Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

APP - 5



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Ditulis oleh Dadodado

Apa yang Indira katakan ketika kami berbincang kemarin tidak berhenti menghantuiku. Perasaan yang mengganjal di dada tidak dapat dihilangkan ataupun aku bicarakan pada Sadendra tanpa risiko terdengar konyol atau suamiku itu mengibaskan tangan setelah mendengarnya. Atau yang paling buruk, berujung pada berantem dan aku tidak mau tidak bisa ikut ke reuni ini.

Sumpah, aku tidak mau lagi berbicara pada Indira mengenai hubungan kami kalau ujung-ujungnya aku menjadi parno sendiri dan tidak bisa mempercayai suamiku.

"Kamu sudah siap?" Sadendra kembali memasuki kamar. Polo shirt hitam serta jeans berwarna senada sudah melekat di tubuhnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang dan ada yang lebih menarik perhatianku. Suamiku itu jauh lebih wangi dari biasanya.

"Kamu nyemprotin berapa liter parfum ke tubuh?" tanyaku heran.

Sadendra mengangkat tangan, menciumi pergelangan tangan tempat biasa ia menyemprotkan parfum sebelum digosokkan ke belakang telinga. "Kayak biasa, kok. Ayo, Eleena nungguin di luar." Sadendra lalu memerhatikan penampilanku. "Kamu pakai itu?"

Aku membalikkan badan, melihat bayanganku di cermin. Sack dress berwarna hitam polos sepanjang lutut dengan flatshoes agar mudah mengejar Eleena. Perhiasan yang aku kenakan hanya giwang dan cincin pernikahan sedangkan untuk rambut aku kucir ekor kuda. Tidak ingin ribet sendiri harus memegangi rambut ketika makan dan mengurangi nikmat rasanya.

"Iya, ada yang salah? Aku lama nggak pakai ini karena jarang keluar rumah." Aku melarikan telapak tangan ke sack dress. Sekali lagi memastikan kalau tidak ada yang bolong atau apa pun karena aku memang sudah tidak ingat lagi kapan terakhir memakainya.

Kepala Sadendra miring ke kanan sedikit lalu berdecak pelan. "Ya sudahlah. Kita nggak punya waktu lagi buat kamu ganti baju. Aku dan Eleena tunggu di depan, ya."

**

Kami tiba di restoran yang menjadi tempat reuni. Restoran yang berada di tengah kota tetapi begitu masuk, kesan yang didapatnya dari tempat ini sangat berbeda. Tempat makan ini terbagi menjadi dua; indoor dan outdoor. Di bagian dalam, kayu dan warna-warna cokelat dan hijau berada di mana-mana sehingga menguarkan vibes homey yang kental. Sedangkan di bagian luar, ada meja-meja makan serta pohon dan tanaman menjalar yang memberikan warna. Selain itu juga ada kolam yang dikelilingi meja-meja yang berbentuk sangkar.

Tidak ada yang temaram atau mirip seperti warung remang-remang di sini. Peletakan penerangan berwarna kuning yang hangat membuat seluruh sisi dan sudut dapat dilihat dengan jelas.

Kesan pertama yang aku tangkap setelah melihat sekeliling adalah tempat ini tempat makan keluarga. Mungkin karena acara reuni ini melibatkan keluarga sehingga restoran ini dipilih. Kecuali di bagian luar, kolam renangnya tidak memiliki pagar pembatas. Anak-anak kecil riskan untuk jatuh ke sana. Terutama untuk anak yang tidak dapat melihat air dan tidak menceburkan diri ke sana. Ini maksudnya adalah Eleena.

Mata bulat Eleena sudah seperti bola ping pong yang berbinar ketika melihat kolam yang diberikan lampu sorot itu. Mataku tidak dapat berada di satu titik untuk terlalu lama karena Eleena sudah bukan anak kecil yang dipegang tangannya lagi, dan bocah itu kini berjongkok di samping. Satu tangan berada di air, memercikkannya ke mana-mana.

Sadendra terus menerus berhenti setiap mereka melangkah. Menyapa orang lain yang tidak kukenal. Berbincang-bincang selama beberapa saat lalu kembali jalan dan lagi-lagi berhenti. Aku tidak terlalu suka berada di keramaian, bertemu dengan orang-orang yang tidak kukenal, dan menyampirkan senyum tidak henti sambil menikmati basa-basi.

"Elina!" teriak Sadendra tiba-tiba dan tubuhku langsung siaga. Mencari keberadaan anakku, takut kalau bocah itu sudah berada di dalam air karena aku tidak membawa baju ganti.

Mataku tertumbuk pada Eleena yang masih berada di sisi kolam dan satu alisku naik ketika menyadari kalau bukan Eleena yang dimaksud oleh Sadendra. Aku tahu itu karena punggung Sadendra menghadapku dan dia mulai berjalan menjauh. Menuju perempuan lain yang tidak aku kenal tapi memiliki nama yang sama dengan anakku.

"Sadendra!" pekik perempuan itu. Rambut panjangnya yang lurus bergoyang dengan lembut dan wajahnya disapu makeup sederhana hanya menambah kecantikan natural yang dimiliki.

Aku berjalan menyusul suamiku yang kini sudah berada di depan perempuan tadi. Aku berdiri di sampingnya dan baru menyadari kalau perempuan itu tidak sendiri. Di sisinya ada laki-laki tampan dan di gendongan pria itu ada balita gembil yang sangat lucu. Entah kenapa aku tiba-tiba saja merasa sangat lega ketika melihat pemandangan itu.

"Hei, apa kabar? Kita lama banget nggak ketemu," seru Elina. Wajahnya sangat gembira. Mataku menoleh kepada Sadendra dan menemukan hal yang serupa. Mereka seperti cerminan emosi satu sama lain.

"Terakhir kita ketemu waktu kelulusan sekolah, setelah itu lo pergi kuliah keluar," jawaban Sadendra yang menggebu-gebu membuat mataku berjalan ke kedua wajah yang sibuk dengan reuni di dunia mereka sendiri. Ada yang mengganjal di dadaku, tetapi aku mencoba untuk mengusirnya jauh-jauh terutama setelah Sadendra berpaling padaku dan memperkenalkan perempuan itu.

"Ini Elina, sahabatku sewaktu sekolah dulu. Ini istri gue, Kaia."

Oh, sahabat, ulangku dalam kepala sembari menyampirkan senyum semanis madu. "Kaia," kataku.

"Elina. Kalian masih berdua aja?"

"Enggak. Eleena ada di sana." Aku menunjuk kolam, tetapi tidak luput memerhatikan ekspresi terkejut yang muncul di wajah Elina selama tiga detik sebelum kembali seperti semula. "Dan si lucu ini namanya siapa?"

"Erik," jawab Elina dan pembicaraan itu kini berkutat di sekitar keluarga mereka. Erik adalah anak kedua dari Elina dengan suaminya, Adiyaksa. Yang pertama sedang ada di rumah bersama pengasuh, malas ikut acara orang tua, katanya. Usianya lebih muda satu tahun dari Eleena. Aku sedikit mengernyitkan alis ketika mengingat bagaimana nama putriku dan sahabat suamiku ini sama. Dan ini adalah pemberhentian terlama mereka setelah sedari tadi aku dapat melihat keengganan di mata suamiku untuk menyapa orang-orang dalam waktu yang lama.

"Masih kerja juga dengan dua anak?" pertanyaan Sadendra menghentikan laju pikiranku dan kembali memusatkan perhatian kepada orang-orang di depanku sekarang.

"Masih dong. Kata Mas Adi selama anak dan rumah masih kepegang, nggak masalah kalau gue kerja," jawab Elina bangga dan dilanjutkan dengan pembicaraan mengenai pekerjaannya.

Aku menggelengkan kepala samar. Ucapan Indira seperti racun yang membunuh kepercayaanku perlahan-lahan. Cemburu menyusup masuk ke dalam hatiku ketika melihat Sadendra terlihat menaruh perhatian penuh pada Elina. Aku harus menaruh satu tangan di pinggang suamiku untuk membuatnya menoleh.

"Kenapa?"

"Aku lapar," kataku. Kami memang ke sini berniat untuk makan. Bukan hanya sekedar bertemu orang-orang. "Eleena juga belum makan malam."

"Oh, kita makan bareng aja. Kami juga belum kok." Sambar Elina dan aku harus memaksakan senyum. Keinginanku kabur dari perasaan yang mengganjal, kenapa justru jadi makan malam bersama?

Mereka duduk di meja yang sama dan pembicaraan kembali bergulir ke sekitar masa SMA mereka berdua. Elina yang begitulah, Sadendra yang beginilah lalu tawa bergema di antara mereka. Seakan-akan mereka berdua sangat mengenal luar dalam dan tahu cerita masing-masing. Suamiku tiba-tiba saja terasa asing dan jauh. Ini Sadendra yang tidak aku kenal padahal kami sudah bersama kurang lebih sepuluh tahun. Jauh lebih lama dibandingkan masa SMA mereka yang hanya tiga tahun.

Bahuku yang kaku baru dapat rileks ketika Elina mendapatkan telepon dari anaknya. Menuntut mereka pulang sekarang juga entah untuk alasan apa. "Duh, sori gue duluan. Lain kali mampir ke rumah. Makan malam bareng supaya bisa cerita banyak hal. Eleena juga dibawa, biar bisa main bareng sama anak-anak gue." Elina mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Kartu berwarna putih lalu menyerahkannya pada Sadendra. "Ini kontak gue."

Aku mengingatkan diri sendiri untuk mencuri kartu nama itu saat Sadendra tidur lalu membakarnya. Meskipun pikiranku berlari liar dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, aku masih mampu untuk memasang senyum dan melambai layaknya seorang teman pada Elina dan keluarganya.

Dan interogasiku dimulai.

"Kamu deket banget ya kayaknya sama Elina," pancingku. Aku tidak bisa tidak membahas hal ini karena semakin lama kupendam, semakin aku memikirkan hal-hal lain.

"Kami duduk satu bangku dari kelas satu. Kenal sewaktu MOS, dia incaran senior cewek karena senior cowok banyak yang suka," kekeh Sadendra. Matanya tidak fokus dan aku tahu kalau itu karena pikirannya melemparkan suamiku itu ke masa lalu.

"Termasuk kamu?" tembakku langsung karena aku tidak sanggup harus merangkai kata lagi di dalam kepala.

Mendengar pertanyaanku malah membuat Sadendra terbahak sambil memegangi perutnya. "Nggak sama sekali. Dia dulu tomboy dan rasanya kayak punya temen cowok juga. Kamu harus tahu kalau dia manjat pohon jambu pakai rok setelah pulang sekolah. Dan kunjungan ke guru BK sewaktu sekolah itu bisa hampir setiap hari sampai semua guru capek lihat dia."

"Kamu juga sering?"

Sadendra menyengir lebar. "Dia yang manjat pohon jambunya dan aku yang nangkap dan habisin di bawah. Dia menendangku ketika turun dan itu berakhir dengan kami dipanggil ke ruang BK berdua."

Tidak heran kalau mereka memiliki cerita yang banyak. Karena dengan sejarah duduk satu bangku selama tiga tahun sudah pasti banyak kisah di antara mereka berdua. Dadaku kembali berdenyut tidak nyaman.

"Jadi kalian partner in crime?"

"Iya. Kenapa? Kamu jeles, ya? Tenang aja, dia sahabatku dulu, Sayang," jawab Sadendra mantap dan aku menjadi sedikit lebih tenang setelah suamiku mengatakannya langsung dan tidak ada tanda-tanda kebohongan di sana. Seakan tahu apa yang aku khawatirkan. "Di antara kami berdua nggak pernah ada apa-apa. Baik dulu atau pun sekarang," sambungnya lagi. Aku menaruh kepercayaanku 100 persen pada Sadendra sehingga kini aku merasa sangat tenang. Jika aku tidak bisa percaya pada suamiku, lalu aku harus percaya pada siapa lagi?

Orang lain kembali menyapa suamiku dan mereka larut lagi dalam perbincangan mengenai hal yang aku tidak paham.

22/6/22

Bisa baca lebih cepat di Karyakarsa Dadodado. Di sana udah chapter 9 :)

Thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro