“Oi, (Your name).”

“Apa?”

“Apa kau mau menjadi seorang janda?”

(Your name) dapat merasakan sebuah perempatan imajiner muncul di pelipisnya. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Setahunya, tidak ada wanita di dunia ini yang mau menjadi janda. Gadis itu menghembuskan nafas kesal, dengan ketus ia menjawab pertanyaan sang kekasih.

“Jelas saja tidak, bodoh.”

Hening.

Daiki kembali merespon setelah ia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menaruh benda itu di atas telapak tangan sang gadis. Raut mukanya menampilkan ekspresi yang biasa ia tunjukan—wajah malas yang terkesan acuh tak acuh.

(Your name) pun melihat ke arah telapak tangannya.

Bola matanya membulat sempurna mengetahui benda apa yang Daiki taruh di sana.

“Kalau begitu, jadilah tunanganku dan mari menunggu waktu yang tepat untuk menikah. Karena jika kau menikah denganku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi seorang janda,” untaian kalimat itu terlontar disusul sebuah senyuman lebar dari sang pemuda pemilik surai sewarna malam.

Hari itu, (Your name) tak bisa berhenti menitikkan air mata karena perasaan hangat dan bahagia yang memenuhi dadanya.

Meskipun dalam hati ia juga ingin menendang Daiki karena melamarnya dengan kata-kata yang bisa dibilang mengganggu telinga.