Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#AB -13

"Taraniaya, tertutup oleh abu kemelut. Kesedihan dari seseorang yang mendapat angkara murka, bagaikan petir yang menyambar dan meluluh lantakan mereka. Tersirat akan air mata yang meluncur dengan mudahnya. Terasa sendu..."

..................................

(Author ***** POV)

Tes...

Tes...

Tes...

Air mata...

Tubuh tertunduk lemas, dengan wajah sedikit membiru. Kacamata yang sudah sedikit retak dan patah pada salah satu gagangnya. Bentakan sang ibu membuat telinganya sedikit sakit, bahkan memarnya sedikit perih karena baru saja tubuh itu tersiram oleh segelas air yang berada disana. Ini kamar Jungkook dan sudah berantakan karena perlakuan sang ibu terhadapnya. Jungkook tak bisa melakukan apapun karena status sebagai anak berbakti terselip dalam dirinya.

Ada alasan kenapa sang ibu sedikit keras dan kasar padanya, apalagi sang ayah pasti sedang menahan kakaknya disana. Yoongi memberontak dan berusaha melepaskan diri dari suruhan ayah mereka. Suara itu terdengar sendiri oleh Jungkook, hanya saja tertutupi oleh suara marah sang ibu.

"Membantah? Akan jadi apa kau tanpa kami. Kau mau nekat? Apakah kau ingin mempermalukan kami sebagai orang tuamu?" emosi kentara di wajahnya, sedikit memerah dengan kedua bola mata yang sulit. Jungkook terlalu takut melihat wajah ibunya. Ia terlalu takut dan khawatir akan salah bicara. Salah jika dia akan dipukul oleh rotan yang dibawa ibunya sekarang.

"Maafkan aku eomma..." berbicara lirih denagn tubuh yang sedikit bergetar. Sedikit sakit pada pipinya yang membiru, luka lebam yang tak main.

"kau membuat yoongi berpikiran sempit, apa yang kau pikirkan anak bodoh aku memberikan pelajaran tambahan untukmu agar kau bisa pintar, tapi apa!! kau hanya bisa melukis dan melukis, apa untungnya dari melukis, hah!!?"

PRAANGGG!!!

Menjatuhkan lampu meja hingga kavanya pecah dimana-mana. Membuat namja dengan status anak keduanya itu bergetar ketakutan. Ia bahkan tak sanggup lagi bersuara, sejak kecil sang ibu selalu keras padanya. Membuat ia terbiasa meski tercoreh luka setiap kali mengalaminya.

"Yaaaakkk! Tak bisakah kau membuatku tersenyum bangga! Kau membuatku malu akibat kebodohanmu. Tak seharusnya aku merawatmu jika nyatanya Yoongi lebih pintar darimu." Menunjuk kepala Jungkook dengan telunjuknya, mendorong sedikit kuat hingga bergerak sedikit ke belakang. Membuat dia menangis lagi...

"A- aku juga tidak ingin bodoh eomma, a- aku juga be-belajar agar aku lulus. Aku be-berusaha keras eomma." dengan mata yang sedikit berkaca, kedua bibirnya yang sedikit kering itu bergerak dengan sedikit bergetar. Wajah sendu dan sedikit putus asa itu nampak dengan segala pikirannya yang hampir jatuh pada 'depresi.'

"Kau mengatakan hal yang sama, tapi kau selalu gagal. Kau pikir aku orang yang bodoh dengan omongan munafikmu, apa yang kau buktikan apa! kau hanya menggambar dengan hal tak berguna, membuat appa dan eomma mu kecewa sementara kau tidak naik kelas. Kau pikir teman angkatanmu tidak kuliah, hahh! Mereka kulihah dan masuk universitas bagus, sementara kau? Heh! Kau memalukan dimata ibu."

Tersenyum meremehkan, menatap sang anak tak ada bedanya menatap pengemis atau gelandangan. Tubuh Jungkook terasa dingin dan basah, suhu pendingin udara yang terpasang membuat setiap pori-pori kulitnya menggigil. Tak ada hal yang bisa dilakukan olehnya kecuali menerima pengampunan sang ibu. Ia hanya ingin kedua orang tuanya memahami dirinya, meski pada kenyataannya hal itu sulit ia dapatkan.

Jungkook lagi-lagi terisak dan menangis, ia memang namja tapi terlalu lemah dalam hatinya. Ini bukan salah Jungkook, justru ketegasan sang orang tuanya lah yang membuat dirinya tertutup dan hanya sang kakak yang mempedulikannya hingga saat ini.

Jengkel dengan sifat sang anak membuat sang ibu emosi besar, dia bahkan menarik wajah bawah sang anak tak sadar jika kukunya menggores kulit sang anak. membuat dia meringis karena sakit dan perih.

"Katakan pada Yoongi, kau menolak. Kau pikir dengan kau pergi ke Canada kau bisa memperbaiki kebodohanmu. Kau masih tanggung jawab ibu dan ayah, jika kau membangkang. Jangan harap kau masih ada di dalam kartu keluarga."

Mendorong kepala sang anak sedikit keras, membuat dia sedikit terjungkal. Kepala belakang yang membentur lantai kamarnya. Sedikit pusing dengan pandangan yang berkunang. Merintih dan sang ibu juga tidak peduli akan hal itu. Menangis, bagi ibunya itu bukanlah hal penting. Jungkook merasa sang ibu sudah keterlaluan tapi dia juga tak bisa melawan. Rasa sayangnya terlampau besar dari pada dengan dirinya.

Bahkan ibunya sendiri berjalan pergi meninggalkan sang anak yang bangun dengan kepayahan, dengan beberapa barang pecah di dalam kamarnya. Teraniaya?

Entah, hanya saja Jungkook tak pernah mendapatkan keadilan disini, dari orang yang penting dalam kehidupannya sekarang. Mereka yang berharap lebih besar dengan sedikit pemaksaan, melebihi batas kemampuan Jungkook. Tentu saja....

Siapapun tak akan betah dalam kondisi seperti ini.

Ia kini bangun, dengan kepala belakang terasa berdenyut. Ringisan di wajah manisnya tak luput dari ekspresi yang berbicara dari semua kebisuan yang ia lakukan. Air mata itu sedikit mengering, dengan tangan yang sedikit bergetar dan sedikit ngilu akibat tarikan ibunya yang cukup sadis. Setiap bagian sendi tulang yang sedikit berbunyi pada pergelangannya, mungkin terkilir.

Mengambil kacamata yang telah retak sebelahnya, tepat di sebelah kanan. Memakainya, hanya nampak penglihatan yang tak rata dan garis di depannya. Ah, kacamata pemberian sang kakak justru rusak dan membuat Jungkook merasa sedih sekaligus tak enak hati.

"Maafkan aku hyung, ini rusak..."

Melepaskannya, memperhatikan bagaimana kacamata di tangannya sudah tak pantas digunakan. Menangis....

Ah, semua sudah terlampau kering. Apakah dia lemah? Memang.... mendapatkan perlakuan seperti ini memang membuat batinnya lelah. Hanya bisa duduk di tepi ranjang tempat tidurnya dengan tatapan sendu yang menerawang ke depan. Apakah ini saatnya memikirkan masa depannya?

Tapi....

Dia juga tak mampu meninggalkan kesenangannya...

Membuat seni yang bisa menenangkan hatinya, menghibur kebodohannya.

.

.

.

.

"LEPASKAN!"

Yoongi menyentak, kakinya sedari tadi tak diam untuk bergerak. Kedua bibirnya sudah mengeluarkan protes sedari tadi. Membuat dua anak buah sang ayah sedikit kerepotan. Tak ayal, jika anak pertama dalam keluarga ini memiliki tenaga lebih besar jika sedang marah.

"Kau jangan membangkang nak, appa tidak akan segan menghukummu."

Menatap sang anak dengan tegas, guratan wajah yang tak menyukai sikap sang anak. Membuang puntung rokok yang baru saja ia hembuskan, tak bisa dipungkiri jika ayah dengan dua anak ini adalah seorang pecandu rokok berat.

"Lepaskan aku! Kau tidak bisa melakukan ini padaku, temui aku dengan adikku. Apa yang kau lakukan!"

Menarik dari penahanan tangan dua pria berbadan besar itu, membuat namja bermata sipit itu sedikit tersendat lelah. Peluh keringat sudah lolos dari keningnya, memejamkan mata sebentar hanya untuk menurunkan emosinya. Bersabar... ini adalah hal yang paling menyulitkan karena sang ayah sangat keras kepala dan egois. Mungkin dengan kepala dingin sang ayah bisa paham.

"Appa, lepaskan aku. Ku mohon, aku tak akan gegabah dan memberontak seperti tadi."

Memohon dengan terpaksa, meski ia sendiri sebal sebagai anaknya. Tapi, ia juga tidak berani menjadi durhaka pada pria di depannya. Berbakti, adalah hal yang diajarkan padanya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Meski, dalam kenyataanya ia berbakti dengan orang tua yang memiliki pemikiran salah mengenai saudaranya.

Sedikit diam karena sang ayah tak langsung membalasnya. Meletakannya kopi yang baru saja ia seduh terakhir hingga meninggalkan ampas di dalamnya. Dari jarak beberapa meter terdengar langkah kaki yang menampilkan seorang wanita dengan perhiasan yang sedikit mencolok perhatian anak sulungnya. Ibu, dia datang dengan wajah penuh kejengkelan dan sedikit tak terima. Kuku panjang berwarna merah darahnya terlampau jelas di tangan lentiknya, memberikan sebuah kertas catatan di tangannya. Entah apa itu, Yoongi sendiri pun tak tahu. Ia mencoba melihat dengan teliti, meyipitkan kedua matanya dan hanya tulisan menerawang dibaliknya. Membingungkan...

"Suamiku, lepaskan Yoongi dan kau bisa baca ini."

Sang istri langsung duduk disampingnya, mendampinginya dan ikut minum kopi yang disiapkan oleh pembantu mereka. Jujur, Yoongi terlalu muak melihat rutinitas keduanya. Mereka terlihat masa bodoh dengan anaknya juga keluarganya. Berpikir, semua dibereskan oleh uang sementara sejak kecil Yoongi sendiri juga kekurangan kasih sayang karena kesibukan mereka. Lalu, setelah mereka berada di rumah. Justru, keduanya menjadi neraka bagi sang adik.

Apakah takdir sekejam ini? jika iya, alasan apa mereka dilahirkan dan dibesarkan dua orang egois di depannya ini.

"Lepaskan dia." Menggerakan tangannya seperti menyuruh kedua anak buahnya untuk segera melepaskan sang anak. Mereka menurut, melepaskan dan setelahnya menunduk lalu pergi dengan sopan.

Kedua tangan Yoongi sedikit kebas dan pegal, menggerakan leher dan juga bagian tubuhnya. setelahnya menatap sedikit tajam ke arah orang tuanya, melihat sang ibu yang sedikit tersenyum tipis kearahnya. Yoongi menampik perihal tadi, ia pergi ke arah dimana kamar sang adik berada. Tak peduli jika tatapan sang ibu sangat tajam melebihi dirinya.

Ia hanya memastikan keadaan sang adik, tak lebih.

Berlari kecil dengan hati yang khawatir.

"Jungkook kau tak apa?" meski masih beberapa meter lagi dari kamar Jungkook tapi Yoongi sudah bersuara. Dirinya sudah tak tahan hanya untuk diam, kepergiannya ditatap kedua orang tuanya yang sedikit tak suka. Tapi, setelah sang ayah membaca selembar kertas di tangannya ada raut wajah yang tak bisa dijelaskan apa yang ia pikirkan, dengan sunggingan senyum yang bisa dikatakan licik.

"Bagaimana menurutmu suamiku, kita bisa mengubah anak bodoh itu dengan baik. Bahkan mengubah masa depannya, dia sendiri yang menyetujuinya."

"Kau sangat cerdas, dia akan berterima kasih pada kita. Bukankah ini bagus untuknya, dia akan mendapatkan kendali yang penuh dan kita bisa mencapai tujuan kita."

"Ya, kau benar. Sudah sepantasnya dia sadar akan kebodohannya. Melukis bukanlah hal yang bagus untuknya hanya membuang waktu saja."

Kedua orang tua itu sibuk membahas sesuatu, sesekali menatap kertas itu dengan senyum puas.

Apa yang mereka pikirkan itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan. Kuharap itu sesuatu yang baik menurut mereka, dan tak menimbulkan masalah ke depannya.

.

.

.

"Jungkook?" memegang kedua pundak sang adik. Ia sedikit menghentikan Jungkook yang sedang memungut benda yang sudah jatuh berserakan. Wajah khawatirnya tak bisa diragukan bagaimana dia, Yoongi serasa di hancurkan oleh batu besar ketika melihat sang adik seperti sekarang.

Bukannya langsung menjawab Jungkook hanya mentap sebentar sang kakak. Dirinya melepaskan tangan sang kakak dengan perlahan dan mengabaikan kehadirannya yang nyatanya berada tepat di depannya. membuat sang kakak diam seribu bahasa dengan banyak pertanyaan dalam otaknya. 'Apa yang terjadi?'

Menggelengkan kepalanya, sadar dari lamunannya. Dan lagi-lagi memaksa Jungkook untuk berbicara padanya.

"Katakan, apa yang dilakukan eomma padamu. Kenapa kau seperti ini? Jungkook!"

Yoongi tak ingin sabar dia butuh jawaban sang adik. Melihat keadaan di sekitar membuat Yoongi emosional. Perbuatan sang ibu, ia rasa ini sungguh keterlaluan. Ia tak bisa membiarkan hal ini terus terjadi. Berapa banyak lagi barang sang adik yang dirusak, kamar yang dulunya penuh dengan kesenangan sang adik perlahan berkurang. Malahan, ada banyak sekali buku yang belum tentu Jungkook pahami ilmunya. Ini adalah buku untuk mahasiswa tingkat akhir. Yang benar saja? sang adik belum lulus dari SMP. Mungkinkah kedua orang tuanya memaksakan mata pelajaran setingkat dirinya?

Ini salah, tak beralasan penuh kegilaan tanpa logika. Ia tak ingin berdamai dengan kedua orang tuanya jika begini. Jika takdir bisa tersenyum melihat sang adik, kenapa justru dia juga yang mendapat derita. Apakah waktu memang tak berpihak, dewi fortuna seakan enggan menolongnya. Kecil kemungkinan jika sang adik bisa bertahan dalam neraka jahanam ini.

"Kita pergi Kook, aku tak bisa membiarkan dirimu seperti ini. Ayo berkemas hyung akan memesan tiket." Mengajak sang adik berdiri, tapi hal itu ditepis dengan mudahnya. Membuat kedua mulut sang kakak melongo, ia heran sekaligus bingung. Bukankah sejak awal sang adik mau diajaknya? Seakan menolak dan enggan. Tetap disini, memungut pecahan beling dan beberapa benda lainnya. Tanpa ada suara perbincangan.

"Kau tahu bukan? Aku tak suka diabaikan." Atmosfer di sekitar mendadak tegang dan tak enak, sang Alpha seperti mendapatkan pembangkang dari adik Betanya.

Diam...

Diam dan diam...

Jungkook tak ingin mengambil pecahan lagi, mengembalikan pecahan itu di lantai. Tapi kedua manik mata yang sedari tadi berkaca itu sudah tak mampu menahan tatapan sendunya. Tanpa kacamata, lantaran ia tak ingin sang kakak melihat pemberiannya remuk sebagian.

"Maaf hyung biarkan aku sendiri." Beta memberikan perintah, ia ingin membangkang meski dunia menolak sekalipun. Tak ingin menatap sang kakak secara langsung atau dia akan terlihat menyedihkan, cukup sudah... dia terlihat menyedihkan di mata dunia. Ditertawakan oleh manusia seumurannya dan direndahkan orang tuanya, ia ingin sendiri. Menimbang dan memikirkan apa yang akan ia lakukan setelahnya.

Temukan jawaban dari otak bodohnya, hal yang sering dikatakan ibunya. Ibu yang ia rasa sebagai ibu tiri walau kartu keluarga menuliskan ibu kandung.

"Jungkook?" Yoongi bertanya sekali lagi, yakinkah sang adik mengusirnya? Apakah ini hanya gurauan saja. sementara ia merasa sang Beta memang sedang kemelut dalam kesedihan.

"PERGILAH HYUNG!"

Bagai disambar petir, untuk pertama kalinya dia melihat sang adik seperti ini. Merasa tak terima sedikit emosi Yoongi memaksa Jungkook untuk berdiri, bahkan mulutnya mengeluarkan kata kasar dengan tatapan berapi. Tak terima, apa yang dilakukan sang adik adalah sebuah pelanggaran.

"Apa yang kau lakukan? Kau membentakku, aku kakakmu."

"Justru karena kau kakakku aku meminta kau keluar hyung, tolong.... aku butuh sendiri. kau jangan memaksaku, aku tak akan pergi."

Mengacungkan tangan ke arah pintu mempersilahkan yang pertama untuk keluar dari celah yang sama di mana ia masuk tadi. Ia kembali berjongkok dan membelakangi, mengamabil beberapa kuas yang patah dan rusak pada ujungnya. Ia ingin sang kakak untuk tidak mengganggu pemikirannya. Sungguh, ia ingin Yoongi angkat kaki dari kamarnya.

Tak percaya...

Satu hal yang tak ia percayai selain sikap egois orang tuanya yang semakin menjadi, ini kedua masuk dalam list kehidupannya. Sang adik membentak dan mengusirnya, ia merasa ada yang sakit di atas empedunya. Ah, entah... apakah ini kesengajaan atau tidak. Yang jelas Jungkook terlalu gamblang untuk mengusirnya.

"Aku tidak percaya kau membentakku dan aku melihat semuanya. Tak apa, jika kau memang ingin seperti itu tak masalah. Tapi, kau masih tanggung jawabku. Mungkin ibu melakukan sesuatu padamu. Selamat Jungkook... kau membuat Alphamu marah."

Pergi begitu saja, setelah memberi senyuman sinis di depan punggung sang adik yang sedang berjongkok. Ia merasa, ah... basi semuanya sia-sia. Dibuang dan disingkirkan secara paksa. Apakah Tuhan tertawa melihat pertengkaran mereka, sementara lampu rumah bergerak sedikit seakan tertawa terpingkal melihatnya.

Keterlaluan!

Jungkook mengecewakan dirinya, kesekian kalinya.

"Maafkan hyung, aku membangkangmu. Tapi eomma... appa... aku tak tahu. kuharap pilihanku tak salah, maafkan aku Yoongi hyung. Aku tahu kau menyayangiku melebihi apapun. Bangga memiliki kakak sepertimu, kau Alphaku. Betamu ini hanya lemah dan bodoh, merasa tak pantas menjadi adikmu. Aku hanya beban di punggungmu dan kau memikulnya. Aku harap kau tidak marah, karena demi apapun aku tak suka melihatmu marah. Aku bisa sakit..."

Menyentuh jantung di dadanya. Menghirup nafas setenang mungkin, mencoba tersenyum meskipun air mata menitik keluar. Ini menyakitkan... bahkan setelah Yoongi pergi pun rasanya menyakitkan. Ah, semoga dia terbiasa.

Atau besok, sang kakak akan mendapat kendala.

Ia tak mau jika besok sang kakak akan mendapatkan masalah karena dirinya. Sudah cukup... Yoongi sudah sangat melindunginya. Ini waktunya Jungkook berjuang, dan tak harus merepotkan.

"Aku mohon bantuanmu Tuhan."

Doa Jungkook dalam hatinya.

...................................................................

Tbc...

Maafkan aku yang terlampau lama dalam melanjutkan ff ini, aku rasa cukup membosankan dengan bahasaku yang hampir semua seperti ini. tapi, kuharap kalian tidak seperti itu. ini bahasaku dan gayaku, aku tidak bisa mengubah mindset karena aku takut feel mengenai brothershipku akan gagal.

Semoga kalian puas dengan cita rasa khas dari ff saya.

Sampai jumpa dengan yoonkook ver di chapter selanjutnya, semoga chap depan lebih baik dan bisa ngebut hehehe. ini adalah ketiga tahunnya saya berkarya, awal debut september 2016. Lama juga ya J

Thank's untuk semua dukungannya, yang haters harap menyingkir karena aku akan mengabaikan kalian.

Saranghae...

Bahagia selalu untuk kalian...

#el

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro