12. Rasuk
12. Rasuk
Zae bangun lebih awal mendahului Amberley yang masih terlelap. Ia sedikit terkejut saat berbalik badan menghadap perempuan itu, hampir lupa bahwa Amberley telah menjadi istrinya, dan itu sangat wajar bila mereka tidur seranjang.
Senyum Zae terukir bersamaan ia pandangi paras ayu Amberley. Setengah wajahnya menempel di bantal, alhasil pipi kanan dan bibir Amberley sedikit maju oleh tekanan kepala. Itu merupakan tampang Amberley paling imut yang pernah Zae lihat.
Zae menjalankan jemarinya di rambut panjang Amberley yang tergerai, tapi tidak terlalu berantakan. Ia belai wajahnya, kemudian menyentuh lembut mulu mata lentik itu. Sepertinya Zae tidak akan bosan memakai banyak waktunya hanya untuk menikmati kecantikan alami Amberley.
Hidungnya kecil dan sangat mancung dengan ujung sedikit mengkilap, pipinya kenyal, dan pagi ini rona bibir Amberley tampak lebih merah secara natural.
Satu hal penting yang harus Zae biasakan sebagai suaminya ialah Amberley setiap tidur tidak mengenakan pakaian atas, dan pakaian bawahnya hanya celana dalam. Ini Amberley lakukan setiap ia menginap di tempat yang berada di luar Pulau Levanna.
Maka dari itu, tiap kali Amberley menginap di rumah kakek dan neneknya, atau di rumah Bintang, di malam harinya ia selalu tidur sendirian dengan pintu terkunci serta jendela tertutup rapat. Tidur tanpa melepas pakaian atas akan membuat Amberley tidak nyaman karena baginya itu gerah.
Belaian Zae membangunkan Amberley dari lelapnya. Ia menatap lurus wajah Zae yang berada di hadapannya, jarak mereka cukup berdekatan. Mata sayu Amberley mengedip beberapa kali demi mengembalikan fokus tanpa mengalihkan pandangan.
"Good morning," bisik Zae dengan suara rendah dan serak, disusul mengecup bibir Amberley.
Sudut bibir Amberley bergerak membentuk senyuman kecil yang manis. Ingatan tentang kejadian semalam membuat semburat merah muncul di pipinya, lantas Amberley menyembunyikan wajah di dada Zae.
Zae terkikik kecil seraya mengusap punggung Amberley. Ia turut mengecup kening dan mengelus rambutnya. Amberley merasa nyaman sehingga ia dengan spontan makin merapatkan diri ke badan Zae.
"Gimana semalem? Sakitnya masih kerasa?" Pertanyaan Zae menimbulkan rasa gelitik di perut yang membuat Amberley gugup.
Amberley mengangguk lalu bertutur, "Bayi kucingnya beneran berubah jadi harimau."
Tawa Zae hadir lagi seraya ia dekap erat-erat tubuh Amberley. Buah dadanya terhimpit, lantas Amberley meringis karena permainan semalam meninggalkan sisa rasa yang bermacam-macam di beberapa area sensitif, salah satunya rasa nyeri.
"Ah, sakit." Amberley mengaduh.
Zae spontan mengendurkan pelukannya dan menatap dua bulatan itu. Bagian tengahnya masih merah, ada juga jejak-jejak isapan yang menghiasi permukaan buah dada sampai ke leher. Semua itu hasil dari perbuatan Zae.
"Maaf, Sayang." Zae berucap panik.
Ia usap pelan dua gundukan kenyal itu secara bergantian, dan Amberley perlahan memejamkan mata seraya mengembus napas panjang karena saking lembutnya usapan Zae.
Sesudah dirasa lebih baik, Amberley minta dipeluk lagi, kali ini tidak boleh terlalu kencang. Zae mengabulkan permintaan tersebut tanpa keberatan. Mereka anteng berpelukan dengan masing-masing tangan tidak diam saja.
Zae membelai kepala Amberley, sedangkan perempuan itu memainkan jemarinya di permukaan punggung Zae.
"Jangan canggung lagi buat lakuinnya sama aku, ya, Ley." Zae bertutur lembut. "Pelan-pelan pasti terbiasa."
Lagi-lagi wajah Amberley panas. "Iya, Zae. Tapi, mode harimau kamu tetep bikin aku takut."
Penuturan polos Amberley memancing gelak tawa Zae kembali hadir. Ia terbayang permainan malam tadi, dan di telinganya seakan-akan masih terngiang rintihan sang istri.
"Kamu sering-sering jadi bayi kucing aja, jangan harimau. Aku takut diterkam," celetuk Amberley.
Kini Zae menempelkan bibir di telinga Amberley, kemudian mengeluarkan suara berat nan seksinya. "Rawr."
"Zae!" Amberley merinding, dia spontan menepuk lengan kekar itu.
Sesaat berselang, Amberley mengubah posisi menjadi telentang sesuai keinginan suaminya. Zae bergeser turun hingga kepalanya sejajar dengan dada Amberley. Lalu, Zae naik ke badan Amberley dan mendaratkan kepala di benda empuk tersebut.
"Aku enteng atau berat?" Bisa-bisanya Zae bertanya seperti itu.
"Berat banget, kamu kayak batu." Amberley meringis.
"Enggak." Zae malah menggeleng sambil menghirup harum tubuh Amberley lewat belahan dadanya.
Zae begitu tenang diam di atas badan Amberley tanpa melakukan apa-apa. Dia hanya menemplok di sana sambil menikmati sapuan jari-jari Amberley di rambut tebalnya. Dari posisi ini Zae bisa mendengar degup jantung istrinya yang kencang.
"Mau," ceplos Zae tiba-tiba.
"Mau apa?" tanya Amberley.
Mata Zae mengarah ke benda kecil di dekat bibirnya. Hanya perlu maju sedikit, maka benda tersebut masuk ke mulut Zae.
"Jangan sekarang, ya?" Amberley berucap pelan seraya membelai pipi Zae.
Zae tidak protes. Ia menurut dan tersenyum kecil sembari merangkak sedikit untuk menggapai leher Amberley. Wajahnya masuk ke lekuk leher jenjang itu, ia menggesek hidung mancungnya di sana.
Kepala Zae benar-benar tidak bisa diam karena dia terus mencari posisi ternyamannya, persis anak kucing yang mencari puting susu di perut induk. Bedanya kucing besar ini menyerang leher istrinya.
"Kamu cari apa, Vajé?" Amberley cekikikan akibat rasa geli di leher.
Sekian detik setelah Amberley bertanya demikian, Zae berhenti mencari-cari saat ia sudah menemukannya. Ia langsung mengisap kulit mulus Amberley sambil matanya terpejam.
Emutan Zae mendesak Amberley untuk mengeluarkan desahan. Namun, demi keamanan situasi dan mencegah terjadinya perang di kasur lagi, Amberley memilih menahan suaranya. Dengan begitu gairah Zae tidak akan meningkat pesat.
"Ah ...." Amberley kelepasan, suaranya sangat kecil.
"Aduh! Kebelet, mau ke toilet," celetuk Amberley cepat-cepat. Sebenarnya itu cara dia menyelamatkan diri.
Zae mengangkat kepala, ia tatap Amberley mendalam tanpa berkata-kata. Saat Zae hendak bangun dan menjauh dari tubuh Amberley, pergerakannya terhenti lantaran kedua kaki Amberley menyilang di sekitar bokong Zae, kemudian mengalungkan tangan di leher Zae.
Tatapan Zae berubah lebih intens disertai senyum miring, "Posisi kamu begini minta aku gendong atau reka ulang adegan semalem?"
"Gendong!" tandas Amberley, menepis pikiran liar suaminya.
Zae masih tersenyum. "Alright, Mommy."
Amberley tahan napas seraya memeluk Zae erat di waktu lelaki itu beranjak dari kasur. Tubuh Amberley yang ringan sama sekali tidak menyulitkan Zae. Ia dengan mudah beringsut turun sambil menggendong Amberley di depan.
Jarak kamar mandi dari posisi ranjang tidak terlalu jauh. Tiba di sana Zae jalan ke hadapan cermin dan berhenti. Amberley malu, ia menidurkan kepala di bahu Zae dan tidak mau melihat pantulan figur mereka di cermin. Sebaliknya, Zae tersenyum senang menyaksikan istrinya salah tingkah.
"Kamu beneran kebelet?" tanya Zae.
Amberley merasa tertangkap basah karena telah berbohong. "Enggak ... tadi aku takut kamu kebablasan, jadinya aku bilang kebelet."
"Terus, kamu malah ajak aku ke kamar mandi. Lebih parah, tau." Zae tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya.
Amberley seketika menjadi kolokan dan kakinya bergerak-gerak sambil memperdalam wajah ke lekukan leher Zae. "Jangan. Jangan serang aku lagi."
"Sini, aku mau liat mukanya. Pasti merah." Zae meminta.
"Zae ...," ringik Amberley.
"Aley ...," balas Zae.
Amberley menjauhkan kepala dari leher Zae dengan senyum malu-malu yang ia tahan, kini mereka saling bersitatap. Zae usap-usap pipi merah Amberley, lalu ia kecup sekilas sudut bibirnya. Amberley balas mencium kening Zae.
"Istriku cantik banget," puji Zae.
"Istri yang mana?" Amberley menyetus dengan satu alis naik.
Zae mendengkus. "Siapa lagi kalau bukan kamu?"
Amberley menjadikan pundak Zae sebagai bantalan kepalanya lagi. Perempuan itu cemberut, padahal ia sendiri yang memancing obrolan dengan membahas istri lain Zae yang tidak dianggap, yaitu Jisa.
"Emangnya kamu mau kalau aku akui dia sebagai istri? Aku aja enggak mau. Aku cuma mau kamu. Berharap sesegera mungkin aku bisa ceraiin dia," tutur Zae serius, intonasinya sedikit lambat dan tersimpan kesedihan di dalam kalimatnya.
Zae sentuh helaian rambut Amberley dan diselipkan ke belakang telinga seraya berucap, "Aku tau kamu bercanda. Jangan diulang, ya? Jangan bawa dia ke hubungan kita."
Amberley mengangguk samar. "I'm sorry."
Zae memaklumi, ia juga meminta maaf karena bagaimana pun Amberley pasti menyimpan pedih dan sakit di hatinya selama Jisa masih berstatus sebagai istri Zae. Ucapan Amberley tadi salah satu cara dia mengungkapkan keresahan hati. Zae mencoba mengembalikan mood Amberley, ia tepuk-tepuk punggungnya disusul mengecup pipi.
"Aley mau mandi?" tanya Zae.
"Mau. Aku gerah." Amberley bertutur tenang di saat Zae cukup kedinginan.
Lelaki itu menurunkan Amberley dari gendongan, ia membiarkan istrinya masuk ke bilik pancuran yang dindingnya terbuat dari kaca bening kokoh. Amberley membuka pintu bilik, lalu ia berbalik badan menatap Zae yang masih berdiri di depan cermin.
Amberley menyamperi Zae sambil mengulurkan tangan. "Kenapa malah diem?" herannya.
"Eh?" Pupil Zae membesar, dia bingung sekaligus gelagapan. Katanya, "Aley duluan yang mandi."
Jemari dingin Amberley menggapai jari-jari Zae. Ia bawa suaminya mengikuti langkahnya, kemudian menarik Zae masuk ke bilik pancuran. Sekarang keadaannya berbalik—Zae gugup dan Amberley terlihat lebih santai.
"Kita cuma mandi, jadi aku bakal aman dari serangan kamu. Kucing kan takut air." Amberley terkikik, berpikir Zae tidak akan berubah menjadi harimau lagi seperti di ranjang.
Zae menelan saliva saat Amberley mulai melucuti celana dalam. Ketika Amberley berputar badan untuk menyalakan pancuran air, teriakannya langsung terdengar karena diterjang suami sendiri.
"Enggak semua kucing takut air," bisik Zae dari belakang.
"Zae!" Amberley menemplok di dinding kaca. "Ah!"
༻✽༺
Sehabis mandi dan sarapan, pasangan pengantin baru ini balik lagi ke ranjang. Mereka membahas sederet rencana yang akan dilakukan setelah meninggalkan istana. Tidak tau kapan mereka pulang, tapi yang pasti mereka lebih lama menginap daripada anggota keluarga Raja yang akan kembali ke Malverone hari ini.
"Apa nanti kita hubungannya kayak Appa dan Mama? Ada saatnya aku ikut kamu tinggal di Irvetta, dan ada saatnya kamu ikut aku ke Pulau Levanna." Amberley berucap.
Zae memikirkan itu juga. Nyatanya dia tidak ingin berpisah dengan Amberley walau hanya beberapa hari. Tetapi, itu sangatlah egois bila meminta Amberley tinggal bersamanya untuk selamanya. Zae tau bahwa Amberley butuh udara dingin dari salju-salju di Pulau Levanna, bukan salju biasa.
"Aku siap jalanin semuanya bareng kamu." Zae bertutur lugas. "Di luar dari itu, aku berencana bikin sesuatu buat bantu kita tetep tinggal di tempat yang sama tanpa harus sering-sering pindah wilayah."
Amberley berbinar-binar mendengar penuturan suaminya. Zae selalu mencoba memberikan yang terbaik untuknya, dan kali ini Amberley tidak mau Zae berusaha sendirian. Ia ingin bantu mencari jalan terbaik demi kebersamaan yang utuh.
Zae merengkuh Amberley dan menghirup aroma rambutnya yang segar. Mereka cukup lama berpelukan, tanpa bicara, hanya saling menyalurkan kenyamanan. Berkali-kali Amberley menerima kecupan Zae di tiap sisi wajahnya.
Namun, sesuatu mengejutkan Amberley bagai kilat melintas di langit yang datangnya tak terduga. Tubuhnya menegang, matanya membulat, tapi ia tetap diam dalam pelukan Zae yang tak mengetahui keterkejutannya ini.
Barusan Amberley menerima sinyal dari Jisa yang berniat mengusik Zae lagi.
"Zae?" Amberley menengadah, ia tatap wajah tampan itu.
"Mmh?" sahut Zae dengan gumaman.
Amberley berujar setenang mungkin, "Aku mau ngomong sama Sabba."
Maka Zae berkonsentrasi menatap kedua bola mata Amberley. Perlahan kulit wajah Zae memucat dengan lingkar hitam di mata. Bibir merah mudanya ikut berubah menjadi pucat, serta mata dia berganti hitam menyeluruh. Garis-garis retakan kian jelas di lambang salib merah pada keningnya.
"Brittany." Nyx menguasai raga Zae, dia langsung menyebut nama cucunya dengan terengah.
"Sabba, ada sesuatu yang ganggu Zae lagi. Brittany bisa rasain itu," ungkap Amberley.
"Mereka menyerang Zae lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tau ada Sabba di raga ini, dan mereka mau Sabba keluar dari sini supaya mereka lebih mudah bawa Zae pergi." Nyx bertutur.
"Tujuan mereka bawa Zae buat apa, Sabba?" tanya Amberley, ia gelisah.
"Untuk masuk ke lingkaran mereka. Zae akan dijadikan alat pemuas nafsu, budak, boneka, dan dipaksa untuk menanamkan sebanyak-banyaknya benih di rahim seseorang agar menjadi bayi dengan jumlah tak terbatas." Ucapan Nyx membuat Amberley takut, matanya merelang disertai napas memburu.
"Sabba, aku harus apa? Tolong kasih Brittany petunjuk buat cegah itu semua." Suara Amberley bergetar.
Nyx berujar, "Satu yang Sabba tau, mereka bukan penghuni baru Ethereal Palace. Mereka ada sejak lama dan tinggal di suatu tempat yang jauh dari sini."
"Itu artinya mereka dewa atau dewi, Sabba?" Amberley kembali bertanya.
Nyx meringis bersamaan retak di salib terbalik itu bertambah. Cahaya merah yang terpancar dari salib di keningnya berkedip cepat seperti lampu yang rusak dan sebentar lagi akan mati. Ia mengerang tiap melawan kekuatan jahat yang berniat mencelakai Zae.
Amberley melihat lambang serupa di telapak tangan kanannya. Milik dia hanya menyala merah tanpa adanya retak, tidak juga berkedip-kedip.
"Mereka dewa dan dewi, Brittany. Ada hal yang membuat mereka diasingkan dari Ethereal Palace." Nyx menjawab diselingi ringisan.
Tubuh Zae nyaris ambruk saat Nyx terus mencoba mencegah roh-roh jahat mengganggu raga ini. Amberley memegangi bahu Zae sembari ia membantu Nyx mengalahkan serangan itu.
Elemen kekuatan milik Amberley dan Nyx bersatu mengadang kerasnya tekanan dari para roh yang ingin masuk ke dalam tubuh Zae.
"Discede a marito, ignave! Vos omnes vere me insanire!" Amberley berseru lantang. (Pergi dari suamiku, pengecut! Kalian benar-benar membuatku marah!)
Kini Amberley peluk Zae seerat mungkin, ia tidak akan berhenti melindungi raga itu dari serbuan makhluk tak kasat mata yang jumlahnya makin bertambah. Kekuatan besar Amberley membuatnya sulit dirasuk seperti beberapa waktu lalu. Celakanya, makhluk jahat tersebut justru semakin gencar menyerbu.
Amberley tidak menyerah. Dia menggeram, tingkat kemurkaannya meninggi sehingga tanda salib terbalik di telapak tangan kanannya bersinar terang, begitu juga simbol keping salju di telapak kirinya menyala-nyala.
Serangan energi jahat dari pihak Jisa sudah kelewat batas, ini sungguh keterlaluan. Amberley tak bisa menampung kemurkaannya apalagi keadaan badan Zae sudah bergetar yang artinya daya raga ini melemah.
Dari tubuh Amberley muncul uap begitu dingin, auranya sebagai Dewi Musim Dingin menguar lebih-lebih kental dari sisi Dewi Kematian. Ini menjadi senjata terbaik Amberley untuk mengusir makhluk kiriman Jisa.
Hanya kurang dari lima detik para roh itu menjerit lantaran tidak kuat berdekatan dengan sesuatu yang terlalu dingin.
Seketika Zae jatuh terbaring di kasur, pada detik yang sama Nyx bersembunyi lagi. Amberley khawatir saat mengetahui Zae tidak sadarkan diri, tetapi itu jauh lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Ia usap kepala Zae dan mendaratkan kecupan di dahi.
"Aku harus pergi sebentar. Aku enggak bisa ulur waktu buat cari tau siapa Jisa sebenarnya." Amberley berucap meski Zae tak mendengar.
Amberley menyelimuti Zae agar tubuhnya tetap hangat. Ia sangat berharap Zae tidur tak terlalu lama. Ia cium sekali lagi bibirnya, kemudian beranjak dari tempat.
Amberley meninggalkan kamar dalam keadaan sepi dan Zae hanya sendirian.
༻✽༺
Keluarga Raja meninggalkan Ethereal Palace hari ini. Mereka adalah Alaia, Langit, Atlanna, Bintang, Ragas, Lana, Ale, Aishakar, Titania, Gallan, dan termasuk Amora yang satu-satunya tidak bermarga Raja melainkan Lonan.
Alaia bisa saja tetap tinggal di sini untuk menemani Amberley dan Zae, tapi ia perlu kembali ke Malverone untuk berenang bebas di laut Irvetta.
Sebelum pergi, mereka akan berpamitan dengan dua orang yang ditinggal itu. Mereka menunggu lebih dari setengah jam dan Amberley ataupun Zae tak kunjung keluar dari kamar.
"Samperin yuk, Tit." Gallan mengajak.
"Ayo, Abang." Titania mengangguk, ia langsung menggandeng lengan Gallan lalu jalan beriringan ke kamar Amberley dan Zae.
Dua anak ini terlibat obrolan ringan selama berjalan ke tempat tujuan. Tak jarang juga keduanya menebar senyuman kepada dewa dan dewi yang melintas di sekitar mereka. Mulut Gallan berkali-kali memuji keelokan para penghuni istana ini.
"Abang, aku denger Aley dan Zae mau lanjut liburan setelah tinggal di istana beberapa hari," ujar Titania.
"Itu mah pasti. Mau bulan madu." Gallan membalas. "Kita enggak diajak."
"Iya ... kita ditinggal. Aku jadi sedih," gumam Titania.
Gallan terkekeh dan menyahut lagi, "Kalo kita ikut nanti kita disuguhin adegan dewasa terus sama mereka. Kamu kan masih kecil, Titut."
"Aku udah delapan belas tahun, Abang! Udah gede," protes Titania.
"Oooh, Titut udah gede?" Gallan menatap Titania dan mencubit pipinya kencang. "Kirain masih tujuh tahun."
"Ish, sakit! Aku aduin Geema dan Geepa nanti." Titania mengusap-usap pipinya.
Gallan menertawakan Titania, sedangkan gadis imut itu bungkam dengan bibir mengerucut. Titania semakin lucu kalau dia cemberut. Ekspresinya yang melas bercampur kesal hanya akan membuat Gallan makin senang mengganggunya.
Mata biru Titania awalnya mengarah ke lantai, kini sorotnya pindah lurus ke depan. Raut muka Titania kembali seperti biasa dengan kesan lugu yang menggemaskan. Perubahan ekspresinya terjadi saat Titania melihat sosok lelaki berambut cokelat terang melangkah ke arahnya.
Cleon menyadari tatapan Titania, maka ia tersenyum sambil terus berjalan hingga melewati Titania dan Gallan.
Titania membeku, ia terpesona akan keindahan iris mata Cleon.
"Waduh, ada yang senyum-senyum sendiri!" Gallan berseru, ia membuat Titania terkesiap.
Titania gelagapan dan menyetus, "Abang, aku kaget!"
"Baru aja Lazar mau deketin kamu, Tit. Kesian banget itu anak orang, patah hati sebelom memiliki." Gallan terbahak.
Lazar, fotografer kepercayaan keluarga Lonan, memang memiliki rasa kagum yang terpendam terhadap Titania. Ia menilai Titania itu lembut dan baik kepada semua orang. Lazar ingin sekali mengenal Titania lebih dekat, tapi ia minder untuk memulainya.
"Maaf, ya, Abang, aku enggak mau pacaran." Titania menunduk.
"Ih, kenapa?" heran Gallan.
"Aku masih kecil," ucap Titania.
"Tadi katanya udah gede." Gallan gemas, dia merangkul Titania sembari mempercepat langkah mereka.
Titania tidak bertutur lagi, ia diam saat terbayang wajah Lazar di benak. Lazar itu ramah, penyayang, murah senyum, dan sangat menghormati perempuan. Sayangnya Titania tak memiliki rasa lebih dari sebatas teman untuk Lazar. Apalagi mereka baru kenal, tidak ada interaksi intens, hanya sesekali saling bertegur sapa.
"Semua butuh proses, Tita. Kamu mau sama Lazar? Atau sama cowok tadi?" Gallan bertanya-tanya.
"Enggak mau semua." Titania menggeleng.
Gallan jadi bingung. Ia berpikir sampai matanya menyipit, kemudian kembali bicara, "Ya udah, Titut sama Abang aja."
"Oke, Abang!" Titania senang, dia langsung melupakan beban pikiran mengenai pasangan hidup.
Mereka sudah dekat dengan kamar Amberley dan Zae, hanya perlu berlarian kecil maka mereka tiba di depan pintunya. Di situ Gallan memanggil seraya menempelkan telinga di pintu yang sangat tebal. Pintu itu tidak mengeluarkan bunyi keras bila diketuk.
"Aley, Zae!" panggil Gallan.
Titania menunggu, tapi panggilan Gallan tidak menerima respons. Kini Gallan bergeser dan telinganya menempel di celah pintu untuk menangkap suara-suara yang ada di dalam sana. Ia ingin memastikan apakah di kamar ini ada kehidupan atau tidak.
"Ada suara, tapi enggak terlalu kedengeran. Samar-samar gitu." Gallan berbisik. "Kayak teriak ... atau nangis? Kayaknya teriak."
"Suara apa itu, Bang?" Titania penasaran.
Gallan segera menjauh dari pintu, ia tatap Titania sambil mengerling genit. Ia berpikir Amberley dan Zae sedang bersenang-senang. Suara yang ia dengar seperti dua orang sedang melakukan sesuatu yang menimbulkan erangan serta desahan.
"Jangan diganggu, kita tungguin aja biar mereka keluar sendiri." Gallan berkata pelan. "Hayu, balik ke tempat awal."
Titania mengekori Gallan yang mengajaknya kembali ke tempat di mana para orang tua menunggu. Ia menggigit bibir bawah dan tiba-tiba merasa tidak tenang. Tanpa menghentikan gerak kaki, Titania menoleh ke pintu kamar Amberley dan Zae, lantas senyumannya sirna.
Titania merasakan adanya sesuatu yang abnormal dan janggal di hati. Ia tidak tau ini firasat apa, tapi kegelisahannya mengarah ke Zae dan Amberley.
༻✽༺
Di istana serba hitam, sepasang suami istri berdiri di tepi kolam. Bila kalian berpikir kolam ini berisi air, maka itu salah. Kolam tersebut merupakan wadah raksasa yang dipenuhi cairan berwujud lava dengan api berkobaran di atasnya.
Sarkana dan Vulcan melempar batu-batu kristal hitam ke kolam itu. Kegiatan yang mereka lakukan nampak aneh dan mengerikan. Mereka merapalkan kalimat berbahasa asing yang memiliki arti tidak baik.
"Amadé Varzae Lonan ... mortuus est pro mundo, vixit ad serviendum Ivonne clan." Sarkana mengulang kalimatnya sebanyak mungkin. (Amadé Varzae Lonan ... mati untuk dunia, hidup untuk mengabdi kepada klan Ivonne.)
Ia melanjutkan, "Age, age, iunge nos, Zae." (Ayo, datanglah, bergabunglah dengan kami, Zae.)
Setiap menyerukan kalimat-kalimat mengerikan itu, Sarkana selalu melempar batu kristal ke kolam lava. Ia menikmati kegiatannya dan berharap efeknya membuat Zae kesakitan teramat parah. Sarkana tak peduli pada rasa sakit Zae, dia hanya memikirkan kebahagiaan Jisa.
Di lokasi lain, terdengar erangan keras yang berasal dari sebuah kamar. Zae sendirian, ia baru siuman dan langsung menerima serangan hebat dari sesuatu yang tidak ia ketahui.
Permainan Sarkana berhasil menyakiti Zae karena saat ini lelaki itu berjuang melawan pedih di sekujur badannya. Zae kepanasan, ini merupakan rasa panas yang paling menyakitkan seolah kulitnya akan mengelupas dan tulangnya remuk total.
"Aaaah!" Zae menelungkup, dia meremas seprai dan bantal begitu kuat hingga urat-urat di tangannya menimbul sangat jelas. Ia juga menarik kerah bajunya sampai robek besar.
"Perih! Perih!" Teriakan Zae tidak didengar siapa pun.
Siksaan ini tak mengizinkan Zae untuk berpikir dan lari mencari pertolongan. Kakinya dibuat seakan-akan lumpuh sehingga Zae tidak bisa bergerak bebas. Dia berguling-guling demi melawan kesakitannya, tapi itu hanya berujung sia-sia, malah Zae terjatuh ke lantai.
Roh Nyx bergantian muncul yang mana retak di salibnya makin-makin banyak. Ia sulit berkonsentrasi dan kehilangan kendali sehingga tidak mampu menguasai raga Zae sepenuhnya. Mereka sama-sama berusaha menyelamatkan diri.
"Ah! Ahhh!" Zae mengepal kedua tangan, jeritannya memilukan.
Air mata Zae turun sebagai reaksi dari sakitnya kondisi tubuh dia saat ini. Zae tak sanggup bicara. Ia butuh pertolongan, atau setidaknya ia bisa masuk ke kolam air es agar panas yang membara di tubuhnya segera lenyap.
"Matilah untuk mereka, dan hidup untuk Jisa." Zae menerima bisikan ini dari sosok tak terlihat.
• ༻ A M B E R L E Y ༺ •
gimana chapter 12, babygeng?! kasih komentar ya 🖤🤍
Aley pergi jauh, dan Zae kesiksa :(
Siapa tokoh paling kamu sayang di cerita ini?
Siapa tokoh paling kamu sebel di cerita ini?
kamu punya teori tentang cerita AMBERLEY? keluarin yuk siniii 😍🙏🏼
༻✽༺
⚠️ adegan tambahan Zaley (di kamar mandi ituuu) udah aku publish di KaryaKarsa dengan judul "AMBERLEY [Additional Part 12]" harganya Rp3.000 yaa. Happy reading! ⚠️
SEE YOUUU~
I love you Babygeng 🤟🏻😘😋
terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜
FOLLOW IG AKU BIAR KITA KENAL:
@radenchedid
FOLLOW IG KHUSUS KARYAKU:
@alaiaesthetic
SUBS CHANNEL TELE KHUSUS BABYGENG:
@BABYG3NG (pake 3)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro