21. Amberley
21. Amberley
Seorang perempuan berpakaian sederhana jalan menelusuri taman. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat terang itu terhempas angin sejuk. Senyum Titania melebar seraya ia mengusap perutnya yang semakin hari membesar.
Ia berputar-putar menikmati kesendiriannya. Gaun putih sederhana yang Titania kenakan mengembang dan bergoyang seiring ia bergerak.
Kilau mentari menembak ke wajah cantiknya. Iris biru Titania tambah indah ketika terkena cahaya matahari. Dia makin memesona dengan aura putih yang memancar dari dalam diri.
Namun, senyum Titania seketika redup ketika pepohonan di taman satu per satu terbakar. Api berkobar-kobar menjadi satu dan besar. Titania terkejut bukan main sampai tidak tau harus pergi ke mana saking paniknya.
"Tolong!" Titania berteriak.
Ia berlari menghindari kejaran api. Bebatuan besar yang tersebar di lapang membuat Titania tersandung dan jatuh tertelungkup.
"Ah!" Ia menjerit, merasakan gejolak menyakitkan di sekitar pinggul menuju perut.
Nyawa bayi yang berada di kandungannya terancam. Titania menangis, ia kesulitan bangkit berdiri dengan lutut lemah seperti ini. Di belakang sana api semakin mendekat.
Titania berusaha keras beranjak dari posisinya. Setelah berjuang dengan banyak tenaga, ia akhirnya berhasil bangun dan lari sejauh mungkin.
Namun, sekali lagi Titania terpaksa berhenti. Di hadapannya terdapat api besar yang seolah ingin melahapnya. Titania dikepung lingkaran api.
"Tolong! Tolong!" Bahkan teriakannya kalah oleh bebunyian dari ranting yang terbakar.
Titania memeluk perutnya. Ia ingin anaknya selamat dari maut. Hatinya akan hancur berkeping-keping bila harus merasakan yang namanya perpisahan dalam duka tak berujung.
Saat Titania merasa kehilangan arah, ia secara tiba-tiba mendengar suara dari antara api besar itu.
"Kau ingin meminta pertolongan kepada siapa? Orang tuamu? Nenekmu? Atau ... sepupumu?" Suara besar itu menggema di telinga Titania.
"Orang tuamu tidak akan bisa menolong. Kekuatan apa yang mereka miliki di detik-detik menegangkan ini?"
"Nenekmu tidak peduli pada cucu keduanya. Ia lebih berpihak pada cucu pertama, orang yang kau anggap kakak sekaligus sahabat terbaik."
"Sepupumu bisa saja datang kemari untuk menyelamatkanmu. Tapi, dia memiliki banyak alasan untuk tidak melakukannya. Dia lebih bahagia tanpa kehadiranmu. Dia merasa kau adalah saingannya di dalam keluarga karena kalian sama-sama perempuan dengan jarak usia tidak jauh."
Titania mengerutkan kening dalam-dalam. "Kamu siapa? Jangan ngomong sembarangan tentang keluargaku! Geema enggak pilih kasih! Aley juga enggak kayak gitu!"
"Amberley tidak baik untukmu, Titania. Dia yang membuatmu terjerat dalam lilitan masalah. Dia yang menghancurkan hidupmu."
"Enggak!" Titania berseru tidak terima.
"Apa alasan lelaki itu memerkosamu? Dia ingin menyetubuhi Amberley, tetapi tidak ingin merusaknya sehingga dia menjadikanmu sasaran. Dia menuang nafsunya terhadap Amberley kepadamu."
"Seharusnya Amberley yang menerima kekerasan itu. Seharusnya Amberley yang merasakan kehamilan tanpa dasar cinta. Kau sadar bahwa lelaki itu menjadikanmu pelampiasan, tapi kau sama sekali tak bertindak tegas. Kau terlalu naif menghadapi sepupumu."
Titania menggeleng. Dia menutup telinga dengan kedua tangan. Di sekelilingnya api semakin membara dan menutup semua jalan untuk Titania menyelamatkan diri.
"Amberley memiliki segalanya yang tidak kau punya. Dia lahir sebagai dewi murni, dia akan segera diangkat menjadi Ratu Ethereal Palace, dia sangat-sangat berprestasi di bidang akademik, dia dikelilingi banyak sekali orang yang mencintainya."
"Sedangkan kau ... apa predikat yang kau punya? Kau hanya dianggap anak kecil polos yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Kau jauh di bawah Amberley. Sepupumu menang atas segalanya dan akan selalu dibela serta disanjung oleh semua orang, tidak sepertimu."
"Hatimu hancur saat Amberley menikah dengan Zae. Akui itu, Titania. Kau memendam rasa terhadap Zae bertahun-tahun lamanya."
"Enggak!" Titania mengelak keras. Ia tidak mau mendengar lebih jauh ucapan omong kosong makhluk tak terlihat itu.
"Tujuanku adalah untuk menyelamatkanmu dari kebusukan Amberley. Menjauhlah dari dia, maka kau tidak akan mendapatkan masalah besar. Amberley merupakan Pembawa Petaka bertopeng Malaikat."
"Keluarga besar Raja didatangi semakin banyak masalah sejak Amberley masih dalam kandungan ibunya. Kelahirannya merupakan kesialan untuk semua orang terdekatnya, tapi kalian tidak menyadari itu."
Titania tak berkata-kata dalam tunduknya. Ia memeluk erat tubuhnya sendiri sambil menahan tangisan yang hendak turun lagi. Titania ketakutan dan terserang kepanikan yang parah.
"Lihat perutmu sekarang. Aku membuat gambaran ketika perutmu sudah besar."
Ucapan tersebut membuat Titania spontan menatap perutnya. Seketika, ia memekik nyaring dan terjatuh ke atas tanah. Titania merintih sakit saat perutnya terasa seperti akan meledak.
Titania histeris kala darah bercucuran dari lubang kemaluannya dan membanjiri tempat ia duduk. Tenaganya terkuras banyak. Ia memegangi perutnya yang perlahan-lahan menyusut sampai benar-benar kempes.
"Ahhh!" Titania terbaring lemah dengan bulir keringat sebesar biji jagung menghiasi wajah sampai leher.
"Anak aku! Enggak!" Tangisannya merebak dahsyat ketika celananya sobek lalu dari lubang miliknya keluar potongan-potongan kecil tubuh seorang bayi.
Titania menangis sejadi-jadinya.
"Calon bayi di perutmu akan mati mengenaskan bila kau masih berhubungan dengan Amberley. Jangan pikir ini hanya bunga tidur. Aku memperingatimu, Titania Auriga Bellatrix Raja."
"Sebagai bukti bahwa omonganku benar, setelah kau terbangun nanti segeralah cek gelas pertama yang kau temukan di dapur. Bila terdapat seekor ratu semut hitam mati di dalamnya, berarti aku membicarakan kebenaran. Bila tidak ada, kau boleh anggap ini hanyalah mimpi buruk."
Kalimat tersebut menjadi akhir dari kengerian yang menghampiri Titania. Api besar tadi menghilang setelah suara misterius tak lagi terdengar. Titania mencoba bangkit berdiri ingin mengejar sumber suara asing itu, tapi dalam sekejap pandangannya menghitam.
Titania terbangun di dini hari dengan peluh membanjiri tubuh. Hal yang pertama kali Titania periksa ialah perutnya. Titania lihat perut itu rata, tidak besar seperti dalam mimpi tadi.
Ia menyapukan pandangan ke seisi kamar yang sunyi. Hanya ada dirinya di sini.
Titania terdiam tanpa fokus mata yang jelas. Ia melamun memikirkan mimpi yang sangat menyeramkan. Kata-kata terakhir dalam mimpi itu terngiang jelas di benaknya.
Entah dorongan dari mana, Titania berniat mengecek gelas pertama yang ia temukan di dapur. Ia turun dari kasur dan meninggalkan kamar. Suasana rumah dini hari begini membuat Titania sedikit takut.
Ia berlari ke kamar tanpa menimbulkan bising dari langkah kakinya. Ketika tiba di sana, Titania mencari gelas. Ia celingukan sambil dalam hati berharap apa yang ia temukan nanti tidak sesuai dengan mimpi itu.
"Itu gelas." Titania berucap spontan saat melihat sebuah gelas merah muda di meja makan.
Titania meraihnya, dan mendadak jantung berdebaran hebat saat ia mulai mengintip isi gelas tersebut.
Setelah ia mengecek isi gelas, di situlah Titania terbelalak dan spontan menaruh gelas kembali ke posisi awal. Titania gemetaran dengan mulut terbuka dan mata memerah. Ia menemukan ratu semut hitam mati dalam genangan air mineral.
༻✽༺
Tiga hari berlalu.
Amberley tidak tenang memikirkan hasil tes kehamilan yang berkali-kali menunjukkan tanda negatif. Karena tidak mau istrinya larut dalam kegelisahan, maka pagi ini Zae menemani Amberley menemui dokter kandungan di salah satu rumah sakit terbaik Irvetta.
Zae menggenggam tangan Amberley yang sedang melakukan USG untuk mencari tau kondisi di dalam perut. Amberley tegang dan cemas, lantas Zae mengusap punggung tangannya dengan ibu jari agar sang istri kembali rileks.
Sesaat kemudian, pemeriksaan selesai. Amberley pindah ke ruangan sebelah bersama Zae yang setia mendampinginya. Dokter menghampiri sebuah layar monitor dengan keyboard transparan yang seolah melayang di udara. Alat itu berfungsi mencetak hasil dari rekaman USG.
Hasilnya mirip cetakan foto, bedanya gambar pada cetakan itu bisa bergerak meski geraknya terbatas.
"Kamu pucet, Aley." Zae berkata sambil menatap Amberley yang duduk di sebelahnya.
Amberley mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. "Aku enggak bisa tenang," akunya.
Zae mengeratkan genggamannya seraya berkata semua akan baik-baik saja. Ia selalu berpikir positif, berbeda dengan Amberley yang pikirannya telah dipenuhi hal-hal negatif gara-gara hasil tes kehamilan.
Dokter datang membawa rekaman USG. Beliau duduk di seberang pasangan suami istri itu, dan meja menjadi pembatas mereka. Ia menatap hangat keduanya seraya menyerahkan rekaman tadi.
Amberley dan Zae mengamati rekaman tersebut sangat serius. Dokter bernama Hannah ini menjelaskan secara detail titik-titik mana saja yang menjadi masalah Amberley. Itulah penyebab mengapa tes kehamilan Amberley negatif.
Mereka terpegun tak percaya setelah mendengarkan keterangan dari Hannah. Zae tatap Amberley, lantas Amberley juga menatapnya. Kilau mata Amberley dipenuhi keterkejutan berbalut kesedihan yang amat besar.
"Kemungkinan Ibu Amberley dapat hamil sangat kecil, hanya tiga persen. Kemungkinan besarnya tidak bisa," ungkap Hannah.
Dada Amberley sesak dan air mata tak mampu ia bendung lagi. Amberley menyentuh perutnya dengan tangan bergetar. Ia menatap Zae, hatinya hancur mendapati Zae tak berkutik dan tatapannya kosong.
Amberley meraih lengan Zae, kemudian memeluk suaminya yang masih tetap membeku di tempat.
༻✽༺
Siang ini Langit mengabari semua anggota keluarga Raja untuk datang ke rumahnya dan Alaia. Ada hal penting yang harus mereka bahas secara intens dan tertutup mengenai Titania.
Amberley sudah siap untuk ke sana. Ia menghampiri Zae yang menunggu di ambang pintu. Ketika Amberley meraih jemari Zae, lelaki itu langsung melangkah meninggalkan kamar sebelum Amberley berhasil memersatukan jemari tangan mereka.
"Zae," panggil Amberley seraya menutup pintu kamar.
Cara Zae berjalan terlihat santai, tapi kecepatannya setara Amberley berlari. Perempuan itu mencoba menyamakan jalannya dengan Zae, namun nyatanya tidak mudah. Ini pertama kali Zae membiarkan Amberley berada di belakangnya.
Sampai mereka tiba di dalam mobil, Zae masih belum buka suara. Amberley sudah memanggilnya berkali-kali, tapi Zae tidak merespons.
"Jangan ngebut, ya?" Amberley berkata.
Untuk yang satu itu Zae akhirnya menganggap Amberley ada. Dia mengangguk walau tanpa menuturkan kata. Amberley lega, setidaknya ia tau bahwa Zae tidak kerasukan.
Di perjalanan, Amberley selalu mencari topik supaya ada pembahasan di antara mereka. Ini tak biasanya Zae sediam itu. Amberley yang selalu ingin terlihat ceria tentunya sibuk memutar otak untuk memberi rasa nyaman orang di sekitarnya.
"Zae, nanti mau ke rumah Mamoya, enggak? Kayaknya foto yang Lazar mau kasih ke aku itu udah jadi. Aku enggak sabar mau liat foto kita di pantai." Amberley bertutur.
Zae membalas singkat, "Enggak bisa."
"Oh ... kenapa?" tanya Amberley.
Zae tidak menjawab. Amberley menunggu suaminya berbicara lagi, tapi tak kunjung terjadi. Pada akhirnya Amberley hanya tersenyum, ia tidak memaksa dan memilih untuk memahami Zae yang harus berkonsentrasi dalam menyetir.
Setelahnya Amberley mengunci mulut sambil mengamati jalan raya. Ia melihat-lihat aktivitas banyak orang yang semuanya nampak sibuk. Amberley mengukir senyum tipis sambil menautkan jari-jari tangannya yang berada di atas paha.
"Kira-kira Tita kenapa, ya, sampai kita semua harus kumpul di rumah Geepa dan Geema? Aku berharap Tita baik-baik aja," ungkap Amberley.
Zae membuang napas berat dan panjang. Ia tak menanggapi Amberley yang sedang berbicara. Zae tidak mau mengalihkan pandangan dari jalanan di depan sana.
Kini Amberley menolehkan kepala ke Zae. Ia bertanya pelan, "Zae, kamu diem terus dari tadi. Aku terlalu berisik, ya?"
Lagi-lagi Zae tidak merespons. Raut Amberley berubah tidak seceria beberapa detik lalu. Ia kembali meluruskan pandangan ke depan, kemudian tertunduk sebentar.
Saat Amberley menengadah, senyumannya secepat itu kembali hadir. Ia bertutur, "Aku diem deh ... biar Zae bisa tenang nyetirnya."
Sekali lagi ia tatap suaminya dengan cengiran tulus yang sayangnya tak mendapat balasan. Saat Amberley mengalihkan pandangan ke kaca jendela di sampingnya, cengiran itu seketika hilang berganti sendu.
Usahanya untuk melupakan ucapan Dokter Hannah tak membuahkan hasil baik. Alasan lain Amberley mengajak Zae berbincang adalah untuk menepis pikiran tentang pernyataan Hannah mengenai dirinya yang kemungkinan besar tidak bisa hamil.
Sepulangnya dari rumah sakit tadi pagi, Amberley dan Zae sepakat untuk tidak memberi tau hal tersebut ke keluarga besar mereka dalam waktu dekat. Mereka telah memikirkannya matang-matang, dan seperti itulah kesepakatannya.
Delapan belas menit berlalu, mobil Zae tiba di halaman luas sebuah rumah besar. Zae dan Amberley menjadi yang terakhir datang karena anggota keluarga lainnya sudah sampai sejak tadi.
Kedatangan mereka disambut hampir semua orang. Hanya satu orang yang diam saja.
Karena semuanya sudah hadir, maka mereka pindah ke ruang keluarga untuk memulai pembahasan mengenai Titania. Sebelum Langit meminta seluruh keluarganya datang, Ale dan Aishakar telah menceritakannya ke Langit dan Alaia dulu. Ini atas persetujuan Titania.
Amberley duduk di sofa sembari mengajak Zae menempati bagian kosong di sampingnya. Zae duduk, tapi memberi sedikit jarak. Saat Amberley menawarkan Titania duduk di sebelahnya juga, Titania menolak dengan alasan ingin berdekatan sama Mama dan Papa.
Dari kejauhan Gallan melihat Amberley agak berbeda tak seperti biasanya. Amberley memang senyum terus, tapi matanya tidak ikut tersenyum. Jadilah Gallan mendekati perempuan itu dan duduk di sebelahnya.
"Aley!" Gallan merangkul Amberley.
"Abang," sapa Amberley senang.
Gallan melirik Zae, lalu menyolek dagunya. "Tumben diem aja istrinya gue pegang. Biasanya langsung ngajak gue perang."
Kekehan Amberley terdengar. "Zae lagi mau jadi cowok cool, Abang. Jangan digituin."
"Kan udah cool dari lahir." Gallan menyeletuk.
"Ditambah lagi cool-nya biar lebih nampol," gurau Amberley.
Gallan dan Amberley cekikikan. Tawa mereka baru berhenti saat Langit memulai pembicaraan. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak menyimak penuturan Langit.
"Ini kelanjutan kasus tiga minggu lalu di Ethereal Palace," tutur Langit.
Titania tertunduk dan kakinya bergerak-gerak tidak tenang. Ia terlampau gugup serta takut mendengar reaksi dari keluarga besarnya.
Langit menyetus, "Titania hamil."
Amberley terkesiap. Bukan dia saja yang kaget, melainkan semuanya menampilkan ekspresi serupa. Amberley tatap Titania di sofa seberang, tapi sepupunya itu langsung buang muka sambil mengusap mata.
"Tita siap rawat janinnya, dan Tita berharap banget kita semua mau terima kehadiran bayi itu." Alaia melanjutkan.
"Itu udah pasti, Titut." Ragas berseru.
Mereka semua menyetujui ucapan Ragas. Tidak mungkin seorang bayi yang tak bersalah mereka tolak kehadirannya. Malah mereka bersyukur Titania tak berniat menggugurkan anak hasil kecelakaan tersebut.
"Tita ... di luar dari insiden itu, aku seneng kamu mau pertahanin dia. Kita sama-sama rawat dia, ya? Dia pasti tumbuh jadi anak sebaik ibunya." Amberley berujar.
Semuanya menanggapi perkataan Amberley dengan baik dan dipenuhi sukacita, kecuali Titania dan Zae. Titania mendengar ucapan Amberley, tapi ia tetap menunduk. Zae juga mendengarkan, namun tak memberi tanggapan.
Riuh di ruangan ini mendadak lenyap saat Titania berseru grogi, "Aku bolehin semuanya ikut ngejaga bayi aku, kecuali Aley."
Amberley tergemap namanya disebut sebagai pengecualian. Ia bingung dan bertanya, "Kenapa, Ta?"
"Maaf, Aley, tapi aku enggak mau kena sial lagi. Maaf." Titania berucap takut-takut sampai suaranya sedikit bergetar.
"Kena sial?" Nada Amberley menurun, terdengar adanya kesedihan dalam pertanyaan singkat dia.
"Cleon lakuin itu ke aku karena dia suka kamu. Dia enggak mau ngerusak kamu, jadinya dia rusak aku demi muasin nafsunya." Titania bertutur serak.
"Cleon juga bilang ke aku dia lakuin itu biar yang ngerasain sakit hati bukan cuma dia," tambah Titania.
Zae spontan menatap Amberley yang tak bisa berkata-kata. Gallan juga menilik Amberley dan Titania secara bergantian. Suasana di ruangan ini mendadak tegang.
"Seharusnya bukan aku yang kena masalah besar kayak gini." Titania menyeka air mata. "Cuma karena aku sepupu kamu, jadinya aku diincar Cleon."
Tangan Amberley tremor. Biasanya Zae akan langsung menggenggamnya, tetapi kali ini ia tak melakukannya. Amberley dilanda ketakutan dan rasa bersalah yang begitu besar.
Para orang tua segera bertindak agar tidak terjadi keributan. Mereka meminta Titania tak melanjutkan ucapannya di sini. Ini bisa dibicarakan empat mata, ditambah pendamping.
"Maaf, Tita." Amberley berucap kecil, suaranya tertahan oleh tangis yang juga ia tahan.
"Aku senasib kayak Zae. Gara-gara Zae deket sama kamu, Zae jadi diguna-guna sama Jisa." Titania bertutur.
Perkataan Titania mencuri perhatian Zae. Lelaki itu mengernyit, ia tak merasa hal tersebut terjadi karena dirinya dekat dengan Amberley. Itu murni kegilaan Jisa yang terobsesi padanya.
"Mama Atlanna dan Appa Bintang juga kena banyak masalah waktu kamu masih di dalem perut," lanjut Titania.
"Maaf sekali lagi, tapi ini kenyataan kalau masalah-masalah besar di keluarga kita kebanyakan dateng dari kamu." Titania menambahkan.
Amberley mengepal tangannya, ia menahan kuat-kuat desak tangis yang minta ditumpahkan. Kini mereka benar-benar mengakhiri ucapan Titania supaya Amberley tak semakin merasa disudutkan. Sebisanya mereka berada di jalan netral.
Orang tua Amberley menghampiri anak mereka. Bersamaan itu orang tua Titania menegur halus sang anak agar lebih memerhatikan tiap kata yang digunakan dalam bercakap.
"Tita ... udah," tegur Alaia, lalu beralih menatap sedu Amberley. "Aley ...."
Sekarang Amberley dipeluk Atlanna dan Bintang. Ia masih sanggup menahan tangisan. Amberley tak bergerak, ia hanya bisa memandangi semua keluarganya dengan tatapan berselimut sesal.
༻✽༺
Sudah berjam-jam Amberley menyendiri di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan kedua kaki ke kolam sambil memandangi langit malam. Zae tidak ada, terakhir kali Amberley lihat suaminya berada di kamar.
Perkataan Titania di rumah Geema dan Geepa tadi masih terngiang dalam benak Amberley. Ucapan Dokter Hannah juga berputar terus di pikirannya.
Desak tangis yang Amberley tahan dari tadi masih tetap ia simpan. Berulang kali Amberley meredam pengap di dada. Semakin ia pendam, sesaknya pun semakin menggerogoti relung hati.
"Ternyata aku pembawa banyak masalah," gumamnya.
"Bodohnya aku baru sadar." Amberley berkaca-kaca.
Ia tertunduk seraya mengelus perutnya. "Zae jadi diemin aku karena aku enggak bisa hamil. Aku sedih banget, tapi Zae jauh lebih sedih dan kecewa."
"Sekarang aku harus gimana?" lirih Amberley.
Perempuan itu berlama-lama di halaman belakang sampai tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul sepuluh. Amberley akhirnya beranjak ke dalam rumah.
Amberley naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Ia mendapati Zae sedang duduk di tepi kasur sambil melamun. Amberley mendekatinya, ia duduk di situ tapi tidak berani terlalu dekat.
"Zae," sapa Amberley pelan sekali. Ia gugup.
"Aku ngerti kamu kecewa banget karena aku enggak bisa kasih kamu anak." Amberley bertutur. "Aku juga enggak mau ngerasain ini. Aku pengin banget kita punya keturunan."
"Pernikahan kita jadi enggak ada artinya karena ini, ya?" ucap Amberley.
"Aku takut kamu mikir kayak gitu." Amberley menarik napas. "Atau kamu udah mikir begitu?"
Zae tidak merespons. Melirik Amberley sekilas pun tidak. Ia hanya menatap lurus objek di hadapannya sambil terus menyimak Amberley dalam keheningan.
"Maaf, ya, Zae. Tolong kasih aku kesempatan ... aku bakal cari jalan keluarnya biar pernikahan kita enggak sia-sia." Amberley hampir menitikkan air mata.
Amberley yang berharap Zae menanggapinya justru malah ditinggal. Zae naik ke kasur, mematikan lampu, lalu tarik selimut. Ia bahkan memeluk guling yang artinya Zae tidak lagi menjadikan Amberley sebagai gulingnya.
Lampu remang di atas nakas membantu Amberley menatap wajah suaminya. Ingin rasanya ia belai rambut dan mengecup kening Zae sambil mengucapkan selamat malam.
Sayang sekali semua keharmonisan itu telah hancur oleh ketidaksempurnaannya sebagai seorang perempuan.
༻✽༺
Zae terbangun pukul empat pagi. Ia bengong dulu sebelum bergerak dari tempat. Namun pada akhirnya lelaki itu menutup mata lagi setelah tau ini masih terlalu pagi.
Saat Zae berbalik badan, matanya kembali terbuka dan tercenung. Amberley tidak ada di sebelahnya. Posisi bantalnya rapi seperti belum dipakai untuk tidur.
Ia melirik tiap sudut kamar yang tak begitu jelas lantaran minimnya pencahayaan. Zae tak menemukan kehadiran Amberley. Dari kamar mandi juga tidak ada suara tanda Amberley berada di situ.
Tanpa bicara, Zae bergegas turun dari ranjang dan berjalan ke pintu. Ia keluar dari kamar dengan muka bantal. Matanya menyipit dan rambutnya sedikit berantakan.
"Mana Aley?" Ia bertanya dalam hati, bukan bertelepati.
Zae turun melewati anak tangga. Di sini sangat sepi sampai tidak ada suara selain langkah kaki Zae yang berbalut sandal.
Ia menelusuri hampir semua ruangan di lantai satu. Dari tiap ruangan itu Zae tidak menemukan Amberley. Ia sampai kembali ke lantai dua buat cek ruangan khusus Amberley memainkan kekuatan esnya, dan tetap tak menemukannya.
Zae kembali ke lantai satu karena hatinya mengatakan Amberley ada di sekitar sini. Pencarian Zae berakhir ketika ia menoleh ke pintu kaca halaman belakang rumah. Zae berdiri di dekat pintu, pandangannya tertuju ke seorang perempuan yang sedang duduk di sebuah kursi panjang dekat kolam.
Amberley sendirian di sana, menunduk dalam, sesekali menyeka matanya.
Setelah seharian memendam tangis, pagi ini pertahanan Amberley runtuh. Ia menangis. Hatinya sakit dan berat sekali menerima kenyataan.
Amberley menyentuh dadanya, ia tekan perlahan seiring air mata makin tumpah berderai. Bahkan ketika sedang sendirian ia tetap tidak mengeluarkan suara tangisan. Bibirnya bergetar hebat sama seperti jemarinya yang gemetaran.
Di mata keluarganya, Amberley adalah perempuan kuat yang berani maju paling depan untuk menyelamatkan semua orang. Di belakang keluarganya, dia hanyalah perempuan dengan perasaan lembut dan mudah rapuh.
Amberley menjadi pendengar curahan hati orang-orang terdekatnya, dan ia juga menjadi pendengar jeritan hatinya sendiri yang hampir tidak pernah diketahui orang lain.
Setelah cukup puas menangis, Amberley menghapus seluruh jejak tangis dengan punggung tangan. Ia menetralkan deru napas yang memburu, juga mengukir senyuman upaya menghadirkan ketenangan untuk dirinya sendiri.
Zae masih mengamati istrinya dari balik tembok di samping pintu kaca. Ia cepat-cepat kembali ke kamar saat Amberley beranjak dari tempat duduk. Zae berlari setelah melepas sandal agar tidak ketahuan dia berkeliaran mencari Amberley pagi-pagi begini.
Di kamar, Zae tidur dengan posisi miring dan dia tampak seperti seseorang yang sedang pulas-pulasnya. Amberley baru muncul sekitar tiga menit kemudian. Perempuan itu menutup pintu pelan-pelan, lalu berdiri di sana sambil menatap suaminya.
Amberley menghampiri Zae. Ia duduk di tepi ranjang seraya tangannya terulur mengusap rambut tebal sang suami.
"Suami aku bobonya pules banget," ucap Amberley dengan suara kecil.
"Aku habis dari taman belakang," kata Amberley. "Aku ngobrol banyak sama bintang-bintang di langit."
"Zae ...." Amberley mengelus pipi Zae. Suara Amberley berubah lebih rendah ketika ia hampir menangis lagi.
Ia meraih satu tangan Zae dan menempelkan telapaknya di pipi. Amberley memegang tangan Zae sambil menggerakkan pelan seolah-olah Zae sedang mengelus pipi Amberley.
"Siapa yang biasanya kuatin aku kalau lagi sedih? Kamu." Amberley bertutur parau. "Sekarang penguat aku lagi sedih juga ...."
"I'm sorry." Amberley menghirup harum jemari Zae.
"Setelah dipikir-pikir, apa yang Tita bilang ada benernya. Aku enggak sadar kalau aku pembawa masalah, aku malah sok bantuin semuanya biar masalah mereka beres." Amberley tidak bisa mencegah air matanya turun.
"Belum lagi kalau mereka tau aku enggak bisa hamil. Ini di luar kehendak aku," isak Amberley. "Mamoya pasti kecewa, Mama dan Papa pasti malu. Aku harus bilang apa nanti?"
"Sejujurnya aku takut. Aku bingung. Enggak ada tempat buat aku ngadu." Amberley mengusap matanya.
Amberley meredakan tangisan dan menarik napas panjang. Napasnya tersendat akibat menangis terus. Ia tidak mau lemah begini, tapi ia juga tidak kuat melawan gelombang besar yang selalu siap menerjang benteng pertahannya.
Seraya itu Amberley menengadah, ia tatap pigura besar yang terpajang di tembok tepat di atas kepala kasur ini. Ia berkaca-kaca menatap foto pernikahannya bersama Zae. Imajinasinya melayang jauh, berangan suatu saat nanti mereka berfoto lagi dengan kehadiran buah hati mereka di tengah-tengah.
"Kalau aku bisa milih, aku juga mau terlahir sebagai perempuan yang bisa melahirkan." Amberley bergumam.
• ༻ A M B E R L E Y ༺ •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro