Chapter 29: Empat Puluh Tiga
Jam enam sore, dua jam sebelum dimulainya Turnamen Poker di Kasino Kota H. Tim Troublemaker tengah berada di dalam mini bus menuju Kasino. Yume menyetir, Kuro duduk di sampingnya, Ame dan Asuka duduk di kursi meja komputer, sementara Ogura dan Taka duduk di sofa saling berhadapan. Tak ada satupun dari mereka yang bicara.
Jenuh dengan kondisi hening semacam itu, Ogura memberikan saran kepada mereka apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah sampai di Kasino nanti. “Setelah sampai, kalian bertiga berkelilinglah di sekitar Kasino atau bermain di meja judi juga tidak maslah. Kaguya, Asuka, Kuro. Tujuannya supaya kalian bertiga terbiasa dengan ruang gerak yang ada di ruangan Kasino yang sangat luas itu.”
“Osh,” ucap Kaguya, Asuka, dan Kuro bersamaan.
Ogura menatap Taka yang ada di hadapannya dengan datar. “Setelah selesai menyiapkan semua peralatanmu, kau amatilah setiap layar CCTV-nya. Meskipun ada Ame, tapi kecermatan penglihatanmu berada jauh di atas kami berenam. Kalau kau sudah terbiasa melihatnya, pasti kau mudah merasakan jika ada sesuatu yang ganjil terjadi.”
Taka menyilangkan kedua tangannya di atas meja dan menatap balik Ogura dengan datar juga. “Apa aku harus bilang, ‘Osh’ juga?”
“Osh,” jawab Ogura dengan tersenyum, yang membuat Taka otomatis tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala.
Ogura menoleh ke belakang sembilan puluh derajat dan melirik ke arah Ame. “Jangan mau dikalahkan kegugupanmu, Ame. Ingat, kalau kau tidak teliti dalam mengamati setiap layar CCTV di tiga komputer itu, mungkin bisa terjadi sesuatu yang sangat genting tanpa kita sadari. Laporkan segala macam apapun yang menurutmu mencurigakan, aku tidak akan marah meskipun kau salah. Lebih baik kau bicara dan salah, daripada kau hanya diam karena takut salah. Kau mengerti, Ame?”
Ame memutar kursinya menghadap ke arah Ogura. “O—O—Osh!” serunya lantang dengan menegakkan badan, membusungkan dada, dan menatap lurus ke depan.
“Firasatku tidak enak,” ucap Ogura pelan. Kemudian Ogura melirik ke arah Yume. “Jangan berjaga di dalam mobil, Yume. Ruang gerakmu sedikit kalau berada di dalam mobil. Meskipun kau bisa langsung tancap gas untuk kabur, namun pandanganmu terhadap keadaan sekitar terbatas. Jadi semakin banyak ruang penglihatanmu, semakin bagus. Tapi, jangan jauh-jauh dari mini bus ini. Bagaimanapun juga tugasmu adalah melindungi Ame. Kau paham?”
“Osh,” ucap Yume.
Ogura menatap ke depan kembali, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku tidak terlalu pintar berpidato. Yang aku bisa itu mengintimidasi, bukan memotivasi. Tapi, kalau aku diizinkan untuk mengatakan sesuatu pada kalian, maka aku akan memberikan kalian sebuah motivasi. Kalau malam ini kita gagal, mulai besok kita bertujuh akan memiliki mimpi buruk baru yang selalu menghantui setiap hari. Jadi, jangan sampai gagal kalau tidak mau hal itu sampai terjadi.”
“Osh,” ucap mereka berenam serempak beda nada.
Hening kembali menguasai mini bus. Keenam anggota Troublemaker terdiam karena mereka tengah memusatkan fokus mereka pada rencana. Sementara yang satunya, yang tak lain dan tak bukan yaitu, Ame Musashi alias The Rainmaker, terdiam karena gugup setengah mati. Namun, suasana hening itu akhirnya pecah begitu ponsel Kaguya berdering. Serempak, pandangan mereka semua pun tertuju pada Kaguya.
Kaguya melihat dari siapa telepon masuk itu. Seketika, adrenalinnya tersentak. Telepon itu ternyata dari Sagiri. Karena Asuka ada di sebelahnya, tak mungkin baginya untuk mengangkat telepon itu. Tak ada pilihan lain selain mematikan teleponnya.
“Kenapa kau matikan?” tanya Asuka.
Kaguya terkejut, namun dia berusaha sekeras mungkin untuk tetap tenang begitu menatap balik Asuka. “Bibiku. Biasanya di jam segini dia suka mabuk sebelum waktunya.”
Asuka memalingkan wajahnya ke depan dan terlihat agak kesal. “Kebiasaan. Perempuan itu harus segera merubah perilakunya supaya tidak merepotkan terus.”
Mendengar gerutunya Asuka, Kaguya mendapat sebuah ide untuk membuatnya terdiam malu. “Kau membicarakan bibiku? Memang kau mengenalnya dengan baik?”
Sontak, Asuka terkejut. Dia lupa kalau dirinya dan Kaguya sepakat tak saling kenal begitu menerima pekerjaan ini, karena tak mau menganggu konsentrasi.
“Bukan, aku membicarakan perempuan lain.” Asuka tersenyum, lalu memalingkan wajahnya dari Kaguya dan menundukkan kepalanya.
Inilah kesempatan untuk Kaguya pindah tempat duduk tanpa harus ditanya oleh Asuka. Kaguya bangkit dari kursinya, lalu duduk di bawah tepat di sebelah Ogura dan Taka sambil meluruskan kedua kakinya.
Ogura mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan selembar uang dan meletakkannya di hadapan Taka. “Sepuluh ribu yen. Aku bertaruh itu bukanlah bibinya.”
Taka menunjuk uang yang baru saja diletakkan Ogura. “Kunaikkan dua kali lipatnya. Aku bertaruh itu pasti perempuan yang kemarin.”
Kaguya langsung memberikan isyarat kepada Ogura dan Taka agar jangan berisik. “Kuberikan kalian masing-masing lima puluh ribu, tapi jangan pernah membahas hal itu lagi.”
“Sepakat,” ucap Ogura dan Taka serempak.
Kaguya menggelengkan kepalanya dan menghembuskan napas lega. Dia menulis pesan kepada Sagiri untuk bertanya kenapa meneleponnya. Dan baru sejenak menyandarkan badannya, Sagiri langsung membalas pesannya.
Sagiri: Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Ini soal Tim Troublemaker.
Kaguya: Ada apa dengan timku?
Sagiri: Aku memang belum bisa memberikan bukti yang konkrit, tapi ada bukti yang mengarah ke sana. Bukti bahwa ada salah satu anggota ‘Black Mask’ di timmu.
Adrenalin Kaguya tersentak. Dia menatap sekitarnya, memandangi setiap rekan-rekannya sejenak, dan kembali menatap ponselnya.
Kaguya: Apa buktinya?
Sagiri: Di malam sebelum pertemuan kalian bertujuh di Shigure Corperation, TGR menemui seseorang di gedung parkiran yang sudah tak terpakai di Kota yang sama. Aku dan timku sedang menyelidiki siapa orang itu dan sejauh ini yang kami dapatkan baru ukuran sepatunya saja. Yakni, di kisaran 43-44.
Kaguya langsung melihat ke arah sepatu Ogura dan Taka. Dia menyadari kalau sepatu keduanya mungkin berukuran 43 atau 44. Kemudian, dia menatap ke arah sepatu Ame dan menyadari bahwa kakinya kecil. Jadi, tidak mungkin itu Ame. Tinggal Kuro seorang. Namun karena tak bisa melihatnya, dia pun menggunakan cara lain untuk mengetahuinya.
“Kuro! Meski badanmu paling besar di antara kita berlima, kakimu itu tidak sebesar kaki Taka, bukan? Berapa ukuran tepatnya?” Kaguya menatap Kuro dengan ekspresi menahan tawa sepeti orang yang sedang bercanda.
Kuro menoleh ke belakang, menatap balik Kaguya dengan ekspresi bingung. “Empat puluh dua. Memangnya kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Kaguya memalingkan wajahnya ke depan, menatap kembali layar ponselnya sambil berpura-pura mengetik. “Tidak apa-apa. Aku hanya sedang bertaruh dengan temanku berapa ukuran sepatunya ‘The Beast’. Karena aku menang, nanti kau akan kutraktir makan ramen sepuasnya.” Dia tersenyum semringah menatap ponselnya, sementara Kuro geleng-geleng kepala dan kembali menatap jalan di depan.
Mendengar candaan Kaguya dan Kuro, Ogura dan Taka saling menatap satu sama lain dan menggelengkan kepala dengan tersenyum. Keduanya mengira kalau Kaguya benar-benar sedang bertaruh dengan Sagiri mengenai ukuran sepatu Kuro itu. Padahal ….
Kaguya: Terima kasih informasinya Sagiri.
Sagiri: Sama-sama. Meskipun itu baru sebatas hipotesa, aku ingin kau tetap waspada. Kemungkinan buruk bisa terjadi kapanpun di kala kita lengah.
Kaguya: Iya, aku tahu.
Kaguya mengantongi kembali ponselnya. Kini, dia tinggal memastikan ukuran sepatu kedua orang rekannya yang sejak tadi menertawakannya terus. “Tinggi badanku lebih tinggi dari kalian berdua, tapi ukuran sepatu kalian berdua lebih besar dariku. Ukuran sepatuku sama seperti Kuro, kalau kalian berdua?”
“Empat puluh tiga,” jawab Ogura dan Taka bersamaan.
***
Satu jam sebelum Turnamen Poker dimulai. ‘Eagle Eye’ sudah berada di lantai teratas gedung yang berhadapan langsung dengan Kasino. Tim ‘Adorable Rain’ memarkirkan mini bus di depan sebuah restoran yang berjarak empat gedung di sebelah kanan Kasino. Sementara ‘Waarnemer’ dan Tim ‘Three Musketeers’ tengah mengantre untuk masuk Kasino.
Mereka berempat mengantre di posisi yang berbeda-beda, agar tidak dicurigai. Keempatnya sama-sama membawa senjata yang mereka sembunyikan di balik kemeja, celana, dan bahkan lengan baju. Dan yang terpenting, mereka dibekalkan masing-masing ‘Metalauncher’ untuk mengelabui pendeteksi logam. Namun karena belum memakai alat komunikasinya, Ame beserta Taka dan Yume tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Meskipun Ame dan Taka dapat melihat mereka lewat pantauan CCTV, tetap saja mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa memperhatikan saja.
Di atap gedung di seberang Kasino, Taka tengah menatap layar laptopnya dengan saksama. “Semuanya sesuai dengan apa yang sudah diprediksi olehnya. Karena banyaknya tamu yang datang, penjaga pintu depan tidak menggeledah terlebih dahulu dan hanya memanfaatkan pendeteksi logam saja.”
“Tapi … aku sangat takut kalau sampai alat ciptaanku mendadak tidak bisa dipakai saat mereka mau menggunakannya.”
Taka agak terkejut. Dia ternyata lupa mematikan alat komunikasi agar suaranya tidak didengar oleh Ame dan Yume. Karena sudah terlanjur, mau tidak mau dia harus menenangkan kegelisahan yang Ame rasakan akibat dari perkataannya.
Taka mengatur napasnya agar suaranya kembali terdengar seperti biasanya. “Daripada memenuhi isi kepalamu dengan pesimis, lebih baik berpikir optimis kalau mereka benar-benar bisa menyusup ke dalam Kasino. Jika mereka berempat percaya pada alat ciptaanmu, itu berarti kau juga harus mempercayainya. Mengerti, Ame?”
Setelah mendengarkan perkataan Taka, Ame terlihat lebih tenang dan tak banyak bicara lagi. Dia berusaha meyakinkan dirinya untuk berpikir seperti logika berpikirnya Taka. Meskipun melakukan hal itu bukanlah perkara mudah.
Tanpa mereka berdua sadari, saat ini giliran ‘Waarnemer’ melewati alat pendeteksi logamnya. Dia terlihat begitu santai berjalan melewati pendeteksi logam dengan tangan kirinya dimasukkan ke dalam kantong jaket. Begitu sudah berhadapan dengan pendeteksi logam, dia langsung mengayunkan pelan tangan kanannya ke bawah, sehingga ‘Metalauncher’ yang disembunyikan di balik lengan jaketnya keluar.
Tak perlu berlama-lama, ‘Waarnemer’ langsung menekan tombol di ‘Metalauncher’ dan berjalan santai melewati pendeteksi logam. Dia tak menemui kendala apapun. Itu artinya, alat ciptaan Ame bekerja dengan baik. Sama dengan Tim ‘Three Musketeers yang juga berhasil masuk ke dalam Kasino tanpa mengalami kendala juga.
Ogura memasang alat komunikasi yang berbentuk seperti kepala earphone di telinga kanannya dan memasang sebuah microphone berukuran kecil di balik kerah bajunya. Dia melihat ke sekelilingnya sejenak, kemudian berjalan menghampiri tempat penukaran chip.
“Sudah terhubung semuanya?” tanya Ogura.
“Osh,” jawab keenam rekannya serempak.
Begitu sudah sampai di tempat penukaran chip, Ogura menukarkan uangnya sebanyak 50.000 yen. “Kalian bertiga berpencarlah. Kalau bisa, jangan sampai kita berempat berada di satu sisi yang sama di aula ini. Jangan berputar-putar saja, tapi main di salah satu meja juga.” Dia berbalik badan dan menahan tawanya melihat siapa yang tengah berbaris di belakangnya.
“Osh,” jawab tim ‘Three Musketeers’ bersamaan. Mereka ternyata sudah berbaris di belakang Ogura. Artinya ketiganya sudah memikirkan hal itu sebelum Ogura mengatakannya.
Ogura pergi dari tempat itu tanpa menatap satupun di antara mereka bertiga. Dia kemudian berjalan menghampiri meja Black Jack sebagai tempat pertamanya mencoba peruntungan. Begitu dia sudah duduk, hal yang pertama kali dilihatnya adalah jumlah pemain di meja itu dan tumpukan chip hadapan mereka masing-masing.
“Permainan selanjutnya akan segera dimulai,” ucap bandar yang menjaga meja judi itu dan langsung membagikan masing-masing dua buah kartu kepada setiap pemain.
Ogura bertaruh sebanyak 10.000 yen. Dia membuka kedua kartunya yang ternyata adalah lima hati dan tujuh sekop. "Jumlah kartuku dua belas. Kemungkinan mendapatkan ‘Black Jack’ langsung hanya sekitar 7,7%, karena tidak ada kartu sembilan di kartu pemain lain. Jumlah kartu bandar delapan belas, artinya hanya kartu tujuh sampai sembilan yang bisa membuatku menang, kemungkinannya 19,2%. Satu kartu delapan ada di bandar dan satu kartu tujuh ada di pemain lain tadi. Kira-kira seberapa besar keberuntunganku malam ini?”
Ogura menatap bandar dengan tersenyum. “Tambah.”
Bandar menambah kartu Ogura, yang langsung membuat pemain lain dan penonton di meja itu heboh. Kartu yang didapatkan Ogura adalah sembilan, otomatis jumlah kartunya menjadi dua puluh satu atau yang biasa disebut dengan ‘Black Jack’.
Ogura merapikan chip yang dimenangkannya sesuai dengan warna. “Lumayan. Baru di permainan pertama keburuntunganku sudah bagus. Tapi, semoga saja keburuntunganku ini cuma sesekali saja. Karena kata pepatah bilang, terlalu beruntung bisa membuatmu buntung.”
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro