Chapter 19: Satu Momen Merubah Segalanya
Taka mengambil pistol yang disembunyikannya di balik sisi kanan jaketnya, lalu memasangkan peredam pada moncong pistolnya. Dia membidik pisau milik Kaguya yang tertancap tak jauh dari pintu masuk.
Tang! Terdengar suara dentuman besi yang begitu nyaring.
Taka meletakkan pistolnya di bawah dan terus menatapnya dengan tatapan sendu. “Timku sudah berada di dalam. Mereka sudah bersiap di posisinya masing-masing untuk menyergap para teroris itu. Sementara aku, ditugaskan untuk melumpuhkan teroris yang membawa detonator bomnya. Seharusnya kepala teroris itu yang berlubang, tapi aku malah mengenai area pundaknya. Teroris itu panik dan langsung menekan detonatornya. Pemandangan selanjutnya yang aku lihat adalah kobaran api yang menyelimuti seluruh gedung Kantor Polosi Kota T itu.
“Aku tak mendapatkan sanksi apapun karena kegagalanku. Pada awalnya, atasanku sudah menduga kalau aku tidak akan berhasil karena memprediksi arah angin di saat badai adalah hal yang mustahil. Aku juga punya pemikiran yang sama dengannya. Tapi, seluruh rekan timku percaya akan kemampuanku. Mereka percaya aku bisa melakukannya. Dengan bodohnya, aku menerima kepercayaan mereka tanpa peduli pada risiko yang bisa kudapat. Lalu, aku keluar dari sana dan mewarnai merah rambutku untuk mengenang mereka.”
Ogura tersenyum bahagia setelah mendengarkan cerita Taka. Alasannya karena pada akhirnya dia bisa tahu cerita yang sebenarnya mengenai tragedi terkelam Kota T itu. Sementara itu, Kuro tiba-tiba saja kembali berbaring menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya. Hal itu membuat Ogura agak kesal.
“Kenapa kau kembali tidur? Apa menurutmu pembahasan ini membosankan?” Ogura menatap Kuro dengan tatapan sinis.
Kuro mengangkat lutut kirinya, lalu menumpukan tumit kaki kanannya di sana. Dia tak menatap baik Ogura dan tetap memejamkan matanya. “Ayahku, Ushijima Genta. Dia pensiun dari dunia tinju setelah ibuku meninggal. Karena hal itu, kami berdua diusir dan melepas nama Genta, lalu merubahnya menjadi Mikazuki, nama keluarga ibuku. Untuk menyambung hidup, ayahku menjadi petinju di pertarungan kelas rendah yang kemenangannya sudah diatur. Semua orang suka melihat ayahku yang keturunan Genta kalah dalam pertarungan. Ayahku tak masalah jika kalah. Selama dia mendapatkan bayaran yang setimpal.
“Suatu hari, aku jatuh sakit sampai harus dirawat di rumah sakit. Ayahku semakin giat bekerja demi menyembuhkan diriku. Lalu, selama tiga hari dia tak datang menjenguk. Aku pikir dia sedang sibuk-sibuknya bekerja. Dan di hari berikutnya, kakekku datang dan mengatakan kalau ayahku tewas dalam sebuah pertarungan. Sejak saat itu, kakekku menerimaku kembali ke keluarga Genta dan melatihku menjadi seorang petinju.
“Aku pun bertekad untuk jadi lebih kuat. Belasan tahun aku lalui dengan luka memar, tulang retak, patah tulang, sendi bergeser, dan berbagai hal menyakitkan lainnya, hingga berhasil menjadi petinju. Debutku pun datang. Aku menang, tapi aku juga membuat lawanku tak bisa lagi menjadi petinju seumur hidupnya. Karena kejadian itu, kakek melihatku bukanlah seorang petinju, tapi iblis yang akan membunuh setiap lawannya. Aku diusir untuk yang kedua kalinya. Aku pergi ke makam kedua orang tuaku untuk meminta maaf, sebelum akhirnya terjun menjalani pekerjaan semacam ini.”
Ogura bertepuk tangan, menatap Kuro dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Luar biasa. Dari semua cerita tadi, cerita inilah yang paling heroik. Transformasi dari dirimu yang lemah sampai memiliki kekuatan yang tak masuk akal seperti ini, begitu luar biasa.”
Kuro mendekatkan tangan kirinya ke wajah Ogura, lalu mengepalkannya dengan kuat sampai terdengar suara tulang-tulangnya berbunyi.
Ogura menggelengkan kepalanya lagi. “Seram … seram … seram….”
Kuro menurunkan tangannya dan menatap Ogura dengan serius. “Aku bukan marah karena ledekanmu tadi, tapi aku sedang mengancammu untuk segera bercerita. Hanya tinggal kau saja yang belum melakukannya.”
Ogura menundukkan kepalanya dan terdiam tak seperti biasanya. Saat menanggapi perkataan siapapun, biasanya dia akan tertawa, tapi kali ini tak dilakukannya.
“Baiklah, aku akan bercerita. Tapi jangan salahkan aku kalau ceritanya membosankan.” Ogura menatap Kuro dengan tersenyum tipis, yang langsung membuat Kuro bangkit, lalu duduk bersila menghadap ke arahnya. Taka, Ame, dan Kaguya pun memfokuskan pandangan mereka hanya padanya saja.
“Aku punya kecerdasan di atas rata-rata, sehingga aku bisa mengambil kelas percepatan. Di usiaku yang ke dua puluh, aku sudah mendapat gelar sarjana. Aku punya satu adik laki-laki, namanya Asura. Jarak umur kami dua tahun. Sementara aku sudah bekerja, dia masih berkuliah. Suatu hari, Asura membawa beberapa temannya datang ke rumah untuk mengerjakan tugas bersama. Salah satunya bernama Kairi.
“Saat aku pulang, aku bertemu dengan gadis itu. Gadis berambut hitam panjang yang memiliki senyuman paling manis dari semua gadis yang pernah aku temui. Aku tidak merasakan cinta kepadanya saat itu. Hanya perasaan kagum semata. Tapi aku tidak tahu kalau saat itu ternyata dia menyukaiku pada pandangan pertama. Sejak saat itu, dia cukup sering datang ke rumah. Mengajakku berkenalan, sampai mengajakku pergi. Aku yang seumur hidup hanya tahu belajar dan belajar, dihadapkan pada sesuatu yang tidak aku mengerti.
“Kairi bilang, perasaan aneh itu adalah tanda bahwa aku juga mencintainya. Kami berdua pun memutuskan untuk berpacaran. Saat aku ingin memberitahukannya pada Asura, dia langsung memukulku wajahku. Dia mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai Kairi. Aku baru tahu akan hal itu. Demi Asura, aku rela melepaskan Kairi. Tapi Kairi menolak. Dia tidak mencintai Asura dan hanya mencintaiku. Saat itulah dia memintaku untuk menikahinya dan aku pun menyanggupinya. Hingga akhirnya aku sadar, itu adalah keputusan yang salah.
“Enam bulan setelah aku dan Kairi menikah, Kairi hamil anak kami. Aku sangat senang mendengarnya. Aku pun berencana membuat acara makan malam dengan keluargaku, untuk memberitahu hal itu sekaligus merayakannya. Aku pergi menjemput orang tuaku. Saat tiba di sana, Asura tidak ada. Katanya, dia sedang pergi ke rumah temannya. Aku tak mau memikirkan hal itu lebih lanjut dan langsung kembali ke rumahku bersama ayah dan ibu. Begitu kami tiba di sana, aku melihat pemandangan yang akan selalu terpatri di dalam ingatanku.
“Tubuh Asura tergantung dengan seutas tali di lehernya, sementara Kairi bersimpah darah di sekujur tubuhnya. Aku langsung menghampiri istri dan calon anakku. Aku peluk mereka dengan erat dan tak kuasa menahan tangis. Lalu, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki yang begitu cepat menghampiriku. Aku pun menoleh ke arahnya. Ayahku menghampiriku dengan sebuah pisau di tangannya, bersiap menusukku. Aku sudah menduganya dia akan melakukan hal itu, karena dia sangat menyayangi Asura dibandingkan denganku. Katanya, Asura butuh kasih sayang lebih karena tidak secerdas diriku.
“Aku memejamkan mataku, sudah siap untuk menyusul Kairi. Tapi lagi-lagi, aku dihadapkan pada sesuatu yang tidak aku mengerti. Ibuku melindungiku dengan badannya, sehingga dialah yang menerima tusukan pisau ayahku. Melihat hal itu, aku langsung mendorong ayahku dan melawannya. Tapi karena tubuhku lebih kecil darinya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Saat dia mencekik leherku dan sudah merasa kalau aku akan benar-benar menyusul Kairi, ayahku menghentikan cekikannya karena ibuku menusukkan pisau yang ditusukkannya tadi, tepat ke lehernya. Ayahku terkapar, begitu juga dengan ibuku.
“Di sisa akhir hidupnya ibuku berkata, ‘Jalani terus hidupmu, Ogura. Jangan biarkan apa yang terjadi hari ini menjadi penghambatmu untuk terus maju.’ Pada hari itulah, kebahagiaanku berubah jadi kehampaan. Dan pada hari itulah, aku kehilangan seluruh anggota keluarga yang aku miliki.”
Ame menangis sejadi-jadinya setelah mendengar cerita Ogura. Sementara Kaguya, Kuro, dan Taka tetap terlihat tenang. Taka mencoba memberikan rasa empatinya kepada Ogura dengan memegang pundaknya dengan erat, sebagai tanda kalau dia meresa prihatin atas apa yang Ogura alami itu.
Namun di suasana sedih itu dengan santainya Kuro mencolek lengan atas Ogura dan bertanya, “Ceritanya hanya sampai di situ saja? Lalu, setelah kejadian itu bagaimana bisa kau sampai seperti saat ini? Aku kesulitan mengira-ngiranya.”
Meski kesal, Ogura juga merasa perkataan Kuro ada benarnya juga bahwa memang ceritanya itu masih mengambang. Ogura mendesah, lalu menarik napas panjang dan menghembuskanya agar bisa memaklumi kebodohan Kuro dan ketidak pekaannya.
“Setelah kejadian itu, aku mendapatkan rehabilitasi mental dan dirawat intensif di rumah sakit selama sebulan. Begitu aku sudah pulih, aku keluar dari rumah sakit. Tapi, aku tidak langsung pulang ke rumahku karena tidak mau mengingatnya kembali. Aku pun pergi ke taman, duduk bersandar di kursi dekat pohon meratapi nasibku ditemani matahari di kala senja.
“Tiba-tiba, sebuah frisbee mendarat tepat di dadaku, bersamaan dengan seorang gadis kecil berlari menghampiriku. Dia bilang kalau namanya adalah ‘Airi’ dan itu adalah frisbee-nya. Aku tanya dia sedang bermain dengan siapa, dia jawab sedang bermain dengan ibunya. Lalu kutanya di mana ibunya, dia menunjuk matahari. Katanya lagi, matahari adalah ibunya dan bulan adalah ayahnya. Aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Seorang gadis pun datang menghampiri kami. Namanya, Chitose. Dia adalah pengurus di panti asuhan tempat Airi berada. Chitose menjelaskan padaku alasan kenapa matahari adalah ibunya dan bulan adalah ayahnya. Ibunya terus melakukan pekerjaan rumah, meski sedang hamil. Dari mulai matahari terbit, sampai matahari terbenam. Sementara ayahnya adalah petugas pos yang selalu bekerja sampai larut malam demi mendapatkan uang lembur. Chitose juga menjelaskan padaku bahwa ibunya meninggal setelah melahirkannya dan ayahnya meninggal dalam kecelekaan di hari yang sama.
“Sejak saat itulah pikiranku terbuka. Gadis kecil seperti Airi saja bisa tetap menjalani hidupnya, meski orang tuanya sudah tiada. Artinya, aku juga harus bisa melakukannya. Aku pun memutuskan tak kembali ke kehidupan lamaku, dan memulai hidup yang baru. Aku tak mau bekerja di kantor karena itu akan membuatku mengingat masa lalu. Itulah kenapa aku menjadi seorang pejudi. Sesekali aku datang ke panti asuhan Airi untuk bertemu dengannya dan teman-temannya. Di sana, mereka memanggilku dengan sebutan ‘Kak Pinku’ karena warna rambutku. Kalau kita sudah selesai dengan ini semua, aku akan mengajak kalian ke sana.”
Melihat Ogura tersenyum kembali, membuat yang lainnya ikut tersenyum juga. Ame yang sejak tadi menangis pun, menghentikan tangisannya.
“Kau dipanggil kakak? Kau tidak bohong, kan?” Kaguya menatap Ogura dengan heran.
Emosi Ogura sedikit tersulut. “Iya, memangnya kenapa? Ada yang salah dengan itu?”
“Kau lebih pantas dipanggil ‘Ayah’,” celetuk Kuro.
Ogura langsung mencengkram kerah baju Kuro. “Jaga bicaramu, otak udang!”
“Ayah Ogura,” panggil Taka. Taka memegangi dagunya seperti sedang berpikir. “Boleh juga panggilan itu. Mulai sekarang kau akan dipanggil ayah.”
Ogura menoleh ke arah Taka, mengambil pisau dari balik sisi kiri jaketnya dan mendongkannya ke Taka. “Mau kubunuh kau, ya!”
Sontak, Ame dan Kaguya tertawa melihat hal itu. Disusul juga dengan senyuman Kuro dan Taka yang terlihat puas akhirnya bisa meledek balik Ogura setelah selama ini tak ada sedikitpun kesempatan untuk melakukannya. Ogura pun akhirnya ikut tertawa juga. Membuat momen itu berakhir dengan canda tawa.
Meskipun … tak ada dari mereka yang sadar kalau sekarang sudah jam lima pagi.
***
Matahari sudah terbit. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Mr. Y dan Kazuya sedang menuju ke kediaman Keluarga Shigure. Mr. Y mendapatkan kabar dari Tuan Okada, kalau dia ingin diantarkan ke kantornya. Namun, begitu sampai di kediaman Keluarga Shigure dan turun dari mobil, Mr. Y dan Kazuya dikejutkan pemandangan yang tidak biasa.
Tuan Okada keluar rumah bersama dengan Ayase. Tuan Okada masih mengenakan baju tidur, sementara Ayase sudah mengenakan seragam. Mr. Y semakin sulit mengartikan apa yang sebenarnya terjadi, tapi firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang merepotkan. Mr. Y dan Kazuya membungkukkan badan sejenak begitu
Tuan Okada berdiri di hadapan keduanya.
Mr. Y menatap Tuan Okada dengan tersenyum tipis. “Selamat pagi, Tuan Okada. Kenapa Anda masih menggunakan pakaian tidur? Bukankah kita harus segera berangkat?”
Tuan Okada menggaruk-garukan kepalanya. “Maaf. Sebenarnya, aku hanya ingin memintamu mengantar Ayase. Habis, dia bersikeras ingin diantarkan olehmu. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Mangkanya, aku sedikit berbohong padam tadi.”
Mr. Y dan Kazuya saling bertatapan, mereka sama-sama menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Karena sudah terlanjur datang, Mr. Y dan Kazuya pun menerima permintaan Tuan Okada untuk mengantarkan Ayase ke sekolah.
Sekitar sepuluh menit lamanya, tak ada satupun yang saling bicara di dalam mobil itu. Kazuya fokus menyetir, Mr. Y menatap keluar jendela, dan Ayase terus menundukkan kepalanya. Karena merasa paling dewasa, Mr. Y pun akhirnya mengalah dan membuka pembicaraan agar Ayase mengutarakan maksudnya.
“Sudah sepuluh menit. Kalau terus begini, kau akan sampai di sekolahmu tanpa mendapatkan hasil apapun. Lebih baik, katakan saja apa yang ingin kau bicarakan denganku.” Mr. Y menatap Ayase dengan tersenyum, agar membuat Ayase merasa nyaman.
Ayase tertunduk mengepal kuat kedua tangannya. Dia berusaha menguatkan batinnya untuk tidak takut mengutarakan apa yang ingin dikatakannya. Dengan terus mengatur napas dengan teratur dan melakukan peregangan pada jari tangannya, dia pun kini sudah siap mengatakan yang sejujujurnya kepada Mr. Y.
“Aku tidak suka cara yang kau dan ayahku tempuh. Balas dendam tidak akan menyelesaikan apapun. Kalian berdua hanya akan membuat Fugusa tidak tenang meninggalkan dunia ini. Jadi, aku ingin kau berhenti melakukan apa yang ayahku suruh dan bantu aku meyakinkannya untuk tidak melanjutkan rencana balas dendam ini.” Ayase menatap Mr. Y dengan serius, meskipun tangannya gemetar.
“Jangan ikut campur dalam urusan ini, Ayase. Nyawamu bisa terancam. Kau mengerti?” Mr. Y menatap balik Ayase dengan serius, membuat Ayase hanya bisa terdiam.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro