Bab 6 : Malam Pertama
Tolong kasih tahu, Starla. Saya ini suaminya, bukan musuh.
Tertanda, Mas Al—Suami Starla yang sah.
****
Masih dari balik selimut Starla menyembunyikan wajahnya juga seluruh tubuhnya rapat-rapat tanpa memikirkan bahwa dia membutuhkan cukup oksigen untuk bernapas.
Suara langkah kaki terdengar lantas membuat Starla bertambah cemas dan makin mengeratkan selimut agar membelit tubuhnya sempurna.
Tenang Starla, dia nggak akan maksa lo, kan? Keliatannya dia nggak sekejam itu. Tapi, siapa yang tahu, ya, kan? Dibalik sikap dinginnya dia, jangan-jangan...
“Kamu bisa bernapas dengan selimut kayak gitu?”
Ya kali, ini gue udah hampir semaput, Mas.
Tapi tetap saja Starla enggan menampakkan wajahnya. Bukankah itu malah memancing perhatian Alpha?
“Saya nggak akan makan kamu. Nggak usah ngumpet.”
Makan makan, lo kira gue ini makanan?
Sadar nggak dia ngomong gitu malah bikin gue makin takut. Yakin nih dia nggak akan skidipapap gue?
“Atau kamu sengaja mancing? Biar saya makan?”
“ENGGAK! AKU NGGAK MANCING SUMPAH!!”
Starla memang sudah nyaris kehabisan oksigen, dia segera membuka selimutnya hingga tampaklah wajahnya yang pucat dengan rambut acak-acakan.
Al menatap Starla sekilas, masih dengan dingin.
“Bersikap normal, saya tidak akan melakukan hal jahat.”
Gimana gue bisa percaya? Kecuali kalau lo itu nggak normal. What!!! Lo berharap dia normal dan skidipapap lo, La? Gelo siah!
“Saya ini normal, tapi bukan pemaksa. Tidur!”
Starla langsung mengangguk. “Oke Mas. Makasih, ya.” Akhirnya Starla bisa bernapas lega karena Al sudah memejamkan matanya tanpa melakukan hal yang dia takutkan.
Malam berjalan sangat lambat, seolah waktu tidak bergerak sama sekali. Starla melihat sekilas lelaki di sampingnya, dia sudah tertidur dengan nyenyak. Sementara dirinya masih terjaga, dia sangat benci jika insomnianya kambuh di saat yang tidak tepat seperti sekarang. Tentu semua akan jauh lebih baik jika dia tidur dengan nyenyak tanpa merasakan canggung luar biasa karena harus tidur satu ranjang dengan lelaki di sebelahnya, yaitu suaminya, Mas Al.
“Ayo dong, La, tidurrrrrr....” gumamnya pelan sekali, sambil berusaha memejamkan mata sekuat tenaga tapi tetap saja itu tidak berhasil.
“Kenapa nggak tidur?”
Astaga! Gue kira dia udah tidur, anjir! Kaget sumpah gue!
“Kok belum tidur, Mas?”
“Kan saya yang tanya ke kamu.”
“Eh, iya, Mas. Aku belum ngantuk.”
Alpha masih dengan kondisi mata terpejam, Starla sangat tegang berada disamping Alpha, dia mustahil akan tidur kalau kondisinya seperti itu terus.
“Kamu mau saya tidur di sofa?”
“Bu-bukan gitu, Mas.”
“Ya udah, kalau gitu, tidur cepetan.”
“I-iya, Mas.” Starla gagap dan tidak bisa membantahnya. Lalu dia seketika memejamkan mata, bak mendapatkan mantera dari Al, dia langsung terlelap.
Paginya, masih di hotel tempat mereka menginap. Seharusnya ada yang terjadi dengan mereka, minimal mereka melakukan pendekatan, gitu. Itu kan, malam pertama mereka. Tapi, bagaimana mau melakukan pendekatan, baru diajak tidur biasa saja Starla sudah ketakutan akan di apa-apakan oleh suaminya.
“Kamu nggak mau bangun?”
Suara Al itu lembut, meski dingin, dia bukan orang yang kasar. Entah kenapa, heran deh, kok Starla selalu saja kaget setiap dengar suara Al.
“Astaghfirulloh. Mas liatin aku tidur, ya?”
“Enggak. Kamu tidur di tangan saya, tuh.”
Al melirik ke tangannya yang masih ditumpangi kepala Starla.
“Ya Ampun Starlaa begoooo...” lengkingnya panjang, Al sampai meringis mendengar suara Starla yang membuat telinganya berdengung.
“Maafin aku, Mas.” Secepatnya meski agak susah, Starla berhasil menjauhkan dirinya dari Al, sampai-sampai dia hampir terjengkang dari ranjang.
“Huuuh...” Al menghela napas lalu turun dari ranjang mendekati Starla.
“Mas mau apa? Maafin aku, suer aku nggak tau kalau aku tidur ditangan Mas Al.”
“Saya nggak marah, kamu biasa aja. Udah sana mandi,” ucap Al sambil mengambil handuk yang kebetulan tergeletak diatas meja berada di belakang tubuh Starla. Oh jadi untuk itu Al mendekati Starla?
“Oh... iya...” Jadi, Starla kembali dibuat membeku oleh Alpha.
Selesai mandi, berdandan biasa, lalu Starla duduk di meja makan berdua, ya, pasti berdua dong, dia kan sudah menikah.
“Mau makan apa?”
“Aku apa aja, Mas.”
“Yakin?”
“Iya.”
Kok jadi Starla yang irit bicara, biasanya kan, Alpha. Mungkin itu karena Starla merasa terancam, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya. Semula dia kira Al tidak tertarik dekat dengannya, tapi ternyata itu salah. Terutama sejak kemarin mereka telah sah. Al tidak membiarkan Starla sendiri tanpa dia di sisinya. Walau dia masih dingin dan minim kata-kata.
“Mas.”
“Hm.”
“Kita berapa lama di sini?”
“Lima hari.”
“What? Kok, lama, Mas. Aku kan harus kuliah.”
“Nggak salah?”
“Kenapa?”
Dimana otak Starla ditempatkan. Kenapa setelah menikah dia mendadak dungu, sih. Sudah menikah, salah deh! Baru menikah lebih tepatnya. Lalu, dia sudah mengatakan tentang kuliah? Seharusnya mereka kan, liburan, bukannya begitu?
“Kita baru nikah.”
“Terus?”
“Pikir aja sendiri. Sekarang, makan.”
Makanan baru saja datang, Starla mengangguk pelan. “Iya,” jawabnya, sambil menggaruk kening.
Emang gue salah ngomong ya? Eh buset, gue baru inget kata Venus. Seharusnya orang yang baru menikah nggak mikirin hal lain selain berduaan dengan pasangan. So, What? Dia mau gue mikirin berduaan gitu?
“Kamu jangan bengong.”
Starla sedikit mengerjap lalu matanya beralih pada piring di depannya. “Maaf ya,” dia menyesal, jadi apakah sekarang Starla menyesali kata-katanya tentang kuliah?
“Kalau mau kuliah setelah kita pulang, minimal setelah dua minggu kita menikah. Seharusnya kamu cuti, kan?” kata Al, benar juga, tapi Starla tidak kepikiran itu, menikah saja dadakan gini, pikirnya.
“Anu, itu, aku nggak kepikiran karena kita nikah kan, dadakan, Mas.”
“Iya, saya tahu. Ya udah, minimal jaga perasaan Mama Papa, dan Opa kamu,” sela Al sambil meneguk air putih dari gelasnya.
“Iya, Mas.” Starla hanya bisa mengangguk nurut. Kata-kata Al tidak pernah salah, dia selalu menimbang apa yang akan dia utarakan dengan porsi dan tujuan yang pas, berbeda dengan Starla yang seringkali berbicara asal dan mengalir begitu saja tanpa memikirkannya panjang.
“Mas.”
“Hm.”
Doi bisa nggak sih, jawab jangan hmm terus, apa nggak niat jawab pakai kata lain gitu? Starla mendengkus sembari memajukan bibir. Al menoleh sekilas lalu mengernyit menangkap wajah Starla yang sedang memberungutinya.
“Kenapa?”
“Nah gitu dong, Mas.”
“Gitu apa?”
“Jawab selain dehem kan bisa.”
Akhirnya ketimbang ikatan cinta, eh, batin, salah! Tekanan batin maksud gue. Menahan kata di ujung lidah, susah banget keluar saking kelunya ini lidah kaku, beku, karena sikapnya.
“Kamu mau tanya apa?”
Al tidak menatapnya mereka sedang berjalan-jalan santai berdua di dekat hotel. Setelah makan, perut masih penuh, kalau langsung pulang kata Al, tidak bagus jika sampai kamar Starla langsung tidur, jadi deh mereka berjalan-jalan dulu. Bawel? Enggak kok, Al berkata dengan versi iritnya, jadi nggak termasuk—bawel.
“Lala mau pulang, maksud Lala bukan pengen langsung kuliah. Lala kurang nyaman nginep di hotel. Lagipula rumah Opa lebar kok, kita bisa tinggal di rumah Opa, kan?”
“Saya nggak mau.”
“Hah?”
“Kenapa?” kata Al, bukannya seharusnya Starla yang tanya begitu?
“Harusnya aku yang tanya, kenapa Mas nggak mau tinggal sama Opa?”
“Kamu tinggal di rumah saya.”
“Rumah Mas? Maksudnya rumah Om Elang dan Tante... Eh, anu maksud Lala rumah Mamah dan Papah?”
“Bukan, itu rumah orang tua saya. Maksud saya rumah saya pribadi.”
“Oh...” komen Lala sebelum akhirnya dia terkejut, agak terlambat, sih. “Ru-rumah Mas?” Gila sih, doi udah punya rumah sendiri? Apalah daya lo, La! Boro-boro rumah, selama ini aja cuman bisa numpang sama Opa.
“Iya, masa rumah tetangga.” Baru kali ini Al kelihatan bercanda, tapi, wajahnya datar sih, jadi nggak keliatan lagi ngajak bercanda juga.
“Oiya, Opa udah berangkat berobat ya.”
Starla terdengar lemas, dia murung, dia sedih karena Opanya tidak memperkenankan dia mengantar opanya minimal sampai bandara sekalipun. Alasannya sih, karena Starla baru saja menikah. Padahal saat bersama Al juga, mereka tidak melakukan hal lebih selain mengobrol canggung.
“Kamu jadi tanggung jawab saya, jadi kamu harus nurut.”
Mendadak Starla menatap Al penuh keterkejutan, kenapa dalam kata “Harus Nurut” yang diucapkan Al seperti sebuah penekanan untuknya, ya?
“Tapi, Mas, Lala belum siap, untuk...”
“Pikiran kamu harus jernih.” Al menjawab singkat.
“Jernih?” gumam Starla seraya menganga. “Bu-bukan gitu, Mas, maksud Lala ...”
“Saya nggak niat perkosa kamu.”
“WHAT THE HELL!!!”
Alih-alih kaget mendengar suara Starla yang menggema. Sepertinya Al malah sudah mulai membiasakan diri, ekspresinya biasa saja.
“Kita pulang,” ajak Al berjalan mendahului Starla.
“Pu-pulang ke hotel atau ke rumah, Mas?”
“Rumah.”
“Aaaa... jangan bilang... Nggak! Dia bilang nggak akan perkosa gue, kan?”
“Kamu mau terus di sana?” kata Al sambil menoleh ke belakang.
“I-iya Mas, bentar,” Starla langsung menyusul Al, meski dia masih takut kalau Al akan menerkamnya nanti. Tapi, semoga saja tidak.
“Sialll.... Gue jadi inget 4646 kata Venus, njir tuh anakkk!!”
Benar saja, mereka akhirnya pulang ke rumah sore harinya. Ternyata Al memang sudah merencanakan sebelumnya. Buktinya ketika mereka tiba di rumah Al yang cukup besar, di sana ada beberapa koper milik Starla juga.
“Mas, ini kok koper aku ada di sini?”
“Saya yang suruh bawa ke sini.”
“Oh gitu.” Starla mengangguk, lalu dia beralih memperhatikan satu-satu detail rumah suaminya. Rapi, dengan ornamen sederhana tapi mencerminkan ketenangan. Mirip, serupa dengan Al yang kelewat tenang, saking tenanganya sampai minim kata, minim ekspresi, sangat kontras dengan Starla yang asal-asalan.
“Kamu bawa koper kamu ke kamar.”
“Hah? Aku?” Telunjuknya menunjuk ke hidungnya sendiri.
“Iya,” angguk Al.
“Oh,” Starla merengut, tega sekali sih! Koper ini kan berat tau! Batinnya kesal.
Al terkekeh pelan, cukuplah terdengar oleh Starla yang terbiasa menguping, sepelan apapun Al tertawa, bahkan senyum saja, Starla bisa mengetahuinya.
“Lucu, Mas?”
Al langsung diam, tanpa ekspresi lagi.
“Bercanda. Biar supir yang bawa.”
Al menarik tangan Starla membawanya masuk ke dalam kamar.
Woy ini orang mau ngapain narik tangan gue! Astaghfirulloh, jangan-jangan dia beneran mau perkosa gue? Enggak kan? Tapi kenapa dia megang tangan gue sih? Kaget sumpah, lepas nggak, lepas nggak! Anjir, muka gue pasti kayak keong kukus nih, eh udang!
“Mas...” katanya panjang. “Mau ngapain?”
“Ini kamarnya.” Al melepaskan tangan Starla lalu menyuruh Starla duduk dengan isyarat mata.
“Iya, Mas.” Starla pun duduk saja.
Aman aman, gue kira dia mau nerkam gue, sial!
“Kita tidur di sini, mulai biasakan diri, bisa?”
Starla mengangguk ragu.
“Saya udah janji sama Opa untuk jaga kamu. Jadi, jangan bikin saya repot, paham?”
Starla mengangguk cepat, kali ini dia tidak meragu, dia memang tidak berniat merepotkan siapapun.
“Bagus.”
Starla masih diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Baru kali ini ada yang bisa mengunci mulutnya rapat, sekaligus mengunci pergerakannya. Hanya Al yang bisa membuat Starla diam membeku di tempat seketika.
“Jangan lupa untuk cepat lulus.”
“Iya, emangnya kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Harus cepat lulus... supaya apa?” Starla memang penasaran kenapa Al berharap dia segera lulus?
“Supaya bisa,” seringai Al mendekat duduk di samping Starla, lalu menatap lekat mata Starla yang membulat lebar.
“Supaya bisa cepet program punya anak.”
“ASTAGHFIRULLOH MAS!!”
Al beranjak dari sisi Starla. Dia pergi begitu saja meninggalkan Starla yang sedang bergerilya dengan pikirannya karena perkataan Al yang tiba-tiba menyinggung masalah anak.
“Sial kenapa gue jadi takut gini sih, lo kan udah nikah sama dia, wajar kan? Ya Allah kenapa gue malah jadi gemeteran gini...”
_______
Mengcapek sama Starla 😭
Kek mau di apain aja sama suaminya, ya Allah 😴
Jangan lupa vote dan komennya yah sayang 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro