Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.3b

Ia mengerang, saat tangan laki-laki itu mengelus pelan punggung, turun ke pinggang dan meremas pinggulnya. Ia meletakkan kepala di bahu Dimas, dan membiarkan laki-laki itu membawanya bergerak pelan.

“Kamu cantik, dari dulu selalu cantik. Wanita tangguh yang hebat,” bisik Dimas sebelum mengangkat dahu Amanda dan melumat bibir wanita itu.

Desah napas beradu, tangan-tangan bergerak liar saling menyentuh saat keduanya berciuman. Amanda mendesah saat Dimas mendesaknya ke dekat jendela, memaku tubuhnya di kaca dan ia  mengerang. Merasakan mulut laki-laki itu di leher, dada, perut, dan area intimnya. Ia pasrah, saat tangan laki-laki itu melucuti satu per satu pakaian dalam yang ia pakai. Tidak mengelak saat Dimas mengangkat sebelah paha dan laki-laki itu mencium kewanitaannya.

Amanda merasa dirinya meledak dalam gairah tak berkesudahan. Jiwanya seakan tersedot dala udara panas yang menyelubungi tubuh mereka. Lidah-lidah lembut bergerak menggoda, seperti menariknya dalam pusaran gairah. Ia berteriak gemetar saat mencapai puncak.

“Kamu basah dan menggoda, siap untuk bercinta,” bisik Dimas sensual. Membalik tubuh Amanda menghadap jendela kaca yang terbuka. “lihat, pemandangan di bawah sana bagus bukan?” Dimas mencopot celananya.

“Bisa kelihatan orang di sini?” elak Amanda. Saat tahu apa yang akan dilakukan Dimas.

“Ini lantai 17, mana kelihatan?” Tangan Dimas bergerak, untuk memastikan kelembaban tubuh Amanda dan setelah yakin, dalam satu gerakan lembut ia memasuki wanita itu.

Amanda mengerang, dengan tangan berpegangan pada kaca dan kepala melengkuk ke bawah. Ia tak berdaya, membiarkan Dimas mengontrol tubuhnya dari belakang. Musik masih terdengar sahdu, seiring dengan desahan napas mereka. Sementara lampu-lampu dari perempatan jalan yang membentang di bawah, membuat tubuh keduanya terasa indah dalam penerangan.

Amanda tak tahu, berapa kali ia mencapai puncak. Dimas yang seakan tak kehabisan energi, tidak hanya mengajaknya bercinta di dekat jendela, tapi juga di sofa ruang tamu. Setelah beberapa jam beradu kemesraan, keduanya tergeletak tak berdaya di karpet ruang tamu.

“Aku harus mandi, mau ke bandara.” Amanda menggeliat, melepaskan diri dari pelukan Dimas.

“Aku antar kamu ke sana.”

“Nggak usah, aku bisa sendiri.”

Dimas mengamati dalam diam, saat melihat sosok Amanda menghilang di kamarnya. Ia telentang, mengamati langit-langit ruang tamu. Matanya menatap nanar pada lampu kristal yang tergantung di sana. Sinarnya yang cemerlang, terlihat seperti mata Amanda saat wanita itu bergairah. Wanita itu, terlihat begitu bebas saat mereka bercinta. Lalu, saat gairah mereda, sikapnya akan kembali seperti semula. Kaku dan menjaga jarak. Ia memejamkan mata, meratapi diri karena jatuh cinta pada wanita yang tak ingin bersamanya.
***
Sepeninggal Amanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.

Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.

“Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang laki-laki tua terdengar menggelegar saat Dimas memasuki ruangan. Ia mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya.

Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding. “Mama, apa kabar?” Ia menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.

“Dimaas, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak.

“Entahlah, dua tahun mungkin.” Dimas mengenyakkan diri di samping mamanya.

“Safitri, anakmu pulang lagi. Coba kamu nasehati dia. Suruh dia itu mengurus perusahaan. Bukannya malah jadi konsultan dengan pendapatan tak seberapa.” Laki-laki tua dengan cerutu di tangan, berdiri gagah dan menatap Dimas dengan pandangan dingin.

Safitri tersenyum, menatap anak dan suaminya. “Dia suka dengan pekerjaan itu.”

“Omong kosong! Bilang saja dia ingin lari dari tanggung jawab!”

“Tuan Chen, apa kabar? Sepertinya Anda terlihat sehat?” Dimas menyapa ramah pada papa tirinya, mengabaikan amarah laki-laki tua itu. Dia sudah biasa dimaki tiap bertemu dan kali ini pun tak ada bedanya.

“Jangan sok ramah, kapan kamu akan meninggalkan pekerjaanmu dan mengelola perusahaan kita!”

Dimas tersenyum, meraih tangan sang mama dan mengecup punggungnya.

“Ada apa Papa teriak-teriak?” Dari dalam muncul sesosok wanita cantik dengan kulit putih, mata sipit, dan rambut hitam panjang nyaris mencapai pinggang. Matanya terbelalak saat melihat Dimas. “Ah, anak hilang pulang rupanya. Setelah bertahun-tahun tidak pulang.”

Di belakang wanita itu,  ada seorang laki-laki tinggi kurus dan berkacamata. Yang berdiri diam sambil melipat tangannya di belakang tubuh.

“Apa kabar, Cece,” sapa Dimas ramah. Ia mengenali itu sebagai anak pertama Chen, Mei Ling.

Wanita yang disapa hanya melirik sekilas. Menghampiri laki-laki berkacamata dan berkata keras pada laki-laki tua. “Papa, bukannya kita sudah sepakat kalau perusahaan akan dipegang oleh Hans, kenapa masih memanggil anak itu pulang?”

Chen memandang anak perempuan dan menantunya, lalu berbalik ke arah Dimas yang duduk tenang. Ia bertukar pandang dengan istrinya. Ia menghela napas. Semenjak ia memutuskan untuk menikahi Safitri, janda anak satu, kehidupannya bagai tak tenang. Ia sendiri punya anak tiga dari istri pertama yang semuanya adalah perempuan.

Semua anaknya sudah menikah dan para suami mereka, sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatiannya. Tak teerkecuali Hans, suami dari si sulung Mei Ling. Sedangkan dalam hatinya berharap, Dimas akan menggantikan posisinya. Meski hanya anak tiri, tapi ia yakin akan kemampuannya.

“Sudah-sudah, kita jangan bicara terus soal bisnis. Bagaimana kalau kita makan dulu?” Safitri bangkit dari sofa, sambil tersenyum ke arah anaknya. “Dimas, kamu harus ikut makan malam bersama kami.”

Belum sempat Dimas menjawab, terdengar dengkusan dari samping. “Tumben! Apa karena urusan perusahaan dia mau ikut makan?”

“Mei Ling, dia saudaramu!” hardik Chen pada anak perempuannya.

“Hanya tiri, Papa. Ingat itu!” Mei Ling membalikkan tubuh, meraih lengan suaminya dan melangkah menuju meja makan. Tidak memedulikan pandangan sedih Safitri yang tertuju padanya.

“Ma, aku bisa makan di luar. Jangan sampai ada masalah,” ucap Dimas sambil meremas jemari sang mama.

“Tidak, sudah lama kamu nggak pulang. Ayo, aku ingin bicara sesuatu padamu!” Chen berkata pada Dimas dengan nada yang tidak ingin dibantah.

Mau tidak mau, Dimas bangkit dan mengikuti kedua orang tuanya menuju meja makan. Tak lama, dua saudara tirinya yang lain datang. Acara makan malam jauh dari rasa kekeluargaan karena adu pendapat yang terjadi. Semua melontarkan opini tentang bagaimana mengelola perusahaan yang baik.

Dimas menyantap makanannya tanpa selera. Memandang sekeliling dengan bosan. Selalu saja seperti ini, membuatnya makin merasa tidak betah saat harus berkumpul keluarga. Ia melirik jam di pergelangan tangan kiri, menyadari jika pesawat yang dinaiki Amanda tentu sudah mengudara. Sedikit banyak ia merasakan sesal, karena wanita itu sama sekali tidak mengiriminya pesan saat di bandara.

Memikirkan hubungannya yang rumit dengan Amanda, ditambah dengan pertengkaran di meja makan, membuat nafsu makannya menghilang. Ia baru saja meletakkan sendok di atas piring saat terdengar bentakan di ujung meja.

“Diam kalian semua! Papa bosan mendengar perdebatan!” Chen bangkit dari kursi, melemparkan serbet ke atas meja dan menatap sekeliling meja. Wajah keriputnya memerah karena amarah.

“Dimas, ikut aku ke ruang kerja!”

Mengabaikan protes keheranan, Chen melangkah tergesa ke arah ruang kerja.

Sementara Dimas menghela napas, bertukar pandang dengan sang mama. Saat ia bangkit dari kursi, bisik-bisik dan sindiran para kakak tirinya terdengar jelas. Ia tak memedulikan mereka, dengan langkah perlahan menyusul sang papa tiri. Intrik demi intrik di keluarga besarnya, membuat Dimas menyadari satu hal jika hubungan keluarga bisa hancur karena harta.

***
Sudah bisa di download di google play store

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro