Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

0.3

Malam ini tampak biasa. Tidak ada yang istimewah bahkan hal yang dilakukan satu keluarga ini pun sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Sudah banyak yang hilang. Mereka semua merasakannya, hanya saja tidak ada yang mau untuk memulai. Bahkan yang lebih tua di antara mereka, acuh tak acuh.

"Saya selesai, saya pamit ke atas."

Andrean berdiri, ia sama sekali tida melirik ke arah kedua orangtuanya. Memang enggan.

"An .... "

Anderan berhenti.

"Jangan terlalu berlebihan."

Dada Andrean perlahan menurun berbarengan dengan kalimat yang berhasil membuat ayahnya tidak berkata kembali.

"Saya tidak berlebihan, ini adalah hal yang bisa saya lakukan demi kenyamanan diri saya sendiri."

Langkah kaki mahasiswa hukum itu kian menanjak, menaiki anak tangga dengan perasaan yang mengusik jiwanya. Perasaan yang membuat dirinya benci keluarga kecilnya ini.

Vanio. Ayah dua anak itu hanya diam. Walau nyatanya pikirannya tidak pernah diam ketika berada di rumah ini. Rumah yang ia beli dari jerih payahnya demi istrinya yang ia cintai. Itu dulu, tidak tahu sekarang.

Shakila meletakkan sendoknya. Memberi jarak pada meja dan tubuhnya. Lalu perlahan menjauh meninggalkan sepasang suami istri dalam diam. Mata Vanio menatap istrinya. Menatap mata yang tak sama dengan dulu. Mata yang dulu penuh akan cinta dan tulus, kini beralih dengan mata yang penuh akan sandiwara.

"Kamu tidak mau memulai?" istrinya berucap.

"Memulai untuk apa?"

"Memulai untuk mengakhiri semuanya mungkin." Santi istri dari Vanio menatap balik ke arah mata tajam suaminya. Ia memberikan tatapan penuh intimidasi.

"Tidak ada yang perluh diakhiri, jika yang memulai enggan duluan." Vanio berdiri. Ia merapihkan pakiannya.

"Siapa yang memulai duluan!" Santi meninggikan suaranya. Ia merasa tidak terima akan kalimat barusan yang dilontarkan oleh suaminya.

"Entahlah, bisa kamu lihat sendiri," ucap Vanio dengan sinis.

"Kamu yang memulai duluan Mas!"

"Siapa yang mulai duluan! Hah!"

Vanio tampak sudah memanas. Dirinya merasa bahwa istrinya tidak pernah sadar akan hal yang pernah dia lakukan.

"Saya tidak akan pernah memulai, kalo mas gak asik berduaan sama asisten mas itu yang namanya Dea!"

Tangan yang masih tampak kokoh itu, perlahan memijat pelipisnya, merasa nyeri ketika mendengar kalimat yang diucapkan istrinya.

"Saya sudah pernah jelaskan! Bahwa apa yang kamu lihat tidak sesuai apa yang terjadi dengan Mas dan Dea! Sudah lah, jangan bahas sesuatu yang jelas-jelas kamu sendiri gak tahu kejelasannya!"

"Gak ada kejelasan? Gak ada kejelasan katamu Mas! Kamu cahtingan dengan dia aja pake kata sayang-sayangan, terus udah ku pergok berduan dengan Dea masih ngelak kamu mas! DASAR PRIA YANG TIDAK PERNAH MENYADARI KESALAHAN—"

Prang!

Satu gelas berhasil pecah. Berserah ke mana-mana. Shakila yang mendengarnya dari kamarnya tampak merikuk di sudut ruangan. Memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya sendiri. Merasa bahwa rumah ini hanya menjadi tempat perang mulut ketika Ayah dan Bundanya berada di ruangan yang sama. Sahkila tidak pernah berharap hal ini akan terjadi terus menerus. Namun, Shakila tidak mengerti harus bagaimana. Tidak tahu harus bertindak bagaimana. Ia hanya bisa menerima dan merasakan semua yang ia lihat dan dengar dari jangkauannya.

Sedangkan Andrean, ia memakai aerophon yang selalu ia kenakan ketika ke dua orangtuanya berada di ruangan yang sama. Karena Andrean sudah tahu akan terjadi seperti ini. Ia merasa ke dua orang itu tidak ada yang mengalah satu sama lain.

Keributan di rumah itu berakhir dimana Vanio pergi ke luar rumah dengan persaaan yang sulit dideskrpsikan. Santi menangis di depan meja makan. Merasa menang tetapi merasa bahwa apa yang terjadi sekarang adalah sesuatu yang tidak pernah menemukan titik ujung. Santi lelah, tapi gengsinya lebih tinggi dari pada harus mengalah. Ia hanya ingin suaminya itu menyadari semua kesalahannya dan meminta maaf kepadanya. Namun, kedua manusia ini memiliki watak yang sama-sama keras kepala.

***


Tut ... Tut ... Tut ...

Suara alaram sebuah ponsel mengusik dua pasang telinga yang tidak jauh darinya. Perlahan tubuh yang diselimuti selimut bergambar spidermen itu bergerak. Tangan kanannya mencari benda persegi yang jelas-jelas berada di sampingnya.

05.00 WIB

Layar ponsel menampilkan jam beserta notif alaram. Alsa mematikannya. Ia perlahan membangunkan dirinya. Memberi kelonggaran diri untuk menggapai energi dari luar. Agar dirinya bisa sepenuhnya melihat dengan sadar. Beberapa menit kemudian Alsa turun dari kasurnya. Berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu ia kembali ke kamar dan melaksanakan sholat subuh.

Setelah selesai, Alsa berjalan ke luar kamarnya mencari sapu untuk menyapu seisi ruangan yang kini ia tepati.  Rumah Pamannya.

Rutinitas yang selalu ia lakukan kurang lebih 2 tahun setengah. Melakukan kegiatan yang menurutnya wajib dilakukan. Menyapu, membuka jendela, memberishkan cucian piring, menjemur pakaian. Ia merasa itu tanggung jawabnya. Hal yang menjadi penjanggal dalam hatinya jika itu bukan ia yang melakukannya. Jika tidak, maka ia akan merasa bersalah.

Pukul 06.30 Alsa sudah siap akan dirinya yang ingin berangkat ke sekolah. Ia selau menaiki ngkot untuk pergi ke sekolahnya yang kuramg lebih 10-15 menit sampai. Ia berpamitan dengan pamannya yang terlebih dahulu memberinya uang jajan senilai 10 ribu. Alsa bersyukur. Uang 10 ribu itu akan di bagi dengan 4 ribu uang ongkos pulang pergi dan 6 ribu untuk uang jajan. Alsa sangat menikmati uang pemberian pamannya. Tapi terkadng Alsa merasa terbebani, merasa bahwa dirinya punya hutang budi dan material yang suatu saat nanti harus dikembalikan. Rasa yang selalu ada ketika ikut denga orang lain.

Alsa tidak peduli, untuk saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro