Chapter 23: Kalah Telak
Klub Purple Grape. Sebuah klub malam yang terletak di Kota M, yang terkenal akan segala jenis jasa prostitusi yang disediakannya. Waktu kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Saat di mana klub ini mulai ramai, saat dimulainya jam kerja bagi Kaguya.
Seorang pria paruh baya bergaya gemulai, tiba-tiba merangkul Kaguya yang sedang duduk di kursi yang berhadapan dengan bartender. “Kaguya … ke mana saja kau selama beberapa hari ini? Apa kau sudah tidak berminat lagi untuk datang ke tempat ini? Daripada terus di sini, bagaimana kalau kau ikut denganku menghadiri sebuah pesta.”
Kaguya meneguk minumannya dan tersenyum setelahnya. “Aku pasti akan terus ke sini. Karena aku belum mencapai tujuanku. Jadi, menyingkirlah karena saat ini aku sedang bekerja dan aku juga tidak tertarik dengan ajakanmu.”
Mendengar jawaban sinis Kaguya, pria gemulai itu pun pergi bersama wajah kesalnya. Tak lama, seorang perempuan berparas cantik dengan rambut hitam panjangnya yang menjuntai sampai dada dan juga mengenakan kacamata, duduk di sebelah kanan Kaguya. Kaguya melihat perempuan itu dari ujung kaki sampai kepala. Dia bisa melihat dengan jelas area lutut sampai betis perempuan itu, karena dia menggunakan rok 10cm di atas lutut.
“Aku dengar, kau salah satu yang berbakat. Aku dengar juga, kalau banyak perempuan di luar sana merasa puas setelah menerima ‘jasa’ yang kau berikan. Apa benar begitu?” Perempuan itu menatap Kaguya dengan senyuman menggoda.
Kaguya menatap balik perempuan itu dengan tersenyum. “Sepertinya, kau punya telinga yang bagus, Nona. Tapi, apa hanya dengan mendengarnya saja kau merasa puas?”
Perempuan itu memegang dada Kaguya, lalu merabanya dengan perlahan sampai ke perutnya. “Mana mungkin aku bisa puas hanya dengan itu.” Perempuan itu memberi isyarat pada Kaguya dengan melirikkan matanya ke pintu keluar, lalu berjalan pergi.
Kaguya menghabiskan minumannya, lalu menoleh ke arah bartender yang sedang berjaga. “Maki. Kunci.”
Bartender bernama Maki itu pun mengambil sebuah kunci dari dalam laci, lalu melemparnya ke Kaguya. “Jangan berikan pelangganmu potongan harga terus.”
Kaguya menangkap dengan baik kunci yang dilempar Maki. “Laksanakan,” ucapnya dengan tersenyum dan melakukan gerakan hormat.
Setelah keluar dari klub dan bertemu lagi dengan perempuan itu, Kaguya membawanya ke hotel bintang dua yang ada di seberang jalan. Begitu masuk ke dalam hotel, Kaguya menunjukkan kunci di tangannya pada resepsionis yang berjaga dan langsung masuk ke dalam lift bersama dengan perempuan itu.
Tibalah mereka di lantai tiga hotel. Kaguya berjalan menelusuri lorong hotel dengan perempuan itu terus mengikutinya di belakang. Sampailah mereka di kamar 312. Kaguya membuka pintu dengan kuncinya, lalu mempersilahkan perempuan itu untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Kaguya mengunci pintunya kembali, perempuan itu melihat ke sekeliling kamar.
Dan tiba-tiba saja ….
“Bergerak sedikit saja, aku akan menyayat lehermu, Nona.” Kaguya sudah berada tepat di belakang perempuan itu, memeluknya dengan tangan kiri dan merangkulnya dengan tangan kanannya yang memegang pisau, siap menyayat lehernya.
Perempuan itu tak bergeming sedikitpun. Dia malah melirik Kaguya dengan tersenyum. “Ternyata, kau ini suka main kasar, ya?”
Kaguya mendekarkan mulutnya ke telinga kiri perempuan itu. “Ada pistol berukuran kecil di paha kirimu,”—Kaguya mengambil pistol itu dan melemparnya ke belakang—“ada pisau di pinggangmu,”—Kaguya meraba perut perempuan itu, lalu mengambil pisaunya—“dan ada rambut palsu di kepalamu.” Kaguya menarik rambut palsu perempuan itu dengan paksa.
Ketenangan di wajah perempuan itu mendadak sirna. Ekspresinya saat ini terlihat sangat tegang bercampur takut. Dia sama sekali tak berani menatap Kaguya lagi dan hanya bisa pasrah dengan apa yang akan Kaguya lakukan.
Kaguya melepaskan kacamata perempuan itu, lalu melemparnya ke atas meja yang ada di samping kirinya. “Boleh aku tahu siapa namamu, Nona?”
Perempuan itu gemetar ketakutan. “Sa—Sa—Sagiri ….”
Kaguya meraba dengan perlahan perut perempuan itu dan merabanya semakin ke atas. “Nah, Sagiri. Sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang untukmu.”
“Jangan, aku mohon ….” Sagiri meneteskan air mata.
***
Di sebuah tempat di Kota Q yang bernama, ‘Gummy’s Bar’ di waktu yang sama. Kuro baru saja tiba. Dia masuk ke dalam bar dan melihat ke sekelilingnya. Hanya ada tiga orang pengunjung dan ketiganya adalah pria. Dia pun duduk di kursi dekat bartender.
“Whiskey tanpa es seperti biasanya, Matsu,” ucap Kaguya pada bartender.
“Isi tenaga sebelum perang, Kuro?” Matsu memberikan pesanan Kuro dan menatapnya dengan tersenyum.
Kuro langsung menenggak habis minumannya dan meletakkan gelasnya di atas meja dengan menghentak keras. “Ah … nikmat seperti biasanya, Matsu. Terima kasih.” Kuro bangkit dari kursinya, berbalik badan dan melakukan peregangan pada lehernya.
“Jangan rusak minuman-minuman di rak, ya?” Matsu tertawa sambil menekan tombol di balik mejanya, yang membuat tirai di semua jendela barnya tertutup rapat dan tulisan ‘open’ di pintunya berubah menjadi ‘closed’, lalu pergi ke belakang.
“Aku tidak janji,” ucap Kuro. Kuro menatap satu-persatu ketiga orang yang ada di bar dengan tajam sambil melakukan peregangan pada jari-jarinya. “Siapa di antara kalian bertiga yang akan menjadi lawanku? Atau kalian bertiga sekaligus yang akan melawanku?”
Pria yang berbadan paling besar bangkit dari kursinya dan menghampiri Kuro. “Aku yang akan jadi lawanmu. Mereka berdua hanya sebagai penonton saja, sekaligus akan membantu membawamu ke rumah sakit nanti.” Dia berhenti tepat di hadapan Kuro dan menatapnya dengan sedikit tertunduk, karena memang dirinya lebih tinggi dari Kuro.
Kuro mendongakkan sedikit kepalanya dan menatap pria itu dengan tersenyum. “Sampaikan salamku pada dokter dan perawat di sana, kalau aku tidak bisa datang dan kau lah yang akan menggantikanku.”
Emosi pria itu tersulut. Dengan cepat Kuro memukul area di antara dada dan perut yang tidak terlindungi tulang rusuk, sehingga membuat pria itu mematung sejenak. Kuro langsung memukul betis kiri, betis kanan, paha kiri, paha kanan, perut bagian kiri, perut bagian kanan, dada kiri, dada kanan, perut bagian tengah yang langsung membuat pria itu membungkuk, dan terakhir melakukan upper cut. Dia melakukan semua hal itu tanpa jeda sedikit pun.
Pria itu terkapar di lantai, tak sadarkan diri dalam posisi telentang. Kedua temannya hanya bisa melongo, karena tak percaya temannya bisa kalah secepat dan semudah itu. Mereka berdua menatap Kuro dan menelan ludah karena mendadak takut mengalami hal yang sama.
Kuro berbalik badan dan duduk kembali di kursinya. “Pergilah. Bawa dia ke rumah sakit. Menurut prediksiku, setidaknya dia butuh waktu sampai enam bulan untuk sembuh. Bisa lebih, bisa kurang. Tergantung dari apa yang diminumnya setiap kali pergi ke bar.”
“Maafkan kami. Kami akan pergi sekarang juga dan tidak akan mengganggumu lagi,” ucap kedua pria itu bersamaan. Keduanya langsung membopong temannya keluar dari bar.
Matsu pun kembali dari belakang, membawa sapu dan pengki. “Wah, wah, wah … aku terkejut. Tak ada satupun barang yang rusak kali ini. Mood-mu sedang bagus atau kau tidak tertarik dengan lawannya? Baguslah, aku jadi tidak membutuhkan dua barang ini.”
“Maaf. Selama bertarung di sini, aku selalu merusak barang-barang.” Kuro menatap Matsu dengan serius.
“Tidak apa-apa. Lagi pula, bar ini dibangun menggunakan uangmu. Aku hanya mengelolanya saja. Jadi, meskipun bar ini atas namaku, kau tetaplah pemilik sahnya. Kenapa harus minta maaf karena merusak barang milikmu sendiri?” Matsu menatap balik Kuro dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala, yang membuat Kuro ikut tersenyum.
Matsu memberikan Kuro segelas whiskey tanpa es lagi. “Siapa sebenarnya mereka, Kuro? Ada urusan apa mereka denganmu sampai mereka datang ke sini menanyakan tentang dirimu kepadaku? Padahal, aku bukan penyalur jasa pembunuh bayaranmu.”
Kuro meneguk minumannya sedikit dan mengecap-ngecap bibirnya. “Mereka polisi, Matsu. Itu sebabnya mereka bisa tahu banyak hal. Aku langsung bermain cepat karena aku tidak suka alasannya datang ke sini. Mereka datang bukan untuk adu kekuatan, tapi datang untuk mengusik pekerjaanku. Hama hanya perlu disingkirkan, tak perlu diladeni.”
***
Asuka berjalan di lorong menuju kamar apartemennya. Dia melihat jam tangannya dan dapat melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Dia terkejut begitu sampai di depan apartemennya. Pintunya terbuka sedikit, seperti ada orang di dalamnya.
Asuka mengambil pistol dari dalam tas jinjingnya dan memasangkannya peredam. Dia membuka pintunya dengan perlahan dan masuk ke dalam dengan melangkah pelan. Begitu dia menyalakan lampu, alangkah terkejutnya dia setelah melihat seorang pria berdiri di dekat jendela sambil memegang figura foto dirinya dan Aizen saat masih kecil.
Sontak, Asuka langsung membidik pistolnya ke kepala pria itu dan menarik pelatuknya. Namun sebelum pelatuk pistolnya benar-benar tertekan, pria itu melindungi kepalanya dengan figura di tangannya. Membuat Asuka mengurungkan niatnya untuk menembak dan menurunkan senjatanya kembali.
Pria itu menurunkan figuranya dan menatap Asuka dengan tersenyum. “Seberharga itukah adikmu ini bagimu? Kau sampai tidak jadi menembak seperti itu.”
Asuka menatap balik pria itu dengan tatapan tajam. “Bukan gambar di fotonya, tapi nilai sentimentil di fotonya. Sebelum meninggal ibuku memberikan itu padaku, lalu mengatakan padaku bahwa Aizen di penjara dan aku harus menolongnya.”
“Kalau begitu ….” Dengan sengaja, pria itu menjatuhkan figuranya ke lantai.
Asuka langsung mengerahkan pistolnya, begitu juga dengan pria itu. Keduanya sama-sama membidik kepala dan juga menarik pelatuknya di saat yang bersamaan. Asuka berguling ke depan, sementara pria itu menunduk. Begitu terbangun Asuka menendang pistol pria itu hingga terlempar, sementara pria itu memukul pistol Asuka hingga terlempar juga.
Asuka melompat ke depan mengangkat kedua kakinya untuk mengunci kepala pria itu, lalu melakukan gerakan Huricanrana. Sehingga posisi kepala pria itu berada di lantai diantara kedua kaki Asuka dan tubuh Asuka menindih area dadanya.
Seakan tak peduli dalamannya terlihat jelas oleh pria itu, Asuka melayangkan pukulan dari tangan kiri dan kanannya secara bergantian terus-menerus. Darah dari hidung, mulut, pipi, mata, dan kening pria itu mulai keluar bercucuran. Membuat wajahnya dipenuhi merah darah.
“Ma … ma … maafkan aku,” ucap pria itu dengan lemasnya.
Mendengar hal itu, Asuka berhenti melayangkan pukulannya dan bangkit dari tubuh pria itu. Dia menghampiri figuranya yang tergeletak di lantai, dan merasa bersyukur bahwa foto di dalamnya tidak rusak ataupun robek.
“Aku kira kau perempuan lemah yang akan tersakiti begitu hal yang berharga bagimu dirusak orang lain. Aku kira kau akan duduk tersungkur meratapinya. Tapi ternyata, aku salah perhitungan. Uhuk!” Pria itu batuk darah dan kembali mengatur napasnya dengan perlahan.
Asuka menghampiri pria itu lagi, lalu menegang kaki kanannya dan menyeretnya menuju ke balkon. Setelah tiba di balkon, dia mengangkat tubuh pria itu dan mendirikannya bersandar pada pagar pembatas balkonnya yang terbuat dari kayu.
“Sampaikan pada orang yang telah mengirimmu ke sini. Jangan mengirim pria berlidah tebal untuk melawan perempuan berhati baja.” Asuka menepuk-nepuk pipi pria itu, kemudian memukul area perutnya sekuat tenaga. Sehingga pria itu terhempas menembus pagar pembatas, membentur atap mobil yang ada di bawahnya dan mendarat di tanah dalam posisi tengkurap.
Asuka melihat dua orang tiba-tiba berlari menghampiri pria itu dan membopongnya masuk ke dalam mobil. “Gara-gara ulahmu, aku harus pindah apartemen lagi. Laki-laki kurang ajar.” Dia pun kembali ke kamarnya dan mulai membereskan barang-barangnya.
***
Jam sebelas malam. Satu jam sudah Ame berkutak di depan komputer apartemennya. Dia membaca artikel di ‘Crowz’ mengenai isu-isu yang beredar seputar dunia hiburan di Arufabetto. Ketika sedang membaca artikel mengenai skandal seorang idol, tiba-tiba saja seorang hacker menyapanya di kolom private chatting.
Begitu membukanya, ternyata yang mengirimnya adalah hacker paling berbahaya di Arufabetto yang menempati urutan kedelapan.
Occulitclown: Selamat malam, The Rainmaker. Sedang sibuk? Kalau tidak, aku punya sebuah situs yang ‘katanya’ tidak bisa diretas. Mau mencobanya? https://livedaybyday.ac.cl
“Kulihat saja terlebih dahulu. Daripada tidak ada kerjaan yang jelas seperti ini. Hitung-hitung mengusir kebosanan.” Ame membuka situs itu dan memperhatikannya dengan saksama. Dia melihat setiap sudut dari tampilan web itu dan membuka berbagai toolbars yang tersedia.
The Rainmaker: Beri aku waktu sepuluh menit.
Tatapan Ame fokus pada layar komputernya. Kesepuluh jarinya sibuk mengetik setiap barisan bahasa mesin, yang membuat layarnya muncul berbagai angka dan huruf yang tidak karuan. Sepuluh menit berlalu, dia berhasil masuk. Namun, webnya secara otomatis berubah menjadi ‘404 Not Found’, layaknya web yang sudah tidak bisa dipakai lagi.
The Rainmaker: Aku sudah berhasil meretasnya. Tapi web itu dipasang pertahanan otomatis yang akan membuatnya langsung menghilang begitu topengnya hancur. Yang membuatnya pasti orang yang cukup berbakat. Web itu bisa saja lebih sulit diretas, kalau disempurnakan lagi olehnya dengan benar.
Occulticlown: Aku baru saja membuka webnya. Kau benar-benar berhasil meretasnya. Semudah itu kah bagimu melakukannya?
The Rainmaker: Itu masih terlalu mudah untukku.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro