Bab 9 : Meleyot (Part 1)
Al mengajak Starla ke supermarket. Setelah pindah, mereka memang belum pernah berbelanja untuk kebutuhan rumah. Setiap hari Al biasanya memesan makanan untuk mereka berdua. Kulkas di rumah juga hampir tidak ada isinya, sebab Starla juga tidak terlalu memerhatikan hal itu karena jarang sekali membukanya.
“Kita mau belanja bulanan Mas?” tanya Starla saat keduanya baru saja memasuki pusat perbelanjaan.
“Hm.” Al mengambil trolly kemudian mendoronganya menuju bagian bahan makanan.
“Emangnya Mas Al mau masak di rumah? Kok beli sayuran banyak banget?” tanya Starla lagi saat Al menaruh kentang, wortel, dan beberapa sayuran lain kedalam trolly.
“Wortel makanan kesukaan Lala, loh, Mas.”
Starla berkomentar lagi.
Al berhenti melangkah kemudian menatap Starla sekilas. Lalu dia mundur sedikit, baru deh dia kembali menambahkan sebungkus wortel ke dalam trolly.
“Banyak banget beli wortelnya Mas?”
“Katanya suka.”
“Eh...” Jadi Al membelinya untuk Starla.
“Makasih Mas,” tambah Starla tersenyum.
Al masih tanpa ekspresi.
Kemudian mereka berjalan menuju bagian kebutuhan seperti gula, teh, garam, dan lain-lain.
Al menaruh beberapa bungkus teh chamomile, lalu dia menatap Starla tiba-tiba. Starla berhenti berjalan lalu ikut menatap Al ragu-ragu.
“A-ada apa, Mas?” Starla menelan ludahnya, gugup. Wajah Al terlalu tampan, dia sampai silau menatapnya.
“Kamu suka teh atau kopi?”
Jadi Al bertanya kesukaan Starla? Sejak kapan? Sejak kapan Al peduli?
“Aku sukanya air putih Mas.”
“Oh.” Al melewati begitu saja bagian bahan-bahan tadi selain mengambil teh chamomile.
Starla diam saja membiarkan Al memasukkan bahan makanan sendirian. Lalu dia melihat sekelilingnya, kebanyakan mereka ibu-ibu yang berbelanja sendirian. Mereka memilih bahan-bahan sendiri, tanpa ditemani suami mereka. Sedangkan Starla? Kok malah jadi lebih mirip Al yang ibu rumah tangga, ya? Kepalanya menggeleng saat memikirkannya.
“Mas Al,”
“Hm.”
“Itu, Lala aja yang dorong trollynya.”
“Kenapa?” Al berhenti lalu melirik Starla sambil mengerutkan kening.
“Enggak, Mas yang pilih, aku yang dorong. Masa aku nggak ngapa-ngapain,” sahut Starla.
“Ini berat, saya aja.”
Dan Starla selalu tidak dapat membantah perintah suaminya serta-merta. “Baik, Mas.”
Selesai memenuhi trolly dengan berbagai barang. Mereka menuju ke meja kasir untuk membayar.
Kasir di supermarket itu terlihat mencuri-curi pandang pada suami Starla yang ganteng. Bagaimana ya mendeskripsikan kegantengan Alpha Andromeda Langit itu? Dia ibarat kesempurnaan visualisasi nyata yang sulit dibayangkan oleh nalar manusia, nyaris tanpa cela. Satu-satunya hal yang tidak bisa diperdebatkan, Alpha memang tampan.
“Mas, biar aku aja yang bayar.” Starla tiba-tiba saja menyerobot ke depan kasir membuat kasir itu tersentak kaget.
“Duh, adeknya ya? Lucu banget,” kata kasir tersebut pada Starla.
“Adek?” Starla mendengkus, dia sejak tadi sudah memperhatikan kasir itu, terlihat sekali menyukai suaminya.
“Ini tuh suami saya, Mbak! Berapa totalnya buruan,” sengit Starla agak ketus. Al menahan senyum, dia kemudian mengusap puncak kepala Starla dua kali usapan, lalu menariknya.
Deg
Starla mengerjapkan matanya kaget, seketika tubuhnya merinding menerima sentuhan tangan Al di kepalanya barusan.
“Maaf ya, Mbak.” Panggilan mbak kasir pun berubah pada Starla yang semula adek menjadi mbak.
Al menyerahkan kartu kepada kasir di saat Starla terbengong masih shock dengan usapan tangan Al di atas kepalanya. Dia kaget dong, nggak biasanya Al menyentuhnya tiba-tiba begitu. Lalu, dia juga baru sadar, kenapa dia kesal kalau ada wanita lain yang memperhatikan suaminya berlebihan.
Shit! Lo kayak istri lagi cemburu nggak sih, La!
Akhirnya mereka selesai membayar dan langsung menuju parkiran mobil.
“Biar Lala bantu bawa, Mas?” tawar Starla melihat Al membawa sendiri beberapa bungkus belanjaan mereka.
“Nggak usah.” Al menolak tawaran Starla singkat.
“Buka bagasi.”
“Iya, Mas.”
Bagasi mobil pun terbuka, Al langsung memasukkan belanjaan mereka tadi.
“Mau pulang?” tanya Al.
“Iya, abisnya mau kemana lagi,” jawab Starla.
“Ok.” Al membuka pintu mobil. “Masuk.” Lalu menyuruh Starla masuk.
Singkat, padat, jelas, itulah gaya berbicara Alpha, dan Starla mulai terbiasa dengan hal itu.
Satu hal yang dia baru ketahui, bahwa Alpha bisa mengajaknya berbelanja seperti tadi. Seorang CEO perusahaan ternama, mengajak istrinya berbelanja ke supermarket.
Belum lagi, tidak ada pelayan yang khusus memasak di rumah Al, hanya ada pelayan yang datang khusus untuk bersih-bersih dan mencuci baju saja.
“Mas, tadi beli banyak bahan makanan tuh...”
“Hm.” Al hanya berdehem, seperti biasa.
“Tapi Lala nggak bisa masak.”
Al tidak menjawab Starla. Kadang Starla kesal juga sih, gimana nggak kesal kalau suaminya itu irit sekali berbicara, seringkali diam tidak menjawab kata-katanya.
“Mas Al emangnya bisa masak?”
“Enggak.”
“Hah? Terus kenapa tadi banyak banget bahan makanan? Bukannya biasa kita beli?”
“Nggak sehat.” Jawaban Al masih singkat.
“Oh Mas mau suruh pelayan yang masak, ya?”
“Enggak.”
“Kalau bukan pelayan terus siapa yang masak?” Starla bergumam bingung.
“Kamu,” kata Al.
“Aku?” Starla menunjuk dirinya sendiri.
Al hanya mengangguk.
“Tapi aku nggak bisa masak, Mas. Opa nggak pernah ngajarin aku. Kalau ada Mama mungkin aku diajarin Mama.” Mendadak Starla berubah sendu.
“Nggak apa-apa, kan bisa belajar.” Al tersenyum sekilas pada Starla.
Ya Allah barusan Mas Al senyum ke gue? Anjirlah meleyot hati gue.
Itu adalah satu alasan Starla menyukai Al sewaktu kecil. Senyuman Alpha yang jarang itu, senyuman ifu yang berhasil merebut hatinya, membuatnya menyukai lelaki itu.
Tapi sikap dingin Al disaat dewasa sepeerti tidak bisa ditolerir Starla, karena dia tidak menyukai situasi yang mencekam, hening, tanpa obrolan santai yang terbiasa dijalani Starla bersama orang-orang terdekatnya seperti opanya dan juga Venus.
“Jangan bengong,” kata Al. Kembali Starla mengerjab kaget. “Iya, Mas. Maaf.”
“Saya bantu.”
“Bantu apa, Mas?” Starla mendadak bingung.
“Bantu masak.”
“Oh...” jawab Starla menganggukkan kepalanya. “Iya, deh.”
Tidak terlalu buruk juga sih, sebenarnya Starla bisa memasak satu masakan yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi, kan?
“Nasi goreng kamu, enak.”
Starla kaget saat Al memuji masakannya yang biasa-biasa saja itu.
“Itu hanya nasi goreng biasa.”
Al tidak menjawab lagi, mereka rupanya sudah sampai di depan rumah.
Sampai di rumah, Al langsung membawa masuk belanjaan tadi dan tidak mengulur waktu memasukkannya ke dalam kulkas. Duh, Starla tidak biasa begitu, dia biasanya kalau pulang kuliah langsung menjatuhkan tubuhnya keatas ranjang tempat tidur.
“Kamu ke kamar aja.”
“Tapi masa Mas masukin sendirian?”
“Iya, kamu sana masuk ke kamar. Atau mau saya masukin kamu?”
“HAH? MASUKIN APAAN MAS?” Starla melonjak kaget. Al malah mengangkat dua bahunya begitu saja tanpa menjelaskan.
“Iya iya Lala ke kamar deh.” Lebih baik Starla pergi sebelum dia mulai menyalahartikan ucapan suaminya barusan.
Bego maksudnya dia masukin gue gimana sih? Itu orang kadang kalau ngomong suka ambigu deh. Terus ini otak kan jadi traveling kemana-mana. Masukin apaan ya?
Starla terus membatin sambil mengganti pakaiannya dengan pakaiah rumahan. Tak lama kemudian satu pesan masuk membuatnya langsung meraih handphone yang tergeletak diatas meja.
Mas Al Suamiku
Saya ke kantor lagi, ada urusan penting. Selesaikan susun bahan makanan di kulkas ya.
Starla menggigit atas bibir sembari mengerutkan kening. Dia lupa kalau nomor handphone Al sudah tersimpan.
“Baru pulang kan, apa dia nggak capek?” gumam Starla kemudian mengetikan balasan.
Jangan terlalu lelah, Mas. Iya, nanti Lala yang lanjutin.
Tanpa disadari, Starla mulai memperhatikan Al.
Dijalan, Al sempat membuka balasan dari Starla, lalu lengkungan tipis pun muncul di bibirnya.
Mas Al Suamiku
Terima kasih.
Bahkan Al menyempatkan berhenti sebentar untuk sekedar membalas lagi pesan dari Starla tersebut.
“Duh, Mas Al, dingin-dingin kok, bikin gue meleyot, ya? Astaghfirulloh mengbaper,” senyumnya tidak dapat dia tahan.
Setahun lagi kuliah Starla selesai. Sebagai mahasiswi tingkat akhir, seperti biasa Starla sudah beberapa bulan ini mulai menyusun skripsi. Huh, padahal semua sudah dia persiapkan dari jauh-jauh hari, tapi karena dia menikah mendadak mau tidak mau membuat fokusnya agak terganggu.
Starla memutuskan untuk mulai mengerjakan skripsinya lagi, kalau sudah siap minimal delapan puluh persen pasti akan lebih melegakan.
Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke handphonenya. Itu adalah panggilan dari Bumi.
“Bumi? Kok tumben dia nelepon?” gumamnya lalu menggeser layarnya.
“Hallo, Bumi?”
Lala lo apa kabar?
Hah? Tidak salah? Bumi malah menanyakan kabar padanya. Padahal tadi juga mereka bertemu di kampus, dan Bumi malah mendiamkannya.
“Gue baik, Bumi. Lo sendiri baik-baik aja, kan? Tadi lo cuek banget sama gue. Kirain lo marah sama gue, Bu.”
Gue nggak marah. Gue tadi lagi kurang sehat. Oh iya ada yang pengen gue sampein ke lo, bisa nggak kita ketemuan?
“Hah? Mau ngomongin apa, Bu? Kok tumben lo sampai ngajak ketemuan segala?”
Hm, ini nggak bisa di omongin di telepon, kita harus ketemu.
Seharusnya Bumi tidak sembarangan meminta bertemu dengan Starla. Walau bagaimanapun Starla sudah menikah. Saat ini Staral juga jadi bingung, apa dia boleh menemui Bumi tanpa izin dari suaminya?
La? Bisa, kan?
“Eh, oke deh. Mau ketemu di mana, Bu?”
Di cafe depan kampus aja, nggak apa-apa, kan?
“Oh di situ, oke, deh.” Starla tidak enak jika menolak, lagi pula dia berpikir mungkin saja Bumi hanya hendak memberi ucapan selamat secara langsung.
Gue jemput, ya, La?
“Jangan Bumi, biar gue naik taksi aja,”
Kenapa? Apa dia nggak izinin lo buat gue jemput?
Dia siapa ya? Maksud si Bumi tuh, dia itu, Mas Al?
“Nggak enak aja, Bu. Udah, kalau lo tetep mau jemput, mendingan kita nggak usah ketemu, deh.”
Oke, gue tunggu di cafe, ya, La.
Panggilan itu berakhir. Starla menghela napasnya, dia merasa ada yang aneh dengan Bumi. Kenapa Bumi juga tidak mau menyebut Mas Al suaminya?
“Ah, itu pasti cuma perasaan gue aja,”
Di kantor Alpha
“Selamat datang, Pak.”
“Hm,”
Bukan hanya dengan Starla, tapi sikap dingin Al memang begitu adanya tanpa dibuat-buat. Al terbiasa perfeksionis dalam bekerja, juga disiplin masalah waktu dan yang lain-lain. Begitu juga kalau ada masalah seperti sekarang, masalah kantor dadakan, Al juga akan langsung memeriksanya sendiri alih-alih mengandalkan karyawannya. Menurutnya akan lebih yakin dan dia dapat memastikan sendiri apakah penyelesaiannya sudah tepat atau belum.
“Pak Al, permisi,” kata sekertarisnya baru saja muncul di depan ruangan Alpha sebelum Al masuk ke dalamnya.
“Ya,” sahut Al, singkat.
“Ini saya ingin memberikan sekedar hadiah, ini hadiah dari kami semua, kami sepakat untuk membelikan hadiah ini.”
Namanya Denia, seketaris Alpha.
“Untuk saya, atau untuk istri saya?”
Kotak hadiah itu berwarna merah muda dengan pita-pita sebagai hiasan. Entah apa isinya, tapi dari melihatnya saja, Al bisa menebak itu pasti bukan untuknya.
“Karena kami nggak tahu selera Bapak, jadi kami memutuskan membelikan hadiah untuk Ibu Starla.”
Denia tersenyum kaku melihat raut wajah Al yang selalu datar.
“Oh, makasih.” Al mengambil kotak itu kemudian masuk ke dalam ruangannya. Denia masih terpaku di tempat, sedetik setelahnya Al berbalik lagi. Denia kaget padahal tadinya dia hendak pergi.
“Ada apa, Pak?”
“Bilang ke teman-teman kamu, terima kasih. Hadiahnya akan saya berikan ke istri saya.”
“Ah, oke, Pak.” Denia menganggukkan kepalanya cepat.
***
“Duuuh, kenapa perut gue sakit sih di saat yang seperti ini,” desis Starla yang sudah siap berganti pakaian untuk menemui Bumi di cafe dekat kampusnya.
Satu pesan singkat pun muncul, itu pesan dari Bumi.
Gue udah jalan ya, La.
“Aduh mana Bumi udah jalan, kenapa ya kok perut gue melilit gini?”
Tapi dia tidak enak jika tidak datang, akhirnya dalam keadaan perut sakit, Starla memutuskan untuk tetap pergi menemui Bumi.
Selesai urusannya di kantor, Al langsung kembali pulang ke rumah. Ia membawa serta kotak hadiah dari sekertarisnya yang katanya untuk Starla. Kemudian senyum tipisnya tersungging manis sambil mengusap permukaan kado berwarna merah muda itu. Entah apa yang ada di pikiran Al, hingga itu membuatnya tersenyum dengan ringan.
“Bumi,”
“Starla.”
“Sorry ya, gue agak lama.”
“Nggak apa-apa, duduk, La.”
“Iya,” angguk Starla kemudian dia duduk di depan Bumi.
“Lo apa kabar?” tanya Bumi.
“Baik, kan kita udah tanya kabar tadi di telepon,” sahut Starla agak meringis merasakan perutnya yang agak sakit.
“Ah, iya, ya.” Bumi tampak kikuk.
“Ada apa, Bu? Katanya lo mau ngomongin sesuatu yang penting?”
Bumi menatap Starla agak dalam tidak seperti biasanya. Starla tersenyum canggung menunggu penjelasan dari Bumi.
“Bumi? Lo, kok, malah diem?”
“Apa lo bahagia, La?”
_________
Siapa yang kangen Mas Al? Komen di sini.
Yang kangen Starla? Komen di sini.
Yang kangen Venus? Komen di sini.
Ada lagi yang kalian kangenin? Komen kuy!
Makasih yang udah mau vote dan beri komentar ya.
Saranghamnida ~
Xoxo Cherry ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro