0.2
Mentari terik kini sejajar dengan kepala. Menyinari tanah gersang yang tampak menguap, memperlihatkan debu yang tersebar lalu terbawa angin ke mana-mana.
Goesan sepeda memompa roda berputar secara cepat, melewati jalanan sepi karena terik yang membuat orang enggan keluar rumah. Tidak untuk Alsa. Sepulang sekolah, ia harus bergegas mengendarai sepeda ontelnya, untuk membawa barang jualan yang ada di rumah untuk di antar ke toko Pamannya. Yang kira-kira jaraknya 10 menit.
Alsa selalu bersyukur akan jalan yang ia pilih. Jalan yang entah kenapa ia terima begitu saja. Demi meringankan beban Ibunya. Ia rela mengiyakan ajakan untuk ikut Pamannya ke luar kota dan tinggal bersamanya.
Namun, keputusan yang ia ambil, terkadang membuat dirinya menyesal. Ikut dengan orang lain membuat dirinya sulit untuk berekspresi. Sulit untuk menolak sesuatu walaupun dirinya tidak bisa. Karena pada dasarnya permintaan dari orang yang mengasuh sulit untuk ditolak. Akan tetapi Alsa akan selalu berusaha menjalani harinya dengan senyuman.
"Langsung bawa ke dalam saja barangnya. Kemudian kamu antar kardus itu ke rumahnya Ibu Santi."
Alsa turun dari sepedanya, mendaratkan kaki lalu beranjak mengikuti perintah barusan dari Pamannya. Alsa benar-benar tidak bisa menolak.
"Diminta uangnya apa Paman saja yang minta?" tanya Alsa.
Pamannya yang tampak tengah menata barang, menengok ke arahnya. Membuka mulut lalu berucap, "Paman saja, biar sekalian total barang yang minggu kemarin."
Alsa tersenyum, setidaknya pulang ke rumah bisa lebih cepat dari biasanya.
"Oke, Saya berangkat."
***
Setibanya di rumah, Alsa membaringkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Merentangkan badannya lalu menarik nafas secara dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Alsa terdiam sebentar mengingat sesuatu, ia kemudian duduk, mencari barang yang kini ia butuh-kan. Matanya menatap ke arah meja belajarnya, kemudian beranjang dan mengambil benda persegi berwarna hitam. Ia membuka ponselnya lalu mengeklik aplikasi Facebook. Perlahan ia mencari nama seseorang, nama yang kini mengusik pikirannya. Dan ia pun menemukannya.
"Sakila Ardalita, perempuan yang berani ke kamar mandi cowok, buat ngejer cowok, gila memang."
Alsa melihat ke bawah akun facebook milik Sakila. Yang kini ia tahu, Sakila ingin sekali menjadi seorang Dokter terlihat jelas dari postingan-nya, tapi entahlah Alsa tak peduli. Ia pun mematikan ponselnya, lalu terlelap begitu saja.
***
Sunyi. Tidak ada suara. Hanya nafasnya yang kini terdengar. Sakila sudah terbiasa. Tapi biasa itu kini semakin merusak jiwanya. Merasa sepi dan kehilangan.
Sekelebat masa lalu melewati memori otaknya, memperlihatkan satu keluarga yang tengah bercengkerama di ruang tamu di hadapannya. Melihat gadis kecil berlari mengejar Kakaknya yang merebut mainannya, sedangkan si Bunda dan Papahnya hanya tertawa seraya makan makanan ringan. Senyum yang tampak bahagia, dan kini sangat di rindukan oleh Sakila.
"Kak! Bunda sama Papah belum pulang ya!"
Sakila berteriak, memanggil Kakak satu-satunya. Yang kini tengah berada di kamar lantai dua. Sakila tidak mendapatkan jawaban. Ia pun beranjak pergi melangkah ke lantai atas, menuju kamar Kakaknya yang tertutup. Sesampainya di depan pintu masuk. Sakila mengetuknya.
"Kak!"
"Kakak!"
Tidak ada balasan. Ia pun membuka pintunya secara perlahan. Aroma rokok menjadi hal pertama yang Sakila rasakan, bau pengap serta sedikit bau alkohol menerpa hidung mancung miliknya.
Sakila perlahan melangkah maju, melihat kamar yang cukup berantakan. Sakila sudah terbiasa, tapi ia tak tahu kenyataannya kamar ini tak pernah dibereskan, jelas dari barang-barang yang tampak posisinya masih sama, berantakan.
"Kak!" Sakila memanggil.
"Hemmmm .... "
Sakila mendengar gumaman. Ia pun melangkah menuju ke pinggiran ranjang, dan melihat Kakaknya yang tampak tergeletak lemas di atas lantai. Rambut gondrongnya terlihat urak-urakan. Wajahnya terlihat kusam. Sakila menebak, bahwa Kakaknya tengah mabuk berat.
Andrean. Seorang mahasiswa hukum semester 7, Kakak kandung dari seorang perempuan yang kini menatap lelah ke arahnya. Menatap rasa kecewa. Kakak yang dulu ceria dan selalu memiliki aura positif kini berubah begitu saja. Namun, alkohol benar-benar kini menguasai tubuhnya Andrean.
Sakila mengeluarkan nafas secara kasar. Semuanya berantakan. Semuanya berubah.
Tidak ada hal lebih yang kini ada di rumah ini. Mereka sibuk. Mengurus dan mempertahankan sesuatu yang sama sekali tidak membuat anak mereka bahagia, walau pernyataan ini tidak selamanya benar.
Sakila pun sudah enggan, ia melangkah balik dan keluar dari kamar yang tampak kumuh itu. Berpikir, apa yang kini ia harus lakukan. Seraya berjalan, ia masuk ke arah kamarnya. Kemudian melihat nakas di samping tidurnya, terdapat semangkuk mie yang mungkin sudah dingin. Sakila pun menggapainya, lalu menarik kursi dan duduk di depan jendela. Tangan kananya mengayun sendok, lalu menarik beberapa mie dan memasukkan ke mulutnya. Sakila menatap ke arah depan, melihat beberapa atap ruamah yang mengkilat karena cahaya matahari. Setidaknya sunyi dan dingin lebih baik dari pada berinsik tapi panas.
"Bukan hal yang aneh kalo gue ngerasa-."
"Papah Pulang!"
Sakila terdiam sebentar, lalu ia berdiri dan berlari ke luar kamar. Mencari asal suara yang barusan ia dengar. Sakila Menuruni anak tangga tanpa melihat pijakannya. Ia pun langsung memeluk Papahnya yang kini sudah berada di dekapannya.
"Ututu anak Papah yang paling cantik ... Kangen gak nih sama Papah."
Vanio. Ayah dari Andrean dan Sakila.
"Kangen lah! Papah seminggu gak pulang, terus hari pertama sekolah aja gak ada yang nganter lagi," keluh Sakila. Ia masih memeluk Papahnya.
Vanio melepaskan secara perlahan pelukan putrinya. Ia tampak terkejut atas pernyataan dari putrinya ini.
"Serius kamu gak dianter? Emang Bunda kamu kemana?"
Sakila terdiam. Lagi. Ia salah bicara. Akibat rasa rindu, kini ia membuat suatu pernyataan yang akan menjadi pemahat yang menajamkan masalah.
"Eh enggak Pah! Ihhh salah omong aku, efek kangen ini lohhh."
"Yang bener ... Terus Bunda mu kemana?"
Sakila berpikir sebentar.
"Gak tahu, tadi pas ngejemput aku. Bunda pergi lagi. Cuman gak bilang mau pergi ke mana." Lagi, Sakila berbohong.
Setidaknya Sakila tidak ingin melihat, rumah yang sudah terasa hampa semakin hilang tanpa suara.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro