Bab.2b (tersedia di goggle playbook)
Amanda yang sebelumnya sedang memegang pisau dan garpu, kini terdiam. Peralatan makan mengambang di udara. Obrolan yang semula terdengar seru pun terhenti. Ia menunduk, saat merasa semua mata memandangnya.
"Oh, ayolah. Amanda bukan tipe cewek yang mudah remuk gitu aja." Anis, perempuan dengan rambut disanggul berkata sambil tertawa. "Biar saja Ben menikahi pacarnya. Amanda akan mendapatkan laki-laki lain."
Julia mengangguk, diikuti dua temannya yang lain.
"Cuma satu aja masalahnya, malu. Siapa sih yang nggak malu, kalau kita udah tunangan di hotel mewah dan ditinggal begitu saja demi perempuan dari masa lalu?"
"Brengsek emang si, Ben. Bisa-bisanya memilih gembel dari pada Amanda."
Berbagai gumamam dan celaan kini terdengar kembali. Semua percakapan bergulir menjadi Ben, Breana, dan dirinya. Amanda merasa tenggorokannya tercekat. Daging yang semula terasa enak dan gurih di lidah, kini terasa hampar dan alot bagaikan karet. Dengan gemetar ia menyingkirkan piring dan peralatan makan. Mengabaikan perutnya yang mual, ia meneguk kopi demi untuk membantunya bersikap tenang.
"Ben memang brengsek!"
"Kasihan Amanda, sudah dibuat malu!"
Semua memaki, menggerutu. Mengumpat Ben dan merendahkan Breana.
"Apa sih, hebatnya cewek itu. Sampai Ben harus milih dia dari pada Manda."
"Mungkin karena rasa kasihan saja."
Tak tahan lagi, Amanda meletakkan cangkir dan bangkit dari kursi. Berpamitan ingin ke toilet. Sesampainya di bilik kamar mandi, ia muntah-muntah. Menumpahkan semua makanan yang baru saja ia santap ke dalam kloset.Setelah beberapa saat dan yakin jika makanannya telah keluar tanpa sisa, ia bangkit dengan gemetar. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Di depan cermin, ia membasuh wajah dan mengelap dengan tisu. Menatap bayangannya di cermin dengan wajah yang terlihat makin tirus. Sepertinya, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Beberapa hari lalu, ia ditegur karena dilihat lebih kurus.
Amanda menarik napas, menyesali diri karena percakapan yang semula menyenangkan, berubah saat nama Ben disebut. Ia bisa melihat, semua orang merasa kasihan padanya. Sebagai perempuan yang tak diinginkan. Mengabaikan rasa dingin di hati, ia keluar dari toilet. Dengan ketenangan yang dipaksakan, akan menghadapi kembali teman-temannya.
"Kamu baik-baik saja?"
Amanda terlonjak, saat suara teguran terdengar dari samping.
"Iya, aku baik-baik saja." Amanda tersenyum, menjawab pertanyaan laki-laki berkacamata yang menatapnya prihatin. "jangan menatapku seperti itu, Dimas. Aku sehat!" sentaknya kesal.
"Wajahmu pucat dan sepertinya kamu gemetar. Apa muntah lagi?"
Amanda memejamkan mata lalu menangguk. "Sedikit."
"Mau banyak atau sedikit, tetap saja itu muntah. Ayo, kita pamitan pulang!"
Amanda membuka matanya. "Kenapa? Aku masih mau di sini?"
Dimas mengernyit. "Benarkah? Setelah kejadian tadi?"
Ketidakyakinan dari perkataan Dimas membuat Amanda kesal. "Tentu saja, aku bisa atasi mereka. Aku bukan anak kemarin sore yang nggak pernah hadapi situasi sulit sebelumnya."
"Baiklah, aku tak memaksa asalkan kamu tetap tenang. Jangan terpengaruh omongan apa pun."
Tawa nyaring keluar dari mulut Amanda, ia menyibakkan rambutnya ke belakang. "Kenapa? Kamu takut aku akan marah dan mengamuk?"
Dimas menggeleng, memandang prihatan dari balik lensa kacamatanya. "Lebih baik kalau kamu mengamuk, dari pada menangis." Ia menggeser tubuh, saat seorang laki-laki hendak masuk ke toilet dan melewatinya.
Amanda terdiam, mengamati laki-laki berkacamata yang berdiri mengkuatirkannya. Entah kenapa, hal itu menyentuh perasaannya. Ia mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk lengan Dimas. "I'm fine,don't worry to much.Percaya, aku bisa atasi semua masalahku sendiri." Ia melangkah gemulai menuju tempatnya semula, mengabaikan lututnya yang gemetar lemas dan mulutnya yang kini terasa pahit dan kering. Langkahnya terhenti, saat terdengar suara Julia yang cukup keras didengar.
"Kalau aku jadi Amanda, setelah dicampakkan begitu saja, lebih baik aku bersenang-senang. Meniduri banyak laki-laki dan pindah negara."
Ucapannya diberi anggukan setuju di sekeliling meja.
"Untuk menghilangkan rasa malu."
"Iyaa, memang malu kalau dicampakkan."
Amanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.
"Hai semua." Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. "Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang lebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku." Ia menegakkan tubuh dan tertawa. "Aku pulang dulu, bye."
"Manda, jangan pulang!" teriak Julia.
"Manda, please." Anis pun ikut merengek.
"Maafkan kami, Manda. Kami nggak ada maksud menghina!"
Kali ini entah siapa ia yang bicara, Amanda tak peduli. Ia melangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.
Amanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. Ia memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataan mereka tentang dia dan Ben, mengusik ketenangan yang telah ia bangun dua tahun ini.
"Bukannya aku sudah bilang, nggak suka lihat kamu nangis?"
Suara Dimas yang terdengar lembut di antara curah hujan membuat Amanda membuka mata. "Kenapa kamu keluar?" tanyanya parau.
Dimas bergeming, tangannya terulur untuk mengusap air mata yang terlihat dalam keremangan. Sementara curah hujan makin lama makin deras, bahkan kini memerciki mereka berdua. Ia tak peduli, saat ini ia merasa tersiksa, melihat bintik air mata tercetak di wajah Amanda.
"Mau kuantar pulang? Hujan terlalu deras."
Amanda menggeleng. "Aku bawa mobil sendiri." Ia tak mengelak saat tangan Dimas meremas pundaknya dan menyebarkan kehangatan di sana.
Dimas mengangguk, memandang intens pada wanita yang masih bersandar di tiang. "Mereka bermaksud membelamu, hanya saja, caranya salah."
"Iya, aku tahu."
"Kalau kamu marah, harusnya membentak. Jangan lari."
Amanda lagi-lagi menggeleng. "Aku nggak punya nyali buat itu. Aku yang dulu mungkin akan bertindak seperti itu. Marah, mengamuk, dan tak peduli pada perasaan orang lain. Sekarang, berbeda."
"Kenapa kamu jadi tidak percaya diri begini? Ke mana perginya Amanda yang dulu pernah kukenal?" Dimas mengulurkan tangan, meraih dagu Amanda dan membuat wanita itu mendongak. "Hapus air matamu, nanti maskaramu luntur."
Keduanya bertatapan, Amanda membiarkan Dimas menghapus air matanya. Entah perasaan dari mana, ia ingin sekali mencium laki-laki itu. Tanpa aba-aba, tanpa meminta sebelumnya, ia meraih wajah Dimas dan mencium bibirnya. Tak memedulikan di mana mereka berada sekarang.
"Hei, Manda. What's up." Dimas terengah, saat serbuan bibir Amanda terasa manis di mulutnya. Ia berusaha menghindar tapi wanita itu kini bahkan mengalungkan tangan ke lehernya dan melumat bibirnya.
Hasrat Dimas naik seketika, ia meraih wajah Amanda dan mengulum lembut bibir bawah wanita itu. Keduanya saling berangkulan erat dan berbagi kehangatan di sela guyuran hujan. Amanda terengah, menggesekkan tubuhnya ke tubuh kekar Dimas. Gairahnya naik, dan ada banyak hasrat yang butuh untuk disalurkan. Ia kembali mengulum bibir Dimas, kini bahkan meraba seluruh tubuh laki-laki itu, dari mulai punggung, pinggul, hingga kelelakiannya.
Dimas mendesah, mendesak tubuh Amanda hingga ke tiang dan meraba dada wanita itu. Dengan mulut mencumbu leher, tangannya turun ke bagian bawah dan menyingkap rok yang dipakai wanita itu.
Amanda mengerang, saat sentuhan lembut bermain di kewanitaannya. Tak peduli akan keadaan sekitar, ia bergerak mendekat. Membuka sedikit pahanya dan membiarkan jari lembut Dimas menyentuhnya.
"Kamu basah?" bisik Dimas parau.
"Aah, kenapa memang," jawab Amanda terengah.
"Aku suka."
"Lalu, bisakah kamu membuatku orgasme sekarang?"
"Di sini?"
"Iyaaa ...."
Amanda menggelinjang, saat jari Dimas kembali bergerak lincah. Membelai, meraba, dan memasukinya. Ia ingin menggigit bibir bawah, untuk menjaga agar tak berteriak. Ia membiarkan Dimas mengangkat sebelah paha dan meloloskan celana dalamnya hingga ke mata kaki.
Lagi-lagi ia menjerit kecil, merasakan kewanitaannya berdenyut mendamba. Tak pelak lagi, erangan keluar dari mulutnya dan seketika dibungkam oleh ciuman bertubi-tubi dari Dimas.
"Jika tak ingat kita berada di mana? Ingin rasanya menenggelamkan diriku padamu, Manda." Dengan satu sentuhan terakhir, Dimas mengakhiri belaiannya. Menatap mata Amanda yang bersinar redup dan merapikan celana dalam wanita itu.
Tak kata, tanpa bertukar senyum. Saat sadar jika curah hujan berubah menjadi rintik, Amanda menarik napas. Rupasnya, ia kehilangan kontrol, dan semua karena Dimas.
"Hujan sudah berhenti, aku pulang dulu," ucapnya parau.
"Aku antar, ya?"
Amanda menggeleng, mendorong tubuh Dimas agar menyingkir dan melangkah tergesa menuju parkiran mobil. Ia tak peduli meski Dimas meneriakinya, ia tak peduli meski gerimis membasahi tubuhnya. Ia membuka pintu kendaraan dan mengenyakkan diri di belakang kemudi. Ia menatap sosok Dimas yang terlihat buram karena malam. Saat mobil bergerak lambat meninggalkan area parkiran, ia merasa sedih untuk Dimas dan dirinya sendiri. Serta hubungan mereka yang tak biasa.
Link ada di kolom komentar
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro