Chapter 33: Akhir dari Sebuah Rencana
Karena tak sanggup melihat mini bus yang hangus terbakar, Ame duduk bersandar di jalan kecil tempat dia menunggu Yume sebelumnya. Ame mendekap kedua kakinya, tertunduk dan menangisi semua hal yang terjadi padanya malam ini.
Saat Ame sedang menangis, tiba-tiba terlihat bayangan orang berdiri di ujung jalan masuk. Menyadari hal itu, dia langsung menodongkan senjatanya ke arah orang itu dengan kedua tangannya yang gemetar. Namun, orang itu terus berjalan mendekatinya. Sadar dirinya dalam bahaya, jarinya justru tidak sanggup menarik pelatuk senjatanya. Setelah sangat dekat dengannya, wajah orang itu pun bisa dilihat jelas olehnya.
“Ta—Ta—Taka?” Seluruh tubuh Ame gemetar karena ketakutan.
“Ame,” ucap Taka datar tanpa ekspresi sedikitpun.
Badan Ame gemetar, keringatnya terus bercucuran tanpa henti, degup jantungnya berpacu dengan cepat dan pandangan matanya hanya bisa diam terpaku memandangi Taka. Kedua tangannya tetap kokoh memegang pistol meski gemetaran.
Taka berdiri tepat di hadapan Ame, lalu mengambil pistol yang ada di tangan Ame dengan cara halus, karena memang tidak ada perlawanan sama sekali dari Ame untuk menahan pistol yang dipegangnya.
"Kau harus memutar pengamannya terlebih dahulu, Ame. Kalau tidak, pelatuknya tidak akan bisa tertekan dan pelurunya jadi tidak bisa dilesatkan. Padahal, aku sudah pernah mengajarinya padamu. Tapi, itu tadi adalah terakhir kalinya aku mengoreksi kesalahanmu." Taka menodongkan senjatanya tepat ke kepala Ame.
Ame yang sejak tadi hanya bisa memandangi Taka dengan tatapan kosong, kini mulai menangis. Air matanya mengalir cukup deras, seakan dirinya masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Melihat hal itu, Taka menurunkan pistolnya dan mengurungkan niatnya untuk menembak Ame. "Tunggulah di sini. Jangan ke mana-mana," ucapnya. Dia keluar dari gang itu dengan kedua tangannya yang memegang pistol.
Ame tidak merespon perkataan Taka, karena dia hanya bisa melihat mulut Taka bergerak tanpa mengetahui apa yang dikatakannya. Yang bisa Ame dengar saat ini hanyalah letupan peluru dari kedua pistol Taka yang sedang berada di depan jalan dan ingatan tentang suara ledakan mini bus yang masih terbayang di kepalanya.
Tak lama, Taka kembali dan duduk bersila tepat di hadapan Ame. "Ini pistolmu, aku kembalikan." Dia meletakkan pistol Ame di depan kakinya.
"Ke—ke—kenapa kau melakukan hal seperti ini kepada kami? Apa yang kau cari? Apa membunuh teman semudah itu bagimu?" Ame menatap Taka tajam menahan rasa amarah yang meluap dalam dirinya.
"Kalian bukanlah temanku," jawab Taka datar.
Adrenalin Ame tersentak begitu mendengarkan ucapan Taka yang benar-benar membuatnya muak. Dia mengambil pistolnya, lalu memberikannya kepada Taka dan mengarahkan tangan Taka untuk menembak tepat di kepalanya.
"Lakukan! Selesaikan tugasmu!" teriak Ame.
Taka menarik pelatuk pistolnya, tapi tak ada peluru yang keluar dari sana. "Tidak bisa. Pelurumu sudah habis kupakai tadi," ucapnya.
Taka berdiri melepas genggaman pistol Ame dari tangannya. "Aku yang membunuh Kaguya, Asuka dan juga Yume. Sedangkan Ogura dibunuh oleh Kuro. Tadinya aku dan Kuro akan mulai bergerak setelah kita berhasil mengetahui siapa Otawara Shinji sebenarnya. Tapi, karena para polisi itu ikut campur dan hampir selangkah lagi mendapatkan kami, terpaksa kami mempercepatnya. Toko Sepatu Arajima adalah milik salah satu anggota pasif Black Mask, namanya Satou. Tentu saja dia langsung mengabari aku dan Kuro tentang polisi yang datang meminta rekaman CCTV dan mengatakan kalau penyamaran mereka buruk sekali.”
Ame menundukkan kepalanya dan hanya bisa terus menangis memeluk erat kedua kakinya. Kesal melihat Ame yang terlalu cengeng, Taka menjenggut rambut Ame dan mendorongnya ke belakang sehingga dia bisa melihat wajah Ame dengan jelas.
Taka mendekatkan wajahnya pada Ame. "Dengarkan aku, Ame. Jadilah kuat, berlatihlah tanpa henti dan terus berusaha tanpa kenal lelah. Saat kau sudah jadi kuat, datang lagi padaku, bunuh aku. Kau mengerti?" Dia menatap tajam kedua mata Ame.
Ame diam tak menjawab apapun. Dia bisa mendengar Taka, tapi saat ini perasaan dalam dirinya bercampur aduk tak karuan. Dia tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana menanggapinya. Taka melepaskan jenggutannya dari rambut Ame dan langsung memukul keras perut Ame, yang membuatnya terkapar dan mulai kehilangan kesadarannya.
"Aku akan terus menunggumu," ucap Taka dengan tersenyum menatap Ame.
Di pandangannya yang mulai sayu, Ame dapat dengan jelas melihat senyuman itu. Hanya saja dia tidak bisa mendengarkan suara Taka dengan jelas dan sedikit mendengar suara sirine sebelum benar-benar tak sadarkan diri.
***
Mr. Y dan Kazuya baru saja tiba di Kasino di Kota H. Di tempat itu sudah banyak sekali polisi dan wilayah di sekitarnya juga sudah dipasangi garis polisi. Mr. Y menunjukkan kartu identitasnya kepada polisi yang bertanggung jawab pada penyelidikan itu.
“Letnan Miyaichi,” ucap Letnan Polisi itu mengajak Mr. Y berjabat tangan.
Mr. Y pun menjabat tangan Miyaichi. Bersama dengan Kazuya, dia melihat apa yang sebenarnya terjadi beberapa waktu lalu di Kasino ini dipandu oleh Miyaichi. Ketiganya akhirnya tiba di tempat mayat Asuka dan Kaguya berada.
"Apa sudah diperiksa oleh Forensik, Letnan?" tanya Mr. Y.
"Belum, Tuan. Forensik akan tiba sekitar sepuluh menit lagi," jawab Miyaichi.
Mr. Y duduk bersimpuh di hadapan kedua mayat itu untuk melihat lebih dekat tubuh mereka. Dia mengangkat bagian kepala dari kain yang menutupi mayat itu, sehingga terlihat jelas wajah Kaguya dan Asuka. Dia menutupnya kembali begitu selesai memastikan bahwa kedua orang itu adalah anggota tim Troublemaker, bukan orang lain.
"Ada satu mayat lagi. Letaknya ada di jalan menuju gedung parkiran yang ada di sebelah kasino ini." Miyaichi menunjuk ke arah gedung parkiran berada.
Mr. Y berdiri dan berjalan menuju ke tempat mayat Ogura berada bersama Kazuya dan Miyaichi. Tibalah ketiganya di tempat mayat Ogura berada. Berbeda dengan mayat Kaguya dan Asuka, Mr. Y melihat mayat Ogura jauh lebih lama.
Mr. Y terlihat sangat menyesal. "Orang pintar, licik dan juga waspada sepertimu saja tetap bisa dikalahkan. Ini salahku, seharusnya aku lebih teliti dalam merekrut anggota, bukan hanya dari keterampilannya saja. Inilah yang kudapat kalau aku ceroboh. Kegagalan.”
Mr. Y berdiri dan mengepal kuat kedua tangannya. "Apa ada berita tentang kecelakaan sebuah mini bus terdekat dari Kasino malam ini, Letnan?" tanyanya menoleh ke arah Miyaichi.
"Untuk apa Tuan menanyakan hal itu?" tanya Miyaichi heran.
"Sudah cepat katakan saja tidak usah banyak bertanya," jawab Mr. Y ketus.
"Ba—ba—baik." Miyaichi langsung menghubungi Kantor Pusat untuk menanyakan apa ada kecelakaan yang melibatkan sebuah mini bus di sekitar Kasino malam ini.
Mr. Y berdiri menghadap Miyaichi. "Serahkan tiga mayat itu padaku, biar aku yang akan mengurus sisanya. Kalau Shin Musano bertanya, sebutkan namaku. Kau mengerti?”
Miyaichi hanya menganggukkan kepalanya, lalu menutup teleponnya dan menjawab pertanyaan Mr. Y yang sebelumnya. “Ada, Tuan. Jaraknya sekitar lima belas menit dari sini. Di sana juga sudah banyak polisi dan mobil pemadam kebakaran yang menanganinya.”
Setelah mendapatkan jawabannya dari Miyaichi, tanpa berbasa-basi lagi Mr. Y langsung pergi ke TKP tempat mini bus berada. Mr. Y dan Kazuya akhirnya sampai di lokasi. Keduanya keluar dari mobil dan hanya Mr. Y saja yang mendekat ke TKP. Tiga mobil pemadam kebakaran diparkirkan berjajaran di sekitar lokasi mini bus. Para petugas pemadam yang di sana sibuk mengais puing-puing dari mini bus dan mengangkatnya satu-persatu. Mr. Y menghampiri polisi yang bertanggung jawab di tempat itu dan menunjukkan identitasnya. Polisi itu langsung memberikan informasi mengenai kejadian itu.
"Ada satu mayat di dalam mini bus itu. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali, karena memang ledakan yang terjadi sangat kuat dan bahkan menggetarkan bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya." Polisi itu menunjuk ke arah mini bus dan bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya.
"Di mana mayat itu sekarang?" tanya Mr. Y.
"Sudah dibawa ke rumah sakit terdekat," jawab polisi itu.
"Beritahu rumah sakit, akan ada orangku yang datang untuk mengambil mayatnya." Mr. Y langsung pergi meninggalkan polisi itu untuk menghampiri mini bus.
Setelah berada di dekat mini bus, Mr. Y melihat ke sekelilingnya, mencoba mencari tahu apakah ada hal yang bisa didapatkannya dari sana. Intuisinya pun membawanya untuk memeriksa jalan sempit yang terhimpit di antara dua toko, tidak jauh dari lokasi mini bus berada. Karena agak gelap, Mr. Y menyalakan senter dari ponselnya dan memegang pistolnya untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.
Setelah cukup jauh, Mr. Y tak sengaja menyorot kaki seseorang yang sedang terkapar. Perlahan dia sinari tubuh orang itu ke atas sambil tetap berwaspada dengan pistolnya. Ketika wajahnya tersorot, Mr. Y langsung menghampiri orang itu yang ternyata adalah Ame. Mr. Y mengantongi kembali ponselnya, lalu membawa Ame ke Ambulance.
"Apa maksudnya ini? Kenapa dia hanya menyisakan Ame? Apa ini ejekan buatku atau untuk Ame? Tapi yang jelas, anak ini pasti kesulitan mengatasi kehancuran mental yang baru saja terjadi padanya. Bertahanlah, karena dengan begitu kau bisa balas ini semua suatu hari nanti." Mr. Y terlihat sangat kesal sekaligus prihatin dengan kondisi Ame.
Mr. Y membawa Ame ke dalam mobilnya, yang langsung dibantu oleh Kazuya. “Kita bawa ke rumah sakit tempatku berobat, Kazuya.” Setelah Ame dibaringkan di kursi belakang, Mr. Y duduk di kursi depan.
“Baik, Tuan.” Kazuya kembali ke posisi menyetirnya dan memacau mobilnya menuju rumah sakit yang diperintahkan Mr. Y.
Selama perjalanan, sesekali Kazuya melirik Mr. Y yang terlihat cemas dan kesal. "Apa Tuan baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Aku kalah lagi, Kazuya. Kehilangan anggota-anggota terbaik yang pernah aku miliki. Apa menurutmu aku baik-baik saja?" jawab Mr. Y menatap tajam Kazuya.
"Maafkan aku sudah bertanya seperti itu, Tuan." Kazuya tak berani menatap balik Mr. Y, karena dia tahu kalau pertanyaannya itu sudah menyinggung perasaan Mr. Y.
“Aku sudah menduganya akan jadi seperti ini,” gumam Kaguya dengan kesalnya.
***
Jam sebelas malam. Di kala semua kegaduhan sudah mulai teratasi dan keadaan kembali hening seperti sedia kala. Reaper dan Hayate berdiri tepat di hadapan sebuah makam seseorang. Tak lama, Taka dan Kuro datang bersamaan menghampiri keduanya dan berdiri di sebelah kanan mereka.
"Lama sekali kalian berdua. Apa yang kalian kerjakan terlebih dahulu sebelum datang ke sini?" Reaper menatap keduanya, seperti orang yang sedang curiga.
"Aku menunggu Taka yang belum juga datang," jawab Kuro.
"Aku ingin memastikan sesuatu, baru pergi menghampiri Kuro di tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya." Taka menatap tajam Reaper.
Reaper melambaikan tangannya. "Baiklah, tidak masalah. Yang penting kalian berdua sudah ada di sini sekarang. Sebaiknya, kita segera pergi sebelum ada yang menyadari kita."
“Ini pemakaman. Tidak ada satupun yang bakal menyadari kebaradaan kita di sini. Kecuali kalau batu nisan punya mata.” Hayate menunjuk batu nisan yang ada di hadapannya.
Mendengar perkataan Hayate yang memang benar adanya itu, Reaper justru merasa kesal. Alasannya karena Hayate telah membantah perkataan yang menurutnya keren barusan.
“Kenapa kau selalu saja bisa membuatku terlihat tidak keren di depan yang lainnya? Mereka itu Taka dan Kuro, lho. Salah satu yang paling kuat di ‘Black Mask’, masa aku terlihat tidak keren di depan mereka. Ini semua salahmu.” Reaper mendekatkan wajahnya pada Hayate dan menunjuknya dengan telunjuk.
Hayate mendesah. “Itukan salahmu sendiri. Kalau mau mengatakan sesuatu yang keren, kau lihat sekitarmu terlebih dahulu. Memastikan cocok atau tidak perkataanmu itu.”
Tak mau kalah, Reaper semakin mendekatkan wajahnya ke Hayate. “Harusnya kau juga lihat situasinya terlebih dahulu sebelum mengoreksiku. Ya, sudah, tak perlu membahasnya lagi. Ayo kita pergi saja sebelum benar-benar ada yang mengawasi kita di sini. Entah kenapa, bulu di belakang leherku mulai terasa dingin.” Dia pun berjalan meninggalkan mereka bertiga.
“Dari ujung kepala sampai ujung lehermu kan tertutup perban hitam, bagaimana bisa kau merasa kedinginan?” Hayate menepuk keningnya dan terlihat agak kesal.
“Taka, Kuro, ayo pergi,” ucap Hayate.
“Baiklah,” ucap Kuro.
Taka terlihat agak bingung begitu Hayate mengajak mereka pergi. “Bukan kah kita harus menunggu satu orang lagi?”
Hayate batal melangkahkan kakinya begitu mendengar pertanyaan Taka dan langsung berbalik badan menghadap Taka. “Tidak perlu. Dia akan datang ke markas kita nanti.”
“Baiklah,” ucap Taka.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro