Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

JenNea


Jatuh cinta pada pandangan pertama. Apakah kau pernah merasakannya?

🐦🐦

JenNea Laksmina Putri, bercita-cita ingin menikah muda di usianya yang masih menginjak 19 tahun. Tetapi sayang seribu sayang, orang tuanya masih belum memperbolehkan dirinya untuk menikah. Selain karena gadis itu yang masih bersifat kekanak-kanakan, namun juga karena banyak hal dalam dunia rumah tangga yang belum dipahaminya.

Orang tuanya hanya takut, jika putri semata wayang mereka melakukan kesalahan atau bersikap labil dalam mengurus rumah tangganya nanti. Karena kehidupan setelah menikah, jelas sangat berbeda dari kehidupannya saat masih sendiri.

Orang-orang biasa memanggilnya Jen, Nea atau ada juga yang memanggil Laksmi. Namun Nea, sapaan akrabnya sangat tidak suka jika dirinya dipanggil Laksmi. Terlalu kuno, katanya.

***

Di bawah pohon beringin yang tidak jauh dari halaman kampus, seorang gadis tengah duduk tenang dengan segaris senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bisa dilihat, bahwa gadis itu sangat bahagia.

"Kamu di mana, Nea?"

"Aku di lapangan basket dekat fakultas kedokteran."

"Ngapain? Jangan bilang kamu lagi nge-bucin?"

Dia-Nea. Gadis yang tengah terduduk dengan bahagianya itu terkekeh mendengar panggilan dari sahabatnya. Pandangannya masih mengarah ke depan, bahkan senyumannya tidak terlepas sedikitpun.

"Aku lagi menikmati pemandangan yang indah."

"Ya ampun, Nea. Sini ke kantin, aku traktir."

Nea mengerjap pelan mendengar kata traktiran. Ia segera beranjak dari duduknya lalu pergi ke kantin untuk menemui sahabatnya. Namun sebelum benar-benar menghilang, Nea menyempatkan lagi untuk menatap ke arah lapangan. Dan satu senyuman lagi-lagi ia layangkan.

***

Kata orang, jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sesuatu yang menyenangkan. Kita bisa merasakan detakan tak normal untuk pertamakalinya. Dan Nea merasakan itu, jatuh cinta untuk pertamakalinya.

Bicara tentang menikah, Nea sudah memiliki banyak rencana untuk ia lakukan dan alasan mengapa ia ingin menikah muda.

Laki-laki impian Nea adalah yang memiliki tinggi badan di atasnya, senyumnya menawan, pemikirannya cerdas dan dewasa, berjiwa pemimpin, suka anak-anak, binatang dan tentunya mempunyai sedikit sifat dingin. Ah... dan Nea sudah mendapat laki-laki yang mendekati kriterianya.

Dia adalah Mohammad Lawang Permana. Seniornya di kampus yang menjabat sebagai Presiden Mahasiswa. Seorang hafidz Qur'an, menyukai anak-anak serta hewan, badannya tinggi menjulang dengan segaris senyuman yang mampu menarik mata, tentunya sifat dingin yang terkadang mendominasi jiwa kepemimpinannya. Mahasiswa dari Fakultas Kedokteran semester 5.

Laki-laki kelahiran Surabaya yang hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah. Orang Jawa yang berhasil memikat seorang Nea.

"Mas Awang tadi ganteng banget."

Mendegar celotehan sahabatnya, Sasa hanya bisa merotasikan matanya. Dan satu lagi, Sasa ini teman karib sekaligus sahabat Nea dari mulai umur 5 tahun sampai sekarang mereka kuliah. Dari SD sampai kampus, mereka berdua tetap bersama meskipun beda jurusan.

"Istighfar, Ne. Istighfar."

Bagai angin berlalu, Nea tidak menanggapi ucapan sahabatnya. Ia kembali tersenyum, membayangkan banyak hal tentang seorang Awang yang ia sukai secara diam-diam. Ketika laki-laki itu tersenyum, ketika tegas dalam kepemimpinannya, ketika suara merdu Awang mengaji. Masyaa Allah, sungguh detakan jantung Nea semakin menggila.

"Mas Awang benar-benar sempurna. Tambah suka aku." Nea terkekeh pelan, lalu menyeruput bobanya yang ia dapatkan dari Sasa.

Sasa menggeleng pelan lalu memukul pundak sahabatnya dengan pelan.

"Inget, mas Awang itu cuman manusia biasa. Hanya saja kekurangannya sedang Allah tutupi, jadi dia terlihat sempurna di mata manusia." Nea hanya membalas dengan anggukan kepala. Lagipula dia juga tahu, bahwa tidak ada manusia sempurna. Semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Namun sekali lagi, namanya juga cinta, salahpun tetap benar di mata.

"Jangan terlalu bucin. Kalau udah tinggi dan nggak sesuai harapan, takut jatuhnya nyungsep." Nea mendengus menatap sahabatnya. Namun tak lama ia kembali tersenyum sambil menatap ke arah langit-langit kampus, dengan menopang dagunya serta mulut yang tak berhenti menyeruput minumannya.

"Mas Awang itu type aku banget." Sasa diam tak menanggapi. Sudah beribu kali seorang Nea mengatakan bahwa Awang adalah typenya. Bahkan sudah hafal di luar kepala.

"Dasar bucin." Celetuk Sasa yang semakin gemas menatap sahabatnya.

Bagaimana tidak, jika kini yang dilakukan oleh Nea adalah menatap foto Awang yang di potret secara diam-diam. Memandang penuh cinta serta senyuman lebar yang jika dilihat secara langsung, akan terlihat konyol.

"Masyaa Allah, kutikung engkau di seperti malam ya mas Awang. Semoga Allah mengabulkan." Bicaralah sendiri si Nea dan Sasa hanya mampu mengaminkan saja. Biarlah, sahabatnya itu berbunga-bunga bagai di taman.

"Kamu mau ke mana?" Melihat Sasa yang beranjak dari duduknya, Nea mengerut bingung karena ini sudah waktunya jam pulang.

"Ke perpus dulu, mau cari buku buat bahan review-an." Melihat Sasa yang sudah beranjak dari duduknya, Nea baru menyadari satu hal. Ia langsung bangun dan berlari ke arah Sasa.

"Aku ikut." Dengan wajah imutnya, Nea bergelayut manja ke lengan sang sahabat. Membuat Sasa paham bahwa ini sudah jadwalnya.

Benar. Seorang Nea yang bucin, maka kebucinannya mendarah daging. Termasuk mengetahui jadwal Awang di kampus. Apa-apa saja yang akan dilakukan Awang setiap harinya di kampus. Karena di jam-jam sore seperti ini, Awang akan menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk mempelajari beberapa buku yang menurut Nea, adalah buku-buku hukum. Memang jiwa pemimpinannya itu selalu menguar, membuat Nea semakin dibuat jatuh cinta.

Sesampainya di perpustakaan, Nea berjengit. Ia menarik Sasa ke pojok koridor tempat buku-buku besar di letakkan. Ia menghembuskan napas secara perlahan lalu mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Ia mematut diri secantik mungkin, memoles liblamnya agar terlihat lebih segar, merapikan kerudungnya yang sedikit berantakan.

"Aku udah cantik, nggak?" Tanya Nea kepada Sasa.

Sasa tersenyum lalu mengangguk. Lagipula, tanpa polesan make-up pun, Nea termasuk jajaran perempuan yang memiliki standard wajah di atas rata-rata, sangat berbeda dengan dirinya yang tidak pernah memakai riasan wajah.

"Aku kaget, Mas Awang udah stay di sana. Ini masih jam 16.25, biasanya dia datang jam 16.30." Nea mengelus pelan dadanya dan kembali menghembuskan napas. Benar, jantungnya berdetak tidak karuan.

Padahal... belum tentu Awang mengenal Nea :'(

"Udah, akh! Aku mau cari buku, kamu jangan tebar pesona terus." Baru dinasehati, namun Nea sudah berlalu. Sasa hanya bisa menghela napas kasar, lagi dan lagi.

Bucin tetaplah bucin. Bucin yang belum mendapatkan hidayah.

Dengan senyum manis, Nea berjalan mendekati Awang yang tengah fokus dengan bukunya. Nea melirik ke samping lalu dengan segera mengambil buku tanpa membaca judulnya. Lalu ia duduk di samping Awang, yang kebetulan kosong.

"Ganteng banget kalau dilihat dari dekat."

Nea menyembunyikan senyum malu-malunya. Sesekali ia melirik ke arah Awang yang sangat menikmati bacaannya, tanpa memedulikan sekeliling.

"Lagi baca buku aja udah ganteng. Apalagi kalau pas lagi ngaji."

Nea menggigit pelan buku yang ia pegang. Ia kulum bibirnya dengan pelan, berusaha menyembunyikan senyuman yang seakan-akan ingin menguar.

"Calon imam idaman." Nea menatap Awang dengan tatapan berbinar.

Hingga dia tidak sadar, bahwa Awang tengah menatap dirinya dengan tatapan bingung.

"Ada apa?" Pertanyaan itu sukses menyadarkan Nea dari lamunannya.

Ia hampir saja terjengkang, jika tidak ingat bahwa di hadapannya sekarang ada orang yang ia sukai.

Nea berdehem sebentar, sedikit salah tingkah. Membenarkan letak duduknya lalu menatap Awang dengan cengiran khasnya.

"Kak Awang, bukan?" Sekadar basa-basi sedikit.

Lagipula siapa yang tidak mengenal Awang di kampusnya? Awang seorang Presma, sudah bisa dipastikan seluruh kampus mengenalnya. Mungkin hanya mahasiswa anti-sosial yang tidak kenal. Mungkin saja.

"Iya, dek. Ada apa?"

Dipanggil dek oleh orang yang disuka, membuat Nea berbunga-bunga. Kakinya terasa lemas, bahkan rona merah yang tersamarkan di pipinya mulai terlihat.

Nea gemas sendiri dengan perasaannya. Hingga ketika ia ingin mengucapkan sesuatu, Sasa datang dengan setumpuk buku.

Bruk!

Awang melihat tumpukan buku Sasa, sedangkan Nea menghela napas jengah menatap sahabatnya.

"Aku bisa gila kalau harus nge-review buku sebanyak ini. Kamu tahu Ne, beberapa waktu lalu dosen sudah ngasih tugas review-an 4 buku, lalu sekarang harus 6 buku." Gerutu Sasa tanpa tahu situasi yang terjadi. Dengan kesal ia duduk dan menatap kedua orang di depannya dengan bingung.

Sasa menghela sejenak lalu menatap Nea dengan tatapan menyelidik. Sedangkan Nea yang ditatap hanya mendengus sebal dengan kakinya yang menendang pelan kaki Sasa di bawah meja.

"Kalian temenan?" Tanya Awang. Pria itu menutup bukunya dan menggeser sedikit kursinya untuk memberi jarak di antara gadis di hadapannya.

Sasa mengedikan bahunya lalu menoleh ke arah Nea dengan raut menyebalkannya.

"Bucin sekali temanku ini." Sasa berkata lirih. Matanya sedikit melirik ke arah Awang, berharap laki-laki itu tidak mendengarnya.

"Jangen genit." Peringat Sasa sekali lagi.

Lagi dan lagi, semua terabaikan. Nea kembali menatap Awang dengan senyumannya.

"Maaf, aku harus pulang karena urusan di sini selesai." Awang berdiri dari duduknya. Tersenyum sebentar sambil mengucapkan salam.

"Waallaikumsallam." Lirih Nea menatap kepergian Awang dengan pandangan sendu.

"Sulit sekali mendekati laki-laki sholeh seperti dia." Gumam Nea. Ia memutar jari telunjuknya di atas meja. Membentuk sebuah lingkaran atau gambar-gambar abstrak.

"Kamu terlalu agresif. Mungkin mas Awang sedikit risih, lagipula kalian baru kenal." Kata Sasa. Ia menoleh menatap sahabatnya yang terlihat melamun. Menggelengkan kepala sebentar, sebelum memukul pundak Nea dengan bukunya.

"Yak! Kamu kasar sekali." Sungut Nea menatap sahabatnya.

"Kamu harus tahu, kalau zaman sekarang perempuan harus lebih agresif dari laki-laki. Bibiku pernah bilang, bahwa terkadang laki-laki lebih menyukai perempuan yang agresif, daripada yang diam-diam munafik." Nea menujuk Sasa dengan sebuah buku yang ia ambil dari rak buku. Matanya memincing menatap sahabatnya lalu kembali tersenyum.

"Mas Awang kalau dilihat dari dekat, gantengnya berkali-kali lipat."  Membayangkannya membuat Nea terkekeh. Ia bahagia hari ini, karena bisa mengobrol dengan Awang meskipun hanya sebentar. Lagipula kapan lagi bisa mendekati laki-laki setampan Awang.

"Banyakin istighfar, Ne. Jangan terlalu jatuh sampai ke dasar, nanti susah buat naik ke atas." Sasa tidak habis pikir. Semakin ke sini, kebucinan seorang Nea semakin menjadi.

"Kamu nggak tahu rasanya jatuh cinta, karena kamu selalu fokus sama tumpukan buku-buku sastra itu." Nea mencebikkan bibirnya lalu menatap sengit Sasa.

Sasa melotot lalu menimpuk kepala Nea pelan dengan buku kamus bahasa Indonesia-nya.

"Yak! Kamu mau mati." Sasa yang tahu bahwa Nea akan mengamuk, ia langsung lari dan Nea segera mengejar Sasa.

Sungguh menyebalkan sahabatnya itu.

"Dasar Sasa kutu buku!"

"Sadar diri. Kamu Nea yang bucin!"

Tanpa tahu malu, mereka berdua saling balas berteriak. Tidak peduli tatapan teman-teman yang lain.

"Sasa nyebelin!"

Sasa tertawa lalu memeletkan lidahnya, mengejek Nea yang berhenti dengan tatapan kesalnya.

***

Nea kesal bukan main. Sungguh malang nasibnya, ketika di tengah jalan ban motornya harus kempes. Ia lelah, sungguh. Dan bengkel di daerah tempat dia berada sekarang, lumayan jauh.

"Kenapa kamu harus kempes di saat yang tidak tepat wahai ban motor." Dan dengan terpaksa, Nea menuntun sepedanya hingga ke tempat bengkel.

Dan tahu apa yang kalian pikirkan?
Nea dengan segala imajinasi, tersenyum sendiri membayangkan seorang Awang yang ditaksirnya.

Bagaimana laki-laki itu berbicara

Tersenyum

Bahkan ketika matanya menatap dengan sorotan yang tajam

Dan lagi-lagi hal itu membuat Nea semakin jatuh cinta.

"Betapa beruntungnya perempuan yang dapat kamu, mas." Gumam Nea.

Ia kembali menatap ke depan dan membayangkan banyak hal.

Salah satunya, bagaimana jika perempuan yang dipersunting Awang adalah dirinya?

Bagaimana hari-hari yang akan mereka jalani?

Bagaimana rasa senang ketika hal yang pertamakali dilihatnya di pagi hari adalah laki-laki yang dicintainya

Nea terkikik geli lalu melempar senyum ke sembarang arah.

Nea kesengsem sama Awang.

Bucin sekali, Nea :)

Bersambung





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro