gemas terhadap istrinya. Ia memberi Amberley ciuman singkat yang membuat pipi putih itu seketika merona pekat. Amberley selalu lucu dan makin imut bila mukanya merah karena salah tingkah.

"Minum susu, ya?" Zae menawarkan lagi.

Amberley mengangguk. Maka Zae ambil susu hangat itu dan menyerahkannya ke Amberley. Bunyi glek glek glek terdengar ketika Amberley meneguknya cepat, dalam sekejap langsung habis.

"Pinter," puji Zae disusul terkikik bersama Amberley.

Setelah meletakkan gelas kosong bekas susu di atas nakas, Zae memeluk Amberley lagi. Dari tatapan istrinya itu terlihat jelas bahwa dia pengin dipeluk lebih lama.

"Zae hangat." Amberley berkata sambil tangannya menyelinap masuk ke baju Zae, membelai punggung polos itu.

"Aley dingin," kata Zae seraya mengeratkan pelukan.

Amberley menutup mata ketika rasa nyaman dan tenang membungkusnya sempurna. Ia tidak ingin pelukan mereka berakhir apalagi menjauh dari Zae. Berharap momen ini terjadi tak hanya di satu pagi, tapi seterusnya hingga selamanya.

"Zae." Amberley bertutur pelan dengan binar di mata. "Jangan jauh-jauh dari Aley, ya ...."

Zae membalas, "Pasti. Aku enggak bisa jauh dari kamu."

Lantas Zae mengendurkan pelukannya untuk menatap lekat wajah Amberley. Sejenak ia terdiam melihat segaris air meleleh dari sudut mata Amberley, tapi istrinya itu tetap tersenyum demi menutupi kesedihan yang mendadak menghampiri.

"Sayang ... kenapa?" Zae menghapus air mata itu.

Amberley mengerjap satu kali, maka derai tangisnya bercucur lebih banyak. Seperti biasa ia menahan suara tangisan. Cepat-cepat Zae merengkuh Amberley seraya mengusap punggungnya berkali-kali.

"Aley mikir apa? Kepikiran aku bakal pergi jauh dari kamu?" tanya Zae. "Enggak, Sayang ... enggak ada kayak gitu. Zae maunya sama Aley terus."

Sebelum hamil perasaan Amberley memang lembut, dan sekarang semakin parah lembutnya karena dia menjadi begitu sensitif akan beberapa hal. Terutama tentang Zae. Tiap ia memikirkan Zae matanya langsung berkaca-kaca.

Amberley pintar dalam menyembunyikan kesedihan. Lamun kali ini dia tidak bisa berlaku seperti itu. Semua yang ia rasakan keluar secara natural tanpa bisa dihindari.

Tangis Amberley berhenti selepas Zae berhasil menenangkannya. Kini Zae mengecup lama keningnya, lalu turun ke bibir mungil yang cantik itu. Amberley merasa jauh lebih baik dan mau tersenyum lagi.

"Jangan sedih-sedih, ya? Nanti Baby Zaley ikut sedih kalau Mamiley sedih." Zae mencubit ringan pipi Amberley.

"Mamiley?" Amberley salah fokus lantas senyumnya melebar.

"Mami Aley. Aku spontan nyebutnya," kekeh Zae dan langsung tertunduk malu-malu.

Amberley tergelak kecil seraya berkata, "Cute."

Mood Amberley benar-benar telah membaik. Zae membuatnya tertawa lepas dan melupakan sejenak beban yang ia simpan rapi sendirian. Tawa mereka mengisi kesunyian ruang, membagi kebahagiaan sederhana kepada semua benda di sekitar.

Habis puas ketawa, Amberley terdiam dan Zae otomatis ikut diam. "Aku mau pipis," ceplos Amberley.

"Mau ditemenin?" tanya Zae.

"Mau." Amberley mengangguk.

Tanpa berlama-lama Zae langsung menggendong istrinya menuju kamar mandi. Ia menurunkan Amberley di kloset duduk, lalu beranjak keluar dari bilik itu. Zae menunggu Amberley selesai buang air kecil sambil mengamati orang ganteng di cermin.

Brot!

"Zae ...," celetuk Amberley, panik karena kelepasan buang air besar saat sedang pipis.

Zae mau ketawa tapi ditahan mati-matian. "Iya?"

"Kamu denger, ya?" Amberley bertanya padahal dia yakin Zae mendengarnya.

"Denger apa?" Zae berusaha untuk tidak membuat Amberley malu, meski sebetulnya dia mendengar begitu jelas suara merdu tersebut.

"Ah ... malu." Suara Amberley terdengar melas, bikin Zae semakin ingin tertawa keras.

Sesaat setelah itu, Amberley selesai dengan urusannya dan keluar dari bilik toilet. Ia berjalan menghampiri wastafel untuk mencuci tangan. Zae berada di belakangnya, tanpa ragu menghapus jarak antara mereka lalu memeluk Amberley.

Dikarenakan tubuh Amberley kecil dan lebih pendek darinya, maka kedua tangan Zae melingkar di atas dada Amberley, bukan perut.

"Hari ini kita ke rumah Geema dan Geepa," kata Zae.

Amberley mengangguk senang. "Akhirnya kumpul keluarga lagi. Aku kangen semuanya padahal baru beberapa hari enggak ketemu."

Kalimat Amberley tak mendapat respons dari Zae. Bukan berarti Zae tidak senang. Ia bungkam karena hatinya agak berat untuk membawa Amberley bertemu Titania. Zae takut Titania bersikap aneh-aneh lagi.

Lelaki itu beralih menghirup rambut Amberley yang masih harum meski belum keramas. Mereka menghabiskan waktu tanpa bicara sebelum akhirnya melaksanakan mandi. Tentu saja mandi berdua.

༻✽༺

Siang ini keluarga besar Raja kumpul di rumah Langit dan Alaia. Ini bukan family time biasa. Ada sedikit perbedaan dari momen berkumpul pada hari-hari lalu.

Kemarin sore Gallan datang sendirian menghadap Alaia dan Langit tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dia beralasan izin mencari jajanan, tapi mengambil kesempatan mampir ke rumah om dan tantenya.

Gallan datang untuk meminta bantuan atas keanehan sikap Titania. Dia takut ada sesuatu yang terjadi pada Titania, tapi anak itu menyembunyikannya dari semua orang.

Walau terlihat santai dan sering berlaku konyol, sebetulnya Gallan memerhatikan sekitar. Ia mengamati perubahan Titania menjadi seperti orang kehilangan arah, menangis terus, dan perkataannya tak terkontrol.

"Geema, Geepa, akhir-akhir ini sikap Tita beda enggak kayak biasanya. Kayak bukan Tita. Gallan bingung," ucap Gallan di hadapan Alaia dan Langit sore itu.

"Gallan udah coba pancing Tita buat cerita, udah tanya dia punya masalah apa, tapi enggak dapet jawaban ... ujung-ujungnya Tita malah nangis."

"Gallan enggak mau Tita sama Aley jadi jauhan gini. Aneh banget liat bocah kembar itu renggang. Geema Geepa bisa bantuin, kan? Gallan enggak tau harus minta tolong ke siapa lagi."

"Kemarin Gallan sempet ngomong sama Zae buat bikin Tita damai sama Aley, tapi Zae keburu kesel sama Tita. Tuh kan! Zae yang jarang marah ke Tita aja bisa tiba-tiba marah. Berarti emang ada yang enggak beres."

"Padahal Tita biasanya curhat ke Gallan, tapi sekarang enggak pernah lagi. Dia jadi ketutup banget. Bingung, pusing, tapi enggak tega juga. Kalo Gallan kasih makanan buat dia nyemil, tiba-tiba nangis enggak tau kenapa."

Begitulah tujuan keluarga besar Raja kumpul sekarang. Mereka akan membahas masalah antara Amberley dan Titania. Gallan harap ada titik terang setelahnya.

Saat ini mereka semua duduk di ruang keluarga dengan santai. Ragas mencairkan suasana, dibantu Bintang dan Langit agar tidak ada kecanggungan. Gallan yang tak betah mingkem lama-lama itu akhirnya ikut bersenda gurau bersama para orang tua yang tidak bisa tua.

Amberley dan Titania berada di sofa berbeda, tapi letaknya berseberangan. Zae enggan melepas genggamannya dari jemari Amberley. Setiap Titania meliriknya, Zae langsung buang muka.

"Baru berapa hari enggak ngumpul, kayaknya makin cerah aja semuanya." Langit menatap semua orang sambil memamerkan cengiran.

"Baru dikasih jatah, Ngit," celetuk Bintang yang kemudian mendapat cubitan dari Atlanna.

"Yoi dong, Geepa! Hidup Gallan kan kena cahaya terus dari suaminya Mommy." Gallan menyahut.

Ragas menoleh ke anaknya dengan satu alis terangkat. Maka Gallan berseru, "Hello, Bapak Cahaya Ragas Raja!"

"Kebalik!" omel Ragas.

"Ragas Cahaya Raja, Sayang ...," ucap Lana disertai senyum penuh kesabaran.

"Ragas Cahaya Ilahi." Gallan menyeplos.

Aishakar tertawa, dia spontan melempar bantal sofa dan tepat mengenai wajah Gallan. Saat Gallan hendak melempar balik, ia terkejut karena Ragas menimpuknya dengan bantal lain. Hampir semua orang terhibur melihatnya. Hanya Titania yang diam seribu bahasa.

"Cucu-cucu Geepa mana?" Sekarang Langit pura-pura tidak melihat dua cucunya. Setelah menemukan keberadaan Amberley dan Titania, dia langsung berseru senang.

"Gimana kabar duo cantiknya Geepa?" Langit memandangi mereka bergantian. "Pusing, ya, noleh ke kiri-kanan gini. Aley sama Tita duduknya jauhan, sih ... biasanya mah dempetan terus."

"Baik, Geepa." Aley menjawab. "Walaupun duduknya jauhan, tapi hati sama pikiran kami enggak bisa jauh."

"Aseeek!" Gallan bersorak riang.

Titania tersenyum canggung seraya menunduk. Ia memegang tangan Ale dan tidak berani menatap orang-orang di ruangan ini. Amberley hanya bisa mengulas senyum manis sambil menatap Titania.

Langit merangkul Alaia ketika merasakan kesedihan mulai hadir di mata istrinya. Ia mencoba mengembalikan senyum Alaia dengan cara tersenyum juga.

"Aia, enggak lama lagi kita punya cicit," bisik Langit.

Kalimat singkat Langit berhasil buat Alaia senyum lagi. Maka Langit lanjut berbincang seru dengan keluarganya sampai pembahasan perlahan-lahan mengarah ke Amberley dan Titania. Gallan tidak sabar menunggu topik tersebut dimulai.

"Tita ... Geema boleh tanya sesuatu?" Alaia bertutur.

Titania mengangguk samar. "Boleh, Geema."

"Apa yang Tita rasa sekarang? Seneng, sedih, atau biasa aja?" ucap Alaia.

"E—enggak tau, Geema." Titania menjawab ragu. "Mungkin seneng karena kumpul sama keluarga besar."

"Mungkin?" Alaia memiringkan kepala.

Melihat Titania mulai gemetaran dan mau menangis, Langit buru-buru berkata, "Enggak apa-apa, Sayang. Geema cuma mau tau perasaan Tita. Enggak apa-apa kalau Tita bingung."

Ale mengusap kepala Titania yang sedang gugup setengah mati ditanya seperti itu oleh Alaia. Aishakar juga memijat lengan Titania agar lebih rileks.

"Kalau Aley gimana?" Alaia memindahkan arah pandang ke cucu pertamanya.

"Aku seneng, Geema ... tapi enggak seratus persen. Sisanya aku sedih karena kangen Tita," ujar Amberley langsung pada poinnya.

"Kok bisa kangen padahal Aley sama Tita ketemu. Ini kan kalian lagi ketemuan," sambar Bintang.

Amberley menarik napas panjang kala sesak datang. Ia bertutur, "Aku kangen ngobrol sama Tita, Appa. Sekarang ketemu, tapi cuma diem-dieman."

"Kalian ada masalah?" Langit berujar.

Titania semakin takut untuk mengangkat kepala. Amberley pun tidak bisa menjawab. Dia teringat kata-kata yang pernah Titania lontarkan padanya, yang setiap ia mengingatkannya akan membuat pedih di dada.

"Aku bolehin semuanya ikut ngejaga bayi aku, kecuali Aley."

"Maaf, Aley, tapi aku enggak mau kena sial lagi. Maaf."

"Cleon lakuin itu ke aku karena dia suka kamu. Dia enggak mau ngerusak kamu, jadinya dia rusak aku demi muasin nafsunya. Seharusnya bukan aku yang kena masalah besar kayak gini. Cuma karena aku sepupu kamu, jadinya aku diincar Cleon."

"Aku senasib kayak Zae. Gara-gara Zae deket sama kamu, Zae jadi diguna-guna sama Jisa."

"Mama Atlanna dan Appa Bintang juga kena banyak masalah waktu kamu masih di dalem perut."

"Maaf sekali lagi, tapi ini kenyataan kalau masalah-masalah besar di keluarga kita kebanyakan dateng dari kamu."

Zae meremas jemari Amberley untuk menguatkan istrinya. Amberley balas memegang tangan Zae dengan tangan satunya lagi. Jadi, satu tangan Zae dibungkus oleh kedua tangan Amberley.

Kaki Amberley bergerak-gerak tidak tenang seiring dia menarik napas panjang. Berdetik-detik kemudian, Amberley melepas pegangannya dari tangan Zae, lalu beranjak dari sofa.

Amberley mendatangi Titania dengan tangan dan bibir bergetar menahan tangis. Titania tau Amberley menghampirinya, namun ia masih tetap menunduk.

"Tita, aku minta maaf atas semua kesalahan aku ke kamu. Aku buat banyak masalah yang bikin kamu terlibat. Aku gagal jadi kakak, sahabat, dan sepupu yang baik buat kamu." Amberley berucap di depan Titania.

"Aku berharap kita bisa kayak biasanya lagi. Aku kangen banget sama kamu. Aku enggak bisa terlalu lama pisah sama kamu," tutur Amberley.

"Mungkin kamu enggak bisa terima maaf aku karena semuanya udah kejadian kayak gini ... tapi, aku pengin kamu jangan sedih-sedih lagi. Aku mau Tita ceria lagi." Amberley mengusap air matanya yang tak bisa ia tahan.

Secara bersamaan Titania juga menghapus air mata dari wajahnya. Ia sejujurnya merindukan Amberley. Namun, goresan luka di hati Titania masih membentang lebar dan sulit ia kontrol sakitnya.

Para ibu terenyuh bahkan ada yang menangis melihat Amberley dan Titania seperti itu. Dua anak yang mereka kenal sangat akrab dari kecil, nyatanya sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Titania menengadah setelah lama ia tertunduk. Dengan diselingi isakan dia berkata, "Aku takut buat deket lagi sama kamu. Kalau ada kamu, aku enggak keliatan di mata keluarga besar."

"Maksud kamu gimana?" Amberley menanya.

"Kamu enggak bakal ngerti. Kamu kesayangan semua orang. Mama dan Papa aku juga sayang banget sama kamu, bahkan mungkin lebih sayang kamu daripada aku." Titania menangis.

"Tita?" Aishakar menegur pelan, dia tidak mengira anaknya akan mengatakan hal demikian.

Suasana hening sampai-sampai Langit tidak mampu berkata-kata, padahal dia ingin menjadi penengah. Semuanya syok dan juga heran setelah tau ternyata ada rasa iri yang Titania pendam terhadap Amberley.

Amberley geleng-geleng. "Enggak, Ta. Semuanya juga sayang kamu."

"Kamu selalu dijadiin nomor satu, Aley. Padahal kita sama-sama cucu Geema dan Geepa, tapi aku ngerasa kasih sayang yang aku dapetin beda. Enggak sebanyak kamu." Titania menangis keras.

"Kadang aku tanya ke diri sendiri, kenapa aku terlahir sebagai manusia biasa? Sedangkan kamu dewi yang cantik, sempurna, bisa lakuin segalanya. Aku enggak kayak kamu," lirih Titania.

Butir-butir berlian luruh dari mata Alaia. Ia dipeluk Langit, diberi ruang untuk menumpahkan tangisannya. Atlanna, Ale, Amora, Lana, semuanya turut menangis. Tidak ada niat mereka untuk membeda-bedakan satu individu dengan individu yang lain. Mereka sayang Amberley dan Titania tanpa batas.

"Mungkin itu yang bikin aku dibedain sama semuanya. Aku—aku sedih banget." Titania sesenggukan.

"Enggak ada yang beda-bedain kamu atau aku, Ta ...," ucap Amberley.

Titania membalas lagi, "Kamu enggak ngerasain. Aku rasain ini dari lama."

"Maafin aku," ungkap Amberley.

"Aley enggak perlu minta maaf. Ini ada yang salah sama pikiran lo, Tita." Tiba-tiba Zae angkat suara.

"Mau kalian dewi atau manusia, itu sama aja di mata keluarga besar kita! Enggak ada yang pernah ngebedain atau banding-bandingin kalian berdua!" Zae berseru, ia geram mendengar Titania menyudutkan Amberley.

"Kasih tau gue kapan lo dapet omongan soal perbandingan kayak gitu? Kapan?!" lanjut Zae, setengah menyentak.

Zae membuang napas berat. Ia menunduk sejenak dan berucap, "Geema, Geepa, Mamoya, Mama, Appa, om dan tante semuanya, maaf, Zae enggak sopan."

Setelahnya Zae melanjutkan ucapannya ke Titania. "Apa yang lo rasain itu dateng dari diri lo sendiri. Lo yang iri, tapi semua orang yang kena imbasnya, terutama Aley. Itu sama aja lo enggak ngehargain kasih sayang mereka buat lo, Ta. Lo sama Aley itu sama-sama cucu Geema dan Geepa, dan kalian berdua disayang banget sama semuanya."

"Kalo mereka enggak sayang lo, lo enggak bakal ada di sini sekarang. Lo pasti udah diasingin," cetus Zae.

Titania berujar, "Kamu tau apa, Zae? Emangnya kamu pernah peduli sama aku? Kamu bisanya bela Aley."

"Gue enggak paham apa yang ngeganggu pikiran lo, seakan-akan lo lupa semua kebaikan orang-orang yang udah sayang dan tulus sama lo." Zae menyetus. "Tita yang gue kenal enggak kayak gini."

"Cukup." Titania tersinggung, dia mengusap air mata.

"Lo udah bukan anak di bawah umur. Berpikir lebih dewasa, Ta." Zae bertutur tegas.

"Tita." Kini Gallan ikut menimbrung. "Kalo ini semua pengaruh dari mimpi kamu, Abang mohon banget jangan kamu pikirin lagi mimpinya. Itu yang bikin pikiran Tita kacau."

"Mimpi apa?" Alaia menyahut.

Dari sinilah mengalir cerita Titania mengenai mimpi buruk yang ia alami. Mimpi tentang api mengerikan yang membuatnya ketakutan sampai detik ini. Mimpi yang merenggut kebahagiaan Titania dan mengubah sikapnya jadi jauh berbeda dari sebelumnya.

Alaia menyimpulkan ini bukan mimpi kiriman dari keluarga Ivonne yang beridentik dengan api. Titania mengalami mimpi itu karena dia sedang hamil. Makhluk jahat senang menggoda ibu yang menyayangi calon buah hatinya, tujuannya untuk mengacaukan pikiran sang ibu. Efeknya kondisi janin menjadi tidak sehat.

Titania rentan menerima gangguan makhluk jahat dikarenakan dia manusia biasa.

"Aley, Tita, sini duduk di dekat Geema," ujar Alaia kemudian.

Mereka berdua menuruti Alaia. Langit pindah ke sofa lain dan duduk bersama Zae. Dia langsung merangkul Zae sambil menyandarkan punggung pada kepala sofa.

Kini Alaia duduk diapit Amberley dan Titania. Alaia genggam masing-masing tangan cucunya lalu dibawa ke atas paha dia.

"Tita, kamu sudah besar, apa kamu siap buat isap darah Geema?" Alaia bertanya. "Selain kamu bisa hidup abadi, darah Geema bisa lindungi kamu dari gangguan makhluk jahat, contohnya iblis dan siren di laut."

Titania tidak tau harus menjawab apa. Dia pernah diberi pertanyaan ini di umur tujuh belas tahun, kala itu ia menolak karena merasa tidak pantas hidup abadi sebagai manusia biasa. Sekarang Alaia mengulang pertanyaan yang sama, dan Titania masih bingung untuk menanggapinya.

"Bagusnya lo terima biar enggak iri lagi sama Aley soalnya Aley hidup abadi." Zae menyetus tajam.

"Zae ...," tegur Amberley.

"Ssst." Langit memajukan bibir sambil menepuk paha Zae. "Galak banget, sih. Kerasukan bapak lo, ya?"

Zae berbisik, "Kayaknya cucu kedua Geepa yang kerasukan. Kemarin Tita aneh, nelepon Zae nanya-nanya udah makan atau belum. Terus ngambek gara-gara Zae minta jangan telepon mulu."

"Serius lo?" Langit ikut bisik-bisik.

"Iya, Geepa."

"Terus kelanjutannya gimana?"

"Malah ngerumpi loh ini." Lana menatap Langit dan Zae yang kebetulan duduk di sofa bersebelahan dengan sofanya.

Titania masih berpikir keras sampai lebih dari tiga menit. Pada akhirnya ia mengangguk yakin dan siap mengisap sedikit darah Alaia demi kebaikan hidupnya di masa depan. Dengan begitu Alaia menciptakan luka sobekan kecil di leher hingga darah mengalir keluar.

Semua orang menyaksikannya dalam ketegangan. Gallan satu-satunya yang membuka mulut dan mata lebar-lebar. Dia ingin juga memiliki darah Alaia mengalir di tubuhnya.

"Gallan mau?" Alaia menawarkan.

"Mau banget, Geema!" Gallan memekik heboh.

"Habis Tita, ya." Senyum Alaia membuat Gallan meleyot sampai merosot dari sofa ke lantai.

Sekarang tersisa Zae dan Amora yang tidak hidup abadi. Zae masih ada penolongnya yaitu roh Dae untuk membantu dia hidup lebih lama di dunia.

Sedangkan Amora, dia tidak mau hidup abadi. Amora ingin suatu hari nanti bisa bertemu dan bersatu kembali dengan Dae di alam sana.

Setelah Titania menelan darah Alaia, beban yang awalnya menumpuk di pikiran dan hati seketika semuanya hilang. Tubuhnya terasa lebih ringan padahal tadinya seperti ditimpa sesuatu yang amat berat.

Dia memejamkan mata sebentar seraya menetralkan napas yang berderu cepat. Titania menemukan kelegaan dalam dirinya. Tidak ada lagi rasa sakit hati dan kebencian yang menghantui.

Titania membuka mata, ia menatap Amberley yang sejak tadi memandanginya terus. Amberley mengukir senyum, ia berharap darah Alaia mampu menyingkirkan hal-hal buruk dari pikiran dan hati Titania.

"Aley," lirih Titania, ia berkaca-kaca lagi.

Sedetik kemudian Titania bangkit berdiri dan menghampiri Amberley. Secara spontan Amberley ikut berdiri, tubuhnya langsung didekap erat oleh Titania yang saat ini menangis kencang.

"Maafin aku." Titania bertutur pilu. "Maafin aku, Aley ...."

"Ta ...." Amberley kembali menangis, dia balas merengkuh Titania serekat mungkin. "Aku udah ngerasa kamu beda. Itu pasti bukan kemauan kamu buat ngomong kayak begitu. Aku ngerti."

"Aku tetep minta maaf. Aku jahat banget," lirih Titania.

Amberley tentu memaafkan Titania, dan dia juga meminta maaf. "Jangan menjauh lagi, ya, Ta?"

Titania semakin kejer tak terkendali. "Enggak mau jauh dari Aley. Enggak mau berjarak lagi sama Aley."

"Aku sayang banget sama Tita," ungkap Amberley.

"Aku juga sayang Aley ... sayang banget-banget sama Aley," balas Titania.

Semuanya ikut bahagia dan puas melihat mereka berdamai seperti yang seharusnya. Alaia terharu, ia minta kedua cucunya memeluk dia satu per satu. Ada yang ingin Alaia sampaikan secara singkat kepada Amberley maupun Titania.

"Tita, maaf kalau kamu ngerasa kasih sayang Geema, Geepa, atau yang lainnya kurang untuk kamu. Maaf, Sayang ...." Alaia berkata dalam rengkuhan hangatnya untuk sang cucu.

"Enggak, Geema. Semuanya udah cukup buat Tita. Maafin omongan Tita tadi, ya, Geema? Seharusnya Tita berterima kasih banyak, bukannya jadi cucu kurang ajar ke Geema dan Geepa. Maafin Tita ...," papar Titania.

"Terima kasih, Geema, sekarang hati dan pikiran Tita enggak seberantakan sebelumnya." Titania melanjutkan.

Alaia sangat lega mendengar ucapan Titania. Maka ia kecup kening Titania, ia elus rambutnya, lalu memeluknya lagi sebelum akhirnya pelukan itu bersudah.

Kini Alaia beralih memeluk Amberley, cucu pertama yang sejak kecil sudah memiliki tanggung jawab besar untuk banyak hal. Setiap menatap mata Amberley rasanya hati Alaia diperas kuat hingga mengakibatkan dirinya ingin menangis.

"Tetep jadi Amberley yang kuat, sabar, berani, dan selalu menolong orang lain, ya?" Alaia mengusap punggung Amberley. "Tapi, Aley harus tetep utamain diri sendiri. Jangan lupa kalau kamu perlu banyak-banyak istirahat."

"Iya, Geema. Aley mau terus berusaha buat enggak kecewain Geema dan semuanya." Amberley mengangguk seraya tersenyum.

"Kamu udah lakuin yang terbaik, Aley ... jangan terlalu keras buat diri kamu. Kamu anak baik." Alaia membelai rambut Amberley, kemudian mengecup keningnya.

Sesaat berlalu, Amberley dan Titania kembali berpelukan. Di sela itu Amberley mengajak Gallan dan Zae ikut gabung dalam pelukan itu. Untungnya Zae mau, jadilah GATZ lengkap lagi.

Tidak hanya GATZ, para orang tua ikut peluk-pelukan merayakan momen spesial ini. Alaia dan Langit menonton adegan itu dengan rasa haru yang menyelimuti keduanya, terlebih Alaia.

"Angit," ucap Alaia dengan tatapan penuh arti.

Langit mengangguk paham, maka ia bawa Alaia menjauh dari ruang keluarga. Mereka pergi ke kamar. Setibanya di kamar, Langit mengikuti Alaia jalan menghampiri jendela.

Mereka saling bungkam. Alaia termenung dengan mata mulai penuh digenangi kilauan air yang ketika luruh langsung berubah menjadi butiran berlian. Langit menarik tubuh Alaia ke dekapannya. Ia elus kepalanya dan memberikan ketenangan untuk sang istri.

"Gimana kalau kita enggak tau ternyata Tita terpengaruh mimpi buruk?" ungkap Alaia disusul tangisnya muncul.

"Aley sayang banget sama Tita. Aku enggak mau mereka pisah, Angit," ucap Alaia.

Langit mengangguk. "Mereka enggak pisah, Sayang. Udah baikan. Udah enggak jauh-jauhan lagi. Kamu harus tenang ...."

Alaia membenamkan wajah di dada bidang Langit. Dia terbayang masa-masa itu. Masa kecil Amberley dan Titania yang menjadi rahasia para orang tua, ditambah Amberley.

Amberley masih berusia delapan tahun. Dia menangis di kamar karena sedih mendengar kabar tentang sepupu kesayangannya. Titania masuk rumah sakit.

Titania terlahir kurang sehat. Dari lahir dia sudah sakit, tapi sakitnya berangsur membaik seiring dia bertumbuh. Namun, di umurnya yang baru menginjak empat tahun ini terdeteksi ada kelainan pada dua organ dalam tubuh yang membuat hidup Titania berada di ambang kematian.

Tidak ada pendonor ginjal dan hati yang cocok untuk Titania. Dia sekarat. Dan perlu diingat bahwa Alaia tidak bisa menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan organ vital manusia.

Amberley yang tidak memiliki kecacatan dalam tubuhnya itu memberanikan diri menjadi pendonor untuk sepupunya. Dia memohon kepada Mama, Appa, Geema, Geepa, dan juga orang tua Titania agar diizinkan.

"Tita enggak boleh sakit! Aley enggak mau Tita sakit!" Ia menangis-nangis menatap semua orang sambil memeluk boneka beruang milik Titania.

"Kamu masih kecil, Sayang ... belum bisa." Atlanna sangat khawatir.

"Bisa, Mama. Aley mau bantu Tita. Mama bilang semua orang harus dibantu kalau butuh bantuan. Sekarang Tita butuh bantuan Aley," tutur Amberley.

Para orang tua terus menanggapi Amberley dengan sabar dan memberinya pengertian tentang ketentuan untuk menjadi pendonor. Mereka mengingatkan bahwa usia Amberley terlampau muda dan tak memenuhi syarat.

Kalaupun ingin mendonorkannya di usia dini, mungkin hanya bisa dilakukan pendonor yang telah mati batang otak atau meninggal.

Sudah dijelaskan dengan bahasa sehalus mungkin tetap tidak mempan karena Amberley berpegang teguh pada keinginannya. Dia mau Titania sehat.

"Aku harus meninggal dulu baru boleh bantu Tita? Mama, Appa, aku enggak bisa meninggal! Aku mau bantu Tita sekarang!" tangis Amberley.

Akhirnya, Titania menemukan pendonor terbaik untuknya. Kematian itu menjauh. Amberley berhasil memberikan satu ginjal dan sebagian hatinya kepada Titania.

Sejak saat itu Titania menjadi sehat tanpa memiliki penyakit lagi. Tapi ... Amberley hidup dengan keterbatasan aktivitas fisik lantaran dia harus menjaga kesehatan tubuhnya lebih ketat.

Seluruh anggota keluarga Raja memberi perhatian mereka kepada Amberley kecil yang memang harus diperhatikan. Aishakar dan Ale sangat berterima kasih kepada Amberley karena telah menyelamatkan putri mereka.

Meski banyak larangan untuknya, Amberley sama sekali tidak pernah mengeluh. Bila dia lelah, dia akan langsung tidur tanpa menggerutu. Bila dia sakit, dia akan bertanya ke orang tuanya harus makan atau minum apa, lalu mencarinya sendiri.

Keadaan Amberley yang seperti itu membuat Atlanna dan Bintang overprotective kepadanya. Itu yang menjadi salah satu alasan mengapa Atlanna mengharuskan Amberley tinggal di Pulau Levanna sampai sebesar sekarang. Selain karena dia seorang Dewi Musim Dingin yang harus berada di tempat dingin, Amberley juga akan lebih sehat tinggal di sini.

Dari kecil Amberley kesepian. Tidak ada teman di Pulau Levanna. Dia hanya bermain dengan salju-salju dan berbicara sendiri dengan angin.

Amberley akan sangat bahagia saat keluarga besar datang berkunjung. Meski mereka tidak bisa singgah lebih dari dua jam karena dinginnya Pulau Levanna, Amberley tetap senang telah bertemu mereka.

Tiap keluarga besarnya datang, Amberley akan langsung mencari Titania. Ia ajak Titania ke kastel Atlanna dan bermain sepuasnya.

Rasa sayang Amberley terhadap Titania begitu besar. Dia selalu mengalah untuk Titania. Kalau Amberley memiliki mainan bagus, dia dengan senang hati memberikannya buat Titania. Padahal orang tuanya membeli mainan itu agar Amberley tidak kesepian di rumah.

Setiap Amberley berulang tahun, Titania menangis ingin meniup lilin dan menginginkan semua kado untuknya. Amberley tidak marah, dia dengan keceriaannya mengajak Titania tiup lilin bersama. Bahkan dia tidak ragu berbagi hadiah, meski nantinya hadiah itu Ale kembalikan tanpa Titania ketahui karena itu pemberian orang lain buat Amberley.

Itu merupakan kenangan tentang Amberley saat dia kecil. Ketika mulai beranjak remaja, dia bersekolah di sekolah umum dengan murid dari berbagai kalangan. Dulu dia belum satu sekolah dengan Zae. Amberley pernah menjadi penolong untuk seorang siswi yang di-bully karena terlalu pendiam.

Entah apa tujuan mereka mengganggu murid yang diam saja dan tak pernah mengusik mereka. Alhasil Amberley menyiram para perundung dengan kuah makanannya.

"Kalau kalian ganggu dia lagi, aku sobek-sobek seragam kalian!" amuk Amberley kala itu.

Bukan hanya kejadian tersebut yang Amberley lakukan demi menolong orang sekitarnya. Dia pernah memberikan tiga kantong besar berisi makanan dan minuman ke seorang teman yang ekonomi keluarganya sedang menurun.

Dia pernah membela seorang kakek di pinggir jalan yang dituduh menculik anak kecil. Padahal kakek itu hanya berniat membantu anak kecil menyeberangi jalan raya. Atas keberanian Amberley, orang tua dari anak tersebut ditegur oleh warga karena lalai menjaga anak sampai lari jauh dari rumah.

Amberley yang baik hati, pintar, dan cantik itu membuat banyak orang menyukainya. Tak sedikit lelaki di sekolahnya naksir Amberley. Hal tersebut menimbulkan rasa cemburu bagi beberapa siswi.

Suatu hari Amberley menjadi korban perundungan murid-murid yang tidak menyukainya. Ia dipukul, dijambak, dicubit, ditampar, ditendang, tapi tidak langsung melawan. Amberley baru marah ketika warna rambut dan matanya diejek. Ia disebut anak yang lahir dari orang tua aneh.

Maka, Amberley mengambil sebuah kursi di kelas dan melemparnya ke anak-anak nakal itu. Ia marah sampai menangis lantaran tidak terima orang tuanya dihina.

"Aku patahin tangan kalian kalau hina orang tua aku lagi!" Amberley dengan tubuh mungilnya menyerang anak-anak tadi pakai kursi lain.

Namun, di balik keberanian Amberley, dia pernah mengalami kejadian suram yang menjadi rahasianya sendiri. Benar-benar sendiri. Ini terjadi ketika dia masih kelas 2 SMP.

Amberley baru pulang sekolah dan berniat menolong seorang perempuan yang hampir jadi korban pelecehan, tapi justru Amberley yang menjadi sasaran tujuh siswa SMA itu.

Dia berteriak meminta bantuan, tapi perempuan yang telah ditolongnya malah kabur karena takut. Jadilah Amberley terperangkap dalam lingkaran setan. Kancing kemejanya dilepas semua, roknya disingkap, dan tubuhnya disentuh dengan bebas.

Amberley berhasil melarikan diri meski dia tak mampu mencegah tangan-tangan yang tadi sempat meremas buah dadanya, dan memegang area paling intim. Dia menangis sepanjang jalan menuju rumah. Tapi, sesampainya di rumah ia hanya memasang senyuman untuk Bintang.

"Appa! Aley bisa pulang sendiri, loh." Amberley bertutur bangga.

"Aduh, Princess-nya Appa ... lain kali dijemput aja, ya? Appa khawatir," ucap Bintang.

"Oke, kalau Appa enggak sibuk aja, ya!" kata Amberley.

Trauma itu tidak menjadi alasan Amberley berhenti menolong sesama. Dia tetap memiliki hati besar untuk setiap orang yang membutuhkannya, sampai sekarang.

Amberley selalu ikhlas ... ia tidak patah semangat meski bebannya sendiri terlalu banyak dan membuatnya sering menangis dalam kesunyian.

A M B E R L E Y

PLEASE KINDLY COMMENT & VOTE. THANK YOU BABYGENG 🤍 LOVE YOUUU

terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜

FOLLOW IG AKU BIAR KITA KENAL:
@radenchedid

FOLLOW IG KHUSUS KARYAKU:
@alaiaesthetic

SUBS CHANNEL TELE KHUSUS BABYGENG, ada banyak RP ALAÏA UNIVERSE di sana:
@BABYG3NG (pake 3)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro