Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 4. SALTY COFFEE VS SWEET LIPS

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Sepanjang perjalanan menuju toko roti, aku hanya diam. Benakku penuh dengan keherananku sendiri atas apa yang terjadi. Lagi-lagi aku merasa ada bagian yang hilang dari ingatanku.

Aku ingat berencana melakukan kunjungan ke rumah Alrico untuk menemui kakak-kakaknya. Namun, aku sama sekali tak mampu mengingat apa yang kukatakan pada mereka.

Satu-satunya yang kuingat adalah pemandangan empat tubuh bertelanjang dada yang malang melintang tertidur pulas di lantai. Aku pun heran kenapa mendadak terpikat pada Alrico hingga bersedia diantarkan olehnya ke toko.

Aku merasa ada yang aneh dan salah dengan diriku saat ini. Seperti ada kepingan puzzle yang hilang, membuat diriku merasa tidak lengkap.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Alrico sembari menyetir.

Aku menoleh. Untunglah dia memakai kaos kali ini. Jika tidak, mungkin aku akan menendangnya keluar.

"Entahlah ...," gumamku. Aku memperbaiki posisi duduk, menatapnya intens. "Katakan padaku, jujur. Apa yang terjadi setelah aku melihat kakak-kakakmu tertidur di lantai? Kenapa aku tiba-tiba menjadi seperti orang linglung? Hal sama terjadi padaku pagi ini. Aku merasa melakukan sesuatu semalam, tetapi mengapa aku tak dapat mengingatnya?"

Alrico menarik bibirnya, membentuk garis datar di mulutnya. "Mmm ... tidak ada. Kau hanya datang ingin berkenalan dengan empat sepupuku, kau membangunkan mereka, lalu ... kau tiba-tiba pamit. Kupikir karena kau harus buru-buru ke toko roti."

Aku mengawasinya dengan tatapan tak percaya. "Sepupumu? Kukira mereka kakak-kakakmu. Kenapa kalian tinggal bersama? Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Firasatku mengatakan itu."

Alrico tertawa kecil. "Aku tak berbohong, Cleona. Kaulah yang menyimpulkan mereka sebagai kakak-kakakku. Aku tak pernah bilang begitu. Itulah yang terjadi."

Ia menghentikan mobil, lalu menoleh ke arahku. "Kita sudah sampai. Kau ingin aku membukakan pintu?"

Aku melirik ke arah bangunan kecil yang terlihat seperti toko tua yang kuno, tapi unik sebelum memandangi Alrico dengan jengkel. "Tidak usah, lagi pula kau bukan pacarku."

Alrico menarik napas pendek. "Apakah itu berarti kau mau jadi pacarku?"

"Tidak! Aku belum putus dari Xavier!" sahutku sedikit ketus.

"Berarti kau akan jadi pacarku setelah putus? Kapan?" tanyanya penuh harap.

Aku mendelik. "Bukan urusanmu!"

Alrico menatapku dengan tatapan putus asa. "Hei, kau bahkan tidak menginginkan ciumannya semalam. Kau malah menikmati lumatanku. Kau lupa?"

"Aku sedang marah padanya saat itu! Nah, aku ingat bagian ... lumatan, tetapi apa yang terjadi setelahnya? Kenapa aku tidak ingat?!" cecarku.

Alrico menatapku bingung. "Kau yang lupa, kenapa malah bertanya padaku?"

Dia berpura-pura! Aku bisa melihatnya! Ia tahu sesuatu!

"Kenapa yang kulupakan adalah selalu tentang dirimu? Maksudku, setelah bertemu denganmu. Ah ... intinya aku tahu itu berhubungan denganmu, tetapi aku tak tahu apa itu!" teriakku kesal.

"Kau bicara apa? Aku tak mengerti," sahutnya dengan wajah polos.

Semakin ia bersikap begitu, aku makin yakin. Dia menyembunyikan sesuatu.

"Menjauh dariku! Kita tak usah bertemu lagi! Terima kasih sudah mengantarku!" Begitu selesai perkataanku, aku segera membuka pintu mobil dan keluar.

Aku buru-buru melangkah ke arah toko seraya menggenggam erat tali tasku, tanpa memedulikan panggilannya.

Ada dua hal yang kusadari. Pertama, perasaanku mulai kacau karena Alrico dan itu membuatku tak nyaman. Kedua, ada sesuatu yang aneh di diri si Keriting serta empat sepupunya dan itu membuatku merasa tak aman.

***

"Siapa yang mengantarmu tadi?" tanya Maxim, memperbaiki posisi kaca matanya sembari membaca catatan di tangannya.

"Oh, itu ... tetanggaku," sahutku pelan.

Maxim memandangiku dari celah kaca matanya yang sedikit melorot. "Kau sudah putus dengan Xavier?"

Aku mendesah seraya menaruh tas di kolong meja. "Belum."

"Kau berencana akan putus?" tanyanya lagi.

Aku melebarkan mata. "Ada apa dengan semua orang? Kenapa mengharapkan aku putus dengan Xavier?! Bibi Joana, Alrico, dan kau!"

Aku mengempaskan tubuh ke kursi sambil mengembuskan napas kesal.

"Kau sedang menstruasi?" tanya Maxim lagi, memasang gaya acuh tak acuh.

"Max! Pertanyaan apa itu?!" protesku.

"Oh, berarti tekanan darahmu sedang naik. Istirahatlah. Kau tak usah bekerja hari ini," sahutnya masih dengan gaya santai.

Aku memutar bola mata. "Alrico hanya mengantarku ke sini karena aku tadi ke rumahnya. Yang membuatku kesal adalah aku tak ingat apa yang kulakukan dan kukatakan saat berada di rumahnya. Maksudku, aku tahu, tapi ada yang tidak kuingat. Uh!"

"Oh, begitu. Kukira kau sudah berkencan dengannya," ujar Justin sambil melepas kaca mata dan menaruhnya di atas meja kasir.

"Kurasa sejak kedatangan tetanggamu, kau mulai uring-uringan dan sering tak fokus," lanjutnya lagi.

Aku mendesah. "Aku tahu. Maafkan aku. Masalah Xavier, tetanggaku, bahkan Bibi Joana, membuat pusing."

"Ada apa dengan bibimu?"

"Dia kelihatan seperti sedang kesulitan keuangan. Meski ia selalu ceria, aku bisa melihatnya," gumamku. "Ia tidak mengerjakan jahitan apa pun beberapa hari ini."

Maxim melangkah mendekatiku, lalu duduk di depanku. "Apa yang bisa kubantu?"

Aku menggeleng. "Ah, tidak. Aku banyak berutang padamu. Kadang aku heran kenapa kau baik sekali terhadapku? Kau tahu, kau seperti pengganti papa bagiku."

Maxim tersenyum. "Aku tak punya siapa-siapa selain toko tua ini. Aku pernah gagal berumah tangga dan belum ingin menikah lagi. Aku menganggapmu sebagai putriku sendiri. Laura tidak terlalu memiliki hubungan seperti yang kurasakan terhadapmu."

Aku menatapnya sendu. "Alangkah baiknya jika kau menjadi bagian dari keluargaku. Maksudku, jika kau ingin kuperkenalkan dengan ... bibiku ...."

Maxim menggeleng. "Aku percaya pada takdir. Jika memang aku berjodoh dengan bibimu, kami pasti akan bertemu."

"Dia wanita yang baik dan menyenangkan, Max. Kau akan menyukainya," ujarku penuh harap.

Maxim tersenyum. "Kita lihat saja nanti. Aku tak berani berharap apa pun untuk saat ini."

"Oh," lanjutnya lagi, "bisakah bibimu membuatkanku sebuah jas? Aku sepertinya membutuhkannya."

"Max ...." Aku menatapnya seakan tahu apa rencananya. "Kau tak perlu memesan jas yang tak akan kau pakai jika hanya untuk membantu bibiku mendapatkan uang."

"Siapa bilang? Aku akan butuh jas bila tiba saatnya aku mendapat teman kencan, bukan?" sahutnya.

Aku menghela napas. "Baiklah. Berikan contoh baju ukuranmu. Aku akan menyampaikannya pada Bibi, kecuali kau ingin menemuinya sendiri."

"Ah, tidak. Aku belum siap. Berikan saja ukuran bajuku nanti," ujarnya sambil mengedipkan mata.

Aku tertawa. "Siap, Bos."

***

Suasana toko cukup ramai. Ada beberapa orang yang memilih makan dan minum di tempat hingga aku cukup sibuk melayani mereka. Suara pintu terbuka membuatku menoleh dan bersiap-siap menyambut pembeli untuk ke sekian kali. Namun, senyumku seketika hilang begitu melihat siapa yang datang.

Alrico melangkah masuk. Ia memakai kaos putih lengan panjang dan jins biru.

Matanya berbinar saat menatapku dengan senyum terukir di bibirnya. Seakan penuh kepercayaan diri bahwa senyumannya akan memikatku dan melupakan apa yang terjadi tadi pagi.

Aku memicingkan mata, menaruh satu tangan di pinggang. Mataku mengawasinya hingga ia menempati salah satu meja di sudut toko.

Tangannya kemudian diangkat sambil berseru ke arahku. "Vull un cafe, si us plau!"

"Tidak usah minum kopi di sini. Kau bawa pulang saja!" sahutku ketus.

Beberapa pembeli yang tengah menikmati roti dan kopi di meja mereka sontak menoleh ke arahku dengan tatapan menghakimi.

Alrico terkekeh geli. "Aku ingin makan roti dan minum kopi buatanmu."

Setengah hati aku berjalan menghampiri mejanya seraya memegang sebuah buku kecil untuk mencatat pesanan.

"Kau mau makan roti apa?" tanyaku datar.

Dia mendongak dan sedikit memajukan wajah. Matanya mengerjap jenaka. Bibir lelaki itu mengerucut manja. "Roti kesukaanmu apa?"

Aku mendelik. "Aku suka semua."

Ia kembali bersandar ke kursi. "Oh, pilihkan satu yang menurutmu paling enak. Kopinya sesuaikan dengan seleramu saja."

Aku memutar bola mata sebelum meninggalkannya. Beberapa pembeli terlihat melirik dengan wajah tak senang melihat sikapku. Lima gadis yang duduk di dekat pintu tampak sibuk bisik-bisik, mengikik sambil mencuri pandang ke arah Alrico.

Aku lagi-lagi memutar bola mata. Maxim mengawasiku dengan tatapan di balik kaca matanya yang melorot.

Kuambil cangkir dan mulai mengisinya dengan kopi panas dari teko listrik. Mataku melirik ke arah dapur. Sebuah ide muncul di benakku.

Aku membawa cangkir berisi kopi itu ke dapur. Kuambil sesendok makan garam dari toples kecil dan menuangkannya ke dalam minuman berwarna hitam itu. Senyumku mengembang saat mengaduknya pelan.

Setelah merasa cukup, aku bergegas kembali ke meja etalase untuk menyiapkan roti. Kupilih roti secara acak dan sembarang.

Maxim melipat kedua tangan dan memberiku tatapan akutahuapayangkaulakukan. Aku mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. Ia malah memberiku senyum dan ekspresi ancaman.

Aku membalasnya dengan ekspresi akutakpeduli. Kuletakkan secangkir kopi dan roti kismis di baki, lalu membawanya ke meja Alrico.

Kutaruh cangkir berisi minuman yang masih mengepul dan roti pesanannya dengan hati-hati. "Ini pesananmu. Silakan."

"Gracies." Alrico tersenyum sembari meraih cangkir. Ia meminumnya sebelum memuntahkan dan menaruh cangkir dengan gerakan cepat. Cipratan cairan kopi panas mengenai tangannya.

Aku terkejut dan bergerak spontan membungkuk dan mengelap tangannya dengan celemek milikku.

"Ho sento," ujar Alrico dengan wajah penuh penyesalan ke arahku. "Aku tidak tahu jika kopi seleramu seperti itu ...."

Aku menahan diri untuk tidak berteriak padanya. Sikapnya malah membuatku merasa menjadi orang jahat.

Mendadak sebuah kecupan kilat mendarat di bibirku. Aku terpaku. Mata kami bertemu.

"Mulutku asin. Jadi, aku butuh bantuan bibirmu untuk membuatnya terasa manis ...," bisiknya.

Baiklah, lupakan rasa bersalah. Dia tidak layak mendapat kebaikanku!

Tanganku terangkat hendak menamparnya, tapi Alrico sigap menangkap lenganku dan meremasnya lembut.

Aku berhasil menarik tanganku dan menegakkan tubuh kembali saat Maxim datang membawa secangkir kopi yang baru. Ia menaruhnya di meja Alrico, sedikit membungkuk, dan berbisik pelan padanya, tapi cukup terdengar olehku. "Dia sedang menstruasi. Kuharap kau cukup mengerti."

Alrico mengangguk-angguk seakan paham akan perkataannya. "Moltes gracies."

"De res!" balas Maxim sambil menepuk pundaknya. Kepalanya berpaling ke arahku, lalu meleletkan lidahnya.

"Max!" protesku.

Lelaki itu menegakkan tubuh, berbalik sambil menepuk-nepuk pundakku lembut dan memberiku anggukan seakan ia mengerti sesuatu yang tak kupahami.

Alrico tersenyum sebelum menyesap kopi buatan Maxim. Ia mengambil roti dan mulai menyantapnya sambil menatapku dan mengedipkan mata.

Aku memutar bola mata. Kuentak kaki sebelum meninggalkannya kembali ke meja kasir.

***

Bahasa Katala/ Catalan :

Vull un cafe, si us plau : I'd like a coffee, please

Moltes gracies : thanks so much/many thanks

De res : you're welcome

Holaaaaaa, apa kabar? Semoga kalian semua baik-baik saja. Hmm ... karena seseorang yang begitu setia merengek pada saya, maka saya pun memutuskan meng-update dua chapter sekaligus. Semoga suka ya.

Seperti biasa, vote dan komen saya harapkan. Kritik dan saran saya persilakan. Oh, boleh meminta satu lagi, ga? Bisakah kalian membantu memasukkan cerita ini ke dalam daftar bacaan kalian? Terima kasih jika berkenan. ^^

Gracies!

Adieu!

Fins aviat!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro