Part. 8
"Lo gercep juga Zy, langsung nembak gitu. Ini lo seriusan kan, Zy?" tanya Dhea benar-benar merasa sangat bingung dengan sikap teman barunya itu.
Padahal baru tadi gadis itu mengatakan kalau ia tertarik dengan Alren yang dikenal suka marah dan sikap kasarnya itu dan Rinzy langsung menyatakan perasaannya? Ia memang pemberani.
Sebenarnya bukan hanya Rinzy banyak juga yang laki-laki itu, tapi tidak ada yang seberani temannya itu. Selain ketua geng motor, ia sering balapan liar hampir tiap malam. Bersama temannya anak sekolah menengah atas yang jarak sekolahnya lumayan jauh.
"Zy, lo mendingan suka sama cowok lain, banyak kok laki-laki baik," sambung Dhea.
Rinzy tersenyum lebar lalu menggeleng kecil. "Ya, gimana, Dhe. Hati gue bilangnya gitu, otak gue aja nggak bisa halangin."
"Jangan-jangan lo dipelet lagi. Lo bener-bener sadar seratus persen, kan?"
"Ya kali, Dhe." Rinzy tertawa geli. "Tapi, dipikir-pikir gila juga gue, nembak dia begitu."
"Tapi lo nggak apa-apa, kan? Dia nolak mentah-mentah, lho."
"Nggak apa-apa, ada banyak cara buat dia luluh. Gue percaya diri aja, gue kan cantik gini. Masa dia nggak mau sama gue?"
"Mendingan lo fokus belajar buat UN aja," balas Dhea seraya menumpuk mangkuk bakso di tengah meja. "Kita kan udah kelas dua belas."
Rinzy terkekeh kecil. "Lo mengingatkan gue pada masa suram aja."
"Kalo itu, gue ikut arus ajalah. Nggak ngaruh amat, yang penting lo prepare buat kuliah aja, Dhe." Kemudian Rinzy menengguk abis es teh manis.
"Iya bener juga, sih."
"Kapan gue ngomong nggak bener, Dhe?" Gadis berkuncir itu terkekeh geli.
Bahkan sejak awal ia tidak pernah berkata jujur. Rasanya sungguh menyakitkan harus berkilah seperti ini. Gadis seperti Dhea sangat jarang ia temukan. Sebagian besar teman-teman hanya ramah di depan, benar-benar membuatnya muak.
"Gue mau beli permen mau nitip sesuatu nggak, Zy?" tawar Dhea.
Tepat saat Rinzy akan merespons, terlihat seorang laki-laki terlihat keluar kantin dengan sebungkus rokok di masukan ke saku celana.
"Lo liat siapa, Zy?"
"Gue nitip air botol aja. Nanti lo duluan ke kelas aja. Gue mau ke toilet sebentar ya, Dhe."
"Hm, oke."
"Thanks ya," ujar Rinzy
Dhea lantas beranjak pergi. Memastikan temannya sudah pergi, buru-buru Rinzy pergi seraya berlari kecil mengikuti Alren.
Terlalu fokus mengikuti langkah lebar laki-laki itu, membuat bingung entah di mana sekarang dia berada. Ia jadi curiga, mungkin laki-laki itu akan berbuat mesum dengan gadis waktu itu.
Sesuai dengan permintaan, dia akan menghalanginya situasi seperti itu. Itu sangat tidak sopan bagi gadis jomblo akut sepertinya.
Setelah beberapa saat mengikuti Alren. Sekarang ia berada di belakang sekolah. Dengan langkah perlahan Rinzy mendekati dan sedikit mengintip dari balik tembok.
"Astaga, si bocil gue pikir dia ngapain," tutur Rinzy sedikit lega.
Cepat-cepat ia mengeluarkan selembar kertas dan pulpen. Kemudian mencatat sesuatu di sana.
Setelah selesai ia lantas menghampiri laki-laki itu.
"Ternyata lo ngerokok juga?" Rinzy mengambil rokok itu dari tangan Alrenl. "Tapi, tampang lo udah keliatan, sih."
Alren langsung berdiri terkejut dengan kedatangan gadis itu.
"Lo ngapain? Suka banget ngikutin gue."
"Lo nggak boleh ngerokok masih bocil."
"Gue udah bilang nggak suka sama lo, pergi sana!"
Laki-laki itu lantas kembali terduduk di kursi kecil dekat tembok. Ia kembali mengambil sebatang rokok, namun sebelah tangan Rinzy menahan tangannya untuk menyalakan ujung rokok itu.
"Lo ngapain sih, njing?!"
Tidak respons perlahan gadis itu merendahkan tubuhnya. Ia mendekati wajah Alren sangat dekat. Laki-laki sontak memundurkan sedikit wajahnya. Gadis itu mengisap rokok, lalu menghembuskan di depan wajah Alren hingga membuatnya batuk.
"Enak nggak?" tanya Rinzy tersenyum miring.
Namun laki-laki itu malah menikmati setiap inci wajah gadis itu. Beberapa saat kemudian Alren baru mengibaskan tangannya dari asap rokok itu.
"Mendadak bisu gitu ya?" sambung gadis itu lalu kembali berdiri tegak. "Bocil, mana boleh rokok."
Rinzy lantas membuang rokok itu lalu menginjaknya. Melihat Alren yang kembali mengeluarkan sebungkus rokok, gadis itu mengambil dengan korek.
"Nakal banget dibilangin."
"Lo siapa berani ngatur gue?!" bentaknya seraya menarik tangan Rinzy mendekatinya. "Berenti ikut campur!"
Alren cukup membuatnya tersentak hingga ia terdiam sejenak menatap kedua mata laki-laki itu.
Tidak ingin terpancing amarah. Rinzy menahan pergelangan tangan yang sedikit sakit. Gadis itu menggenggam tangan Alren yang manahan tangan kirinya itu. Ia tersenyum manis.
"Suatu saat lo bakal tau apa maksud gue gini. Jangan menyiksa diri sendiri, ada orang yang sayang sama lo, contohnya gue?"
Alren mengernyit heran. "Lepas!"
Laki-laki itu langsung melepas kasar tangannya hingga membuat gadis itu terdorong ke belakang. Tidak sengaja tangannya tertusuk paku di sana.
"Awh, siapa sih yang taro paku di sini?" Rinzy mencabut telapak tangannya pelan-pelan.
Rasanya perih untunglah paku kecil dan tidak terlalu dalam. Seraya memegang pergelangan tangan yang terluka Rinzy lantas pergi.
Alren yang masih berdiri lantas menarik tangan Rinzy.
"Sakit bocil, lo kenapa tarik yang luka?"
"Bacot banget, udah diem."
Apalagi yang akan dilakukan laki-laki itu. Rinzy hanya pasrah mengikuti langkah lebar laki-laki itu. Selama Alren bersamanya itu akan mengurangi laporannya.
Tanpa di sangka Alren membawanya ke UKS. Dengan tangannya masih memegang tangan Rinzy yang terluka, selama di jalan ia kuat-kuat menahan perih.
"Mana pulpen lo?" tanya Alren membuat gadis itu mengernyit. "Mana?
"Nggak, buat apaan?"
Alren menyuruhnya terduduk di atas ranjang dan laki-laki itu terduduk di kursi dekat meja nakas di sana.
"Lo boleh getok jidat. Gue nggak sengaja."
"Lo sakit ya bocil?" Rinzy meletakkan telapak tangannya di atas dahi Alren. "Jangan-jangan lo kerasukan? Ya ampun, gue nggak biasa bantuin begituan."
"Gue lagi baik lo ngeselin. Serius dikit, nggak bisa?"
Rinzy terkekeh geli. "Jangan baik, nanti gue makin suka gimana?"
"Niatnya gue mau ghostingin lo."
"Ada ya orang model kaya lo?"
Alren tersenyum miring. "Mana sini tangan lo," ujar Alren seraya menarik sebelah tangan Rinzy.
"Nggak usah, gue bisa obatin sendiri." Rinzy menarik kembali tangannya. "Gue bukan bocil manja kaya lo."
Alren mendecak kesal. "Gue cuma mau liat. Lo yang obatin sendiri lah." Ia mengambil kotak p3k di dalam lemari kaca dan melempar ke sebelah gadis itu. "Tuh, pake sendiri."
Selepas itu dia malah langsung beranjak pergi begitu saja.
"Ck, tadi minta gue getok sekarang malah pergi nggak jelas."
***
Satu mata pelajaran terakhir sang guru tidak mengajar, katanya sedang rapat untuk persiapan ulangan tengah semester. Rasa-rasanya seperti menyiksa diri dua kali menurut gadis bernama Rinzy itu.
Rinzy tengah bercanda gurau dengan Dhea. Berbeda dengan ketua geng motor itu, terus memandangi wajah Rinzy dari jauh.
"Bos, jangan bilang lo beneran suka sama Rinzy?" tanya Givon memiringkan tubuhnya pada Alren. "Dari tadi ngeliatin mulu."
Sahut Ervin, "paduka kalo ngeliatin cewek serem banget. Tapi, kenapa tetep banyak yang nyantol? Heran gue, nyet."
Givon menoleh pada Ervin di sebelah kirinya. "Dari cover depan aja udah beda, Pin. Lo kalo bandingin yang bener-bener, lah."
"Sialan lo, nyet! Betewe itu tanganya Rinzy kenapa di perban?" tanya Ervin menunjuk ke arah gadis itu.
Dewa yang tidak sengaja mendengar ikut menoleh. "Lo apain, Ren?" tanya Dewa pada Alren.
"Ketusuk paku," sahut Alren dengan santai. Membuat ketiga temannya terkejut.
"Gue tau, lo nggak suka sama tuh cewek. Tapi, jangan gitu lah nyet. Kesian gue," balas Ervin.
"Nggak sengaja, sat! Lagian rusuh banget tuh cewek pulpen," sahut Alren.
"Terus lo tanggung jawab nggak?" tanya Givon.
"Gue tarik dia ke UKS, terus gue kasi kotak p3k," jawab Alren.
"Paduka, kalo blokgo nggak nanggung-nanggung ya?" balas Givon.
"Lo liat tuh bos tangan yang luka sebelah kanan," lanjut Ervin. "Tapi, keren juga, dia bisa obatin sendiri."
Benar, Alren baru sadar kalau yang terluka tangan kanan.
"Lo minta maaf nggak?" tanya Dewa yang auranya mendadak seperti kakak mengintrogasi Adiknya.
Alren mendecak kesal. "Nggak. Udahlah, gue cabut." Ia lantas bangkit berdiri dan beranjak pergi.
Givon dan Ervin pun mengikuti Alren. Berbeda dengan Dewa yang menggeleng kecil, ia masih tidak habis pikir dengan sifat sahabatnya itu. Padahal hanya mengucapkan maaf apakah sesusah itu? Lebih baik, ia merebahkan kepalanya di atas meja seraya menunggu bel pulang.
Dhea yang tengah menjelaskan materi tentang mata pelajaran kimia itu, terhenti saat Rinzy hanya mengangguk. Tapi matanya melihat Alren yang baru saja keluar kelas.
"Alren cuma ke ruang mereka aja. Dia tuh jarang keluar sekolah, kecuali ada tawuran aja," tutur Dhea seketika membuat Rinzy menoleh.
"Tau aja, baru gue mau tanya."
"Lo beneran sesuka itu sama Alren? Perasaan nggak ada bagus-bagus. Buat onar iya."
"Lo tau kan, kadang kita suka sama orang tanpa alasan. Ya, kurang lebih begitu."
"Gue ngomong apaan, sih. Geli sendiri," batin Rinzy.
"Walaupun dia dikenal kasar, gue denger-denger dia cuma punya satu mantan. Kalo lo liat di berduaan sama cewek yang beda-beda, itu cuma gebetan aja. Kadang kasian gue sama ceweknya cuma di ghoshting aja. Biasanya dia deketin adik kelas. Gampang dibohongin."
"Dibutakan oleh tampang, disakiti oleh ucapan. Sad sekaligus stupid nggak, sih?"
"Cover kan selalu dilihat di awal, Zy."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro