Bab.3a
“Kita mau mengadakan pesta Sabtu malam nanti, jangan sampai kamu nggak hadir karena sibuk.”
Amanda mendongak dari kesibukannya mengamati layar laptop sambil mencatat. Ia mengernyit ke arah mamanya dengan heran. “Ada acara apa? Kenapa ada pesta segala?”
Jihan mendekati anak perempuannya dan mengusap lembut rambutnya. “Hanya syukuran saja dari papamu. Ini inisiatifnya. Mama hanya melakukan apa yang dia minta.”
Amanda mendesah, kembali menatap layar laptopnya yang sedang menampilkan grafik saham. Beberapa hari ini, nilai saham mereka turun karena perusahaan diterpa isu pergantian pimpinan. Banyak orang meragukan kemampuannya, hanya karena dia perempuan. Mereka tak peduli meski ia telah bekerja keras selama tiga tahun terakhir. Yang mereka tuntut hanya keuntungan yang sama dengan yang dihasilkan saat sang papa menjabat. Ia nyaris tidak menjawab pertanyaan mamanya, sampai terasa sentuhan lembut di bahu.
“Baiklah, aku datang nanti. Padahal, Kamis aku harus berangkat ke Bengkulu.”
Jihan mengangguk. “Berangkat saja, tapi ingat Sabtu pagi kembali.”
Amanda tak menjawab, menatap tanpa kata kepergian mamanya. Sedetik kemudian berkutat kembali dengan laptopnya. Ponsel di atas meja bergetar, ada nama Julia tertera di sana. Dengan enggan ia membuka dan membaca pesan yang muncul.
“Are you fine? Kami kuatir saat kamu pulang begitu saja.”
Ia tertegun lalu mengetik jawaban. “Iya, aku baik-baik saja. Thanks.”
“Kapan ketemu lagi? Kami janji nggak akan ungkit soal Ben.”
Ia menghela napas, memikirkan sedikit sebelum membalas. “Ntar, kalau pulang dari luar kota.”
Meletakkan kembali ponsel di atas meja, pikirannya mengembara pada Ben. Sang mantan tunangan yang kini telah punya anak dua dari istrinya, Breana. Setelah peristiwa keguguran Breana, ia menyadari jika cinta memang tak bisa dipaksa. Tak peduli, seberapa kuat ia ingin menggenggam Ben. Yang tersisa dari hubungan mereka kini adalah rasa malu yang ia derita. Sebagai kekasih yang dicampakkan.
Dengan pikiran dipenuhi rasa sendu, ia meletakkan kepala di atas meja dan memejamkan mata. Mencoba mengusir kesedihan.
***
Dimas menatap wanita cantik yang duduk di hadapannya. Salah seorang mantan artis terkenal yang kini berubah haluan menjadi pengusaha. Wanita itu sengaja mengundangnya untuk berkonsultasi soal keuangan dan pajak. Pembicaraan mereka dilakukan di mension wanita itu yang terletak di bilangan kota. Sebuah apartemen megah dengan interior mewah berwarna putih keemasan. Meja tempat mereka bicara terbuat dari jati asli dengan ukiran rumit tapi indah. Sementara perabot mahal seperti sofa, bufet hingga lukisan tertata rapi di ruangan.
“Menurutmu, apa aku memerlukan audit?” Sang wanita bertanya dengan suara parau. Di tangan kirinya ada sebatang rokok menyala. Dia mengisap dengan pelan, seperti menikmati setiap asap yang menggumpal di depan wajah.
“Kalau kataku harus. Ada banyak transaksi yang terlihat terlalu mencurigakan di dua restoran ini. Kalau Anda audit, akan terlihat di mana yang salah. Sementara saya, hanya bisa memberi perkiraan secara kasar.”
“Dimas, namaku Gifa. Panggil langsung nama jangan pakai ibu atau anda. Terlalu formil.” Gifa mengetuk-ngetuk meja dan menatap laki-laki berkacamata di depannya dengan senyum tersungging.
Dimas mengangkat bahu. “Baiklah, kalau itu mau kamu. Untuk sementara berkas-berkas ini aku bawa pulang. Aku akan pelajari lebih lanjut dan kita bertemu segera.”
Gifa mengangguk, menatap dengan tertarik saat Dimas bangkit dari kursi dan membereskan dokumen serta kertas-kertas. Saat lengannya bergerak, otot bisepnya tertarik dan membuat kegagahan laki-laki itu terlihat. Dengan wajah bergaris timur tengah dan alis yang hitam menyatu di atas hidung, Dimas memang luar biasa tampan.
“Aku pamit dulu.” Dimas menegakkan tubuh, memasukkan dokumen ke dalam tas hitam. Berikut ponselnya.
“Terima kasih hari ini.” Gifa mematikan rokoknya dan mengantar Dimas sampai ke pintu. Menatap dengan tertarik postur laki-laki itu dari belakang. “Aku tunggu kabar baiknya.”
“Baiklah, segera.” Dimas mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Gifa dan sedikit terkejut saat wanita itu meremas tangannya lembut.
“Apa kamu sudah menikah Dimas?”
Pertanyaan Gifa yang dilontarkan di luar konteks pekerjaan membuat Dimas tersenyum. Bukan pertama kalinya ia mengalami hal ini. Wanita di depannya adalah klien potensial, yang perlu ia lakukan adalah menghindar tanpa perlu melukai perasaan.
“Aku terlalu sibuk untuk mengurusi hal pribadi,” jawabnya ambigu. Secara perlahan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Gifa.
“Wah, masih lajang kalau gitu. Menarik.” Gifa berkata sambil tertawa kecil. “Aku tunggu kabar kamu selanjutnya.”
Keluar dari apartemen Gifa, Dimas memacu mobilnya menembus kepadatan lalu-lintas. Ada pertemuan lain yang harus ia hadiri malam nanti. Bukan tentang pekerjaan tapi keluarga. Sang ibu datang dari Singapura dan ingin menemuinya. Itu berarti dia harus bertemu dengan sang ayah tiri dan seluruh keluarga besar mereka.
“Sial!” runtuk Dimas dalam hati, mengingat jika pertemuan nanti bersama keluarganya akan ada banyak caci-maki dan amarah. Ia paham betul tabiat keluarganya.
Ponsel di atas dasbord bergetar, ia melihat nama Amanda tertera di layar. Seketika, senyum merekah di mulutnya.
“Hallo, Manda.”
Tak lama, suara Amanda menyahut serak. “Kamu di mana? Aku ada di apartemenmu.”
“Oh ya? Sudah lama atau baru sampai?”
“Aku punya lingere baru, merah.”
Dimas terdiam, merasa tubuhnya memanas. Pikiran tentang lingere merah membalut tubuh Amanda yang sexy membuat darahnya berdesir. Mengabaikan perasaan aneh karena Amanda yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, ia berdehem.
“Aku akan tiba, dalam tiga puluh menit.”
Setelahnya, ia memacu mobil lebih cepat dari kecepatan semula. Menerobos lalu lintas yang kebetulan tidak begitu macet. Setelah beberapa saat berkendara, ia mencapai pintu apartemen 40 menit kemudian.
Aroma mawar lembut menerpa penciumannya saat ia membuka pintu. Musik mengalun sahdu terdengar dari ruang tengah. Sesosok wanita berdiri di dekat jendela dalam balutan lingere merah dan ada segelas minuman di tangan. Dimas menghela napas, meletakkan tas di atas sofa dan melangkah perlahan mendekati wanita itu.
Ia berdecak kagum, pada keindahan yang terlihat di depan mata. Bagaimana lekuk tubuh itu serasa menggoda. Pinggul yang padat dalam balutan celana dalam berenda, pinggang kecil dan serasa pas di tangannya. Juga payudara padat dengan bentuknya yang indah.
Amanda menoleh dan tersenyum. “Hai!”
“Hai, sudah lama?” Dimas melingkarkan tangannya di belakang tubuh Amanda. Mengendus aroma parfum yang dipakai wanita itu.
“Belum lama, ingin mampir sebentar. Nanti malam mau ke luar kota.”
“Wanita yang sibuk. Mau berdansa denganku?” bisik Dimas mesra.
“Why not?”
Amanda membalikkan tubuh, merangkulkan tangannya di leher Dimas dan membiarkan dirinya bergerak pelan mengikuti irama musik. Kehangatan tubuh laki-laki yang mendekapnya seperti menenangkan dirinya. Tubuhnya bergetar, saat kulitnya yang telanjang beradu dengan pakaian yang dikenakan Dimas
***
Tersedia di goggle playbook
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro