Bab 4 : Kulkas Ganteng
Jika aku meminta hatimu, mungkin itu permintaan yang sulit. Tapi, jika aku hanya meminta kamu menekan bintang di bagian bawah cerita ini, mungkin itu akan lebih mudah.
Tertanda, Mas Al—suami siapa aja
***
Starla tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Sementara lelaki di sampingnya sedang fokus pada jalanan, menyetir dengan tenang.
Hanya saling diam, tidak berbicara sepatah katapun. Ini yang akan terjadi jika dia berada di dekat Alpha. Padahal waktu kecil, seingat Starla meskipun Alpha dingin, dia masih bisa di ajak bercanda. Tapi setelah dewasa sikap dingin Alpha malah bertambah parah.
“Mas Al?”
Alpha melirik sekilas ke arah Starla sambil berdehem saja.
Duh, gue tuh kalau gini rasanya mending kabur aja deh. Ini orang nggak bisa ngajak ngobrol atau apa kek? Diem aja, apa dia memang pengen jadiin gue adek angkatnya Elsa Frozen kali ya.
“Emangnya Opa mau apa kok panggil kita gini?”
“Mengenai pernikahan.”
Dua kata, seandainya bisa lebih, pasti akan lebih enak didengar, kan.
“Pernikahan?” Starla melebarkan mata dan mulutnya. Alpha hanya cuek saja, tidak peduli dan seolah biasa dengan reaksi kaget gadis di sampingnya.
“Ya Allah, Opa. Kenapa sih buru-buru banget. Apa harus secepat ini di bicarakan?” gumam Starla sambil menggigit ujung kukunya.
Alpha sekilas menatap pantulan Starla dari kaca spion. Pria itu tersenyum kecil lalu memudarkannya setelah menyadari Starla memergokinya. Sudah dibilang penglihatan Starla jeli, dia penyuka wortel, jangan pernah lupa.
“Mas Al kok malah senyum sih? Emangnya Mas Al nggak mau coba menolak perjodohan ini?”
Alpa menggeleng. “Untuk apa?”
“Hah?” Starla tercengang dengan jawaban Alpa yang berupa pertanyaan.
“Mas Al nggak ada perempuan yang lagi di sukai?” tanya Starla.
Alpha hanya diam. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan Starla.
Ini tidak akan berhasil, dirinya sudah terjebak, pikir Starla—pasrah.
“Kamu punya pacar?”
Tiba-tiba saja Alpha menanyakan itu pada Starla. Tentu saja, Starla—tidak punya.
“Emangnya kalau aku punya pacar, Mas Al mau membatalkan perjodohan ini?”
Alpha mengangkat bahunya. “Nggak juga.”
“Astagfirullah,” lagi-lagi Starla speechless.
DASAR KULKAS!!!
“Saya tahu kamu emang nggak ada pacar.”
Kata-kata Alpha ibarat pukulan telak untuk Starla. Memang benar, dia bahkan tidak pernah pacaran. Sudahlah, ini adalah nasibnya.
“Iya. Aku sengaja nggak pacaran,”
Terus masalah buat lo, hah!
Alpha diam lagi, sungguh melelahkan, batin Starla. “Kulkas ganteng ngeselin emang,” gumamnya sangat pelan.
“Hm?” Al mengerutkan kening.
“Eh, enggak, Mas.”
Dia denger aja sih! Ampun, dah.
“Kalau ada yang kamu suka, silahkan pacaran.”
Apa maksud kata-kata Alpha? Jangan bilang Alpha tahu bahwa saat ini tidak ada yang disukai Starla.
“Maksud Mas?”
“Kamu boleh pacaran dengan siapapun. Kalau emang kamu lagi suka sama seseorang. Jelas, kan?”
Kini Starla makin bingung, dia mati kutu seolah dirinya sangat kecil di bawah intimidasi Alpha.
“Kalau nggak ada yang sedang kamu sukai. Lebih baik memenuhi keinginan Opa. Anggap saja demi Opa.”
Sejenak Starla menatap Alpha yang masih fokus memandang ke depan. Kata-katanya memang tidak ada salahnya. Apalagi hanya Opa satu-satunya keluarga yang dimiliki Starla.
“Iya, Mas.” Apakah ini tanda bahwa Starla sudah menyerah?
“Tapi kalau nggak cinta, bukannya malah tersiksa?” imbuh Starla, pelan.
Alpha mengerem mobilnya, lalu membuka sabuk pengaman Starla serta-merta.
Saat itu Starla berpikir apakah Alpha marah karena kata-katanya? Lalu membiarkan dia turun di jalan?
“Kok berhenti, Mas?”
“Mampir ke kantor dulu. Kamu turun, ya. Ada Mamah dan Papah mau ketemu,” terangnya.
Rupanya begitu, bukan karena pria itu sedang marah. “Oh gitu, baik.”
Starla kini berada di depan gedung perusahaan, dia baru pertama kali ke sana.
“Ini kantor Mas Al?”
“Iya.”
Sebenarnya sikap Alpha tidak buruk meski dia dingin dan irit berbicara. Buktinya barusan saja Al membukakan sabuk pengaman Starla, lalu membuka pintu mobil untuk Starla. Itu adalah tindakan yang sangat sopan dari pria untuk seorang wanita spesial.
Mereka berjalan dengan Alpha yang berada di depan Starla. Ini sangat mendadak, dia akan bertemu dengan orang tua Alpha. Terakhir dia bertemu Elang dan Dara saat acara keluarga. Mereka sangat ramah dan menyukai Starla, tapi tetap saja Starla merasa gugup dan canggung saat kembali bertemu.
Starla berjalan sambil gemetaran sampai-sampai dia tidak sadar ada seseorang yang berjalan di depannya dan kakinya tesandung hingga dia—hampir—terjatuh, kalau saja tidak ada Alpha yang menangkap tubuhnya seperti sekarang.
“Ya ampun, maaf, Mas.” Starla langsung melepaskan pelukan Alpha.
“Hati-hati,” ucap Alpha lalu menggandeng tangan Starla masuk ke dalam lift khusus. Posisi Alpha di perusahaan itu adalah CEO menggantikan posisi Papahnya, Elang.
Kaget, panik, malu, bercampur jadi satu. Kenapa Al masih menggenggam tangannya? Starla sampai gemetaran, dia takut Alpha menyadari kegugupannya yang berlebihan itu.
“Maaf, Mas.”
Alpha menatap Starla sejenak lalu melepaskan genggaman tangannya.
Starla hampir saja pingsan. Saat itu tangan Alpha justru terasa hangat di saat sikapnya dingin.
“Lain kali jangan bengong. Kalau jatuh, kamu bisa terluka.”
Mendadak Starla salah tingkah, saat mengartikan kata-kata Alpha yang serupa perhatian.
Pesona Alpha tidak perlu diragukan lagi, dia adalah pria yang bersinar dengan segudang multitalenta. Bukan hanya visualnya yang bersinar, tapi juga keterampilan dan kecerdasannya yang berada di atas rata-rata. Buktinya di usianya yang baru dua puluh lima tahun, Alpha sudah menjadi seorang CEO.
Padahal kata Opanya, perusahaan keluarga Kusuma itu nyaris bangkrut karena Elang yang sempat jatuh sakit beberapa bulan. Tapi berkat Alpha kondisi perusahaan sekarang kembali bangkit dan berjaya.
Pintu lift terbuka. Starla mengikuti kemana Alpha berjalan.
“Mas, apa di dalam ada Opa, juga?”
“Tidak. Hanya Papah, Mamah, juga Mentari.”
“Mentari?”
“Iya.”
Starla ingat bahwa Mentari adalah adik perempuan Alpha, tapi dia tidak terlihat kemarin saat acara pertemuan keluarga.
Alpha masuk ke sebuah ruangan, di sana sudah berkumpul orang tuanya dan juga adiknya.
Walaupun sebenarnya Starla merasa heran, kenapa harus mengajak bertemu di perusahaan?
“Assalaamualaikum.” Starla dan Al mengucapkan salam bersamaan.
“Waalaikumsalaam.” Dara yang pertama kali menyapa Starla dengan ramah. Kemudian di susul gadis cantik yang kira-kira umurnya diatasnya beberapa tahun. Dia adalah Mentari, adik Alpha yang usianya tidak berbeda jauh dengan Alpha.
“Wah, ini pasti Starla, kan?” sapa Mentari. “Yang dulu suka banget sama Al pas kecil?”
Starla sangat malu, padahal itu hanyalah masa lalu. Tapi memang dia sangat bodoh sewaktu kecil, dia sendiri tidak berhenti mengutuk tingkahnya itu.
Kalau ada opsi buat ngilang, gue mending pencet opsi itu dan ngilang, deh.
“Mentari, kamu jangan bikin Starla jadi malu dong. Duduk dulu, Starla.” Elang masih sangat gagah padahal dia baru saja sembuh dari sakit. Begitu juga Dara, masih cantik dan terlihat sangat muda.
“Mau minum apa?” tawar Dara sambil mengusap rambut Starla. “Kamu cantik banget, seneng deh kalau kamu mau dekat dengan Al.”
Alpha tetap dingin.
“Heh, Aa kok diam aja sih? Itu loh ajak ngobrol gitu calonnnya,” ledek Mentari.
“Jangan berisik,”jawab Alpha ketus.
“Huh dasar kulkas!”
“Tari, kamu jangan gitu.” Elang menegur putrinya. Mereka hanya berbeda dua tahun, tapi sikap Tari masih kekanak-kanakan berbeda dengan Alpha yang jauh terlihat dewasa.
Starla tidak tahu harus berkata apa, padahal dia biasanya selalu punya ide untuk memulai obrolan. Tapi situasinya berbeda sekarang, dia berada di tengah keluarga yang sangat harmonis, hangat, dan masih—lengkap. Itu adalah gambaran keluarga yang dia impikan, semenjak kedua orang tuanya telah tiada. Hanya saja Starla merasa asing sendirian, dia belum begitu akrab, karena sudah lama sekali, semenjak keluarga Alpha pindah ke Jakarta dan akhirnya belum lama ini kembali ke Bandung.
“Maaf, karena Al ajak kamu ke perusahaan. Tadinya kita mau ajak kamu ke rumah, atau ke restoran gitu sambil makan. Tapi berhubung hari ini baru saja selesai penyerahan jabatan, Alpha baru aja menyetujui untuk menggantikan posisi papahnya sebagai pewaris perusahaan. Tadinya sih, dia mau buat perusahaan dia sendiri, La. Tapi setelah papahnya meminta dia untuk meneruskan saja, karena tahu sendiri lah, papa Al udah harus banyak istirahat sekarang,” tutur Dara menjelaskan pada Starla.
“Iya, Tante. Nggak apa-apa, kok. Tadi Mas Al bilang Opa yang pengen aku dan Mas Al datang. Tapi, aku nggak tahu kalau bakalan di ajak ketemu Om sama Tante. Maaf banget kalau Starla nggak ada persiapan apapun,” kata gadis berumur dua puluh tahun itu.
“Nggak perlu mempersiapkan apapun, Starla. Kami semua di sini udah sangat senang karena kamu mau menerima perjodohan ini,” terang Elang.
“Iya, Tari juga seneng karena akhirnya Aa punya pasangan. Dia tuh belagu, selalu aja nolak cewek yang suka sama dia,” imbuh adik Alpha satu-satunya.
“Mendingan diem, dari pada Aa bongkar aib kamu.” Alpha sedikit mengeluarkan nada ancaman.
“Aib apaan sih, A?” sergah Mentari, sedikit panik karena Alpha tahu bahwa dia diam-diam berpacaran dibelakang orang tuanya.
“Kamu tahu apa tentang adik kamu, Al?” tanya Dara dan semuanya juga jadi penasaran maksud kata-kata Alpha.
Alpha menatap mata adiknya yang mulai memelas, memohon dari tatapannya agar Alpha tidak memberitahukan rahasianya.
“Enggak, kok.” Alpha memilih menjaga rahasia adiknya. Karena dia tahu bahwa Elang melarang keras Mentari untuk tidak berpacaran dulu, sampai lulus Pascasarjana.
Mentari menghela napas lega. “Nuhun, Aa. Tari janji akan diam,” ucapnya sangat amat pelan.
Starla tertawa kecil melihat tingkah Alpha dan Mentari yang menurutnya lucu. Dia juga baru melihat sisi Alpha yang hangat saat ditengah keluarganya. Meksi senyum Al sangat mahal, hanya beberapa kali saja dia tersenyum itupun secara sembunyi-sembunyi. Huh dasar!
Ternyata dia nggak terlalu dingin juga sih, tapi kalau cuma berdua, tingkat dinginnya meningkat, langsung ke level freeze deh.
Mereka mengobrol dan bercengkrama, sebelum Al mengakhirinya dengan mengantar Starla pulang.
Di rumah Opa Gunawan, Al tidak langsung pulang. Kata Opa Gunawan ada yang harus dibicarakan dengan Al dan Starla serius.
Saat itu Starla nyaris berteriak kalau saja dia tidak mengunci mulutnya secepat kilat saat Opanya mengatakan dia akan menikah dengan Alpha Minggu depan.
“Opa! Kenapa jadi Minggu depan? Itu nggak terlalu cepat?” Protes Starla.
Meski Alpha juga agak kaget, tapi tidak sekaget reaksi Starla.
“Tidak. Menurut Opa, lebih cepat lebih baik. Lagipula semua sudah di siapkan. Begini, Lala sayang. Setelah kamu menikah, Opa harus menjalani pengobatan ke luar negeri. Opa harap kamu ada yang menjaga, ini semua demi kebaikan kamu.”
Mendadak kedua mata Starla terasa pedih. Dia tentu tidak lupa bahwa opanya sedang sakit dan harus menjalani pengobatan. Pantas saja, rupanya itu yang menjadi alasan utama opanya menginginkan Starla segera menikah.
“Iya, cuma apa harus secepat ini, Starla baru dua puluh tahun,”
“Menikah nggak bikin kamu berhenti berkarir, kok. Jadi, nggak perlu nunggu karir kamu melesat baru nikah, kan?”
Memang benar, sih. Tetapi Starla masih merasa dirinya belum cukup dewasa untuk menikah.
“Menurut Opa, kamu nggak perlu ragu dengan Alpha, sayang. Dia adalah lelaki yang luar biasa. Opa mengenal Alpha dengan baik, dia adalah tulang punggung keluarganya, dia juga pasti bertanggung jawab. Bukan begitu, Al?”
Alpha mengangguk ragu, dia melirik Starla yang hanya terus menunduk, dengan mata yang sayu.
“Semua sudah jelas, kan? Alpha tidak keberatan, dan Opa harap kamu juga nggak keberatan, ya. Starla ngerti, kan?”
Dibalik itu semua, Starla sedih karena opanya terlihat semakin lemah diusianya yang sudah senja. Tentu sekarang Starla menangis bukan karena perjodohan lagi. Tapi, dia sedang mencemaskan kondisi opanya.
“Starla mau Opa sembuh, Starla akan lakukan apapun asalkan demi kesembuhan Opa.”
Gunawan sudah lama menderita penyakit diabetes yang cukup parah. Seharusnya dia menjalani pengobatan lebih awal. Tapi, dia selalu mencemaskan keadaan cucunya yang hanya memiliki dirinya sebagai keluarga. Sehingga dia selalu mengesampingkan penyakitnya demi menemani cucunya, Starla.
“Opa akan sembuh. Tenang aja, ya.”
Starla akhirnya menangis di pelukan Opanya. Melihat tangisan Starla yang begitu sayang terhadap opanya membuat Alpha sedikit tersentuh. Meski tetap tenang, tapi melihat gadis itu menangis, tidak dipungkiri, Al merasa—agak sedikit sedih juga.
________
Tbc ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro