Part. 39
“Pak, saya turun sini aja,” ujar Alren.
Inzy menoleh sekilas. “Kak Alren beneran turun di sini? Nggak di depan aja.”
“Nggak, thanks.”
Gadis itu mengangguk kecil dengan senyuman manis. “Makasih juga, Kak.”
Laki-laki itu langsung membuka pintu mobil dan keluar. Dari situ yang berjalan sebentar memasuki perkampungan itu.
Bisa-bisanya Ibu tirinya sengaja menyuruhnya bertemu di kafe. Padahal ia mulai menerima wanita itu. Namun, apa ini? Ia malah terjebak dengan gadis kaya tadi. Sialan.
Seharian ini sangat memikirkan kekasihnya. Ia tidak enak karena tidak berpamitan langsung dengan Rinzy.
Tapi, jika dipikir-pikir seharian ini gadisnya itu tidak menghubunginya sama sekali. Ia jadi khawatir terjadi sesuatu. Lagipula tidak mungkin terjadi apa-apa. Ia sudah meminta Dewa untuk mengantarnya ke rumah.
“Sweetie,” panggil Alren saat membuka pagar rumah itu. Lalu menyambar pintu dan membuka pintu itu. “Sweetie?”
Netranya terhenti melihat seseorang yang terduduk melipat kakinya. Dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Terlihat seluruh isi ruangan ini sudah berantakan bahkan ada bercak darah.
Perlahan Alren mendekati orang itu yang berada pojok ruangan. Kemudian ia berlutut pelan-pelan menyibak selimut itu.
Seketika membuat laki-laki itu terkejut, Rinzy adalah seseorang tertuduk di balik selimut itu. Kunciran rambut yang berantakan dan lepek, lebam di sebelah pipinya. Bekas kemerahan di area lehernya. Baju seragam rusak, beberapa kancing hilang.
“S-sayang? K-kamu kenapa?” tanya Alren panik. Ia mengangkat sedikit kepala Rinzy agar bisa melihatnya. “Sayang, liat aku. Siapa yang buat kamu begini?”
Gadis itu hanya terdiam, tatapannya kosong. Tubuhnya bergetar, kedua matanya membengkak karena terus menangis. Sesekali Rinzy sesegukan dengan air mata yang, bahkan sudah tidak mengalir lagi.
Tidak berniat merespons apapun. Kekasihnya itu kembali menutup tubuhnya dengan selimut seraya menunduk pada lututnya.
Sungguh Alren sangat hancur. Ini sangat menyakitkan. Laki-laki menutup mulut dengan telapak tangannya, ia menahan tangisnya. Kemudian terduduk di hadapan gadis itu.
Alren mengusap lembut puncak kepala Rinzy sembari menahan tangisannya. “Sayang, a-aku di sini sekarang. Kamu jangan takut.”
Laki-laki itu menyeka air matanya cepat. Perlahan membuka selimut yang menutupi kepala kekasihnya. Alren membantu lap air mata gadis itu juga keringat dengan jaketnya.
“Sayang, siapa yang buat kamu begini? Kasi tau aku,” tutur Alren lembut seraya menangkup, menahan air matanya. Ia memandangi wajah Rinzy dengan air matanya yang kembali mengalir.
Rinzy masih tidak ingin mengatakan apapun. Ia merasa seluruh tubuhnya hancur. Bahkan bibirnya bergetar matanya mulai perih karena menangis sejak tadi. Sungguh ini sangat menyakitkan. Ia rasa Alren sangat tidak pantas dengannya yang buruk ini.
Kekasihnya yang tidak menjawab apapun, malah membuat Alren semakin dengan keadaannya. Kemudian ia mencoba mendekap erat tubuh gadis itu yang masih bergetar.
"Sayang, a-aku disini sekarang," tutur Alren memeluk Rinzy. Tanpa disadari air mata mengalir begitu saja.
Namun, Rinzy menolak seakan menyuruhnya untuk menjauh. Alren semakin berusaha kembali memeluk.
“A-aku nggak pantas buat kamu,” ucap Rinzy tiba-tiba seraya menatap dalam mata Alren.
“Kamu ngomong apa, sih, sayang? Siapa yang bilang? Aku sayang sama kamu, kamu juga. Kenapa cuma karna ini, kamu merasa nggak pantas buat aku?”
“Aku buruk.”
“Kamu buruk? Aku lebih buruk, kita sama-sama buruk. Apa bedanya?”
“Aku udah di raba-raba sama dia!” jerit Rinzy membuat Alren terkejut dan mendadak terdiam.
“S-sayang, ....”
“Aku udah di sentuh sana sini, dia pegang sana sini. Pake tangan sialan itu. Aku takut, rasanya aku mau mati. Aku nggak bisa lawan sama sekali.”
“Sayang, dengerin aku—“
“Aku nggak pantas buat kamu,” teriak Rinzy sembari menangis sesenggukan. “Aku nggak mau, kamu punya pacar kaya aku.” Gadis itu memukul kepala keras, sesekali menarik rambutnya.
“Kamu ngapain? Nanti kepala kamu sakit.” Alren menahan kedua tangan Rinzy agar tidak memukul kepala sendiri. “Sayang, plis jangan begini. Aku sayang sama kamu, apapun yang terjadi.”
Tiba-tiba terdengar derap langkah yang mendekatinya mereka berdua.
“Ren,” panggil Dewa membawa kantung plastik berisi obat dan plester. “Lo--“
Alren sontak menoleh dengan tatapan tajam, lalu bangkit berdiri. Langsung menonjok wajah laki-laki itu dengan keras, hingga tersungkur menabrak meja.
“Lo ke mana, bangsat?! Gue bilang jagain cewe gue!” bentak Alren menarik kerah baju Dewa.
“Lo yang ke mana? Pas kejadian Rinzy nelpon lo berkali-kali!” balas Dewa terbawa emosi.
Alren seketika terdiam, ia meraih ponselnya dalam saku belakang celana. Ternyata ponselnya di silent, tanpa getar.
Buru-buru Alren menghampiri Rinzy, berlutut dan mengangkup wajah gadis itu dengan tangannya. “Sayang, maaf a-aku bener-bener minta maaf. Maafin aku, sweetie."
Rinzy tidak merespons apapun. Sungguh ia sudah tidak kuat mengatakan apapun. Tamparan keras yang mendarat di pipinya tadi, menimbulkan luka yang cukup perih di ujung bibirnya.
“Sayang, kamu bisa pukul aku sekarang. Tampar aku sampai kamu puas,” ucap Alren.
Ia sama sekali tidak peduli dengan matanya yang mungkin sudah bengkak sekarang.
Baru saja Alren menyentuh kedua lengan Rinzy. Gadis itu meringis kesakitan. Sungguh rasanya Alren ingin mencari orang yang membuat kekasih begini dan menghabisi nyawa orang itu.
“Ren, itu obat sama plester,” ujar Dewa melempar plastik berisi obat luka dan plester. “Lo fokus obatin Rinzy, soal pelakunya biar gue sama anak-anak yang urus,” pungkas Dewa langsung beranjak pergi.
“Thanks,” balas Alren. Kemudian beralih pada Rinzy. “Aku obatin luka kamu dulu. Kita ke kamar, ya?”
Gadis itu menggeleng kecil. “A-aku yang obatin sendiri.”
“Nggak. Aku gendong pelan-pelan ya, sayang.”
Pelan-pelan Alren menyusupkan tangannya di bagian belakang kaki dan punggung Rinzy. Gadis itu menarik kuat jaket hoodie milik Alren, menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Laki-laki itu melangkah pelan, memasuki kamar gadis itu. Setelah sampai, Alren membaringkan tubuh kecil Rinzy pelan.
Laki-laki itu berlutut sebelah ranjang gadis itu. Seketika Alren menangis hebat hingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mengira hal seperti ini terjadi pada kekasihnya. Sungguh menyakitkan, hatinya hancur.
Hiks.
“Recil, a-aku nggak apa-apa,” tutur Rinzy pelan.
“Sweetie, aku pacar yang nggak becus. Aku bego, tolol,” ujar Alren frustrasi menjambak rambutnya sendiri. “Kamu pasti benci sama aku, ya? Aku minta maaf, sayang.”
Melihat Alren yang menangis begitu membuatnya sakit. Sangat sakit, kini bukan hanya fisik tapi hatinya sangat perih. Bagaimana bisa Rinzy meninggalkan Alren nanti.
Rinzy menarik pelan jaket Alren. “Dewa selamatin aku. Aku nggak diperkosa.”
“Sayang--"
“S-setidaknya aku selamat.”
“Dewa tau siapa pelakunya? Siapa, sayang?" Alren menyugar rambutnya frustrasi. "Bangsat! Siapa orang itu? Plis, kasi tau aku.”
“Alren,” potong Rinzy membuat Alren menghentikan perkataannya. “Aku khawatir sama kamu. Tolong jangan ke sana, aku butuh kamu.”
“Nggak bisa, sayang. Dia mesti mati!”
Alren langsung merogoh ponselnya kemudian menelepon Dewa.
“Woy, Dewa bangsat! Lo tau kan, siapa orang yang bikin cewe gue begini?! Jawab, anjing!”
“Gue nggak tau.”
“Lo mau jawab apa gue samperin sekarang!”
“Ren, lo mesti sabar dulu, kita nggak bisa—“
“Nggak bisa apa, bangsat?! Dia hampir perkosa cewe gue! Apa gue bisa sabar?!”
“Lo rawat cewe lo dulu, nanti gue kabarin.”
“Lo di mana sekarang?”
“Lo mau ke sini juga? Terus cewe lo gimana?”
“Gue tanya di mana?!”
“Ren, lo bisa sabar nggak?!”
“Gue otw ke sana.”
Alren mematikan sepihak panggilan telepon itu, langsung mengirimi Dhea pesan untuk menemani Rinzy di rumah.
“Sweetie, kamu tunggu di sini? Dhea bakal datang bentar lagi,” ujar Alren mengusap lembut rambut gadis itu.
“Recil, aku takut kamu kenapa-napa. Plis, nggak usah, ya,” mohon Rinzy menggenggam erat tangan Alren.
“Maaf, aku nggak bisa, sayang.” Alren menempelkan bibirnya dengan lembut tepat di keningnya. “I love you, sayang.”
Laki-laki itu lantas melepaskan genggaman Rinzy dan beranjak pergi.
***
“Bangsat! Dion, anjing! Jadi, dia mantan cewe gue,” hardik Alren seraya mengepal kuat, memukul meja itu dengan keras.
Brak.
“Bos, liat tangan lo luka, anjir,” ucap Givon yang terduduk di sebelah Alren.
“Lo tau dari mana, Dew kalo Dion mantan, Rinzy?” tanya Ervin penasaran. Padahal gadis itu baru saja pindah bulan lalu.
“Mantan di sekolah sebelumnya. Lo inget, kan kalo Rinzy pindahan dari Jakarta? Dion tinggal di sana," balas Dewa.
“Bentar, Dion udah kuliah, kan? Dia pacaran sama Rinzy yang masih sekolah? Maksudnya pas Dion atau Rinzy yang sekolah?” lontar Ervin.
“Rinzy yang sekolah," jawab Dewa.
“Gila, Dion nyari cewe sekolah. Serem anjir," sahut Givon.
Brak.
“Kita ke sana sekarang.”
Terima kasih udah baca. (人 •͈ᴗ•͈)
Btw, cerita ini udah ending lho. Jadi, tinggal aku up aja. Kayanya perkiraan aku sedikit meleset ya, padahal niatnya akhir Januari, malah awal februari.
•́ ‿ ,•̀
Tapi, ngga apa-apa lah ya. Ada yang bisa tebak endingnya bakal gimana?
Jangan lupa vote komen dan share cerita ini ya. (。•̀ᴗ-)✧
Jangan lupa follow riasheria (◍•ᴗ•◍)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro