Chapter 2: Ritme yang Perlahan Hilang
Dua jam sebelumnya, di sebuah aula hotel yang tengah dipenuhi tamu undangan, terdengar riuh tepuk tangan. Aula hotel itu adalah tempat diselenggarakannya peresmian produk baru buatan Shigure Corperation. Riuh tepuk tangan terjadi seusai Tuan Okada Shigure memberikan kata pembuka sebelum akhirnya melepaskan kain yang menutupi alat baru ciptaan perusahaannya. Sebuah alat modern yang akan membantu kinerja para petani.
Alat baru itu pun segera dihujani dengan berbagai jepretan kamera dari para wartawan yang hadir. Tak hanya alat itu saja, Tuan Okada selaku pembuatnya pun ikut dirundung berbagai pernyataan dari para wartawan.
Ditengah hujan pertanyaan, Tuan Okada menyadari kode dari asisten pribadinya, Fugusa yang berada di belakang kerumunan para wartawan. Fugusa menunjuk jam tangannya sambil mengeluarkan tatapanan datarnya. Tuan Okada pun segera menyudahi sesi tanya jawab dengan para wartawan, kemudian menghampiri Fugusa.
Tuan Okada melepas kancing jasnya dan melonggarkan dasinya. "Fugusa, apa masih sempat untuk sampai tepat waktu?”
Fugusa melihat jam tangannya sejenak, lalu menoleh ke arah Tuan Okada. "Saya rasa masih cukup, Tuan. Acara dimulai jam delapan malam. Masih ada dua puluh menit lagi. Saya bisa membawa Anda ke sana tepat waktu."
Tuan Okada dan Fugusa pun segera menuju ke pintu keluar di bagian belakang aula. Karena, kalau lewat depan sudah pasti akan ada banyak hal yang akan menghadang Tuan Okada pergi. Keduanya pun berhasil masuk lorong belakang tanpa diinterupsi siapapun.
Tuan Okada melepaskan ikatan dasi yang dipakainya dan melepaskan kancing teratas kemejanya, sementara Fugusa mengambil kunci mobil dari kantongnya agar tidak perlu mencari-carinya lagi saat tiba di parkiran nanti. Namun, tiba-tiba listrik di tempat itu mati. Sehingga Tuan Okada dan Fugusa terjebak dalam lorong gelap itu. Dengan sigap, Fugusa segera mengambil ponselnya untuk menggunakannya sebagai senter dan mengantongi kembali kunci mobilnya.
“Tetaplah di dekatku, Tuan.”
“Baik, Fugusa.”
Fugusa menyorot cahaya senternya ke depan dan mengambil pistol yang disembunyikan olehnya di balik jas.
Tuan Okada melirik ke arah tangan Fugusa yang memegang pistol. “Apa perlu menggunakan pistolmu juga, Fugusa?”
“Segala kemungkinan bisa terjadi, Tuan. Aku hanya berjaga-jaga saja.” Tanpa menoleh ke arah Tuan Okada, Fugusa menggenggam semakin erat pistol di tangannya.
Samar-samar, Fugusa mendengar suara langkah kaki yang berirama cepat menuju ke arah mereka. Fugusa membentangkan tangan kanannya ke depan Tuan Okada, bermaksud untuk menghentikan langkahnya. Tuan Okada pun hanya bisa diam mengikuti kemauan Fugusa. Sementara Fugusa mengarahkan pistolnya ke depan, kemudian menekan pelatuknya.
Suara langkah kaki itu pun tak terdengar lagi. Namun, tiba-tiba saja suara langkah kaki terdengar lebih cepat dan semakin terdengar jelas oleh Fugusa dan juga Tuan Okada. Mumcul lah seseorang yang menggunakan pakaian seperti ninja menerjang ke arah keduanya dan melayangkan sabetan pedangnya tepat ke wajah Tuan Okada.
Dengan cepat, Fugusa merentangkan tangan kirinya ke depan wajah Tuan Okada, bermaksud melingdunginya. Menyadari Fugusa melindungi Tuan Okada dengan tangannya, orang itu melangkah sedikit ke kanan dan mengayunkan pedangnya dari arah bawah mengincar tubuh bagian atas Tuan Okada.
Suara dada terkoyak pedang pun terdengar begitu nyaring, membuat waktu seakan berhenti. Cipratan darah melesat ke arah tembok, hingga membentuk cetakan abstrak. Tuan Okada hanya bisa diam terpaku melihat punggung Fugusa terpampang jelas di hadapannya. Meskipun dadanya terluka parah, di sisa-sisa tenaganya Fugusa menembakkan pistolnya ke arah orang yang berpakaian layaknya ninja itu. Namun tak ada satu pun tembakannya yang kena, sehingga orang itu pun berhasil lolos.
Listrik pun kembali menyala. Fugusa langsung tersungkur di lantai dengan posisi telentang merentangkan kedua tangannya ke samping. Sontak, Tuan Okada pun membuka jasnya dan menutupi luka besar di dada Fugusa dengan jasnya itu. Tuan Okada langsung menghubungi ambulance agar segera datang ke lokasinya berada. Setelah melakukannya, Tuan Okada tak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa menggenggam tangan kanan Fugusa dengan erat.
"Fugusa, bertahanlah." Tuan Okada dapat merasakan suhu tangan Fugusa yang terasa agak dingin. Namun, dia tetap berusaha untuk berpikir positif.
Fugusa menggenggam kedua tangan Tuan Okada yang sedang menggenggamnya, dengan tangan kirinya dan juga menatap Tuan Okada dengan tersenyum. “Pergilah. Kau akan terlambat. Ayase bisa marah padamu.”
Tuan Okada menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini.”
“Aku tidak apa-apa.” Fugusa menggenggam tangan Tuan Okada semakin erat.
Tuan Okada tidak mengerti arti dari tindakan Fugusa itu. Apakah Fugusa ingin dia percaya bahwa dirinya baik-baik saja atau Fugusa ingin dia tetap berada di sini menemaninya. Namun, baru sesaat dia memikirkan hal itu, genggaman tangan Fugusa melemah, hingga akhirnya tangannya terjatuh ke lantai.
“Fugusa ….” Tuan Okada dapat melihat dengan jelas mata Fugusa yang terbuka lebar, namun terlihat begitu hampa.
Dada Fugusa yang semula kembang kempis, kini mulai kehilangan ritmenya. Tuan Okada ingin sekali melakukan pertolongan pertama agar jantung Fugusa tetap berdetak, namun karena ada luka membentang di tengah dada Fugusa, dia pun tak berani mengambil tindakan karena takut memperparah keadaan. Karena tak bisa melakukan apapun, Tuan Okada tertunduk menangis dengan mendekapkan tangan kanan Fugusa di pipinya.
“Jaga dirimu … ayah ….”
Adrenalin Tuan Okada tersentak mendengarkan perkataan Fugusa itu. Sontak, dia pun tak memperdulikan lagi dampak yang akan terjadi nanti dan mulai melakukan pertolongan pertama pada Fugusa. Menekan-nekan dada Fugusa, sampai memberikan napas buatan pun dilakukan oleh Tuan Okada. Namun, denyut nadi Fugusa terus melemah, hingga pada akhirnya berhenti berdenyut.
“Fugusa!”
Tangisan Tuan Okada pun pecah. Tangan Fugusa yang digenggamnya, mulai terasa dingin. Kehilangan seorang asisten sekaligus bodyguard yang sangat dipercayainya, tentu membuatnya sangat terpukul. Apalagi, dirinya sudah menganggap Fugusa sudah seperti anaknya sendiri.
Tuan Okada pun menatap wajah Fugusa dan memegang pipinya. Perlahan, dia pun membantu menutup kedua mata Fugusa yang masih terbuka. Meskipun dadanya terasa sangat sesak, namun dia berusaha untuk tetap tegar menghadapinya.
Di tengah situasi penuh duka itu, ponsel Tuan Okada berdering. Tuan Okada mengambil ponselnya, bermaksud untuk mematikannya. Namun, setelah dia melihat panggilan itu dari anak perempuannya, Ayase, Tuan Okada pun menjawabnya.
“Hallo, Ayase. Dengarkan ayah.”
“Tidak ada yang perlu ayah bicarakan lagi. Aku benar-benar sangat membencimu!”
Ayase langsung menutup teleponnya begitu saja tanpa mendengarkan penjelasan dari Tuan Okada. Hal itu pun membuat kepala Tuan Okada seperti mau pecah. Di tengah duka yang dialaminya, dia justru dibenci oleh anak perempuanya karena telat datang menghadiri penampilan permainan pianonya.
Tuan Okada duduk bersandar pada tembok sambil menatap langit-langit. Dia masih tidak menyangka hal semacam ini terjadi pada dirinya. Meskipun dia tahu kalau hal ini pasti akan terjadi setelah sebuah organisasi bernama ‘Black Mask’, menyatakan secara terbuka akan membunuhnya sejak beberapa bulan yang lalu.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya petugas medis yang diteleponnya pun datang bersama beberapa polisi dan juga para penjaga keamanan hotel. Sementara Fugusa ditangani oleh para polisi, Tuan Okada dibawa oleh seorang petugas medis untuk diperiksa apa ada luka yang diterimanya, serta apa ada trauma yang dialaminya atau tidak.
Begitu sudah mendapatkan penanganan medis dan dimintai keterangan oleh polisi, Tuan Okada pun kembali ke mobilnya, bermaksud untuk pulang. Ketika sudah berada di dalam mobil, dia pun menghubungi seseorang menggunakan ponselnya.
“Selamat malam, Mr. Y.”
“Selamat malam, Tuan Okada. Ada apa?”
“Fugusa terbunuh. Kau tau harus melakukan apa.”
“Aku mengerti.”
Tuan Okada pun menutup teleponnya, segera menyalakan mobilnya dan langsung memacunya dengan cepat. Selama perjalanan, yang ada di kepala Tuan Okada hanyalah segala kenangan yang pernah dilaluinya bersama dengan Fugusa. Hingga tanpa dia sadari, air matanya mulai menetes begitu mengingat kembali kepingan-kepingan ingatan itu.
Saat sudah sampai di rumahnya, setelah keluar dari mobil, Tuan Okada merapikan pakaiannya dan juga menghapus air matanya dengan tisu. Baru saja membuka pintu dan melangkahkan kakinya, Tuan Okada sudah disambut oleh istrinya yang tengah berdiri menunggu kedatangannya. Tuan Okada pun mengajak istrinya, Suzu, untuk masuk ke dalam dan duduk di sofa agar dia bisa menjelaskan dengan rinci apa alasannya terlambat datang.
Setelah mengetahui alasan suaminya terlambat datang, rasa kesal yang dirasakan Suzu pun mendadak hilang. Rasa kesal itu kini berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
“Kau harus memberitahu Ayase soal ini.”
“Aku mengerti.”
Tuan Okada berjalan menuju ke kamar Ayase. Di dalam kepalanya, dia berusaha merangkai kata sebaik mungkin agar dapat dicerna oleh Ayase. Dia tidak mau nantinya Ayase mengalami trauma atau semacamnya begitu mengetahui Fugusa telah meninggal.
Setelah sampai di depan kamar Ayase, Tuan Okada mengetuk pintunya dan memanggil nama Ayase, namun tak ada jawaban. Tuan Okada terus melakukan hal yang sama, namun tak kunjung ada jawaban dari Ayase.
Tuan Okada menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya yang semula diangkat olehnya untuk mengetuk pintu, dia turunkan. “Ayase. Jika memang kau tidak mau mendengarkan alasan apapun dariku, setidaknya aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Setelah mengatakan hal itu, tetap tak ada respon apapun dari Ayase. Tuan Okada pun berusaha menahan air matanya karena tak sanggup memberitahukannya pada Ayase.
“Fugusa telah meninggal.”
Tiba-tiba saja, pintu kamar Ayase terbuka. Ayase sudah berdiri di hadapan Tuan Okada dengan tatapan tajamnya yang kosong menatap ke depan.
“Itulah sebabnya aku datang terlambat, Ayase. Aku minta maaf.”
Ayase meneteskan air matanya dan langsung memeluk Tuan Okada dengan erat. Dalam dekapan ayahnya, Ayase menangis menyesali perkataannya sekaligus menangisi kepergian Fugusa, laki-laki yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro