Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Kamu (bukan) Milikku

1. Kamu (bukan) Milikku

Cermin besar memantulkan refleksi seorang gadis cantik dengan riasan dan tataan rambut hasil sentuhan tangan make-up artist. Dia nampak makin anggun dengan gaun putih melekat sempurna di tubuh rampingnya. Senyum manis terukir di bibir, disertai kilauan indah pada matanya yang berbeda warna.

Amberley menarik napas panjang, mencoba memberi rasa lebih rileks dan nyaman untuk dirinya sendiri. Ia sangat gugup. Hanya dalam hitungan jam momen paling menegangkan itu akan terjadi.

Di ruangan yang sangat dingin ini ia sendirian. Amberley masih belum berani keluar. Berulang-kali dia mengepalkan tangan demi menepis ketakutan yang membuat tangannya gemetar.

Di luar sana tidak ada sesuatu yang mengancam keselamatannya, justru ketakutan itu muncul dari hati dan pikiran Amberley.

Namun pada akhirnya Amberley tetap harus menghadapi kenyataan. Ia membuang napas panjang sebelum beranjak dari kursi. Tubuhnya yang mungil dengan lekuk memesona dan sintal di beberapa titiknya itu bergerak menuju pintu.

Ujung bawah gaunnya terseret-seret di lantai. Dia berjalan ke sebuah ruangan di mana anggota GATZ berada. Tadi itu Amberley berkata akan menyusul.

"Aley!"

Dirinya langsung disambut Gallan dan Titania yang sedang berbincang seru di sofa. Ada satu orang lagi, tapi dia hanya diam mengamati Amberley dari atas hingga bawah. Tatapannya seperti seorang pengantin lelaki yang terpesona akan kemolekan calon istrinya.

"Hai! Aku baru selesai dirias." Amberley melangkah mendekati mereka.

Ruangan ini tak sedingin ruangan sebelah. Amberley masih bisa tahan dan kulitnya pun bisa diajak kerja sama dengan baik. Maka, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.

"Geulis pisan ih!" Gallan memuji kecantikan Amberley.

Amberley menyahut, "Biasanya kalau Abang muji begitu pasti ada maunya."

"Enggak! Sekarang mah beneran terpesona sama Aley. Sayang pisan kamu tuh cantik, imut, pinter, baik, tapi jomblo." Gallan berseru heboh dan disusul tawa khasnya.

Kini Amberley berdiri di dekat Gallan sambil melipat tangan depan dada. "Emangnya kalau cantik enggak boleh jomblo?"

"Kudu punya partner atuh, Aley! Biar bisa berkembang biak ciptain makhluk-makhluk cantik atau ganteng lainnya," ceplos Gallan.

Titania menepuk paha Gallan sambil terkekeh. "Abang ngomong kayak gitu padahal Abang sendiri enggak laku ...."

"Bukan enggak laku, Titut! Abang pemilih. Udah empat ratus tiga puluh enam cewek Abang tolak," sahut Gallan.

"Astaga, banyak banget. Ternyata Abang laku," kejut Titania dengan tampang lugunya.

"Beneran Abang yang nolak atau Abang yang ditolak?" celetuk Amberley sambil menahan tawa.

Zae yang dari tadi bungkam itu sekarang dia menunduk seraya menutup mulutnya makin rapat. Ternyata dia menahan tawa juga karena ucapan Amberley. Mengetahui Zae hendak menertawakannya, lantas Gallan menampol lengan Zae.

"Calon pengantin baru enggak boleh ngejekin jomblo, ya, nanti. Biar gue doain lo cepet dapet momongan." Gallan berkata kepada Zae.

Senyum Amberley perlahan pudar mendengar perkataan Gallan. Calon pengantin baru. Sebutan itu memang tertuju untuk Zae karena begitulah kenyataan yang terjadi hari ini.

Gallan masih terus menuturkan kalimat-kalimat yang semakin menyadarkan Amberley bahwa Zae akan segera menjadi milik orang lain seutuhnya. Tidak ada yang menyadari saat ini Amberley dan Zae saling melempar pandang tanpa mampu berbicara. Diamnya mereka menahan sesak di masing-masing dada.

"Cie, Zae. Kamu jadi yang pertama nikah di GATZ." Amberley berujar ceria.

"Berarti nanti GATZ punya kepala rumah tangga." Titania bertutur.

Gallan merangkul Zae. "Entar ceritain rasanya malem pertama, oke?"

Zae sama sekali tak memindahkan tatapannya dari Amberley. Ia memang mendengarkan semua omongan mereka, tapi pikirannya dipenuhi oleh Amberley, perempuan yang begitu berat untuk ia 'lepas'.

Amberley sadar akan tatapan Zae, namun ia tidak memberi respons. Semakin lama Zae menatapnya, maka semakin cepat ritme jantung Amberley berdebaran. Kebawelan Gallan sangat berguna di sini karena kehadiran dia memecahkan rasa canggung di antara dua orang itu.

"Dua jam lagi acaranya dimulai." Titania berucap.

"Kita serasa pake gaun pengantin, ya, Ta," kekeh Amberley menatap gaunnya dan Titania bergantian.

"Malah kamu kayak pengantinnya, tau, Ley. Cantik banget." Titania tersenyum lebar, tapi seketika dia terkejut akan ucapannya sendiri dan menengok ke Zae. "Eh, maaf, Zae! Aku salah ngomong. Aku enggak bermaksud bandingin calon istri kamu sama Aley."

Zae menanggapi cepat, "Lo enggak salah ngomong, Tita. Aley emang cantik banget, kok. Kayak pengantin."

Dialog itu menimbulkan kebisingan Gallan lagi. Zae digoda dengan berbagai candaan ala Gallan yang membuat wajah Zae bersemu merah. Bukan cuma Zae, wajah Amberley juga merona.

Sebagai perempuan yang tak memiliki pilihan lain untuk situasi ini, Amberley hanya bisa meyakinkan diri bahwa dia sanggup menghadapinya. Dia bisa tanpa Zae.

Beberapa saat berselang, Gallan bertutur seraya bangkit dari sofa, "Hayu, siap-siap! Kita harus standby di gereja. Zae dijemput duluan, kan?"

"Iya. Nanti ke sana bareng Mamoya," balas Zae.

Perut Amberley melilit dikarenakan gugup kembali menghantui. Ia menghindari tatapan Zae yang terus terarah untuknya. Getar di dadanya tambah gila seiring waktu terus berputar tanpa bisa dihentikan.

"Aku ke toilet dulu," izin Amberley.

Amberley tidak bisa menampung pedih yang tertahan terlalu lama, hingga tiba-tiba ia pamit ke toilet. Titania menyadari ada sesuatu yang sedikit berbeda dari Amberley, tapi ia menghargai privasi sepupunya dan tak akan bertanya sebelum keadaan membaik.

Di toilet, Amberley menarik tisu dan mengelap pelan-pelan sebulir air yang muncul di sudut mata. Ia tak akan membiarkan riasannya rusak oleh tangisan. Bagaimana pun juga ini merupakan hari spesial Zae, dan Amberley ingin merayakannya dengan sukacita penuh.

Amberley telah berusaha mengubur sakit di hatinya, tapi usahanya seolah-olah memiliki batas yang tak bisa ia kendalikan. Desak tangis itu makin memaksa untuk dikeluarkan. Amberley kesal, ia merasa payah karena hanya menahan tangis pun tidak mampu.

Pintu toilet terbuka, mengejutkan Amberley yang spontan menoleh. Ia tersentak melihat Zae muncul. Lelaki itu menutup pintu dan mendekati Amberley yang membeku di tempat.

"Ini toilet perempuan," ucap Amberley.

"Kamu jalannya nunduk terus, ya? Ini toilet lelaki." Zae menyahut.

Amberley refleks memeriksa sekitarnya dan baru sadar terdapat deretan urinoar. Ketika ia sedang kebingungan melihat seisi toilet, Zae dengan lembut menangkup pipinya untuk menatap dia. Amberley yang tingginya hanya sebatas bahu Zae lantas menengadah.

"Jangan ditahan," ucap Zae nyaris berbisik seraya mengusap sudut mata Amberley.

Amberley mengatup bibirnya, ia tidak mau menangis di sini, di hadapan lelaki yang begitu dicintainya. Tapi, apalah daya ketika hati lebih menguasai raga dari pada pikiran.

Air matanya meleleh. Amberley menangis tanpa suara, itu membuat Zae sesak melihatnya seperti ini. Usapan Zae tak henti membelai pipi Amberley untuk menghapus buliran air yang turun terus-menerus.

"Aley," sebut Zae begitu lembut.

Amberley menutup mata saat Zae usap-usap pipinya. Ia menikmati sentuhan Zae yang mungkin untuk terakhir kali. Lelaki di hadapannya ini sebentar lagi akan menyandang status sebagai suami dari wanita lain.

Satu fakta yang tak akan berubah; Amberley tidak pernah menjadi yang pertama untuk Zae.

"Harusnya kamu enggak ke sini." Amberley bertutur, tentunya ia merasa tak enak hati berada di tempat ini hanya berdua Zae.

"Gimana bisa aku tenang liat kamu kayak gini?" sahut Zae. "Aku merhatiin kamu, Aley. Dari awal kita semua nginep di hotel ini, aku merhatiin kamu terus. Enggak mungkin kamu baik-baik aja."

Amberley tatap kedua iris cokelat itu sembari berucap, "Aku bisa urus diriku sendiri, Zae. Entah aku mau nangis, mau teriak, mau ngomel-ngomel sendiri ... kamu enggak perlu khawatir."

"Kamu Amberley-nya Zae, kan?" Lelaki itu menatap lekat Amberley.

Senyum Amberley terukir. Bukan senyuman bahagia, melainkan senyum kecut yang berujung miris. Amberley mengembus napas berat lalu menyentuh tangan Zae di pipinya dan membawanya turun.

"Aku punya kamu, tapi kamu bukan punya aku. Gitu?" papar Amberley. "Di mana letak adilnya?"

Kali ini perkataan Amberley tak terjawab oleh Zae. Embus napas Amberley menandakan dia sedikit lelah dengan keadaan, ditambah lagi Zae yang hanya membuat isi pikirannya makin runyam.

Segeralah Amberley bercermin untuk memastikan tidak ada riasan yang rusak. Setelah itu ia langsung meninggalkan tempat, membiarkan Zae sendirian di dalam toilet. Amberley mau Zae berpikir lebih panjang sebelum mengatakan sesuatu karena sesederhana apa pun sebuah kalimat, pasti memiliki makna tertentu bagi orang yang mendengar.

Sebelum Amberley meminta Zae berpikir, lelaki itu sudah sadar tindakannya memang salah. Zae sengaja tidak mengejar Amberley. Ia paham, mood Amberley akan semakin berantakan bila dikejar. Perempuan itu memerlukan waktu menenangkan diri sampai suasana hatinya kembali pulih.

Jadilah Zae hanya berdiri menghadap refleksinya di cermin dengan pandangan tertuju ke tuxedo putih yang ia pakai.

Tak seorang pun tau bahwa Zae yang memilih gaun Amberley agar senada dengan tuxedo-nya.

༻✽༺

Berjam-jam telah lewat dengan cepat. Pemberkatan pernikahan sudah terlaksana di gereja. Kini acara resepsi sedang berlangsung, berlokasi di Lonan Hotel dan dihadiri banyak tamu. Sepasang pengantin itu sibuk melayani permintaan foto bersama.

Setiap foto diabadikan penuh warna dan rasa. Semuanya nampak normal, hingga giliran GATZ naik ke pelaminan. Zae menarik Amberley ke sampingnya, dia membiarkan lengannya dipeluk sang istri, tetapi nampak lebih mesra dengan Amberley karena Zae merangkul pinggang Amberley dan meremasnya ringan.

Selesai berfoto, GATZ menjauh dikarenakan masih banyak yang mengantre. Bahkan saat Amberley jalan menjauh Zae tetap melingkarkan tangannya di pinggang itu, kemudian menggenggam tangan Amberley sekilas.

Momen spesial ini berlangsung lancar dan dipenuhi kehangatan. Para orang tua terharu menyaksikan Zae resmi menjadi suami untuk wanita pilihannya. Terlebih Amora, ibu kandung Zae, dia masih tidak percaya putranya bukan lagi bayi yang bila menangis harus ditimang-timang agar kembali tenang. Zae sudah dewasa.

Zae peluk Amora dan mengusap punggungnya penuh kasih sayang. Ia sangat menghormati dan mencintai sang ibu. "Zae sayang Mamoya. Walaupun Zae udah nikah, bukan berarti Zae ninggalin Mamoya. Zae tetep bayinya Mamoya. Bayi yang punya muka semirip Dadda."

Amora menangis hingga air matanya membasahi tuxedo Zae. Ia mengecup pipi Zae berulang kali dan Zae membiarkan ibunya melakukan itu sebanyak mungkin. Amora membelai lembut rambut Zae, kemudian menyatukan ujung hidung mancung mereka.

"Jangan lupa main ke rumah. Mamoya pasti seneng kalau Zae dateng," tutur Amora dengan mata masih terus berkaca-kaca.

Amora tentu akan merindukan kehadiran anaknya di rumah. Sejak Zae lahir sampai sebesar ini mereka hidup berdua, dan kini Amora harus sendirian karena Zae memiliki rumah baru untuk tinggal bersama istrinya.

Hati Zae pedih. Ia mengusap matanya sebelum air mata turun. Dengan sendu Zae berkata, "Mamoya beneran enggak mau tinggal sama Zae? Aku sama dia enggak keberatan."

"Mamoya enggak mau ganggu kalian. Ini hidup baru kalian, pasti rasanya kurang leluasa kalau ada Mamoya di sana." Amora bertutur pengertian. "Zae jangan mikir yang enggak-enggak soal Mamoya. Mamoya aman di rumah."

Sekali lagi Zae memeluk ibunya dan lebih erat seperti tak ingin berpisah. Ia berjanji pada dirinya untuk sering-sering menjenguk Amora, menemaninya hingga lupa waktu, dan menjaganya seperti Amora menjaga dia ketika kecil.

"Mamoya sayang banget sama Zae." Amora berucap lembut.

Zae mengangguk. Ia selalu merasakan kasih sayang Amora yang ditunjukkan lewat sikap, tatapan, dan tindakan. Tidak heran bila fakta menyebutkan wanita yang paling Zae cintai di dunia ini ialah Amora.

Pelukan mereka bersudah bertepatan para orang tua datang menghampiri. Alaia yang pertama memeluk Zae dan memberi selamat disertai menangis haru. Ia teringat kala dua anaknya, Atlanna dan Aishakar, menikah di beberapa tahun lalu. Rasanya sangat berat melepas mereka hidup bersama pasangan masing-masing.

Sesudah Alaia puas memeluk Zae, makhluk cantik jelita itu menyamperi Amora untuk dipeluk juga. Alaia memang suka peluk-peluk orang. Dia seperti anak kucing karena manis, lembut, imut, dan bikin orang-orang gemas terhadapnya.

Zae menelan saliva saat Bintang muncul tepat di depannya. Bintang melirik simbol salib terbalik di kening Zae yang memancarkan cahaya merah samar. Simbol itu hanya bisa dilihat sesama Dewa maupun Dewi Kematian. Selain itu tidak bisa, kecuali Dewi Alam yang kedudukannya paling tinggi dan hanya dipegang oleh Alaia.

"Bener-bener lo, ya." Ucapan Bintang membuat Zae mulai panik tapi juga bingung. Namun, kebingungan Zae seketika hilang saat Bintang menambahkan, "Bener-bener mirip banget sama Dae. Model rambut lo diginiin jadi makin mirip dia. Pasti emak lo nangis pas pertama kali liat lo begini."

Zae terkekeh. "Iya, Mamoya nangis, Om, Abah, Appa."

Bintang mendengkus. "Kebiasaan, semua sebutan diborong. Pilih salah satu! Pake sebutan Om, kalo lo ngerasa kita lumayan deket. Abah, kalo lo mau gue anggep bocah pungut. Appa, kalo lo mau jadi mantu gue. Hahahaha, yang terakhir bercand—"

"Appa." Zae menyeplos.

"Heh! Baru juga nikah." Bintang menepak lengan Zae. "Ngomong-ngomong, Appa belom kasih selamat."

Zae kikuk. Ia baru akan bicara lagi, tapi terhenti saat Bintang memeluknya tiba-tiba sambil mengucapkan selamat atas pernikahannya. Suasana tambah membuat Zae gugup ketika Langit dan Ragas ikutan memeluk dia. Jadinya mereka berpelukan berempat.

"Satu anak piyik udah nikah. Enggak siap kalo anak aing ikutan nikah," celetuk Ragas.

"Hooh, ih, aing jadi kepikiran ... Aley masih balita." Bintang menimbrung. Dia masih tidak terima kenyataan putrinya sudah berusia 22, bukan lagi anak kecil.

"Hayo sia. Aing mah nungguin mereka semua nikah biar makin rame keluarga kita." Langit bertutur semangat.

"Maneh belom ngerasain—"

"Udah, ye, asu. Aing yang duluan!" omel Langit, menyela perkataan Ragas.

"Oh, iye." Ragas cekikikan dengan muka berakhir melas.

Zae merasa sangat canggung. Dia tidak tau harus bertindak apa di posisi seperti ini. Ia dipeluk tiga pria yang sedang berbincang membahas anak-anak dan cucu.

Untungnya Amberley, Titania, dan Gallan muncul yang otomatis Zae terbebas dari pelukan tiga orang ini. Zae ditarik ke suatu tempat setelah pamitan ke para orang tua. Seperti biasa, dengan penuh kepasrahan Zae menyerahkan diri dibawa ke mana saja oleh mereka.

Tapi, langkah mereka semua terhenti ketika seorang wanita memanggil Zae. Yang dipanggil satu orang, dan yang menoleh empat orang. Wanita berambut merah pendek itu mendekat dengan gaun indah menyempurnakan tubuhnya.

"Sayang, aku cari kamu dari tadi." Jisa menangkup wajah Zae dan langsung mencium bibirnya.

Amberley mengalihkan pandangan sebelum ia menyaksikan adegan tersebut. Bahkan Zae langsung menoleh ke Amberley setelah Jisa menciumnya. Itu semua terjadi secara spontan.

"Mama dan Papa aku langsung pulang ke Rusia sekarang. Mereka buru-buru takut ketinggalan pesawat, jadi enggak sempet pamit ke kamu. Maaf, ya, Sayang. Aku jadi enggak enak ...," ungkap Jisa.

Zae menanggapi, "Ada pesawat pribadi, kenapa harus naik yang umum?"

"Aku enggak mau ngerepotin kamu." Jisa berkata.

"Jisa, itu enggak ngerepotin. Lain kali lapor ke saya setiap kamu butuh sesuatu," tutur Zae.

Jisa mengukir senyum lebar lalu mengecup bibir Zae lagi. "Makasih, Sayang. Kamu peduli banget sama aku."

Gallan tidak tahan ingin menggoda Zae, tapi ia segan melakukannya di hadapan Jisa. Maka Gallan buang muka, begitu pula Amberley dan Titania yang tak mau menonton adegan mesra Zae bersama Jisa terlalu lama. Perut mereka menggelitik.

"Kamu masih mau bareng GATZ?" Jisa bertanya. "Silakan, Sayang. Asal jangan terlalu lama dan kamu lebih baik di deket Gallan terus, biar cowok sama cowok, cewek sama cewek. Hehehehe."

Gallan akhirnya mengeluarkan celetukan. Ia menggandeng Zae sambil berkata, "Tenang, Jisa! Zae di deket gue terus, tapi jangan kaget kalo dia mendadak jadi belok."

"Ish, jangan gitu, Gallan!" Jisa mencubit lengan Gallan.

Jisa memamerkan senyum lebarnya ke mereka semua, tetapi senyuman itu perlahan sirna saat menatap Amberley yang tidak menatapnya balik. Jisa diam-diam menilik Amberley dari atas ke bawah, lalu menatap dirinya yang sebetulnya mengenakan gaun paling megah di sini.

"Kenapa gaun dia lebih cantik?" batin Jisa.

Jisa masih terus mengamati Amberley sampai figurnya menghilang dari padangan bersama anggota GATZ lainnya. Perasaan Jisa selalu tidak tenang setiap Zae berada di dekat Amberley. Ia merasakan ketakutan besar dan sering berpikir suatu hari nanti Amberley akan merebut Zae darinya.

Dengan wajah murung, Jisa berbalik badan dan berniat mencari minuman penyegar tenggorokan. Ia juga perlu menyegarkan pikiran dan hatinya yang terasa seperti terbakar.

Di lain tempat, Zae membuka pintu kamar dan membiarkan tiga orang itu masuk. Kamar ini ditata sedemikian rupa dengan pernak-pernik mewah sebagai hadiah untuk pengantin baru. Terdapat banyak kelopak mawar tersebar di atas kasur. Lampunya diatur menjadi remang demi meningkatkan kesan romantis.

"Wow! Gue nyesel buka lemari. Sorry, Zae, kirain isinya pakean biasa." Gallan terkejut dan terbahak keras.

Di lemari terdapat beberapa alat pelengkap olahraga intim, serta lingerie untuk Jisa yang Zae tidak tahu sejak kapan ada di sana.

Titania mengintip ke dalam lemari lalu menutup mata sambil tertawa kecil. "Baju renangnya Jisa cantik, tapi menurutku terlalu tipis."

"Itu baju buat olahraga uh-ah, Titut! Bukan baju renang." Gallan tergelak lagi.

Komentar Gallan berlanjut, "Tapi, Tita bener, baju dinasnya Jisa kayak kelambu ... tipis banget. Zae, jangan tegang sekarang lo!"

Amberley yang penasaran itu ingin melihat juga. Ia hendak melongok ke dalam lemari, tetapi Zae menahan dengan menggenggam pergelangan tangannya. "Enggak usah," gumam Zae.

Zae mengikis jarak sembari mendekatkan bibir ke telinga Amberley. Ia berbisik, "Aku mau tunda first night sama Jisa."

Amberley belum sempat bertanya kenapa. Perhatiannya teralih ke Gallan yang mengajak mereka ke tempat lain. Titania mengekor sambil berpegangan pada ujung kemeja Gallan yang dikeluarkan dari celana. Amberley menyusul, tapi lagi-lagi ia ditahan Zae tepat di ambang pintu, ia dibawa masuk ke kamar lagi.

Zae menutup pintu kamar, ia menahan pintu dengan punggungnya, kemudian menarik Amberley untuk dipeluk. Ia dekap tubuh mungil itu dan menghirup harum Amberley lewat ceruk leher. Amberley tidak berkutik, ia juga tak membalas pelukan Zae.

"I miss you." Zae berkata sendu. "I miss you so much, my girl."

Jantung Amberley mencelus. Ia merasakan betapa halus sentuhan Zae di kepala serta punggungnya. Amberley menahan kuat keinginan untuk menyambut pelukan itu, meski ia juga sangat merindukan Zae.

Zae mengakhiri sejenak rengkuhannya. Ia tidak berharap Amberley membalas karena sadar situasinya sudah berbeda, tidak seperti sebelum Zae menikah.

"Aku enggak ninggalin kamu." Zae berucap. "Kamu tetep punyaku."

Amberley menggeleng tidak terima. "Enggak bisa gitu, Varz—"

Tidak mau mendengar larangan, Zae langsung mencium bibir Amberley dan melumatnya tanpa jeda.

A M B E R L E Y

COVER BARU AMBERLEY! 🤍🖤 Ini punyaku, bukan dari Pinterest ya! Foto-foto karakter di bawah ini juga 🤍 kalau mau save silakan tapi tolong jangan dihapus, ditimpa, atau diedit watermark namaku

━━━━━━━━━━━

gimana chaptet 1 babygeng?! komentar yuuuk 🖤🤍

terima kasih selalu setia sama karyaku! ikutin terus perjalanan seru AMBERLEY yaaa 🤍🖤 jangan lupa share cerita ini ke orang-orang dan sosmed kamu! love you puuuul bebigeng 💜

FOLLOW IG:
@alaiaesthetic
@radenchedid

INSTAGRAM GATZ: @dreamy.gatz

SUBS CHANNEL TELEGRAM:
@BABYG3NG

TIKTOK MAMIGENG:
@radenze
@langitshakaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro