One Shot
Perempuan berambut pirang yang diikat itu tak melepaskan pandangannya sedetikpun dari sebuah buku yang berada di hadapannya. Sesekali jemarinya bergerak untuk membolak-balik lembaran buku itu.
Ekspresi wajahnya terlihat serius, namun sesekali kedua sudut bibirnya terangkat. Terkadang ia meringis dan memekik pelan seraya membelalakan mata tanpa sadar, menatap deretan tulisan itu dengan mata berbinar.
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh, namun seseorang yang ditunggunya masih belum juga datang. Sementara menunggu, ia berpikir untuk membaca salah satu novel romansa yang dipesannya dari toko buku di Liyue. Ternyata, isi novel itu benar-benar romantis, rasanya ia ingin menjadi karakter perempuan di novel itu, memiliki kekasih yang kuat, tampan dan perhatian.
Sejak tadi ia sudah menahan diri, namun ia tidak tahan lagi. Ia berada di dalam kantornya dan seharusnya tidak ada seorangpun yang akan mengunjunginya di jam segini. Kaeya pasti sedang menikmati winenya sekarang, Lisa mungkin sedang beristirahat di rumahnya. Para ksatria juga tidak mungkin mengunjungi ruangannya.
Jean meletakkan bukunya di depan dada lalu memeluk tubuhnya sendiri. Dengan wajah memerah, ia menjerit, "AAAAAAHHH! AKU JUGA MAU DIPELUK TUAN LAO! AAAAAAAHHHHH!"
Tepat ketika ia menjerit, pintu ruangannya mendadak terbuka. Lelaki bertubuh tinggi dengan rambut merah yang terikat memasuki ruangan. Raut wajah lelaki itu sesaat tampak terkejut menyadari apa yang sedang dilakukan perempuan berambut pirang itu dan ia terdiam, tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Jean terkesiap begitu menyadari bahwa sang tamu yang tadi ditunggunya kini sudah berada di hadapannya. Seketika ia terdiam dan wajahnya memerah. Ia bahkan sampai tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Jika diperhatikan dari ekspresi sang tamu, ia berani bertaruh kalau lelaki itu sudah melihat apa yang baru saja ia lakukan. Rasanya mendadak ia ingin menghilang saja, bagaimana bisa seorang Acting Grand Master yang seharusnya menjadi teladan bagi para ksatria serta melindungi masyarakat terlihat sedang melakukan hal konyol begitu? Bisa-bisa masyarakat malah menjadi ragu akan kinerjanya. Kalau Grand Master Varka tahu apa yang ia lakukan selama lelaki itu pergi misi, lelaki itu pasti merasa tidak tenang.
"A-ayo duduk. Mau minum teh? Kopi? Atau air mineral?" ucap Jean dengan canggung meski ia berusaha keras terlihat tenang.
Diluc hanya diam dan memandang perempuan itu. Selama ia mengenal perempuan itu sebelum mereka bergabung di Knight of Favonius hingga ia mengundurkan diri, belum pernah sekalipun ia melihat Jean bersikap tidak serius. Tak peduli seberapa lelah perempuan itu, ia selalu siap kapanpun dibutuhkan.
"Air mineral."
Jean segera berjalan menuju rak lalu mengambil sebuah nampan. Ia meletakkan dua buah gelas serta sebuah teko berisi air di atasnya, lalu membawa ke meja serta menuangkan air ke dalam gelas. Tidak hanya itu, ia juga membawa apel dan sunsetia yang sudah dibersihkan dan dipotong di atas piring kecil serta peralatan makan.
"Maaf, aku tidak punya makanan apapun untuk dihidangkan," ucap Jean dengan perasaan bersalah karena tidak menyuguhkan makanan yang layak untuk sang tamu.
"Aku bukan datang untuk makanan."
Jean terdiam. Sang mantan senior yang dulu begitu dikaguminya bukan lagi sosok yang sama dibanding kali pertama mereka bertemu. Lelaki itu bukanlah orang yang bermulut manis sejak awal, namun setidaknya sedikit lebih ramah dibanding sekarang.
"Aku tahu. Aku cuma merasa tidak enak menyajikan makanan yang kurang layak untuk tamuku."
Diluc mengangkat cangkirnya dan meneguk segelas air, kemudian mengambil sepotong buah segar yang disajikan untuknya. Ia masih tak bisa sepenuhnya melupakan teriakan perempuan itu dan mulai khawatir kalau Jean sudah gila. Ia merasa perlu memastikannya, kalau tidak, bagaimana mereka akan melanjutkan urusan mereka?
"Siapa Tuan Lao?"
Pertanyaan sang tamu membuat Jean terkesiap. Ia bahkan hampir menjatuhkan cangkir yang baru saja dipegangnya.
Ada apa dengan lelaki ini? Tidak biasanya lelaki itu menanyakan apapun yang sama sekali bukan urusannya.
Jean tidak memiliki pilihan untuk menjawab. Meski ia tahu Diluc tidak akan membocorkanya ke manapun, ia tetap harus memastikannya sendiri.
"Tolong lupakan apa yang tadi kau lihat. Tuan Lao itu karakter fiksi di novel."
Diluc tak menyahut. Ia masih tak sepenuhnya pulih dari keterkejutannya. Ia tahu kalau sebagian perempuan mengidolakan lelaki tertentu sebagai sosok pasangan idaman mereka. Sepertinya ia sendiri diidolakan beberapa perempuan di Mondstadt, meski ia sendiri tidak mengerti apa yang dilihat para perempuan itu dalam dirinya. Beberapa keluarga bahkan berniat menjodohkan anak perempuan mereka padanya, yang semuanya ia tolak.
"Tujuanku mengundangmu ke sini untuk menginformasikan soal pembukuan Dawn Winery yang sudah selesai kukerjakan."
Di Mondstadt, pajak dihitung oleh petugas khusus yang kemudian menentukan jumlah yang harus dibayar. Mengingat Dawn Winery adalah usaha yang penting bagi aspek ekonomi dan pariwisata Mondstadt, sang acting grand master lah yang melakukan penghitungan sendiri. Tahun lalu bahkan Dawn Winery menyumbang lebih dari lima persen dari seluruh pendapatan pajak di Mondstadt.
Diluc sedikit berharap kalau pajak tahun ini akan menurun mengingat kerusakan yang terjadi pada usahanya maupun berbagai wilayah lainnya akibat insiden Stormterror beberapa waktu yang lalu. Haruskah ia melakukan negosiasi? Ia belum pernah mencobanya, namun ia dengar pajak bisa dinegosiasikan dalam situasi tertentu.
"Mengingat insiden yang terjadi beberapa bulan lalu, sesuai hukum pajak Mondstadt bab perlindungan terhadap usaha, terdapat pengurangan pajak. Setelah melakukan perhitungan, pajak Dawn Winery dikurangi 20 persen dari tahun lalu."
"Ini sudah maksimal?"
Jean mengangguk seraya memperlihatkan file berisi hasil penghitungan, "Ya. Sudah kuusahakan pengurangan semaksimal mungkin."
Perempuan itu lalu menjelaskan panjang lebar soal penghitungan pajak serta oengurangan yang ada. Sesekali ia berhenti sejenak untuk menatap sang lawan bicara sebelum kembali melanjutkan penjelasannya,
"Jadi tenggat pembayaran pajaknya sampai tanggal 30 bulan April."
"Oke."
Jean menyadari gelas sang lawan bicara sudah kosong, lalu ia berinisiatif menuangkan air sebelum mengisi gelas miliknya sendiri. Sebetulnya sudah tidak ada lagi hal yang ingin ia katakan pada sang lawan bicara, namun entah kenapa ia tak berharap lelaki itu segera pergi.
Sejak tahun lalu ia pasti akan bertemu dengan lelaki berambut merah itu setidaknya satu kali untuk membahas soal pajak. Tahun depan dan bertahun-tahun setelahnya akan tetap sama, kecuali kalau lelaki itu kembali melakukan perjalanan selama bertahun-tahun atau maut yang memisahkan mereka. Sekalipun Grand Master Varka kembali, lelaki itu tampaknya tak berniat melakukan hal semacam ini.
Bertahun-tahun telah berlalu sejak kali terakhir mereka berdua bertarung bersama. Meski lelaki itu telah meninggalkan Knight of Favonius dan memilih jalan yang berbeda, perasaannya tetap sama. Ia tetap mengagumi sang pewaris Dawn Winery sebagai seorang ksatria.
Ia mengagumi dedikasi lelaki itu yang melindungi kota dengan caranya sendiri. Sesungguhnya ia memahami lelaki itu memiliki alasan untuk tidak sepenuhnya percaya pada Knight of Favonius. Meski ia tak berani mengekspresikannya secara terbuka kepada publik, ia mendukung lelaki itu bukan sebagai seorang acting grand master, melainkan sebagai Jean Gunnhildr.
Diam-diam ia merasa berterima kasih karena lelaki itu bahkan masih repot-repot turun tangan dan mengorbankan waktu, tenaga serta pikirannya demi melindungi Mondstadt. Bebannya akan semakin berat seandainya lelaki itu tidak melakukan apa yang ia lakukan. Dari sisi ekonomis, Mondstadt juga mendapat keuntungan karena ada seseorang yang bekerja tanpa menerima gaji.
"Terima kasih. Semoga sukses."
Diluc berpikir kalau perempuan itu mengucapkan terima kasih terkait pembayaran pajak. Ia hanya menganggukan kepala sebagai reaksi.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih beberapa menit. Rasanya tak sopan jika ia berlama-lama di kantor sang tamu. Ia memutuskan menghabiskan buah yang disuguhkan untuknya, lalu meneguk air serta menegakkan punggung yang semula bersandar di kursi.
"Kurasa sudah waktunya aku pergi. Kau akan tetap berada di kantormu?"
Jean melirik buku yang masih berada di atas meja. Malam ini ia berencana membaca novel di kantornya dan bermalam di ruangannya. Namun ia merindukan kasur empuk dan mendadak ingin berubah rencana meski tidak biasanya ia begini.
"Aku akan pulang sebentar lagi."
"Kuantar."
Siapapun yang cukup rasional akan menyadari bahwa Diluc hanya menjalani perannya sebagai seorang gentlemen. Sejak kecil lelaki itu tumbuh dengan standar ketat sebagai calon pewaris keluarga Ragnvindr, termasuk didikan langsung dari sang ayah mengenai bagaimana berperilaku. Tidak peduli setajam apapun mulutnya, ia tetap akan menjaga image di hadapan publik.
Ia menyadari bahwa Jean akan baik-baik saja berjalan pulang sendirian. Jean bisa dianggap sebagai perempuan terkuat di Mondstadt. Ia yakin perempuan itu bahkan lebih kuat dari sepuluh atau mungkin lima puluh ksatria berpangkat rendah. Namun ia tetap akan berinisiatif mengantar perempuan itu sebagai keharusan.
Bagaimanapun juga, ia tak ingin mempermalukan mendiang ayahnya. Bisa-bisa orang membicarakan ayahnya yang tidak mendidik putra semata wayangnya dengan benar. Ia tidak suka membayangkan hal itu.
Jean menatap mata merah lelaki itu. Ia tahu bahwa lelaki itu hanya melakukannya sebagai bentuk sopan santun. Ketika mereka baru kembali dari misi, lelaki itu selalu mengantarnya tak peduli selelah apapun dirinya. Biasanya ia selalu menolak karena merasa bahwa dirinya adalah ksatria meski seorang perempuan sehingga tidak seharusnya membiasakan dilindungi. Namun lelaki itu akan sedikit bersikeras. Kali ini, di dalam lubuk hatinya ia tak ingin menolak, namun ia perlu menolak dengan pertimbangan rasional.
"Tidak masalah. Aku malah mengkhawatirkan pendapat orang-orang kalau melihat kita berjalan berdua. Bisa-bisa mereka salah paham."
Diluc menyadar eksistensinya yang mencolok di mata publik. Dulu ketika ia masih menjadi ksatria, hanya dengan berjalan bersama Kaeya saja sudah sanggup membuat atensi tertuju pada mereka berdua.
"Aku akan sangat malu kalau sampai diketahui membiarkan seorang perempuan berjalan pulang sendirian menjelang tengah malam."
Jean tersenyum, "Kalau perempuan yang dimaksud adalah aku, kurasa orang-orang akan mengerti."
Diluc menatap Jean lekat-lekat. Tak peduli sekuat apapun, ia menyadari perempuan itu terlihat imut terlebih setelah melihatnya berteriak setelah membaca novel romansa. Bagaimanapun juga, Jean masih seorang perempuan.
"Maksudmu perempuan yang berteriak-teriak ingin dipeluk karakter novel, hm?"
Jean memalingkan wajahnya seketika. Tidak biasanya lelaki itu membuat komentar macam ini dan ia merasa malu. Ia bergegas membereskan barang-barangnya dan berkata, "Yang tadi itu tidak akan terjadi lagi. Jadi tolong dilupakan saja."
Diluc tak menyahut. Diam-diam ia sedikit mengangkat sudut bibirnya, lalu mengulumnya setelah beberapa detik dan kembali mempertahankan ekspresi datar. Perempuan itu lucu juga.
.
.
Lelaki berambut merah itu berdiri dengan santai di area bar. Ia merasa senang malam ini, Angel's Share sedang tidak begitu ramai. Seandainya tavern itu ramai, ia tidak bisa fokus mendengarkan percakapan beberapa pengunjung di sana. Lagipula membuat terlalu banyak pesanan juga melelahkan.
Ia melirik si penipu ulung dari Knight of Favonius yang sedang duduk di sudut ruangan bersama beberapa petualang dari Adventure's Guild. Ia sedikit menajamkan telinga, apa lagi yang dilakukan si mata-mata Khaenri'ah itu bersama para petualang?
"Aku pernah mendengar cerita seniorku dulu. Di Snezhnaya, meskipun dingin namun banyak perempuan cantik," ucap seorang penjelajah yang sudah mulai mabuk.
"Maksudmu negeri para diplomat Fatui itu?" ucap penjelajah lain seraya menenggak alkoholnya.
"Ssst! Kecilkan suaramu. Jangan sebut nama mereka sembarangan," ucap si penjelajah yang sudah mabuk seraya menempelkan jarinya.
Kaeya, si penipu ulung itu, hanya tertawa. Lelaki itu menanggapi, "Kalau melihat wajah para diplomat perempuan mereka, kurasa ucapan seniormu mungkin benar."
"Payudara mereka juga besar-besar. Rasanya aku ingin meremasnya, pasti lembut," ucap si penjelajah yang sudah mabuk sambil menghabiskan alkoholnya lalu membuka sebotol bir.
Diluc sejak tadi hanya mendengarkan berbagai gosip yang ada. Telinganya bagaikan antena yang berusaha menangkap berbagai siaran. Di hari tertentu, ia berhasil mendapat informasi penting. Di hari lain, tidak sama sekali. Mungkin hari ini bukan hari keberuntungannya, ia sama sekali tidak mendapat informasi penting meski tiga jam lagi adalah waktunya ia pulang.
Entah kenapa Diluc mendengkus secara refleks setiap mendengar pembicaraan soal perempuan yang mengarah pada hal-hal berbau seksual meski raut wajahnya tetap datar. Ia malah tidak nyaman dengan pembicaraan semacam itu. Sebagai pria dewasa heteroseksual, tentu saja ia pernah tertarik pada perempuan. Namun ia merasa pembicaraan soal tubuh perempuan, apalagi soal bagian tubuh tertentu membuatnya risih.
Mungkin ia beruntung, atau justru tidak beruntung, sepertinya sebagian sifat dari sang ayah menurun pada dirinya. Sang ayah, Crepus, mengajarkannya soal cara menjadi gentlemen, dan ia yang menghormati sang ayah sepenuhnya mengikuti apa yang diajarkan lelaki itu. Sang ayah tampaknya juga bukan pria yang tidak bisa hidup tanpa seks, buktinya lelaki itu bahkan tidak menikah lagi sejak kematian ibunya. Ia pun seringkali terlalu sibuk untuk berpikir soal seksual.
Ia melirik Kaeya yang lagi-lagi hanya tertawa sebagai reaksi. Ia memandang lelaki itu dengan tatapan mencemooh. Menjijikan sekali menyaksikan seorang ksatria malah ikut tertawa dalam pembicaraan semacam itu.
"Berhubung Snezhnaya negeri yang jauh, perjalanan ke negeri mereka juga jauh. Iklimnya juga dingin, cuacanya tidak bersahabat. Namun aku ingin menabung dan pergi ke sana. Mungkin saja aku bisa tidur dengan salah satu dari mereka," si penjelajah yang sudah mabuk itu kembali berucap.
Diluc segera mengambil jus anggur untuk dirinya sendiri. Ia menenggaknya hanya untuk sekedar memperbaiki suasana hatinya. Padahal ia bukan perempuan, kenapa ia malah merasa ingin segera kabur dari tempat ini? Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan tidak berbobot seperti itu. Rasanya ia berharap Charles segera tiba dan menggantikannya.
"Kupikir negeri kita beruntung juga. Kita memiliki acting grand master yang kuat dan bertubuh seksi. Aku merasa aman dilindungi perempuan cantik seperti itu. Kurasa kau beruntung bisa bekerja di bawah perempuan seksi begitu," ucap si penjelajah yang mabuk pada Kaeya.
Kaeya menyahut, "Aduh, hati-hati membicarakannya. Biar cantik, dia itu sangat tegas. Jangan berpikiran yang aneh-aneh kalau soal dia."
"Begitukah? Aku pernah sekali melihatnya dari kejauhan. Menyaksikannya berjalan dan payudara itu berguncang-guncang, sungguh menggoda."
Diluc merasa tidak tahan lagi. Rasanya ia ingin melemparkan gelas yang sedang dipegangnya ke kepala laki-laki mesum itu. Ia segera menghampiri meja itu dan berkata, "Maaf, sepertinya bar kami sudah mau tutup."
Kaeya melirik sang saudara angkat. Ia tahu lelaki itu bukanlah orang yang paling ramah, namun setidaknya tidak akan mengusir pelanggan kecuali mengacau. Ia mengernyit, "Oh, barmu ada jam tutup sekarang?"
"Ada, khusus hari ini."
Kaeya menyeringai. Mengamati lelaki itu selama lebih dari lima tahun sebagai bagian dari misi membuatnya bisa membaca maksud lelaki itu. Jangan-jangan lelaki itu menguping pembicaraan mereka, lalu merasa tidak senang sehingga mengusir secara halus.
"Hmm ... begitu? Kupikir kami diusir."
Diluc tak bergeming. Ia tahu Kaeya berusaha memprovokasinya dan ia tidak ingin terperangkap. Sebetulnya ia merasa emosi hingga tak berpikir panjang. Sekarang apa alasan yang harus ia gunakan?
"Aku mendadak kurang sehat."
Pencahayaan tavern yang remang-remang membuat wajah Diluc tak terlihat jelas. Namun ia memutuskan berpura-pura terlihat tidak sehat. Sayangnya, ia bukan seorang aktor yang sangat ulung, juga sedang malas bersandiwara. Ia tak terlihat meyakinkan bagi orang yang jeli.
Sebagai seorang pengusaha, tentu saja Diluc tak suka merugi. Ia segera mengumumkan kalau ia mendadak harus menutup bar lebih awal dan memberikan diskon lima puluh persen sebagai kompensasi. Sebetulnya, ia masih untung tipis.
.
.
Jean merasa dirinya begitu aneh. Terkadang, ia begitu ingin memiliki kisah cinta seperti di novel romantis. Meski ia juga membaca buku-buku sejarah yang sama sekali tidak romantis, kecintaannya terhadap novel romantis tidak juga berkurang.
Ia sudah membaca buku sejarah Mondstadt berulang kali, khususnya bagian tentang Venessa. Ia begitu mengagumi Venessa dan berharap agar dirinya juga bisa melindungi Mondstadt seperti yang dilakukan sang pelopor Knight of Favonius. Ia ingin menjadi lebih kuat, namun juga ingin memiliki kisah cinta romantis. Padahal dua hal itu sepertinya tidak begitu sinkron.
Beberapa hari yang lalu, Diluc mengantarnya kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya melangkah dalam keheningan tanpa bertukar kata. Ketika sampai di depan rumah, lelaki itu bahkan hanya berpamitan dan bergegas pergi, tanpa mengobrol sama sekali. Ini jelas-jelas tidak mirip di adegan novel romantis. Namun pikiran Jean malah membayangkan hal-hal romantis.
Mendadak ia berpikir, bagaimana kalau seandainya ia adalah karakter perempuan di novel dan Diluc adalah karakter prianya? Bersama dengan Kaeya, ia memegang rahasia lelaki itu, namun lelaki itu juga memegang rahasianya. Ia tahu kalau lelaki itu adalah sosok yang dijuluki dark knight hero, namun lelaki itu jelas berbeda dengan karakter di novel romantis.
Bagaimanapun juga, ia lumayan mengenal sang mantan atasan. Seromantis apapun situasinya, kalau hal itu menyangkut Diluc, situasi pasti akan menjadi tidak romantis sama sekali.
Jean segera meremas kedua tangannya sendiri, bagaimana bisa hal konyol begitu menganggu pikirannya? Ia pasti terlalu banyak membaca novel hingga berpikiran aneh-aneh. Mulai malam ini hingga bulan berikutnya ia tidak boleh membaca novel romansa lagi.
Ia segera mengambil tumpukan kertas di atas mejanya, berisi laporan dari warga. Terkadang laporan warga bisa begitu beragam, mulai dari permintaan menangkap kucing yang hilang , melaporkan tetangga yang menganggu hingga hal-hal yang meresahkan, misalnya penampakan camp hillichurl di dekat kota atau kasus kriminal.
Kali ini, ada laporan soal camp hillichurl yang muncul tidak begitu jauh dari kota. Laporan itu baru tiba pagi ini dan seharusnya ia bisa saja menugaskan Kaeya untuk pergi. Namun ia butuh sesuatu untuk menjernihkan pikiran. Membasmi camp hillichurl seharusnya tidak akan memakan terlalu banyak waktu, meski kalau sedang sial bisa sedikit merepotkan kalau menemukan mitachurl.
Ia segera bangkit berdiri dari kursinya, bersiap mengumpulkan beberapa ksatria yang sedang tidak bertugas. Ia berharap pikirannya akan lebih jernih setelahnya.
.
.
Selama dua puluh tahun pertama hidupnya, belum pernah sekalipun Diluc memikirkan soal pernikahan. Baru pada tahun ke-21 dia memikirkannya, satu atau dua kali. Pasalnya, setiap kali mengingat mendiang sang ayah, lelaki itu mengingat segala hal soalnya termasuk cerita sang ayah yang menikah di awal usia dua puluhan.
Diluc menyeringai sinis membayangkan soal pernikahan. Terkadang dia juga menguping pembicaraan soal beberapa lelaki yang sudah menikah di tavern dan dia menyadari bahwa pernikahan bukan cuma soal seks bersama perempuan secantik mungkin. Yah, sebenarnya dia bisa saja mendapatkan perempuan secantik mungkin dengan kekayaan dan koneksinya, kalau perlu dari negara lain.
Kalau sudah membahas soal menikah, dia perlu memikirkan bagaimana menemukan perempuan yang tepat, termasuk soal kepribadian yang sesuai. Masalahnya dia tidak tahu soal perempuan mana yang sesuai dengan tipenya.
Padahal, menurutnya tipe perempuan idamannya tidak muluk-muluk amat, kok. Ia tidak mensyaratkan perempuan itu wajib berasal dari keluarga bangsawan atau setidaknya keluarga kaya. Tujuan utama dalam hidupnya bukan meningkatkan kekayaan.
Perempuan idamannya juga tidak perlu super cantik. Malahan entah kenapa dia kurang tertarik dengan perempuan yang terkesan terlalu rapuh. Lagipula tiga puluh tahun lagi wajah si perempuan akan berkerut.
Ia cuma ingin perempuan yang baik, independen dan menerima dirinya, termasuk sisi gelapnya. Ia juga tidak berharap si perempuan menuntut terlalu banyak. Bisa-bisa waktunya habis hanya demi memenuhi tuntutan si perempuan, misalnya mengadakan perjamuan mewah terus menerus, pakaian terbaik, dan sebagainya.
Mendadak ia teringat dengan seorang gadis kecil berambut pirang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya bersama sang ibu. Ibu gadis itu berbicara dengan ayahnya, sedang gadis itu malah memperhatikan tumpukan buku di rumahnya.
Ia masih ingat ketika gadis kecil itu terkesima saat matanya mendapati sebuah buku tebal berisi sejarah keluarga Gunnhildr lalu memekik, 'Loh! Bagaimana kau bisa memiliki buku ini?'
Dia terkejut. Ia mengira, ia harus memaksakan diri untuk melakukan konversasi membosankan dengan gadis itu. Ia bahkan memutar otak mengenai topik pembicaraan yang harus ia bahas.
'Buku ini sudah lama berada di rumahku.'
Begitu sahut Diluc kala itu. Ia sendiri belum selesai membacanya karena buku itu begitu tebal. Ia sendiri bertanya-tanya kenapa buku tua itu bisa berada di rumahnya.
Kemudian, gadis kecil itu menceritakan soal bagaimana ia begitu menyukai kisah Lady Venessa di bagian awal. Bahkan gadis itu sudah membacanya berkali-kali.
Diluc menyentuh dadanya secara refleks. Terkadang ia merindukan masa lalu dan hal itu membuat hatinya terasa sakit. Ia bahkan menuliskannya secara anonim di papan Cat's Tail tavern. Meski si pemilik tavern menyadarinya, ia tak tahu apakah ada orang lain yang menyadarinya?
Namun ketika mengingat si gadis kecil pirang yang berakhir dengan membahas buku sepanjang hari, lalu membahas soal latihan yang dilaluinya demi menjadi seorang knight, Diluc malah merasa senang. Kala itu, ia bahkan merasa agak kehilangan ketika sang tamu pulang.
Waktu telah berlalu. Sekarang, Kaeya, si saudara angkat, telah menggantikanya sebagai seorang kapten. Perempuan berambut pirang itu bahkan sudah melampauinya. Ia turut merasa senang, meski di satu sisi ia khawatir karena perempuan itu tampaknya begitu mendedikasikan diri pada orang lain dan kewajibannya hingga lupa memperhatikan diri sendiri.
Ia tidak sadar kalau wajahnya merona. Sudut bibirnya bahkan sedikit terangkat tanpa sadar. Ia selalu begitu kalau mengingat perempuan berambut pirang itu.
.
.
"Yo! Aku ingin melaporkan info menarik buatmu."
Jean menatap lelaki berkulit gelap dengan rambut biru yang terikat itu. Ia yakin informasi itu pasti sebenarnya penting, makanya lelaki itu sampai repot-repot datang ke kantornya.
"Laporkan."
Kaeya menyeringai, lalu berkata, "Pergerakan Abyss Order yang waktu itu dilaporkan di Falcon Temple mendadak menghilang. Seseorang sudah mengatasinya."
Kening Jean berkerut dan ia menyahut, "Seseorang?"
Kaeya kembali menyeringai, "Kau pasti sudah tahu. Atau aku harus menyebutkannya?"
Jean menghembuskan napas keras-keras. Di satu sisi, ia merasa bersyukur karena sang mantan atasan yang sangat bisa diandalkan itu tak benar-benar meninggalkan tanggung jawabnya atas Mondstadt meski tak lagi bergabung dengan Knight of Favonius. Kalau hal itu ditangani Dilluc, ia sama sekali tidak khawatir. Namun di sisi lain ia tidak bisa terus membiarkan seseorang yang bukan bagian dari Knight of Favonius melakukan hal-hal semacam itu.
"Aku tahu. Cuma ... tidak seharusnya begini. Seharusnya salah satu dari kita yang menangani ini, bukan orang luar," ujar Jean seraya menyentuh pelipisnya.
"Bukankah itu bagus? Kita memiliki tenaga tambahan. Lagipula kita juga kekurangan ksatria berbakat sebetulnya."
"Tetap saja tidak bisa begini," sergah Jean.
Kaeya tersentak untuk sesaat. Ia lalu menyahut, "Ingat soal insiden diplomat Fatui? Seandainya dia tidak memberikan bantuan, kita akan kesulitan."
Jean tak sanggup menjawab. Ia tak menampik bahwa ucapan Kaeya tidak salah. Namun ia masih tetap bersikekeuh akan pandangannya.
"Kita harus berusaha lebih keras."
Hanya ini yang bisa dikatakan oleh Jean. Ia sadar bahwa merekut ksatria berbakat bukanlah hal mudah. Terlebih lagi, para ksatria berbakat saat ini tengah pergi menjalani misi bersama Grand Master Varka. Ia tidak tahu berapa lama mereka akan kembali.
Meminta Dilluc kembali ke Knight of Favonius juga mustahil. Ia tahu bahwa lelaki itu masih menyimpan luka yang mendalam akibat insiden beberapa tahun lalu yang membuatnya mengundurkan diri. Ia tak mungkin mengucapkannya ketika ia sudah menyadari kenyataan yang dihadapi lelaki itu. Bahkan kalaupun belum, ia tetap tidak akan mengatakannya.
"Oh ya, ada informasi lainnya untukmu."
"Apa?"
"Kurasa kau punya pengagum rahasia di Mondstadt. Dua hari lalu aku pergi ke Angel's Share dan menemukan seseorang mengamuk setelah mendengar orang lain bergosip tentangmu."
Jean merasa kesal. Informasi yang ini jelas sangat tidak penting. Ia tidak peduli apakah ia memiliki pengagum atau tidak, yang penting semua pekerjaan terselesaikan.
"Kembalilah melakukan pekerjaanmu. Kalau mau melapor, laporkanlah sesuatu yang penting di jam kerja."
"Ahaha ... padahal kupikir ini penting, lho. Dia akan sangat kecewa kalau tahu dianggap tidak penting."
"Jangan bermalas-malasan di waktu kerja," sahut Jean seraya membacakan inti dari salah satu peraturan Knight of Favonius. Ia merasa benar-benar heran, kenapa laki-laki itu mendadak jadi bergosip di jam kerja begini?
.
.
Jean tak memahami dirinya sendiri. Kenapa ia malah bersedia menerima tawaran Kaeya begitu saja untuk minum bersama di tavern? Lelaki itu juga tak biasanya mengajak pergi minum bersama. Benar-benar aneh.
"Death after noon, untukku dan dia," ucap Kaeya seraya duduk tepat di depan meja bar.
Jean segera menyanggah, "Eh? Aku tidak ...."
Kaeya segera memotong ucapan Jean, "Ini bahkan sudah bukan jam kerja. Kita harus bersantai sesekali."
Jean meringis. Memang benar, saat ini bukan jam kerja. Meski demikian, ia merasa tidak enak kalau sampai kapten dan master terlihat minum-minum bersama di tavern, alkohol yang kadarnya tinggi pula.
"Minumlah dengan bertanggungjawab di tempatku," ujar Diluc seraya menyerahkan dua gelas wine pesanan Kaeya.
Jean menerima gelas minumannya dan bersulang dengan Kaeya kemudian menyesapnya sedikit. Sepertinya ia akan minum segelas saja. Terlihat mabuk hingga berbuat aneh adalah hal yang sangat tak diharapkannya.
"Akhir-akhir ini kau senang bekerja di bar, ya," ujar Kaeya.
"Kau keberatan?" sahut Diluc seraya menatap sinis.
"Ini menarik."
Jean menatap kedua lelaki yang dulu tampak akrab itu. Kini mereka berdua tampak bermusuhan, atau lebih tepatnya satu orang terlihat memusuhi yang lain. Meski demikian, kalau diperhatikan, tampaknya tidak sungguhan memusuhi. Hanya saja ... sulit dijelaskan.
Tidak seperti biasanya, Kaeya menenggak minumannya dengan cepat. Lalu lelaki itu mendadak bangkit berdiri, membuat Jean segera mengalihkan pandangan.
"Aduh, mendadak aku harus pergi. Kali ini gratis, ya," ujar Kaeya seraya mengedipkan matanya.
"Eh? Kau ...."
Ucapan Jean terputus. Kaeya mengabaikannya dan memperhatikan si bartender yang terlihat ingin menerkamnya kalau bisa.
"Aku bayar di kunjungan berikutnya, deh."
Tanpa berkata apapun, Kaeya segera keluar dari bar begitu saja dan meninggalkan Jean sendirian. Jean menatap heran, lalu berkata, "Aneh sekali. Padahal dia sendiri yang mengajakku bertemu. Minumannya biar sekalian kubayar, deh."
Diluc tidak menyadari kalau Kaeya sengaja pergi buru-buru. Lelaki itu bahkan terpaksa menahan diri dan hanya minum satu gelas.
"Tidak usah. Minumannya gratis kali ini."
"Loh? Mana bisa begitu?"
"Anggap saja bonus untuk pelanggan setiaku," sahut Diluc. Harus ia akui, Kaeya adalah konsumen setianya. Lelaki itu begitu mencintai death after noon, bahkan setengah dari total seluruh penjualan berasal dari lelaki itu. Dari sudut pandang pengusaha, ia menyukai Kaeya.
"Oh, terima kasih. Untung dia cuma pesan dua gelas."
"Kalau kau mau lebih juga boleh."
Diluc terkejut sendiri dengan apa yang ia ucapkan. Ia berbicara begitu tanpa berpikir sama sekali. Ia hanya terlalu senang dan berharap Jean menghabiskan waktu lebih lama.
"Ah, terima kasih. Namun setelah gelas ini habis, aku juga harus pergi. Lagipula teman minumku juga sudah pergi."
Diluc merasa kecewa dengan penolakan Jean. Namun kali ini ia tak ingin tmenahan diri lagi. Kesempatan tidak datang dua kali.
"Hari minggu nanti kau sibuk?"
Jean terkejut. Sesaat ia hampir menyemburkan alkoholnya tepat di wajah lelaki berambut merah itu.
"Aku libur. Ada apa?"
"Maukah kau berkunjung ke rumahku?"
Tanpa berpikir dua kali, Jean menganggukan kepala. Tentu saja ia bersedia.
.
.
Jean benar-benar tidak mengerti dengan lelaki satu ini. Apakah kepala lelaki itu terbentur di suatu tempat?
Sebelumnya ia berpikir kalau Diluc mungkin ingin membahas sesuatu yang penting. Namun cara lelaki itu mengajak bertemu bagaikan pria yang ingin mengajak gadisnya berkencan. Maka Jean mulai membayangkan hal romantis diam-diam. Ia bahkan mulai menunggu hari minggu tiba.
Rupanya harapan Jean pupus seketika. Bukannya mendapati pembicaraan penting ataupun hal-hal romantis, lelaki itu malah mengajaknya pergi ke taman di belakang rumah. Tujuannya? Untuk berlatih pedang.
Tentu saja Jean sangat serius dengan apa yang ia lakukan. Kemampuan berpedangnya tidak kalah dengan lelaki berambut merah itu meski ia seorang perempuan. Bertahun-tahun latihan tidak mengkhianati hasil.
Hingga akhirnya lelaki itu mulai menggunakan vision dan ia pun balas melakukan hal yang sama. Berhubung elemen mereka malah saling memperkuat satu sama lain, segala hal malah menjadi lebih sulit.
Diluc menyadari apa yang terjadi. Ia tak mengira kalau elemen mereka benar-benar saling memperkuat. Mendadak pemikiran konyol muncul di benaknya, apakah Archon bahkan merestui mereka hingga memberikan vision dengan elemen yang bisa saling memperkuat satu sama lain?
Kalau mereka bertarung bersama demi melindungi Mondstadt, bukankah itu hal yang baik? Mncari pasangan tentulah harus satu visi misi. Setidaknya baik ia maupun Jean memiliki tujuan yang sama, yakni melindungi Mondstadt dengan cara masing-masing.
"Lanjut?"
Diluc menggeleng dan segera memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Ia lalu berjalan menuju ruang makan, meninggalkan Jean yang berusaha mengikutinya. Sejak tadi dia berusaha bersikap tenang, namun sebetulnya sangat gugup. Apa yang harus dilakukan ketika kencan?
Mendadak ia jadi berharap. Kalau saja ayahnya masih hidup, ia pasti tidak perlu repot-repot memikirkan soal kencan. Sang ayah pasti akan mengatur pasangan untuk dinikahkan dengannya. Kalau perlu, ia bisa meminta sang ayah mengatur perjodohannya dengan Jean. Namun sekarang ia tak memiliki pilihan selain melamar perempuan itu sendiri.
Beberapa makanan terhidang di atas meja tidak lama setelah Diluc tiba di ruang makan. Jantungnya berdebar lebih keras dan ia menatap perempuan berambut pirang itu. Ia ingin mengobrol, namun tak bisa memikirkan topik pembicaraan yang pas.
Karena Jean tak kunjung bicara, akhirnya ia memutuskan membuka topik,"Bagaimana pekerjaanmu?"
Sesaat mata Jean terbelalak. Ia tak menduga pertanyaan semacam ini akan keluar dari mulut lelaki merah itu. Sejak kapan Diluc jadi menaruh ketertarikan terhadap pekerjaannya secara umum dan bukan apa yang sedang ia lakukan terkait Mondstadt?
"Aku berusaha mengupayakan yang terbaik."
"Bagus. Aku turut senang mendengarnya."
Jean merespon dengan tersenyum canggung. Ketika makanan dihidangkan tepat di hadapannya, ia melirik lelaki yang duduk dihadapannya. Ketika lelaki itu mulai menikmati hidangan pembuka, ia pun mengikutinya.
"Ah, frikadellennya (bola daging Jerman) enak. Rasanya gurih."
Jean berucap secara refleks, namun sang lawan bicara mengabaikannya. Seketika Jean merasa malu. Tentu saja lelaki itu tak akan menjawabnya ketika sedang mengunyah makanan.
Sebagai seorang ksatria, tentu saja Jean tidak boleh pilih-pilih makanan. Namun sebetulnya bukan berarti ia tak bisa membedakan makanan enak dan tidak. Kalau boleh memilih, tentu saja Jean ingin makan makanan enak.
Menurut Jean, makanan yang tersaji di rumah Diluc selalu enak. Ia bahkan menghabiskan semua makanan yang disajikan dengan senang hati meski ia agak kekenyangan. Sekarang, meski ia bahkan tidak lagi berkunjung sekalipun dalam setahun, ia tetap menikmatinya.
Mendadak ia berpikir, kalau ia menjadi nyonya Ragnvindr, bukankah ia akan menikmati semua makanan ini setiap hari? Bahkan tiga kali sehari atau lebih kalau ia mau.
"Kau suka?"
"Iya," sahut Jean sambil memotong daging.
Rasanya Diluc ingin berkata,'kau boleh datang kapanpun untuk makan bersamaku'. Namun rasanya ia terkesan seperti seekor kucing jantan di musim kawin yang hendak mengejar-ngejar kucing betina. Tentu saja ia tidak bisa berkata begitu.
"Kapan-kapan berkunjunglah lagi kalau mau mencicipinya."
"Suatu kehormatan mendapat undangan dari Tuan Ragnvindr untuk berkunjung. Aku akan berkunjung lagi kapan-kapan," ucap Jean dengan formal.
"Aku akan sangat menantikannya."
Detik berikutnya, Diluc benar-benar merasa ingin menghilang saja. Ia benar-benar bicara anpa berpikir. Sekarang ia merasa malu, perempuan itu pasti merasa heran.
Jean mengernyitkan dahi. Ia yakin kalau ia pasti baru saja salah dengan. Untuk apa lelaki itu menantikan makan bersamanya?
"Iya?"
Ini pasti kesempatan dari Barbatos untuk mempertahankan citranya. Diluc segera menjawab, "Kubilang, kau bisa mengabariku kalau mau berkunjung."
Jean mengenyitkan dahi. Rasanya bukan ini kalimat yang ia dengar. Jangan-jangan pendengarannya bermasalah. Haruskah ia pergi ke katedral untuk diperiksa?
.
.
"Wah,wah. Tidak biasanya Tuan Diluc mengundangku untuk datang," ujar Kaeya seraya tersenyum. Tatapannya tertuju pada interior ruangan yang sama sekali tidak berubah sejak kali pertama ia datang.
Kaeya mendapati sebuah vas bunga berada di salah satu sudut rumah. Rupanya lelaki itu mengapresiasi pemberiannya dengan memajang setiap vas bunga yang ia berikan.
Seorang butler datang dengan membawa dua gelas cangkir dan menuangkan teh ke dalam gelas. Ketika butler itu hendak beranjak, Kaeya segera berkata, "Terima kasih, Manisku."
Diluc yang mendengarnya mendadak merasa muak. Ucapan Kaeya kelewat manis hingga membuat orang yang jeli malah merasa geli.
"Tak kusangka vas bungaku mendapat tempat di kediamanmu."
"Pelayanku merasa sayang membuangnya."
Kaeya menyesap tehnya. Lelaki ini sungguhan tsundere tingkat akut.
"Kau harus lebih mengekspresikan dirimu. Kalau tidak, orang bisa salah paham."
"Bukan urusanmu."
Kaeya tersenyum. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang membuat lelaki itu memintanya datang di hari libur? Kalau membahas soal Fatui atau pergerakan abyss order, seharusnya tidak akan menunggu.
"Kau pernah berkencan?"
"Hm? Sejak kapan kau tertarik dengan kehidupan percintaanku?" tanya Kaeya sambil mengernyitkan dahi.
"Jawab saja."
"Manisku benar-benar kejam. Bisa-bisanya dia membiarkan kepala tuannya terbentur tanpa pengobatan yang layak."
Rasanya Diluc ingin mengusir tamunya untuk pulang sekarang juga. Ia menyesal, apa yang ia pikirkan ketika mengundang lelaki itu datang ke rumahnya? Ia segera mengambil panah dart dan berniat melemparkannya ke arah vas bunga pemberian Kaeya.
Namun Kaeya cepat-cepat bangkit berdiri dan memeluk vas bunga itu sebelum tangannya bergerak, "Ah, sudah kubelikan penggantinya susah payah. Mencari yang sama persis itu repot. Jangan dirusak begitu, dong."
Diluc melemparkan panah yang terlanjur diambilnya ke papan dart dan kembali duduk serta mengangkat cangkir tehnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Kaeya juga kembali ke kursinya, lalu berkata, "Padahal sudah kuberikan kesempatan untukmu. Masih tidak sadar, ya."
"Kesempatan?"
"Menurutmu apa aku akan pergi setelah minum segelas Death After Noon?"
Diluc segera memalingkan wajahnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ia begitu mudah dibaca? Ia sedikit terharu pada Kaeya yang rela melewatkan satu malam tanpa menikmati beberapa gelas Death After Noon.
"Jadi sekarang kau mencariku karena butuh tips cinta?"
Diluc tak berniat menatap Kaeya yang sedang menyeringai di hadapannya. Ia tahu lelaki itu sedang menertawakannya dan ia merasa ingin meninju lelaki itu. Namun sebetulnya ia memang sangat menyedihkan. Bagaimana bisa seorang pria seusianya tidak tahu cara berkencan? Selama ini ia bisa bersikap ekstra sopan kepada para perempuan berkat terbiasa menghadiri pesta.
"Ahaha ... aku merasa terhormat bisa mengajari tuan muda Mondstadt soal hal semacam ini. Lihat baik-baik apa yang kulakukan," ujar Kaeya seraya bangkit berdiri.
Kaeya segera mendekati Diluc yang menatapnya dengan heran. Kaeya tidak mengacuhkannya dan terus melangkah. Ia kemudian duduk di samping lelaki itu dan mendekatkan wajahnya.
"Diam dulu," ucap Kaeya ketika Diluc terlihat ingin segera protes.
Kaeya terus mendekat dan menyadari aroma sandalwood yang menguar dari tubuh saudara angkatnya itu. Ia terus mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa cm.
Kaeya dengan sengaja membuat Diluc terlihat panik. Lelaki itu bahkan mulai memundurkan tubuhnya, khawatir bibirnya bersentuhan dengan pria berkulit gelap di hadapannya. Raut wajah Diluc mengingatkannya akan gadis yang malu-malu dan itu terlihat lucu di mata Kaeya.
Kaeya dengan sengaja merengkuh tubuh Diluc, membuat lelaki berambut merah itu semakin tidak nyaman. Kemudian Kaeya berpaling serta mendekatkan wajahnya ke telinga Diluc. Hembusan napasnya terasa di tengkuk lelaki itu, membuat Diluc merinding seketika.
"Sayang," ucap Kaeya dengan napas berat yang terdengar seksi. "Kau membuat tubuhku panas sekarang. Malam ini ... ayo kita melakukannya."
Seketika kedua bola mata Diluc terbelalak hingga hampir melompat dari rongga matanya. Mulutnya terbuka namun tak ada hal yang bisa ia ucapkan. Siapapun yang melihat mereka pasit mengira kalau mereka adalah pasangan sesama jenis yang sedang bersiap melakukan hal intim.
Kaeya menyeringai. Baginya ini semua hanyalah permainan. Ia bahkan menyempatkan diri untuk mengecup pipi Diluc sebelum melepaskan rengkuhannya.
"Sudah selesai. Berhubung aku berhutang dengan ayahmu, kuberikan pengajaran gratis khusus buatmu. Dengan cara ini, perempuan manapun pasti berdebar."
Diluc segera mengusap pipinya dengan jijik. Saliva Kaeya pasti masih tersisa di wajahnya. Ia masih tak bisa melupakan hembusan napas berat yang hangat itu di tengkuknya dan kecupan bibir Kaeya yang lembut.
Lelaki berambut merah itu terlalu marah untuk berteriak. Ia kembali mengambil panah dartnya dan tanpa berkata apa-apa segera melemparkan ke vas bunga pemberian Kaeya.
"Lho? Kok marah? Apakah penjelasanku kurang memuaskan?"
"Pergilah, sebelum aku membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Kaeya terdiam sesaat. Lelaki berambut merah itu terlihat serius dan benar-benar sangat marah. Bagi Kaeya, lelaki ini terlalu serius dan jelas sangat membosankan. Yah, memang cocok dengan Jean yang juga sangat serius dan gila bekerja, sih.
.
.
Diluc sudah menyerah dengan tips cinta. Ia tidak berani bertanya pada butler kepercayaannya soal hal semacam ini, apalagi pada orang-orang di tavern. Karena itulah ia memutuskan bertanya pada Kaeya.
Namun bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat tips tidak benar. Sebagai bonus, ia mendapat ekstra ciuman dari Kaeya. Benar-benar menjijikan, ia bahkan sampai menggosok pipi dan lehernya sepanjang hari.
Ia tahu kalau Jean tertarik dengan bunga dandelion. Maka kali ini ia memutuskan membawa buket bunga dandelion yang cantik, lalu berencana mengunjungi Jean di perpustakaan Mondstadt. Bagaimanapun laki-laki harus jantan, maka ia harus menyatakan perasaannya.
Ia mendapati Jean sedang membaca buku tebal di hadapannya. Wajah perempuan itu begitu serius, juga terlihat cantik dari samping. Kulit perempuan itu putih dengan bola matanya yang berbinar-binar, bagaikan bongkahan kristal. Hidungnya kecil dan mancung serta bibirnya sedikit kemerahan tampak cocok dengan wajahnya yang kecil. Namun dibalik kecantikan wajahnya tersimpan kekuatan dan ketangguhan.
"Jean."
Jean yang sedang membaca seketika mengalihkan pandang begitu mendengar seseorang memanggilnya. Ia segera menutup bukunya dan mendapati Diluc di sana.
"Halo. Kebetulan kita bertemu di sini, ya."
Tatapan Jean tertuju pada buket bunga dandelion di tangan Diluc. Apakah bunga itu diberikan untuknya? Ia tak berani berharap banyak mengingat kali terakhir mereka bertemu yang jauh dari bayangannya.
"Buatmu."
Jean tersenyum seraya menerima buket bunga dandelion itu. Tumben sekali prediksinya benar kali ini. Kebetulan bunga dandelion juga salah satu bunga favoritnya.
"Ah, ini bunga favoritku. Terima kasih."
"Lalu, maukah kau menjadi kekasihku?"
"Oke," sahut Jean yang belum sepenuhnya menyadari apa yang diucapkan lelaki berambut merah itu. Beberapa detik kemudian, ketika ia menyadari apa yang baru saja diucapkan lelaki itu, jantungnya berdebar seketika. Ia tidak salah dengar, kan?
"Eh, t-tunggu! T-tadi kau b-bilang apa?"
"Itu ... maukah kau menjadi kekasihku?"
Sekarang wajah Jean memerah bagaikan kepiting rebus. Ia tidak menyangka pernyataan itu datang dari sang mantan atasan. Ia tidak mengerti kenapa lelaki itu berniat menjadikannya sebagai kekasih.
"P-pacar? Aku?"
Sekarang Diluc pun mulai merasa gugup. Apakah perempuan itu akan menolaknya? Kalau iya, cepat katakan saja sehingga ia tidak perlu membuang-buang waktu. Sekarang saja ia sudah memberanikan diri menyatakan cinta di ruang publik.
Sebenarnya, mereka tidak hanya berdua saja. Ada Lisa yang kini sedang menatap ke arah mereka sambil tersenyum. Diluc menyadarinya, namun ia berpura-pura tidak tahu.
"Ya, kau."
"Kenapa?"
Rasanya jantung Diluc seolah akan meledak. Haruskah ia menjelaskan panjang lebar pada perempuan itu? Bagaimana kata-kata yang tepat?
"Aku ... ingin mencintaimu. Lalu ingin melindungi Mondstadt bersamamu."
Jean tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum. Kali ini rasanya bagaikan mimpi. Ia tak mengira kalau salah satu lelaki terkaya di Mondstadt dengan paras rupawan itu berniat menjadi kekasihnya. Sekarang rasanya benar-benar seperti di novel.
Pernyataan ini terdengar aneh sebetulnya. Karena kesibukan masing-masing, mereka tidak berkomunikasi secara intens. Namun kalau pernyataan ini berasal dari Diluc, Jean meyakini kalau pria itu pasti serius.
"Aku bersedia menjadi kekasihmu."
Detik itu, Diluc merasa begitu bahagia ketika perempuan berambut pirang itu menyatakan kesediaan. Ia bahkan tak menyembunyikan senyumnya pada Jean.
"Terima kasih."
Jean mengangguk dan berkata, "Sudah lama aku tak melihatnya. Aku suka senyummu."
Diluc kembali tersenyum. Saat ini, ia tak memiliki alasan untuk tidak tersenyum. Di masa depan, meski ia tak mampu mengubah segala hal yang telah berlalu, ia telah belajar untuk menghargai segala hal yang ia miliki. Kalau Jean menyukai senyumnya, maka ia tak ingin menyesal karena menahan diri untuk tidak memperlihatkannya.
Sepertinya, ia akan lebih banyak tersenyum demi perempuan berambut pirang yang dicintainya.
- The End -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro