APP - 6
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Terlebih dari banyaknya kebetulan dan asumsiku soal reunian Sadendra dengan teman-temannya, kurasa semuanya masih baik-baik saja.
Sudah seharusnya memang baik-baik saja.
Apa maksudmu, Kaia?
Aku menertawakan diriku sendiri karena sempat memikirkan hal yang tidak-tidak. Semua karena omongan Indira yang sedikit-banyak mempengaruhiku. Memberi setitik rasa takut dan pernyataan 'gimana kalau ...'.
Sekarang, dengan yakin, aku akan mengatakan bahwa ketakutan Indira adalah konyol.
Tidak ada kejadian aneh yang membuatku sampai harus membenarkan kalimatnya.
Sadendra masih sama.
Dia tetap menjadi suami yang baik dan manis.
Menjadi ayah yang dibanggakan oleh anak gadis kami.
Sisanya, ya dia seperti manusia normal lainnya yang kadang kala juga menyebalkan.
Aku baru pulang ke rumah setelah menjemput Eleena dari sekolah.
Sembari menunggunya selesai mengganti pakaian, aku di dapur menyiapkan snack untuknya. Ada muffin kesukaannya, kutambah dengan buah-buahan segar. Kami sudah membuat perjanjian, kalau dia boleh memakan apa yang dia inginkan artinya dia juga harus mau menerima makanan yang kurekomendasikan.
Sebagai anak yang cerdas, aku tahu dia jelas paham bagaimana sebuah perjanjian dijalankan. Kami tidak boleh saling merugikan.
Gadis kecilku berjalan mendekat dengan pakaian rumahan.
Ya, siapa yang akan menyangka, bayi yang dulunya sekecil itu sekarang sudah bisa meminta untuk mengurus beberapa keperluannya sendiri. Eleena, merasa dia sudah tumbuh menjadi big girl sehingga mampu untuk menjaga dirinya dengan baik.
Beberapa diantaranya adalah: mandi (kadang-kadang aku masih mengambil alih), memilih jenis pakaian untuk di rumah atau main, memilih buku bacaan, request menu makan, dan playlist saat di perjalanan menuju sekolahnya.
Anakku benar-benar sudah besar.
Terkadang, hal itu membuatku sedih entah untuk alasan apa.
Semacam ... ketidakrelaan karena dia harus cepat sekali besar, di sisi lain aku bangga dan terharu menyaksikan pertumbuhannya yang sangat baik. Aku tidak tahu bagaimana ke depannya, tetapi jujur saja, aku dan Sadendra belum pernah membicarakan tentang anak kedua dengan sungguh-sungguh.
Kami seolah-olah sudah merasa sangat cukup dengan kehadiran Eleena dan terlalu fokus akan perkembangannya.
"Mama, mana muffin aku?" Ia menengadahkan kedua tangannya, menatap berbinar.
Aku memintanya untuk duduk di kursi sebelahku. Begitu melihatnya langsung menurut, aku memberikan apa yang dia mau. Salah satu momen lumayan baik untuk bernegosiasi dengannya adalah saat ia tengah menikmati makanannya.
Jadi, aku mulai dengan salah satu tujuanku hari ini. "Abis ini, minum air putih, terus bobok siang, okay?"
Ia tak menjawab, masih fokus dengan makanan yang di pegang.
Aku bilang momen yang lumayan baik, okay? Bukan berarti terbaik. So, harapannya memang tidak seratus persen.
Tak masalah, aku masih punya banyak tenaga untuk melakukannya lagi. "Eleena, kamu dengar Mama ngomong?"
"Iya iya," katanya dengan anggukan ceria, tetapi wajahnya tak diarahkan ke aku sama sekali.
"Terus jawabannya?"
Kali ini, barulah dia menatapku. "Mama, kali ini enggak, please?" ucapnya dengan intonasi dan ekspresi penuh permohonan.
Aku tidak akan terkecoh kali ini.
Jadi, aku menggelengkan kepala dengan tegas.
Voila, meski wajahnya cemberut, tetapi akhirnya dia menganggukkan kepala.
Eleena memang kadang aneh sekali, atau mungkin anak-anak seusianya memang begitu. Setiap diminta tidur siang, susahnya minta ampun. Ketika sudah tidur, dia bisa tidak bangun sampai esok hari, kalau tidak dibangunkan.
Bahkan saat dibangunkan pun, selalu mengeluh mau tidur lagi karena masih ngantuk.
Saat kukira diskusi kami selesai, nyatanya tidak, dia memberi syarat tambahan kalau dia mau tidur siang kalau aku juga tidur dengannya, di kamarku dan Sadendra.
Well, aku mengiyakan.
Terkadang, anak jauh lebih tahu bagaimana caranya untuk menang.
***
Bukannya membangunkan Eleena dari tidur siangnya, justru sekarang posisinya terbalik.
Aku baru membuka mata dengan sangat berat ketika merasa ada yang menepuk-nepuk tubuhku.
Saat itu juga aku sadar, Eleena sudah berganti pakaian tidur, duduk di kasurku dengan senyuman cerah.
Aku berusaha bangun untuk duduk dengan secepat kilat, menahan kepala yang pening karena bangun super dadakan. Tetapi, ini adalah masalah. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengumpulkan nyawa lebih dulu.
Saat melirik jam di dinding, bahuku merosot.
Pukul 18.37.
Artinya, aku tidur cukup lama.
Bukan, bukan bagian itu yang menakutkan, tetapi anakku bangun sejak kapan? Dia tadi melakukan apa selama aku tidur? Aku langsung menariknya lebih dekat dan menatap wajahnya. "Eleena bangun dari tadi?"
Kepalanya mengangguk.
"Kenapa nggak bangunin Mama?"
"Udah, Mama nggak denger," katanya sambil tertawa.
"Terus tadi ngapain?"
"Nonton YouTube." Ia nyengir lebar. Merasa mendapatkan benefit yang sangat besar dari kejadian ini. "Terus Papa dateng, suruh aku mandi. Terus bangunin Mama."
Aku mengusap wajah, kemudian menghembuskan napas. "Sekarang Papa mana?"
"Maem."
"Kamu nggak makan malem?"
"Nungguin Mama. Papa udah laper banget katanya."
"Okay, Mama mandi dulu, nanti kita siapin makan malem, ya?" Aku mengelus kepalanya. Kemudian beranjak begitu mendapatkan sebuah angukan.
Tidak perlu melakukan ritual mandi yang aneh-aneh, aku hanya melakukan apa yang perlu. Yang paling penting, tubuhku biar secepatnya segar dan wangi. Aku sudah tak melihat Eleena di kamarku, dia mungkin menyusul papanya.
Untuk itu, aku bergegas berganti pakaian, lalu turun ke dapur.
Di sana, kulihat Eleena sedang duduk di kursi sebelah papanya, ngoceh tentang makanan Sadendra, juga dicampur dengan aktivitasnya seharian ini. Termasuk kerja sama kami tentang tidur siang tadi.
Sadendra selalu menanggapi anaknya dengan sangat antusias, meskipun sambil bermain handphone.
Salah satu kebiasaan buruknya yang tak henti-hentinya kuingatkan.
"Hai," sapaku, mendekati mereka.
"Hai, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya Sadendra dengan ekspresi jail.
Aku tertawa, lalu menghampirinya untuk memberikan satu kecupan di pipi. Anakku juga tak boleh merasa cemburu, maka aku memberinya satu yang lain.
Selanjutnya, aku langsung membuka kulkas untuk melihat makanan cepat-sehat-enak apa yang bisa kubuat untuk aku dan Eleena. Sementara Sadendra—aku mengintip makanannya—sudah memakan soto daging.
Selagi mulai menyiapkan makanan, aku melirik anak dan suamiku yang kali ini hening, tidak ada obrolan. Eleena terlihat sedang membaca tulisan apa pun yang ada pada benda di meja. Pada sendok, garpu, dan macam-macam.
Sementara papanya, masih sibuk bermain handphone. Makanannya bahkan belum habis juga. Sekarang, dia malah tersenyum-senyum tidak jelas.
"Mas," panggilku pelan. Dia tak merespons. "Sadendra."
"Ya?" jawabnya dengan wajah panik.
Aku tak mengatakan apa pun lagi, hanya menunjuk ponselnya dengan dagu.
Ia langsung tersenyum lebar. "Sori, okay," serunya, kemudian meletakkan benda itu di atas meja.
Saat makananku sudah siap dihidangkan, Sadendra sudah selesai. Ia kemudian pamit untuk ke kamar, mau membersihkan diri. Aku dan Eleena mulai menikmati makan malam kami.
Sesekali, Eleena menyinggung betapa aku tidur seperti orang pingsan.
Dia sudah beberapa kali mmebangunkanku dan mengeluh kenapa aku susah sekali bangun. Lalu, dengan tatapan polos dan mengharukan, dia bertanya, "Mama capek, ya?"
Hal itu membuatku terharu bukan main.
Tak mampu menjawabnya dengan kalimat, hanya elusan di kepalanya dan memintanya untuk makan malamnya.
Kalau ditanya capek, aku tidak tahu capek bagaimana yang kurasakan. Banyak yang bilang, toh cuma di rumah aja, capek ngapain. Tetapi, mereka tidak tahu melakukan sesuatu yang terus diulang-ulang juga kadang melelahkan.
Mencuci piring kotor, digunakan lagi saat makan, dicuci kembali, begitu seterusnya.
Pun begitu dengan pakaian, dicuci, disetrika, dipakai, dan diulang dari awal.
Makanan pun sama.
Memikirkan besok makan apa, kreasi apa yang harus dibuat supaya anak lahap makan dn tidak hanya meminta makanan favoritnya terus yang belum tentu bagus untuk kesehatan.
Belum lagi, harus memperhatikan suami juga. Apa kebutuhannya.
Rasanya tidak pantas mengeluh karena ini adalah apa yang kuinginkan. Tetapi, menurutku mengeluh bukan berarti membuat kita benar-benar tidak bersyukur. Nope, itu bentuk dari ekspresi emosi yang dirasa.
Kalau mau berbicara soal bersyukur, oh aku bersyukur sekali mendapatkan Sadendra dan Eleena.
Namun, bukan berarti badanku seperti robot yang tidak mengenal kata lelah, bukan?
Selesai dengan makan malam, membantu Eleena mengerjakan tugas sekolah, sekarang aku sedang membacakan buku untuknya. Ritual sebelum tidur. Malam ini, adalah jadwalku, artinya besok jadwal Sadendra.
Meski jadwal kami sudah pasti, tetapi terkadang semua berubah berdasarkan mood Eleena. Kadang, dia mau denganku terus-terusan. Tak jarang juga maunya harus dengan Sadendra.
Saat aku melihat matanya sudah tertutup, napasnya sudah terdengar tenang, aku berhenti membaca. Kututup buku di tanganku, lalu kuletakkan di meja samping kasur. Aku membenarkan selimut Eleena, mengecup keningnya, kemudian mengembalikan buku pada rak.
Setelah itu, aku berjalan keluar sambil mematikan lampu kamar, hanya membiarkan lampu tidur yang menerangi.
Aku membuka pintu kamarku, dan menemukan Sadendra yang sudah bersandar di kepala ranjang, selimut sudah rapi menutupi kakinya.
Ia menyadari kehadiranku, mengalihkan tatapannya dari ponsel ke aku. "Eleena udah tidur?"
Aku mengangguk.
"Kamu kayaknya capek banget," katanya. Mendengar itu, aku hanya mengernyitkan kening. "Gih, tidur."
"Kamu emang nggak tidur?"
Ia tertawa. "Nanti dulu, temenku masih chat."
"Okay." Aku mengambil posisi, merebahkan tubuh dan menarik selimut. Kutatap dia yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu.
Aku tahu, Sadendra adalah salah satu manusia yang tergila-gila dengan ponsel.
Namun, hari ini, menurutku dia sedikit berlebihan.
Mengabaikan Eleena hanya untuk benda mati itu.
Dan sekarang, memintaku tidur duluan hanya karena dia mau membalas chat temannya?
"Mas."
"Hm?" Ia bahkan menjawab tanpa perlu repot-repot menolehkan kepala.
"Masalahnya besar banget sampe kamu main hape dari tadi nggak kelar-kelar?"
Seketika kepalanya menoleh. Kami saling tatap untuk beberapa detik, sebelum akhirnya dia meletakkan ponselnya di atas meja sebelahnya. Kemudian, ia mengecup keningku sambil tertawa pelan. "Cemburu kok sama hape," lirihnya, lalu memiringkan tubuh, menghadapku.
Benda itu tidak serta-merta bisa disepelekan.
Eleena bisa merasa tidak dihargai jika papanya fokus dengan ponsel.
Aku akan merasa kesal jika sedang berbicara dan dia malah main ponsel.
Jadi, menurutku, cemburu dengan benda itu kadang-kadang sangat masuk akal.
Tetapi, seperti Sadendra biasanya, dia akan menurut dan membuat perasaanku tenang sebelum kami tidur.
Dia sangat paham, bahwa tidur itu butuh ketenangan, bukan perasaan jengkel.
Namun, malam ini sepertinya pengecualian.
Saat aku terbangun di tengah malam karena mau buang air kecil, aku menemukan Sadendra yang terjaga sedang memainkan ponsel dengan senyum di wajahnya.
Apakah masalah temannya itu adalah lelucon yang bisa membuatnya tersenyum?
—
Bisa baca lebih cepat di Karyakarsa Dadodado. Di sana udah chapter 14 :)
Thank you!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro