Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𝗦𝗘𝗟𝗔𝗠𝗔𝗧 𝗨𝗟𝗔𝗡𝗚 𝗧𝗔𝗛𝗨𝗡

Kamis Wage Malam Jum'at Kliwon, 30 April 2015.

Di sini, dia tidur di atas matras nan keras. Tak bergerak, menahan lara yang tidak bisa dijelaskan apa penyebabnya. Netranya membelalak, menatap kosong langit-langit kamarnya.

Kasihan, adalah kata pertama yang saya pikirkan begitu melihat kondisi anak ini. Di serambi depan sana, orangtua dan sanak saudaranya mengadakan hajatan untuk mendoakan kesembuhannya.

Sri adalah anak baik dan cantik semasa hidupnya. Sangat baik, malah. Namun ia bernasib malang akibat keteledorannya terlalu mempercayai bujang antah berantah yang entah asalnya dari mana.

Sri cinta kepada Budi. Cinta sekali sampai membuat anak itu keranjingan padanya. Tiada hari tanpa kata 'Budi' yang selalu keluar dari mulut itu, setiap kali kami berdua bertemu untuk berbincang-bincang.

Semua isi kalimat dari kata 'Budi' itu, berisi tentang bagaimana Budi memperlakukannya bagai Shinta yang dicintai oleh Rama, yang tentu saja menumbuhkan benih kecurigaan dari saya dan pihak keluarga.

Saya, keluarga, dan teman terdekatnya sudah sering sekali memperingatkan dia untuk berhati-hati kepada Budi, karena tidak ada satupun dari kami yang tahu bagaimana Budi. Siapa orangtuanya, rumahnya di mana, bagaimana gaya hidupnya, kami—bahkan Sri sendiri tidak begitu mengetahuinya.

"Ojok terlalu trisno karo bocah ngunuwi. Ati-ati, kalau kalian bertengkar bisa bahaya. Apalagi jika kamu memberitahu tahu weton kamu ke anak itu."

Masih saya ingat betapa seriusnya air muka saya saat mengatakan hal itu kepadanya.

Weton adalah privasi. Tidak boleh ada yang tahu selain diri sendiri, orangtua dan Sang Pencipta. Tanggal lahir Jawa itu, tidak boleh diketahui oleh sembarang orang, karena bisa fatal akibatnya dan berakhir disalahgunakan untuk ilmu hitam jika asal disampaikan.

Namun namanya orang sudah cinta, apa boleh buat. Wejangan orang lain pun hanya dianggap bagai kentut di perut kembung. Melegakan, tapi dilupakan.

Hingga pada suatu saat ketika saya tidak mendengar kabar sama sekali dari Sri selama tiga minggu. Dan selama tiga minggu itu, saya benar-benar tidak berani bertanya apapun tentang Sri, karena rasa sungkan saya kepada keluarga perempuan itu.

Namun dengan keberanian dan rasa penasaran, saya akhirnya bertanya, dan saya mendapat jawaban yang tidak pernah terbayangkan akan datang dari keluarga Sri yang alim dan agamis.

"Sri disantet."

Hati saya terasa terjun ke dasar ketika mendengarnya.

"Bagaimana... bisa?"

Adik dari Sri menjelaskan bahwa semua berawal dari cekcoknya mereka berdua akibat Budi yang tidak segera meminang Sri. Budi terus menolak ajakan Sri untuk berumah tangga dengan alibi bahwa ia masih belum punya cukup harta untuk membahagiakan Sri.

Usut punya usut, ternyata Budi menyimpan perempuan lain. Dia kembang desa sebelah, yang tentu saja kecantikannya melebihi Sri. Mereka kemudian bertengkar hebat, membuat keduanya akhirnya memutuskan hubungan dan Budi berakhir bersama si Kembang Desa itu.

Namun, entah kalimat apa yang disampaikan Sri pada saat mereka bertikai hingga membuat Budi sakit hati. Sejak perpisahan mereka berdua, Sri tidak bisa berhenti menangis histeris. Dan perlahan, semua badannya lumpuh total, meninggalkannya dalam kondisi kritis sampai saat ini.

Para dokter yang dipanggil untuk mengobati Sri, semuanya sepakat mengatakan bahwa Sri baik-baik saja. Berbagai cara dilakukan oleh keluarga Sri untuk menyembuhkannya, tetapi hasilnya nihil.

Hingga akhirnya mereka mendatangkan Dukun untuk Sri. Beliau mengatakan, bahwa Sri terkena guna-guna dari orang terdekatnya. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya, adalah dengan mendatangi si pengirim, meminta dia untuk mencabut guna-guna itu. Jika tidak bisa, maka jiwa Sri akan terus menderita hingga akhir hayatnya.

"Yakin kalau itu beneran Budi?" Saya sempat bertanya pada adik kandung Sri, Bhima, untuk memastikan kebenaran berita itu.

"Ya siapa lagi Mbak? Wong dee thok yang tahu weton Mbak Sri selain Bapak dan Mak. Nek misal santetnya dari keluarga yo ndak mungkin. Keluarga kami ndak ada masalah sama Mbak Sri kok," Bhima terdiam sejenak, lalu meneruskan perkataannya. "Emang jancuk Budi iku."

Saya diam. Rasa marah kepada Sri dan Budi perlahan memuncak. Saya merasa marah kepada Sri, karena dia dengan gobloknya tetap memberitahukan hal vital seperti itu kepada orang asing. Saya juga ingin melabrak dan menghajar Budi yang kini sudah lari bersama kekasih barunya, mengeluarkan ratusan sumpah serapah tepat di depan mukanya yang tidak tampan itu.

Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terjadi. Dan Budi juga sudah pergi entah kemana. Kini kami hanya bisa bersabar menunggu kesembuhan Sri.

Semua keluarga Sri menderita, terutama Ibunya. Beliau terus mengeluarkan tangisan setiap malam, meminta perlindungan Yang Kuasa untuk terus menjaga buah hatinya. Seperti yang saat ini dilakukan mereka di hari ulang tahunnya.

"Sugeng ambal warsa, Sri. Mugi ingkang diparingi berkah kaliyan Gusti," saya memegang jemari pucat anak itu. "Selamat ulang tahun, semoga cepat sembuh."

Suasana kamar itu terasa hening sesaat, ketika saya terbatuk tak lama kemudian.

"Uhuk! Aduh, ngelak."

Tenggorokan saya tiba-tiba terasa kering. Saya lupa bahwa saya tidak minum sama sekali sejak sore. Saya berniat berdiri untuk mengambil air, ketika saya merasa suasana di seluruh rumah ini sunyi dengan tiba-tiba.

Para dhayoh itu... ke mana mereka semua?

"Buk Cipto, Dhek Bima...?" Suara saya bergaung di serambi depan. Tiada jawaban.

Saya membelalakkan mata, segera berlari secara otomatis untuk memeriksa Sri yang rupanya masih terbaring di sana, meninggalkan hembusan napas lega dari saya.

'Ah, mungkin mereka semua sedang sholat.' Batin saya sembari berjalan menuju lemari pendingin di ujung ruang makan.

"Aminah."

"Siapa?" Saya langsung menolehkan kepala ketika mendengar suara seseorang memanggil nama saya.

Tiada seorang pun di sini.

Bulu kuduk saya mulai berdiri. Suasana rumah ini tiba-tiba terasa mistis. Seolah tidak ada orang sama sekali dan hanya saya di sini. Jangkrik pun, anehnya tidak bersahutan seperti biasanya.

Tunggu, tidak bersahutan?

Saya bergegas keluar dari ruang makan, menuju ruang tengah dan menemukan fakta bahwa jarum jam di sana telah berhenti bergerak.

Rasa panik seketika menjalar di pikiran saya.

Tidak mungkin waktunya terhenti, kan?

Saya membuka ponsel, yang syukur masih berfungsi. Namun jaringan telepon di sana, tidak menunjukkan satu batang pun. Saya menggigit kuku jari saya.

Bagaimana bisa hal ini terjadi?

Saya menunggu cukup lama untuk melihat jam di beranda layar telepon saya bergerak, tapi itu tidak terjadi. Tak hilang akal, saya mencoba menyalakan penghitung waktu mundur di telepon itu, namun sama, hasilnya nihil.

Penghitung waktu itu tidak bergerak sama sekali. Tetap bertahan di angka nol.

"Aduh... pie terusan iki?!" Saya mengucek mata.

Ada di mana saya sekarang? Apa yang terjadi?

Pertanyaan itu dengan berulang terus berada di pikiran saya. Saya hilang akal, kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Kenapa hal-hal tidak logis ini tiba-tiba terjadi pada saya?

"Aminah."

Suara itu muncul lagi, kali ini terasa jauh. Saya seketika berdiri, mengingat sesuatu yang pernah saya bahas dengan Sri beberapa bulan lalu.

"Kalau Mbak Kunti suarane iku jauh, biasanya dia ada di dekat kita. Kalau deket, biasanya dia jauh."

"Ah, mosok?"

Rasa tidak percaya itu saya sesali sekarang, karena tepat di belakang saya, bisa terasa rambut panjang perempuan dan tangannya memegang tengkuk saya, sembari terus membisikkan nama saya dengan pelan, tepat di telinga.

"Aminah."

"AH! JANGKRIK! YA ALLAH, KUNTILANAK!"

Saya berlari, tidak berani menghadap ke belakang karena tahu pasti, betapa ngerinya wajah dedemit ghaib di sini berdasarkan pengalaman orang-orang. Saya kemudian berlari menuju kamar Sri, yang kini tampak remang-remang.

Doa-doa pengusir jin tidak berhenti saya komat-kamitkan di kamar ini. Saya tidak pernah mengalami kejadian horor, tapi kenapa sekali mengalaminya, malah horor sekali seperti ini?

Saya mengutuk dalam hati, tetapi masih tetap mengucapkan doa-doa pengusir itu. Entah akan manjur atau tidak, yang penting doa saja.

Suasana rumah itu kembali hening. Suara yang memanggil nama saya sudah tidak ada.

Apa doanya manjur?

Saya berniat keluar dari kamar Sri, ketika lampu kamarnya mulai berkedip dengan aneh.

"Ya Allah, apalagi ini?!" Saya merajuk, pasrah dengan keadaan. Tenggorokan saya semakin sakit karena tidak jadi minum sama sekali.

"Aminah, cari Budi."

"Apa?"

Aduh, mampus. Suara itu lagi.

"Cari. Budi."

Saya menolehkan pandangan ke kanan-kiri. Kenapa suaranya terdengar seperti Sri?

"S-Sri?"

"CARI BUDI!"

PYAR!

Suara pecahan lampu seketika terdengar keras di kamar Sri, membuat saya menutup telinga karena suara ledakannya yang berisik. Saya kaget setengah mati, dan langsung terduduk dengan sekujur tubuh bergetar.

Sudahlah, saya pasrah sekarang. Saya pasrah!

Kaki ini tidak berhenti gemetar. Perlahan, di depan saya, Sri yang tertidur itu mulai membangunkan raganya. Badan saya melemas, ketika anak itu menghampiri saya.

Anak itu, penampilannya sangat menakutkan, mata melotot, kelopak menghitam, liur yang menetes ke mana-mana, ditambah dengan bau yang tidak enak menjalar di seluruh tubuhnya karena tidak mandi selama berbulan-bulan.

"Aminah."

"Sri?"

"Cari... Budi."

"Yok pie carane aku bisa nyari. Jangan nyuruh aja kamu bisanya, damput!" Karena panik, saya tidak sengaja melemparkan kata-kata kasar ke anak itu.

Sri hanya terdiam, pupil matanya mengecil, dan melanjutkan jalannya ke arah saya.

"AH!"

Entah karena marah atau bagaimana, Sri mulai berteriak, menghempaskan badan saya keluar dari kamar itu. Saya mengerang kesakitan, merasakan sakit menjalar seketika.

"Aduh... jangkrik!"

Umpatan keluar dari mulut saya lagi. Saat ini,  bukan rasa takut yang muncul di benak saya, melainkan rasa kesal terhadap sikap Sri yang egois dan seenaknya sendiri.

Budi ada di mana, dengan siapa, sekarang bagaimana, dia makan apa—mengapa saya harus peduli dengan bajingan itu?

Tidak mau kalah, saya berdiri, sekuat tenaga menjambak surai milik Sri yang kesetanan menghampiri saya. Anak itu mengerang, menatap saya dengan mata nyalang.

"APA, HAH? KAMU KIRA AKU BAKAL TAKUT SAMA SETAN GAK GUNA KAYAK KAMU?!"

Sri—atau mahkluk apapun yang merasuki Sri itu semakin menggila, mencengkeram leher saya dengan kuat, sampai kaki ini terangkat dari lantai dan melayang.

"S-sri! Uhuk!"

Saya berani bersumpah sakitnya terasa seperti sakaratul maut, walau saya belum pernah merasakan sakaratul maut itu sendiri. Tapi yang jelas, cekikan darinya itu membuat saya kehilangan napas. Gila, dari mana tenaga anak ini berasal? Saya tidak pernah berpikir bahwa Sri akan sekuat ini.

"Gi-gimana caranya aku cari Budi, bo-doh!

Sungguh, Sri ini sangat egois. Dia tidak menjawab saya, hanya semakin mengetatkan cengkeramannya di leher saya.

"Surabaya."

"Hah?"

"SURABAYA!"

Anak itu melepas cengkeramannya, melepaskan saya yang langsung terbanting ke lantai dan terbatuk-batuk. Saya sudah tidak bisa menghitung berapa kali saya dibanting olehnya.

"Surabaya? Uhuk- Kamu nyuruh aku ke Surabaya?"

"Grrrrh." Sri mengerang, sembari menganggukkan kepalanya.

"Pie carine? Surabaya iku luas, geblek!"

"AAAAARGH!" Anak itu berteriak lagi, bersiap untuk kembali membanting saya, tetapi saya tahan lengannya itu dengan sekuat tenaga.

"IYA WES, IYA-IYA! AKU CARIKAN BUDI!"

Anak itu melepaskan tangannya. Bahkan, saat kerasukan pun dia masih keranjingan dengan Budi.

Apasih istimewanya bajingan satu itu?

"Napo seh Budi iku, hah?" Saya bertanya kepada Sri dengan prihatin. "Kamu udah terlalu terobsesi sama anak itu. Move on, lah!" Saya mendesah kesal, sembari memegang tengkuk dan punggung saya yang mengalami kekerasan ini. Sudah dijamin, sakitnya pasti akan meninggalkan lebam di sana.

Dia akhirnya diam.

"Sri?"

"Aku... mati..."

Mati?

"Mati, mati kenapa maksudmu? SRI?" Saya terkejut ketika mendengar Sri mengatakan hal itu. "Mati bagaimana?"

Sri terdiam. Perlahan, wajahnya yang pucat dan memancarkan marah itu memudar, terganti dengan tatapan sedih darinya.

"Aku sudah mati."

Hati saya rasanya jatuh mendengar hal itu.

"Sudah mati? Ja-jangan bercanda, Sri!"

Kemarahannya sudah benar-benar hilang sekarang, berganti dengan Sri yang biasa saya kenal. Dia kemudian tersenyum nanar, menggeleng lemah dan menatap saya.

"Nak aku guyon, aku nggak mungkin bisa bawa kamu sampai ke sini."

"Tolong bawa Budi, Aminah. Biar aku bisa tenang. Tolong," Sri, dengan bola matanya yang akhirnya kembali normal sepenuhnya itu menatap netra milik saya.

"Kamu tahu kan, kesalahannya ada padamu sendiri?" Saya mengerutkan alis.

Bagaimana bisa saya mencari Budi, sementara Budi saja sudah pergi dari sini selama dua bulan, dan tidak ada siapapun yang tahu dia di mana?

Sri mengangguk lemah. "Aku weruh. Tapi aku minta bantuan, Aminah."

"Kamu minta bantuan, karena dengan santet dari Budi, kamu nggak bisa bebas? Jiwamu nggak bebas?"

Anak itu mengangguk dengan lemah untuk yang kedua kalinya.

Saya mengucek surai saya dengan keras. Ya Gusti, harus apa saya sekarang? Mengetahui fakta bahwa Sri sebenarnya sudah mati namun jiwanya masih terjebak di dunia membuat saya sedih sekaligus pusing.

"Gimana aku bisa tahu Budi ada di mana?"

"Nanti, kamu juga bakal tahu," Sri tersenyum lemah. "Waktunya kamu pergi, bukan tempatmu di sini. Aku titip salam ke Mak dan Dhek Bhima. Aku sayang mereka."

"Sri- tunggu!"

Anak itu kembali mencengkeram leher saya, kali ini jauh lebih kuat dari yang  pertama.

"Uhuk! SRI!"

Pandangan saya mulai memburam seiring dengan senyum tipis yang terbentuk di ujung mulut Sri. Badan saya melemah. Saya sudah tidak kuat lagi, dan memejamkan mata saya.

"Mbak Aminah. Mbak!"

Eh, sebuah suara?

Suara berat seorang lelaki, beserta goyangan keras di badan membuat saya membuka mata.

Loh, saya kira saya sudah mati.

"MBAK AMINAH! ALHAMDULILLAH SUDAH BANGUN!'

Bhima memegang bahu saya dengan panik sembari mengambil segelas air putih yang ada di meja kamar.

"Sebentar, Mbak. Minum dulu!"

Perintah Bhima langsung saya turuti. Satu gelas air habis seketika akibat dehidrasi.  Tenggorokan saya sampai sakit saat dibuat menelan air.

"Apa yang terjadi?" Saya mengusap dahi, merasa kebingungan.

"Sampean pingsan, Mbak!" Bhima meletakkan gelas yang saya minum. "Saya niatnya mau ngasih Mbak e maem sama minum, tapi Mbak Aminah tiba-tiba kejang-kejang di kamar Mbak Sri!"

Saya mengerutkan alis. Kejang-kejang?

"Saya kejang-kejang?" Saya kemudian mengambil cermin, melihat tengkuk saya yang membiru karena ulah Sri di mimpi saya.

"Iya, Mbak. Saya kaget sekali tadi. Satu rumah juga ikutan kaget. Terus saya bawa Mbak Aminah ke kamarnya Emak," terang Bhima. "Mbak Aminah punya penyakit apa?"

Saya menggeleng. "Nggak punya. Saya gak sakit apapun."

"Lha tapi kenapa--"

"Saya mimpi ketemu Sri tadi, waktu kejang-kejang." Saya memelankan suara. Fakta bahwa luka lebam saya tercetak dengan nyata di tengkuk, menandakan bahwa setan Sri yang saya temui di mimpi bukanlah setan biasa.

"Mbak...Sri?" Bhima mengerutkan alisnya. "Mbak Sri... mbak saya?"

"Iya."

"Bilang apa dia?" Bhima bangkit dari tempat duduknya, mendekatkan badannya ke arah saya.

Saya kini merasa kebingungan. Bagaimana saya mengatakan ke Bhima kalau Sri sebenarnya sudah meninggal?

"Sri bilang untuk titip kamu dan Buk Cipto... ke saya..." Saya menundukkan kepala sembari menunjuk diri sendiri. Sungguh, saya merasa sangat tidak enak menyampaikan kabar ini!

"Maksudnya? Mbak Sri? Mbak Aminah, jangan mengada-ngada, nggak mungkin Mbak Sri--"

Saya menggeleng, menandakan bahwa saya sama sekali tidak bercanda. "Dia wes gak onok. Saya nggak bohong, Bhim."

Bhima seketika terduduk lemas. "Mbak Sri... sudah meninggal?"

"Iya. Menurut Sri sendiri, wes sui meninggale. Tapi jiwanya nggak bisa kembali ke alam baka sampai sekarang. Ada yang menahannya, dan itu--"

"Santetnya," Bhima memotong perkataan saya. "Pasti santetnya, kan? BUDI JANCUK! BAJINGAN! Saya bakal cari anak itu bahkan sampai ke ujung dunia!" Suara Bhima kali ini menggelegar. Bhima, tentu saja sebagai adik kandung dari Sri merasa sangat tidak terima kakaknya diperlakukan seperti itu.

Saya hanya bisa menutup mulut ketika Bhima murka. Bagaimana reaksi Buk Cipto ketika tahu Sri sudah tiada? Pasti beliau akan sangat sedih begitu mendengar kabar ini. Saya, sebisa mungkin akan meminta Bhima menahan diri untuk menceritakannya.

Buk Cipto belum boleh mengetahui hal ini.

"Bhima, aku tahu sampean marah. Tapi jangan sampe Buk Cipto tahu masalah ini dulu ya," saya memegang pundak Bhima. "Takutnya bakal ngaruh ke kesehatan Ibukmu."

"Tapi Mbak, apa nggak lebih baik jujur saja?" Suara Bhima kali ini bergetar. Digelontorkan badannya itu dengan lemas di kursi yang ia duduki, sembari mengusap rambutnya frustasi.

"Jangan dulu," saya menarik napas panjang. "Cerita pelan-pelan. Sekarang, kita cari akar masalahnya dulu saja."

Perkataan saya hanya dibalas dengan anggukan lemah dari Bhima.

"Apa Mbak dibilangi sama Mbak Sri, posisi Budi di mana?"

"Dia mung bisa bilang 'Surabaya'."

"Dan tempat spesifiknya? Surabaya itu luas, Mbak."

Pertanyaan Bhima hanya bisa saya jawab dengan gelengan kepala. Bhima kemudian menghela napas, netranya berkaca-kaca karena berusaha menerima kenyataan bahwa kakaknya telah tiada.

"Yowes. Sekarang Mbak pulang dulu saja. Kita bahas soal bajingan itu besok. Mbak Aminah pasti kecapekan."

Bhima membantu badan saya untuk berdiri, dan mengarahkan jalan untuk keluar dari rumahnya. Kami berjalan, hingga sampai ke bilik Sri yang setengah terbuka.

Di dalam sana, ada Buk Cipto, yang tertidur dengan memegang tangan Sri yang saat ini masih tidak bangun—atau lebih tepatnya, tidak akan pernah bangun lagi.

Saya menahan air mata yang keluar dari pelupuk mata. Rasa sedih dan amarah menyatu di hati ini. Entah apa yang merasuki, saya kemudian bersumpah dalam hati; saya akan mencari dan menghancurkan hidup Budi dengan tangan saya sendiri. Hadiah ulang tahun Sri, adalah kehancuran hidup dari Budi.

Saya janjikan itu kepadamu, Sri.

☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎☠︎︎

Surabaya, 30 April 2017

"Silakan, Pak," Pria itu mengangguk sembari tersenyum senang, karena pada akhirnya ia mendapatkan pekerjaan setelah dua tahun menganggur.

Pekerjaannya cukup bagus, dia berhasil diterima di suatu perusahaan yang berfokus pada usaha mesin yang sangat digemarinya.

"Bapak akan saya arahkan ke ruangan Ibu Manajer yang akan menjadi atasan sekaligus partner kerja Bapak."

Dia kembali tersenyum dengan lebar, berpikir akan seperti apa cantiknya wajah atasannya kali ini. Jika cantik, maka dia akan dijadikan target selanjutnya.

Ia tidak pernah berubah sejak dulu.

Ia selalu mengincar perempuan, dan apa yang dia inginkan, selalu dia dapatkan. Sudah banyak perempuan-perempuan dibuat terobsesi olehnya; mengesampingkan rupanya yang sama sekali tidak tampan.

Ada keuntungannya dia menguasai Ilmu Pelet yang dipelajarinya. Namun akibat dari ilmu sesatnya itu, semua perempuan dia anggap makhluk yang lemah. Dia memanfaatkan mereka, menguras hartanya lalu meninggalkan mereka dalam kesedihan. Jika mereka membuat sakit hatinya, maka dengan mudah perempuan itu akan dibuat semakin tergila-gila dengannya, memintanya untuk tidak meninggalkan mereka.

Pintu ruangan itu terbuka, menampilkan wajah seorang perempuan cantik yang sedang duduk di meja kantornya. Namun, alih-alih terpesona, ia membelalakkan matanya, terkejut dengan wajah familiar yang ada di depannya.

"A-Aminah?"

Tidak mungkin... semuanya-termasuk teman-teman dari mantan kekasihnya, tidak pernah ada yang bisa menemukannya!

Tapi kenapa... dia bisa? Kenapa dia bisa menemukannya?

Wajah panik menghiasi pria itu. Keringatnya bercucuran, seiring dengan berdirinya wanita itu dari kursi kantor miliknya, diikuti dengan masuknya seorang pria ke ruang kantor sembari membawa dokumen yang ada di tangan.

"Bhi-Bhima?!"

Pria itu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum. "Oh, sudah datang?"

"Selamat bergabung. Semoga anda bisa menjadi rekan kerja yang baik," Aminah menyambutnya, disertai dengan seringai lebar dari keduanya. Bhima kemudian melanjutkan perkataan Aminah, "Selamat datang di perusahaan kami, Bapak Budi. Sudah lama, kami menantikan kehadiran anda di sini."

TAMAT.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro